Tinjauan Dogmatika Tradisi suku Toba Mangokal Holi
(Suatu
Tinjauan Dogmatis Terhadap Tata Gereja GKPS tentang Mangongkal Holi diperhadapkan dengan Hukum Dekalog ke-5 dan
Relevansinya bagi Jemaat GKPS Berastagi)
I.
Latar Belakang Masalah
Penulis menemukan masalah dalam hal mangongkal holi ini yang terdapat di
jemaat GKPS Berastagi. Penulis mengadakan penelitian di GKPS Berastagi Resort
Kabanjahe. Penulis menyebarkan angket sebanyak 20 angket kepada jemaat dan yang
kembali sebanyak 12 angket dan hasil angketnya adalah sebagai berikut
No. Item
|
Jumlah nilai A
|
Jumlah nilai B
|
1.
|
11
|
1
|
2.
|
10
|
2
|
3.
|
8
|
4
|
4.
|
9
|
3
|
5.
|
6
|
6
|
6.
|
7
|
5
|
Penulis juga
melakukan wawancara terhadap beberapa narasumber yang sudah mengisi angket, dan
menemukan suatu masalalah yang berkaitan dengan penelitian penyeminar dengan salah
satu narasumber dengan hasil wawancara sebagai berikut:
1. Flora Damaris Saragih[1]:
Ia melihat bahwa mangongkal holi ini
merupakan acara adat yang masih membingungkan kepercayaannya dalam iman
Kristen, dikarenakan ia melihat bahwa ketika ia mengikuti acara adat mangongkal holi yang dilakukan masih
sarat dengan makna penyembahan terhadap roh-roh orang mati.
Dari hasil angket, wawancara dan terkait dengan tata gereja GKPS
tersebut penulis menemukan bahwa ada beberapa
hal yang harus ditinjau kembali dari pemahaman jemaat, yaitu:
1. Tujuan mangongkal holi adalah untuk menghormati
orang yang sudah meninggal.
2. Jemaat masih
sering mengikuti kegiatan mangongkal holi
yang mencampurkan acara itu dengan hal-hal yang tidak sesuai dengan kepercayaan
Kristen. Ini artinya gereja belum benar-benar melakukan tugasnya dalam menjaga
agar tidak terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan kepercayaan Kristen.
3. Jemaat masih
bimbang mengenai hal: dengan mangongkal
holi yang melakukannya memperoleh berkat.
4.
Menjadi tanggung jawab Majelis Jemaat dan Jemaat agar
tidak terjadi di acara mangongkal holi
pekerjaan penyembahan berhala.
II.
Isi
2.1.
Pengertian Mangongkal Holi
Mangongkal
Holi adalah upacara adat menggali
tulang-belulang, orang tua (leluhur) yang sudah meninggal dan memindahkannya ke
tempat peristirahatan mereka yang lebih baik. Mangongkal Holi merupakan kegiatan adat masyarakat Batak yang
dilakukan dalam rangka menghormati leluhurnya.[2]
Dulu, ada satu pepatah yang digunakan ketika menguburkan kembali tulang-tulang
yang digali lagi itu yang berbunyi:
“Ditaruh
tulang-tulang bapa kita ini ke dalam makan yang lebih tinggi. Semogalah meningkat
kemakmuran/kesuburan, meningkat kesejahteraan. Itu dilaksanakan kepada kita
oleh nenek-asali kita, Dewata yang berbahagia, disokong oleh para raja yang
hadir di sini.”
Kejadian dan
pepatah itu memperlihatkan dengan singkat corak dan makna pemujaan nenek
moyang. Dengan penggalian itu maka berakhirlah keadaan sementara,
terkatung-katungnya roh orang mati karena belum dimasukkan kepada golongan bapa
leluhur. Melalui pemindahan, diberikanlah kuasa kepada orang mati tersebut
untuk menjadi bapa leluhur. Dengan penguburan tulang-tulangnya, ia mengalami
secara sebenarnya dan secara kiasan suatu pentahiran dan suatu perjamuan,
sebagai tingkat-pendahuluan kepada keberkuasaannya sebagai bapa leluhur yang
sanggup berpengaruh. Barulah setelah orang mati yang ditentukan menjadi bapa
leluhur itu menjadi bapa leluhur itu dimasukkan ke dalam kehidupan yang giat,
ia dapat membagi-bagikan berkatnya yang sakti dan dapat menjaga adat.[3]
Orang-orang
Kristen dari gereja-gereja suku memuja nenek moyang mereka dengan berbagai cara.
