Tinjauan Dogmatika Tradisi suku Toba Mangokal Holi


Mangokal Holi 


(Seminar Inmawani Saragih dalam Perkuliahan STT Abdi Sabda Medan)
(Suatu Tinjauan Dogmatis Terhadap Tata Gereja GKPS tentang Mangongkal Holi diperhadapkan dengan Hukum Dekalog ke-5 dan Relevansinya bagi Jemaat GKPS Berastagi)

I. Latar Belakang Masalah

 Penulis menemukan masalah dalam hal mangongkal holi ini yang terdapat di jemaat GKPS Berastagi. Penulis mengadakan penelitian di GKPS Berastagi Resort Kabanjahe. Penulis menyebarkan angket sebanyak 20 angket kepada jemaat dan yang kembali sebanyak 12 angket dan hasil angketnya adalah sebagai berikut

No. Item
Jumlah nilai A
Jumlah nilai B
1.
11
1
2.
10
2
3.
8
4
4.
9
3
5.
6
6
6.
7
5
Penulis juga melakukan wawancara terhadap beberapa narasumber yang sudah mengisi angket, dan menemukan suatu masalalah yang berkaitan dengan penelitian penyeminar dengan salah satu narasumber dengan hasil wawancara sebagai berikut:
1. Flora Damaris Saragih[1]: Ia melihat bahwa mangongkal holi ini merupakan acara adat yang masih membingungkan kepercayaannya dalam iman Kristen, dikarenakan ia melihat bahwa ketika ia mengikuti acara adat mangongkal holi yang dilakukan masih sarat dengan makna penyembahan terhadap roh-roh orang mati.
Dari hasil angket, wawancara dan terkait dengan tata gereja GKPS tersebut penulis menemukan bahwa ada beberapa hal yang harus ditinjau kembali dari pemahaman jemaat, yaitu:
1. Tujuan mangongkal holi adalah untuk menghormati orang yang sudah meninggal.
2. Jemaat masih sering mengikuti kegiatan mangongkal holi yang mencampurkan acara itu dengan hal-hal yang tidak sesuai dengan kepercayaan Kristen. Ini artinya gereja belum benar-benar melakukan tugasnya dalam menjaga agar tidak terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan kepercayaan Kristen.
3. Jemaat masih bimbang mengenai hal: dengan mangongkal holi yang melakukannya memperoleh berkat.
4. Menjadi tanggung jawab Majelis Jemaat dan Jemaat agar tidak terjadi di acara mangongkal holi pekerjaan penyembahan berhala.
II. Isi
2.1. Pengertian Mangongkal Holi
Mangongkal Holi adalah upacara adat menggali tulang-belulang, orang tua (leluhur) yang sudah meninggal dan memindahkannya ke tempat peristirahatan mereka yang lebih baik. Mangongkal Holi merupakan kegiatan adat masyarakat Batak yang dilakukan dalam rangka menghormati leluhurnya.[2] Dulu, ada satu pepatah yang digunakan ketika menguburkan kembali tulang-tulang yang digali lagi itu yang berbunyi:
“Ditaruh tulang-tulang bapa kita ini ke dalam makan yang lebih tinggi. Semogalah meningkat kemakmuran/kesuburan, meningkat kesejahteraan. Itu dilaksanakan kepada kita oleh nenek-asali kita, Dewata yang berbahagia, disokong oleh para raja yang hadir di sini.”
Kejadian dan pepatah itu memperlihatkan dengan singkat corak dan makna pemujaan nenek moyang. Dengan penggalian itu maka berakhirlah keadaan sementara, terkatung-katungnya roh orang mati karena belum dimasukkan kepada golongan bapa leluhur. Melalui pemindahan, diberikanlah kuasa kepada orang mati tersebut untuk menjadi bapa leluhur. Dengan penguburan tulang-tulangnya, ia mengalami secara sebenarnya dan secara kiasan suatu pentahiran dan suatu perjamuan, sebagai tingkat-pendahuluan kepada keberkuasaannya sebagai bapa leluhur yang sanggup berpengaruh. Barulah setelah orang mati yang ditentukan menjadi bapa leluhur itu menjadi bapa leluhur itu dimasukkan ke dalam kehidupan yang giat, ia dapat membagi-bagikan berkatnya yang sakti dan dapat menjaga adat.[3]
Orang-orang Kristen dari gereja-gereja suku memuja nenek moyang mereka dengan berbagai cara. Di Sumatera Utara mereka membuka kuburan-kuburan tanah yang sementara, sesudah lewat waktu pembusukan yang dianggap perlu, lalu mengangkat tulang-tulang dari dalamnya dan menempatkannya dalam suatu kuburan semen dengan mengadakan upacara tertentu. Mereka mendirikan patung-patung buat nenek moyang mereka dengan menempatkan tulang-tulang mereka di dasar monument itu.
