Peristiwa Dekrit Orange 529


Dekrit Orange 529




Perdebatan-perdebatan mengenai Semi-Pelagianisme terus berlangsung sampai abad berikutnya. Perdebatan itu berakhir dalam tahun 529 dalam Sinode di Orange, di mana Caesarius dari Arles berhasil melaksanakan dogmatisasi dari sejumlah dalil-dalil terhadap semipelagians.[21


]Yang disebut konsili orange itu sebetulnya hanya pertemuan 13 uskup yang hadir pada upacara pemberkatan suatu gereja di kota Orange di keuskupan Arles, negeri Perancis. Uskup Arles, Caesarius, dikirimi 25 kanon oleh Paus Felix IV (tahun 526-530) yang semuanya diambil dari karangan St. Augustinus.

Baca juga: Penerapan Spiritualitas Yesus

 Kesempatan pemberkatan gereja di Orange dipergunakan oleh Caesarius untuk minta tanda tangan dari 13 uskup yang hadir, serta 8 awam. Setelah ditanda tangani, kanon-kanon itu dikirimkan Caesarius kepada semua uskup di Gallia (Perancis Selatan). 

Akan tetapi, karena tidak semua mau menerima ajaran itu, Caesarius minta lagi dokumen dari Roma, dan menerima sepucuk surat dari Paus Bonifatius II, pengganti Felix, yang kurang lebih mengesahkan dokumen Orange. 

Kanon-kanon Orange harus dilihat dalam rangka diskusi Caesarius dengan Faustus dari Riez, seorang Rahib yang memang tidak mengajarkan lagi teori Pelagius dan Coelesticus. 

Lihat Juga: Pengantar Kitab Yudas

tetapi yang juga tidak senang Augustinisme sebagaimana diajarkan oleh murid Augustinus.Caesarius bersama uskup-uskup lain di Orange tidak setuju dengan Faustus yang ajarannya dianggap Semi pelagianisme, dan karena itu mereka menandatangani ke-25 kanon tersebut yang secara eksplisit menguraikan pandangan Augustinus melawan Pelagius dan yang kemudian kurang lebih disahkan oleh Paus.[22] 

Tetapi dengan melakukan itu, sinode tidak menerima keseluruhan ajaran Augustinus mengenai anugerah. Keputusan-keputusannya yang paling penting adalah sebagai berikut : Melalui dosa Adam, ia sendiri maupun anak cucunya telah dirusakkan, baik tubuh maupun jiwa. 

Dosa dan kematian berasal dari ketidaktaatan Adam atas perintah ilahi. Sebagai akibatnya, kehendak bebas itu dilemahkan begitu rupa, sehingga tidak mungkin lagi, atas inisiatif sendiri seseorang dapat mengasihi atau percaya kepada Allah sebagaimana seharusnya. Dari dirinya sendiri manusia tidak dapat memperoleh anugerah Allah. 

Bahkan naik banding manusia kepada anugrah ilahi adalah pekerjaan dari anugerah itu sendiri. Dalam cara yang sama anugerah melaksanakan iman dan kehendak ke arah kemurnian.[23]

Dalam diri manusia tidak ada yang baik. Allah lah yang bekerja dalam diri manusia untuk melakukan yang baik melalui Roh Kudus. Hubungan antara rahmat dengan perbuatan baik; disetujui bahwa perbuatan baik tidak mendahului rahmat. 

Kasih adalah pemberian Allah, yang dilimpahkan ke hati manusia melalui Roh Kudus. Baik iman, kasih dan perbuatan baik tidak dihasilkan dari kehendak bebas, tetapi oleh rahmat Allah yang Maha Pengasih yang diterima melalui baptisan.[24]

Daftar Pustaka
Becker, Dieter, Pedoman Dogmatika, Jakarta : BPK-GM, 2015
Dister, Nico Syukur, Teologi Sistematika :Ekonomi Keselamatan, Yogyakarta : Kanisius, 2004
Dister, Nico Syukur, Teologi Sistematika 2, Yogyakarta : Kanisius, 2004
End, Th. Van den, Harta dalam Bejana, Jakarta: BPK-GM, 2009
F.D., Wellem, Riwayat Hidup Singkat tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja, Jakarta : Gunung Mulia, 2003
Hagglund,Bengt, History of Theology, Missouri : Concordia Publishing Home, 1968
I.H., Enklaar &H.Berkhof, Sejarah Gereja, Jakarta : Gunung Mulia, 2016
Jonge, Chr. De & Jan S. Aritonang, Apa dan Bagaimana Gereja ?, Jakarta : Gunung Mulia, 1997
Lohse,Bernhard,Pengantar Sejarah Dogma Kristen, Jakarta : Gunung Mulia, 1989
S., Jonar, Sejarah Gereja Umum, Yogyakarta : Andi, 2014
Tony, Lane, Runtut Pijar, Jakarta: BPK-GM, 2015