Di Sumatera Utara mereka membuka kuburan-kuburan tanah yang sementara, sesudah
lewat waktu pembusukan yang dianggap perlu, lalu mengangkat tulang-tulang dari
dalamnya dan menempatkannya dalam suatu kuburan semen dengan mengadakan upacara
tertentu. Mereka mendirikan patung-patung buat nenek moyang mereka dengan
menempatkan tulang-tulang mereka di dasar monument itu.
Dalam bukunya Adat dan Injil yang diterbitkan
pertama pada tahun 1978, Schreiner melihat bahwa di daerah Toba orang-orang
Kristen terus menjalankan upacara-upacara penggalian tulang-tulang dalam bentuk
yang telah diubah. Gereja telah menyucikan (membersihkan) adat itu dari
unsur-unsurnya yang parbegu dan telah memasukkan suatu ‘peraturan penggalian
tulang-tulang’. Peraturan-peraturan yang dikeluarkan dalam perempatan-pertama
abad ini, masih berlaku hingga kini.[4]
2.1.1. Mangongkal
Holi di Simalungun
Orang Simalungun
yang dijumpai para zendeling pada awal abad kedua puluh telah pula memiliki
unsur-unsur budaya, termasuk adat-istiadatnya. Leluhur mereka mewariskan banyak
hal, mulai dari nyanyian, tarian, dan
teknik bertani.
Sebenarnya budaya Simalungun tidak ada acara adat mangongkal holi na dob matei (menggali
tulang yang sudah meninggal) sebab yang ada hanya paturehon panimbunan (memperbaiki kuburan). Jadi adat menggali
tulang belulang merupakan adat yang baru, sebagai pengaruh adanya pencampuran
budaya dengan puak lain (Toba). Adapun yang menjadi penyebab pemindahan tulang
belulang adalah kemungkinan pada saat orangtua meninggal terpaksa dimakamkan
pada tempat terpisah dari kuburan keluarga karena situasi yang tidak mendukung,
mungkin di antara keturunan ingin mempersatukan beberapa orang tua yang sudah
meninggal dalam satu pemakaman dan mendirikan tugu. Alasan lain masyarakat
Simalungun memindahkan
tulang belulang kemungkinan karena terancam longsor atau perluasan kota dan
yang terakhir adalah karena mungkin pemakaman bapak/ibu terpisah. Adat
memindahkan tulang belulang ini boleh dilakukan kepada seseorang yang meninggal
sari matua dan sayur matua.[5]
2.2.
Mangongkal Holi Menurut Alkitab
2.2.1.
Mangongkal Holi Menurut Perjanjian
Lama
Keluaran 13:19
sering sekali dijadikan sebagai landasan teologis diterimanya mangongkal holi. Kisah dalam teks ini
adalah mengenai bagaimana umat Israel keluar dari Mesir dan diantara banyaknya
orang itu ada orang yang mengusung beban yang sangat berharga, yakni peti mati
Yusuf. Sebab sebelum Yusuf meninggal, ia telah berkata kepada
saudara-saudaranya: “Tidak lama lagi aku akan mati; tentu Allah akan
memperhatikan kamu dan membawa kamu keluar dari negeri ini ke negeri yang telah
dijanjikann-Nya dengan bersumpah kepada Abraham, Ishak dan Yakub.” Lalu Yusuf
menyuruh anak-anak Israel bersumpah, katanya: “Bahwasanya Allah akan
memperhatikan kamu; pada waktu itu kamu harus membawa tulang-tulangku dari
sini.” Kemudian matilah Yusuf, berumur seratus sepuluh tahun. Mayatnya
dirempah-rempahi, dan ditaruh dalam peti mati di Mesir (Kej. 50:24-26). Tetapi,
walaupun Yusuf sudah mati, maka oleh sebab imannya ia berbicara lagi (band.