 Dalam bukunya Adat dan Injil yang diterbitkan pertama pada tahun 1978, Schreiner melihat bahwa di daerah Toba orang-orang Kristen terus menjalankan upacara-upacara penggalian tulang-tulang dalam bentuk yang telah diubah. Gereja telah menyucikan (membersihkan) adat itu dari unsur-unsurnya yang parbegu dan telah memasukkan suatu ‘peraturan penggalian tulang-tulang’. Peraturan-peraturan yang dikeluarkan dalam perempatan-pertama abad ini, masih berlaku hingga kini.[4] 
2.1.1. Mangongkal Holi di Simalungun
Orang Simalungun yang dijumpai para zendeling pada awal abad kedua puluh telah pula memiliki unsur-unsur budaya, termasuk adat-istiadatnya. Leluhur mereka mewariskan banyak hal, mulai dari nyanyian, tarian, dan teknik bertani. Sebenarnya budaya Simalungun tidak ada acara adat mangongkal holi na dob matei (menggali tulang yang sudah meninggal) sebab yang ada hanya paturehon panimbunan (memperbaiki kuburan). Jadi adat menggali tulang belulang merupakan adat yang baru, sebagai pengaruh adanya pencampuran budaya dengan puak lain (Toba). Adapun yang menjadi penyebab pemindahan tulang belulang adalah kemungkinan pada saat orangtua meninggal terpaksa dimakamkan pada tempat terpisah dari kuburan keluarga karena situasi yang tidak mendukung, mungkin di antara keturunan ingin mempersatukan beberapa orang tua yang sudah meninggal dalam satu pemakaman dan mendirikan tugu. Alasan lain masyarakat Simalungun memindahkan tulang belulang kemungkinan karena terancam longsor atau perluasan kota dan yang terakhir adalah karena mungkin pemakaman bapak/ibu terpisah. Adat memindahkan tulang belulang ini boleh dilakukan kepada seseorang yang meninggal sari matua dan sayur matua.[5]
2.2. Mangongkal Holi Menurut Alkitab
2.2.1. Mangongkal Holi Menurut Perjanjian Lama
Keluaran 13:19 sering sekali dijadikan sebagai landasan teologis diterimanya mangongkal holi. Kisah dalam teks ini adalah mengenai bagaimana umat Israel keluar dari Mesir dan diantara banyaknya orang itu ada orang yang mengusung beban yang sangat berharga, yakni peti mati Yusuf. Sebab sebelum Yusuf meninggal, ia telah berkata kepada saudara-saudaranya: “Tidak lama lagi aku akan mati; tentu Allah akan memperhatikan kamu dan membawa kamu keluar dari negeri ini ke negeri yang telah dijanjikann-Nya dengan bersumpah kepada Abraham, Ishak dan Yakub.” Lalu Yusuf menyuruh anak-anak Israel bersumpah, katanya: “Bahwasanya Allah akan memperhatikan kamu; pada waktu itu kamu harus membawa tulang-tulangku dari sini.” Kemudian matilah Yusuf, berumur seratus sepuluh tahun. Mayatnya dirempah-rempahi, dan ditaruh dalam peti mati di Mesir (Kej. 50:24-26). Tetapi, walaupun Yusuf sudah mati, maka oleh sebab imannya ia berbicara lagi (band. Ibr. 11:4). Seolah-seolah ia berkata: Allah telah memperhatikan kamu seperti kataku, bukan? Tentulah juga ia akan membawa kamu ke negeri yang telah dijanjikan-Nya dengan sumpah kepada Abraham, Ishak dan Yakub; di sanalah aku mau dikuburkan!
Demikianlah mayat Yusuf, yang dibawa orang Israel, selalu mengingatkan tujuan perjalanannya kepada mereka. Mereka diinsafkan, bahwa mereka mempunyai milik pusaka di tanah Kanaan. Dekat Hebron terdapat gua Makhpela yang dibeli Abraham dari orang Het, bersama dengan sebidang ladang, menjadi pekuburan milik. Di sana dikuburkan Sara (Kej. 23:1-20). Di sanalah dikuburkan Abraham (Kej. 25:9-10). Di sana dikuburkan Ishak (Kej. 35:27-20; 49:31). Di sana dikuburkan Ribka (Kej. 49:31). Di sana dikuburkan Lea (Kej. 49:32). Di sana juga dikuburkan Yakub sesuai dengan kehendak-Nya (Kej. 47: 29-31; 49:29-32; 50:1-14). Seolah-olah nenek moyang yang mati itu telah menduduki dan sedang mempertahankan tempat untuk anak-anak mereka serta menunggu-nunggu mreka. Tetapi bidang tanah yang kecil ini belumlah semuanya yang telah menjadi milik orang Israel di tanah Kanaan. Di bagian Utara, Yakub telah membeli dari anak-anak Hemor tanah milik. Itulah tempat yang akan menjadi tempat kuburan Yusuf.  Sebab sesudah perebutan negeri Kanaan, bidang tanah ini akan diperuntukkan bagi keturunan Yusuf, dan mereka akan menguburkan mayat neneknya di sana, di tengah-tengah mereka (Kej. 33:18-20; Yos. 24:32). Demikianlah akan sampai pengharapan Yusuf (ay. 19).[6]
2.2.2. Mangongkal Holi Menurut Perjanjian Baru
Penulis tidak menemukan pandangan secara jelas tentang mangongkal holi dalam Perjanjian Baru. Namun mengenai memperingati orang mati dapat ditemukan di dalamnya. Sampai sekarang dalam tradisi reformasi, memperingati orang mati adalah disertai seruan untuk mengingat kematian sendiri dan pengadilan oleh Allah dengan memandang kepada hari pengadilan terakhir. Sebaliknya sekarang yang perlu ialah menyelidiki apa yang dikatakan oleh Perjanjian Baru tentang orang-orang mati di dalam Kristus. Dalam hal ini patut diperhatikan bahwa ucapan-ucapan PB tentang orang mati tidaklah memberi gambaran yang menyeluruh karena PB pada hakikatnya berfokus pada kehidupan.
Hubungan dengan Kristus tidak diputuskan oleh kematian, melainkan bertahan lebih lama. Ucapan-ucapan yang paling penting terdapat dalam perkataan Yesus kepada penjahat di kayu salib (Luk. 23:43), dalam 1 Yohanes 3:2, dan pada Paulus yang dalam 1 Korintus 15:18, berbicara tentang orang-orang yang ‘tertidur’ (terj. Baru: mati) di dalam Kristus dan dalam 1 Tesalonika 4:16, tentang orang-orang mati di dalam Kristus. Secara khusus, 2 Korintus 5:1-10 menunjukkan bahwa orang-orang mati itu berada ‘dalam suatu kedekatan yang khusus kepada Kristus’. Malahan ayat 8 rupa-rupanya menyatakan bahwa kematian orang Kristen, yang manusia batiniahnya telah dipenuhi oleh Roh Kudus, mendekatkan mereka kepada Kristus. Dengan demikian kematian itu berarti keuntungan, bukan kerugian (Flp. 1:21), hal itu akan membuat persekutuan menjadi lebih erat bukan membuatnya menjadi lebih renggang. Lihat Filipi 1:23 di mana yang dimaksud ialah suatu persekutuan orang-orang Kristen yang sudah mati dengan Tuhan mereka yang ditinggikan itu. [7]
2.3. Tinjauan Dogmatis mengenai Mangongkal Holi
Ritual atau kebudayaan mangongkal holi ini memiliki kesamaan dengan gejala-gejala tertentu dalam Gereja Lama. Sebagaimana dalam gereja-gereja di Batak, demikian juga dalam Gereja Lama di wilayah sekitar Laut Tengah upacara-upacara makam dan upacara-upacara untuk orang mati merupakan suatu titik yang sangat penting, yakni titik pertemuan dan pergumulan dengan agama-agama dan ibadat-ibadat, yang di tengah-tengahnya mereka percaya dan mengaku percaya. Tetapi berbeda dengan Gereja Lama, gereja pada zaman sekarang melakukan ibadat atau acara yang berkaitan dengan orang mati ini ditentukan oleh hubungan genealogis.