Ibr. 11:4). Seolah-seolah ia berkata: Allah telah memperhatikan kamu seperti
kataku, bukan? Tentulah juga ia akan membawa kamu ke negeri yang telah
dijanjikan-Nya dengan sumpah kepada Abraham, Ishak dan Yakub; di sanalah aku
mau dikuburkan!
Demikianlah
mayat Yusuf, yang dibawa orang Israel, selalu mengingatkan tujuan perjalanannya
kepada mereka. Mereka diinsafkan, bahwa mereka mempunyai milik pusaka di tanah
Kanaan. Dekat Hebron terdapat gua Makhpela yang dibeli Abraham dari orang Het,
bersama dengan sebidang ladang, menjadi pekuburan milik. Di sana dikuburkan
Sara (Kej. 23:1-20). Di sanalah dikuburkan Abraham (Kej. 25:9-10). Di sana
dikuburkan Ishak (Kej. 35:27-20; 49:31). Di sana dikuburkan Ribka (Kej. 49:31).
Di sana dikuburkan Lea (Kej. 49:32). Di sana juga dikuburkan Yakub sesuai
dengan kehendak-Nya (Kej. 47: 29-31; 49:29-32; 50:1-14). Seolah-olah nenek
moyang yang mati itu telah menduduki dan sedang mempertahankan tempat untuk
anak-anak mereka serta menunggu-nunggu mreka. Tetapi bidang tanah yang kecil
ini belumlah semuanya yang telah menjadi milik orang Israel di tanah Kanaan. Di
bagian Utara, Yakub telah membeli dari anak-anak Hemor tanah milik. Itulah
tempat yang akan menjadi tempat kuburan Yusuf.
Sebab sesudah perebutan negeri Kanaan, bidang tanah ini akan
diperuntukkan bagi keturunan Yusuf, dan mereka akan menguburkan mayat neneknya
di sana, di tengah-tengah mereka (Kej. 33:18-20; Yos. 24:32). Demikianlah akan
sampai pengharapan Yusuf (ay. 19).[6]
2.2.2.
Mangongkal Holi Menurut Perjanjian
Baru
Penulis tidak
menemukan pandangan secara jelas tentang mangongkal
holi dalam Perjanjian Baru. Namun mengenai memperingati orang mati dapat
ditemukan di dalamnya. Sampai sekarang dalam tradisi reformasi, memperingati
orang mati adalah disertai seruan untuk mengingat kematian sendiri dan
pengadilan oleh Allah dengan memandang kepada hari pengadilan terakhir.
Sebaliknya sekarang yang perlu ialah menyelidiki apa yang dikatakan oleh Perjanjian
Baru tentang orang-orang mati di dalam Kristus. Dalam hal ini patut
diperhatikan bahwa ucapan-ucapan PB tentang orang mati tidaklah memberi
gambaran yang menyeluruh karena PB pada hakikatnya berfokus pada kehidupan.
Hubungan dengan
Kristus tidak diputuskan oleh kematian, melainkan bertahan lebih lama.
Ucapan-ucapan yang paling penting terdapat dalam perkataan Yesus kepada
penjahat di kayu salib (Luk. 23:43), dalam 1 Yohanes 3:2, dan pada Paulus yang
dalam 1 Korintus 15:18, berbicara tentang orang-orang yang ‘tertidur’ (terj.
Baru: mati) di dalam Kristus dan dalam 1 Tesalonika 4:16, tentang orang-orang
mati di dalam Kristus. Secara khusus, 2 Korintus 5:1-10 menunjukkan bahwa
orang-orang mati itu berada ‘dalam suatu kedekatan yang khusus kepada Kristus’.
Malahan ayat 8 rupa-rupanya menyatakan bahwa kematian orang Kristen, yang
manusia batiniahnya telah dipenuhi oleh Roh Kudus, mendekatkan mereka kepada
Kristus. Dengan demikian kematian itu berarti keuntungan, bukan kerugian (Flp.
1:21), hal itu akan membuat persekutuan menjadi lebih erat bukan membuatnya
menjadi lebih renggang. Lihat Filipi 1:23 di mana yang dimaksud ialah suatu
persekutuan orang-orang Kristen yang sudah mati dengan Tuhan mereka yang
ditinggikan itu. [7]
2.3.