Perlu diperhatikan bahwa di sekitar upacara-upacara peralihan untuk peristiwa kematian itulah manusia mudah terpengaruh dan juga sangat rela menerima sokongan bagi keberagamaannya yang kodrati. Oleh sebab itu perlu untu merumuskan bagaimana orang Kristen dapat bergaul secara Kristen dengan orang-orang mati mereka. Pertalian alamiah dalam keanggotaan suku dan marga tidaklah membedakan mereka ini, pun dalam maut. Mereka beristirahat bersama-sama dalam kuburan-kuburan keluarga dan rumah-rumahan penyimpanan tulang-tulang. Dalam persekutuan nenek moyang tidaklah muncul pembedaan yang nyata.
Secara positif haruslah pertama-tama ditunjukkan di sini, bahwa sebagaimana keanggotaan dalam tubuh Kristus mengalahkan kematian, yaitu tidak diremukkan oleh kematian, demikianlah juga keanggotan suatu golongan orang-orang percaya tidak dihancurkan oleh kematian. Hubungan horizontal orang-orang hidup dengan orang-orang mati dalam Kristus berlangsung karena keanggotaan mereka dalam tubuh Kristus dan hanya dalam, dengan, dan melalui Kristus.[8]

2.4. Pandangan GKPS mengenai Mangongkal Holi
Pembaruan tata cara pemakaman telah dilakukan GKPS sejak 1980. Pembaharuan ini didasarkan pada pemahaman bahwa tata cara pemakaman adalah bagian dari pemberitaan firman dan pengajaran Kristen sehingga jemaat dituntun kepada pemahaman yang benar tentang arti kematian dan pemakaman.
Persoalan berikut yang dihadapi GKPS di sekitar pemakaman adalah menyangkut kebiasaan mangongkal holi (memindahkan tulang-belulang) dari tempat lama ke tempat baru (biasanya tempat baru yang dibangun memakan biaya yang tidak sedikit). Apakah Alkitab membenarkan kegiatan seperti itu? Bagi mereka yang menerima biasanya mengacu kepada Musa yang membawa tulang-tulang Yusuf dari Mesir ke Tanah Kanaan (Kel. 13:19). Masalah kemudian muncul ketika pengerja jemaat melihat bahwa kegiatan mangokal holi itu sarat dengan ritual agama lama. Mau tak mau GKPS harus menentukan sikapnya terhadap kegiatan ini. Akhirnya GKPS merumuskan pemikiran theologisnya bahwa tulang-tulang orang meninggal juga berharga bagi Tuhan. Dalam pemahaman seperti itu dapatlah diterima kegiatan mangongkal holi dengan catatan; kegiatan itu dipahami sekedar memindahkan tempat makam tanpa melakukan ritual agama lain.[9]
2.5. Tinjauan Dogmatis tentang Mangongkal Holi diperhadapkan dengan Hukum Dekalog ke-5
Gereja memang menolak penyembahan orang mati, tetapi tidak boleh serta-merta mengutuk praktik-praktik penghormatan kepada si mati. Kita tidak boleh sekedar melihat pada wujud yang kelihatan, melainkan juga pada motivasi dari praktik itu sebelum mengambil sikap.
Praktik-praktik tadi umumnya didasari atas penghormatan dan cinta kasih terhadap jasad orang mati dengan perasaan hormat. Pertama, Alkitab mengajarkan bahwa tubuh yang dibentuk Allah adalah baik. Ia memiliki nilai dan kudus karena merupakan tiruan dari Allah (menurut gambar Allah). Juga pada saat mati tubuh itu tetap berharga. Pada parousia nanti Allah akan membangkitkan kembali tubuh itu untu diberi mahkota kehidupan. Pantaslah kalau si mati diperlakukan secara hormat dan layak.