Tinjauan Dogmatis mengenai Mangongkal
Holi
Ritual atau
kebudayaan mangongkal holi ini
memiliki kesamaan dengan gejala-gejala tertentu dalam Gereja Lama. Sebagaimana
dalam gereja-gereja di Batak, demikian juga dalam Gereja Lama di wilayah
sekitar Laut Tengah upacara-upacara makam dan upacara-upacara untuk orang mati
merupakan suatu titik yang sangat penting, yakni titik pertemuan dan pergumulan
dengan agama-agama dan ibadat-ibadat, yang di tengah-tengahnya mereka percaya
dan mengaku percaya. Tetapi berbeda dengan Gereja Lama, gereja pada zaman
sekarang melakukan ibadat atau acara yang berkaitan dengan orang mati ini
ditentukan oleh hubungan genealogis.
Perlu
diperhatikan bahwa di sekitar upacara-upacara peralihan untuk peristiwa
kematian itulah manusia mudah terpengaruh dan juga sangat rela menerima
sokongan bagi keberagamaannya yang kodrati. Oleh sebab itu perlu untu
merumuskan bagaimana orang Kristen dapat bergaul secara Kristen dengan
orang-orang mati mereka. Pertalian alamiah dalam keanggotaan suku dan marga
tidaklah membedakan mereka ini, pun dalam maut. Mereka beristirahat
bersama-sama dalam kuburan-kuburan keluarga dan rumah-rumahan penyimpanan
tulang-tulang. Dalam persekutuan nenek moyang tidaklah muncul pembedaan yang
nyata.
Secara positif
haruslah pertama-tama ditunjukkan di sini, bahwa sebagaimana keanggotaan dalam
tubuh Kristus mengalahkan kematian, yaitu tidak diremukkan oleh kematian,
demikianlah juga keanggotan suatu golongan orang-orang percaya tidak
dihancurkan oleh kematian. Hubungan horizontal orang-orang hidup dengan
orang-orang mati dalam Kristus berlangsung karena keanggotaan mereka dalam
tubuh Kristus dan hanya dalam, dengan, dan melalui Kristus.[8]
2.4.
Pandangan GKPS mengenai Mangongkal Holi
Pembaruan tata
cara pemakaman telah dilakukan GKPS sejak 1980. Pembaharuan ini didasarkan pada
pemahaman bahwa tata cara pemakaman adalah bagian dari pemberitaan firman dan
pengajaran Kristen sehingga jemaat dituntun kepada pemahaman yang benar tentang
arti kematian dan pemakaman.
Persoalan
berikut yang dihadapi GKPS di sekitar pemakaman adalah menyangkut kebiasaan mangongkal holi (memindahkan tulang-belulang)
dari tempat lama ke tempat baru (biasanya tempat baru yang dibangun memakan
biaya yang tidak sedikit). Apakah Alkitab membenarkan kegiatan seperti itu?
Bagi mereka yang menerima biasanya mengacu kepada Musa yang membawa
tulang-tulang Yusuf dari Mesir ke Tanah Kanaan (Kel. 13:19). Masalah kemudian
muncul ketika pengerja jemaat melihat bahwa kegiatan mangokal holi itu sarat dengan ritual agama lama. Mau tak mau GKPS
harus menentukan sikapnya terhadap kegiatan ini. Akhirnya GKPS merumuskan pemikiran
theologisnya bahwa tulang-tulang orang meninggal juga berharga bagi Tuhan.
Dalam pemahaman seperti itu dapatlah diterima kegiatan mangongkal holi dengan catatan; kegiatan itu dipahami sekedar
memindahkan tempat makam tanpa melakukan ritual agama lain.[9]
2.5.
Tinjauan Dogmatis tentang Mangongkal Holi
diperhadapkan dengan Hukum Dekalog ke-5
Gereja memang
menolak penyembahan orang mati, tetapi tidak boleh serta-merta mengutuk
praktik-praktik penghormatan kepada si mati. Kita tidak boleh sekedar melihat
pada wujud yang kelihatan, melainkan juga pada motivasi dari praktik itu
sebelum mengambil sikap.