Kedua, keyakinan akan kehidupan kekal yang diberikan Allah kepada manusia. Kehidupan kekal itu bukan sesuatu yang baru akan diterima pada parusia, atau ketika seseorang meninggal dunia, tetapi sudah mulai menjadi milik manusia semasa hidup, yakni saat memberi diri kepada Yesus Kristus. Seseorang mati tetapi sesungguhnya ia hidup (Yoh. 11:25).
Kedua hal di atas tidak bertolak belakang dengan iman Kristen. Para leluhur Israel yang oleh Alkitab disebut sebagai teladan iman (Ibr. 11) juga memperlakukan dengan baik kekasih mereka yang sudah mati. Abraham membangun makam bagi Sarah istrinya (Kej. 23:17-20). Dia juga berpesan kepada Ishak agar kelak dia juga dimakamkan di sana. Yakub bahkan bukan hanya memakamkam Rahel secara baik. Ia bahkan mendirikan sebuah tugu di makam Rahel sebagai tanda cinta kasih dan hormat (Kej. 35:20). Makam-makam itu masih ada sampai hari ini, tentu saja karena dirawat dan dipelihara sebagai ingatan dan penghormatan akan keteladanan iman mereka.
Penghormatan kepada si mati dan mengenang kebaikan dan jasa-jasanya bukan dosa. Itu bahkan perlu dalam rangka menghidupkan teladan yang mereka tunjukkan dalam kita. Paul Budi Kleden menulis dengan sangat indah tentang hal ini, “Kita tidak menghormati nenek moyang hanya karena mereka adalah nenek moyang, namun karena mereka menjadi tanda historis dari kasih Allah yang berdaya menghidupkan dan menyembuhkan”.
Dalam Keluaran 20:12 Allah memerintahkan Israel demikian, “Hormatilah ayah dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN Allahmu, kepadamu.” Tentang firman ini, J. Verkuyl mengatakan, “Tuhan juga meminta kita supaya kita memperingati dengan hormat mereka yang telah meninggal dunia. Tuhan mengkehendaki supaya kita memperingati dengan hormat dan berterimakasih atas segala kebaikan yang telah kita terima dari mereka yang sudah mendahului kita ke alam baka (Ibr. 11 dan 12:1, 2).
Kita perlu menghormati bukan memperilah para leluhur. Demi menjaga agar cinta dan hormat itu tidak berubah menjadi penyembahan, Gereja perlu mendorong warganya agar menaruh praktik itu dalam bingkai pengharapan akan kebangkitan dan pertemuan kembali pada saat kedatangan kembali Yesus Kristus. Lebih jauh dari itu, gereja juga perlu membimbing jemaat agar menunjukkan cinta dan hormat kepada orangtua dan saudara bukan hanya pada saat dia sudah mati. Adalah lebih berguna jika cinta dan hormat itu sudah dinyatakan kepada seseorang ketika yang bersangkutan hidup. Cinta dan hormat yang ditunjukkan kepada seseorang setelah dia meninggal dengan cara membawakan makanan dan minuman, makam yang dimetzel tidak memberi nilai tambah apa pun kepada si mati. Arwah tidak makan dan minum, tidak membutuhkan ritus dan upacara yang high cost, juga tidak membutuhkan kuburan dan rumah. Si mati dipelihara dengan lebih baik oleh Allah. Alangkah baiknya, jika semua pengorbanan itu diberika ketika mereka masih hidup, sebagaimana yang dilakukan oleh seorang perempuan yang meminyaki kaki Yesus dengan minyak narwastu.
Jadi, menolak memimpin ibadah syukuran berhubungan dengan ulang tahun kematian, mengutuk kebiasaan mengunjungi makam, dan merawat makam itu bukan merupakan sikap yang bijak. Kita cenderung mengharapkan hasil yang segera sehingga menyangka sikap penolakan itu akan membuat praktik-praktik tadi akan segera punah. Tidak! Yang terjadi justru yang sebaliknya. Makin dilarang dan dikutuk, ia justru makin bertambah subur, malah makin akan dikuasai oleh praktik penyembahan.