Praktik-praktik
tadi umumnya didasari atas penghormatan dan cinta kasih terhadap jasad orang
mati dengan perasaan hormat. Pertama, Alkitab mengajarkan bahwa tubuh yang
dibentuk Allah adalah baik. Ia memiliki nilai dan kudus karena merupakan tiruan
dari Allah (menurut gambar Allah). Juga pada saat mati tubuh itu tetap
berharga. Pada parousia nanti Allah
akan membangkitkan kembali tubuh itu untu diberi mahkota kehidupan. Pantaslah
kalau si mati diperlakukan secara hormat dan layak.
Kedua, keyakinan
akan kehidupan kekal yang diberikan Allah kepada manusia. Kehidupan kekal itu
bukan sesuatu yang baru akan diterima pada parusia,
atau ketika seseorang meninggal dunia, tetapi sudah mulai menjadi milik manusia
semasa hidup, yakni saat memberi diri kepada Yesus Kristus. Seseorang mati
tetapi sesungguhnya ia hidup (Yoh. 11:25).
Kedua hal di
atas tidak bertolak belakang dengan iman Kristen. Para leluhur Israel yang oleh
Alkitab disebut sebagai teladan iman (Ibr. 11) juga memperlakukan dengan baik
kekasih mereka yang sudah mati. Abraham membangun makam bagi Sarah istrinya (Kej.
23:17-20). Dia juga berpesan kepada Ishak agar kelak dia juga dimakamkan di
sana. Yakub bahkan bukan hanya memakamkam Rahel secara baik. Ia bahkan
mendirikan sebuah tugu di makam Rahel sebagai tanda cinta kasih dan hormat
(Kej. 35:20). Makam-makam itu masih ada sampai hari ini, tentu saja karena
dirawat dan dipelihara sebagai ingatan dan penghormatan akan keteladanan iman
mereka.
Penghormatan
kepada si mati dan mengenang kebaikan dan jasa-jasanya bukan dosa. Itu bahkan
perlu dalam rangka menghidupkan teladan yang mereka tunjukkan dalam kita. Paul
Budi Kleden menulis dengan sangat indah tentang hal ini, “Kita tidak
menghormati nenek moyang hanya karena mereka adalah nenek moyang, namun karena
mereka menjadi tanda historis dari kasih Allah yang berdaya menghidupkan dan
menyembuhkan”.
Dalam Keluaran
20:12 Allah memerintahkan Israel demikian, “Hormatilah
ayah dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN Allahmu,
kepadamu.” Tentang firman ini, J. Verkuyl mengatakan, “Tuhan juga meminta
kita supaya kita memperingati dengan hormat mereka yang telah meninggal dunia.
Tuhan mengkehendaki supaya kita memperingati dengan hormat dan berterimakasih
atas segala kebaikan yang telah kita terima dari mereka yang sudah mendahului
kita ke alam baka (Ibr. 11 dan 12:1, 2).
Kita perlu
menghormati bukan memperilah para leluhur. Demi menjaga agar cinta dan hormat
itu tidak berubah menjadi penyembahan, Gereja perlu mendorong warganya agar
menaruh praktik itu dalam bingkai pengharapan akan kebangkitan dan pertemuan
kembali pada saat kedatangan kembali Yesus Kristus. Lebih jauh dari itu, gereja
juga perlu membimbing jemaat agar menunjukkan cinta dan hormat kepada orangtua
dan saudara bukan hanya pada saat dia sudah mati. Adalah lebih berguna jika
cinta dan hormat itu sudah dinyatakan kepada seseorang ketika yang bersangkutan
hidup. Cinta dan hormat yang ditunjukkan kepada seseorang setelah dia meninggal
dengan cara membawakan makanan dan minuman, makam yang dimetzel tidak memberi nilai tambah apa pun kepada si mati. Arwah
tidak makan dan minum, tidak membutuhkan ritus dan upacara yang high cost, juga tidak membutuhkan
kuburan dan rumah. Si mati dipelihara dengan lebih baik oleh Allah. Alangkah
baiknya, jika semua pengorbanan itu diberika ketika mereka masih hidup,
sebagaimana yang dilakukan oleh seorang perempuan yang meminyaki kaki Yesus
dengan minyak narwastu.