Yang perlu gereja buat adalah mendampingi jemaatnya dengan setia sambil memberi pemahaman yang benar melalui pengajaran dan khotbah, juga pada saat-saat mereka melakukan ritus-ritus yang dimaksud. Perubahan pola pikir dan sikap dari penyembahan kepada penghormatan kepada si mati memerlukan waktu dan kesabaran. Allah yang berkuasa untuk membaharui pola pikir dan pola tingkah laku. Tugas kita ialah ambil bagian dalam proses ke arah itu.
Seperti apakah bentuk-bentuk pendampingan itu? Para pejabat gereja perlu memikirkan ibadah-ibadah kreatif yang dilangsungkan pada momen-momen yang memiliki makna tersendiri dalam kehidupan jemaat atau keluarga yang berduka. Ibadah berjemaat di tempat-tempat pemakaman umum pada saat-saat menjelang hari raya gerejawi bisa menjadi salah satu bentuk pendampingan. Dalam ibadah itu pemberitaan firman disampaikan untuk membuat jemaat membongkar paham-paham dari agama suku tentang penyembahan orang mati untuk digantikan dengan penghormatan kepada nilai-nilai hidup yang diteladankan si mati.[10]


III. Kesimpulan
Upacara mangongkal holi merupakan upacara adat menggali tulang-belulang, orang tua (leluhur) yang sudah meninggal dan memindahkannya ke tempat peristirahatan mereka yang lebih baik. Penghormatan kepada si mati dan mengenang kebaikan dan jasa-jasanya bukan dosa. Itu bahkan perlu dalam rangka menghidupkan teladan yang mereka tunjukkan dalam kita. Tentunya semua ini harus dilakukan dalam iman kepada Yesus Kristus. Meski demikian, perlulah diingat bahwa, menghormati orangtua jauh lebih baik ketika mereka masih hidup, karena cinta dan hormat yang ditunjukkan kepada seseorang setelah dia meninggal dengan cara membawakan makanan dan minuman, makam yang dimetzel tidak memberi nilai tambah apa pun kepada orang yang sudah meninggal itu.

IV. Daftar Pustaka
Sumber Buku
Damanik, Jan J., Dari Ilah Menuju Allah, Yogyakarta: ANDI, 2012
Schreiner, Lothar, Adat dan Injil, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003
Sitompul, A. A., Manusia dan Budaya, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997
Timo, Ebenhaizer I. Nuban, Allah Menahan Diri, Tetapi Pantang Berdiam Diri, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016
Purba, D. Kenan, Adat Istiadat Simalungun Pematang Siantar: Bina Budaya Simalungun, 1997
Rosin, H., Tafsiran Alkitab: Kitab Keluaran Pasal 1-15:21, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002
Sumber Lain
Tata Gereja GKPS
Wawancara dengan Flora Damaris Saragih, 12 Mei 2019, pukul 11.45 WIB, di Gereja GKPS Berastagi




[1] Wawancara dengan Flora Damaris Saragih, 12 Mei 2019, pukul 11.45 WIB, di Gereja GKPS Berastagi
[2] A. A. Sitompul, Manusia dan Budaya, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 260
 [3] Lothar Schreiner, Adat dan Injil, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 193
[4] Lothar Schreiner, Adat dan Injil, 174
[5] D. Kenan Purba, Adat Istiadat Simalungun (Pematang Siantar: Bina Budaya Simalungun, 1997), 130
[6] H. Rosin, Tafsiran Alkitab: Kitab Keluaran Pasal 1-15:21, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), 190-191
[7] Lothar Schreiner, Adat dan Injil, 198-199
[8] Lothar Schreiner, Adat dan Injil, 196-206
[9] Jan J. Damanik, Dari Ilah Menuju Allah, (Yogyakarta: ANDI, 2012), 389-391
[10] Ebenhaizer I. Nuban Timo, Allah Menahan Diri, Tetapi Pantang Berdiam Diri, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 412-415