Jadi, menolak
memimpin ibadah syukuran berhubungan dengan ulang tahun kematian, mengutuk
kebiasaan mengunjungi makam, dan merawat makam itu bukan merupakan sikap yang
bijak. Kita cenderung mengharapkan hasil yang segera sehingga menyangka sikap
penolakan itu akan membuat praktik-praktik tadi akan segera punah. Tidak! Yang
terjadi justru yang sebaliknya. Makin dilarang dan dikutuk, ia justru makin
bertambah subur, malah makin akan dikuasai oleh praktik penyembahan.
Yang perlu
gereja buat adalah mendampingi jemaatnya dengan setia sambil memberi pemahaman
yang benar melalui pengajaran dan khotbah, juga pada saat-saat mereka melakukan
ritus-ritus yang dimaksud. Perubahan pola pikir dan sikap dari penyembahan
kepada penghormatan kepada si mati memerlukan waktu dan kesabaran. Allah yang
berkuasa untuk membaharui pola pikir dan pola tingkah laku. Tugas kita ialah
ambil bagian dalam proses ke arah itu.
Seperti apakah
bentuk-bentuk pendampingan itu? Para pejabat gereja perlu memikirkan
ibadah-ibadah kreatif yang dilangsungkan pada momen-momen yang memiliki makna
tersendiri dalam kehidupan jemaat atau keluarga yang berduka. Ibadah berjemaat
di tempat-tempat pemakaman umum pada saat-saat menjelang hari raya gerejawi
bisa menjadi salah satu bentuk pendampingan. Dalam ibadah itu pemberitaan
firman disampaikan untuk membuat jemaat membongkar paham-paham dari agama suku
tentang penyembahan orang mati untuk digantikan dengan penghormatan kepada
nilai-nilai hidup yang diteladankan si mati.[10]
III.
Kesimpulan
Upacara mangongkal holi merupakan upacara adat
menggali tulang-belulang, orang tua (leluhur) yang sudah meninggal dan
memindahkannya ke tempat peristirahatan mereka yang lebih baik. Penghormatan
kepada si mati dan mengenang kebaikan dan jasa-jasanya bukan dosa. Itu bahkan
perlu dalam rangka menghidupkan teladan yang mereka tunjukkan dalam kita.
Tentunya semua ini harus dilakukan dalam iman kepada Yesus Kristus. Meski
demikian, perlulah diingat bahwa, menghormati orangtua jauh lebih baik ketika
mereka masih hidup, karena cinta dan hormat yang ditunjukkan kepada seseorang
setelah dia meninggal dengan cara membawakan makanan dan minuman, makam yang dimetzel tidak memberi nilai tambah apa
pun kepada orang yang sudah meninggal itu.
IV.
Daftar Pustaka
Sumber
Buku
Damanik,
Jan J., Dari Ilah Menuju Allah,
Yogyakarta: ANDI, 2012
Schreiner,
Lothar, Adat dan Injil, Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2003
Sitompul,
A. A., Manusia dan Budaya, Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1997
Timo,
Ebenhaizer I. Nuban, Allah Menahan Diri,
Tetapi Pantang Berdiam Diri, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016
Purba, D. Kenan, Adat Istiadat Simalungun Pematang
Siantar: Bina Budaya Simalungun, 1997
Rosin,
H., Tafsiran Alkitab: Kitab Keluaran
Pasal 1-15:21, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002
Sumber Lain
Tata
Gereja GKPS
Wawancara
dengan Flora Damaris Saragih, 12 Mei 2019, pukul 11.45 WIB, di Gereja GKPS
Berastagi
[1] Wawancara dengan
Flora Damaris Saragih, 12 Mei 2019, pukul 11.45 WIB, di Gereja GKPS Berastagi
[2] A. A. Sitompul, Manusia dan Budaya, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1997), 260
[4] Lothar Schreiner, Adat dan Injil, 174
[6] H. Rosin, Tafsiran Alkitab: Kitab Keluaran Pasal
1-15:21, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), 190-191
[7] Lothar Schreiner, Adat dan Injil, 198-199
[8] Lothar Schreiner, Adat dan Injil, 196-206
[9] Jan J. Damanik, Dari Ilah Menuju Allah, (Yogyakarta:
ANDI, 2012), 389-391
[10] Ebenhaizer I. Nuban
Timo, Allah Menahan Diri, Tetapi Pantang
Berdiam Diri, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 412-415