Makalah TEOLOGI SISTEMATIKA DAN KONTEKSTUALISASI TEOLOGI


TEOLOGI SISTEMATIKA
DAN
KONTEKSTUALISASI TEOLOGI
I.                   Pendahuluan
Teologi sistematika menghubungkan data tentenag penyataan Alkitab secara menyeluruh untuk menunjukan gambaran total mengenai penyataan Allah secara sistematis. Sebab teologi sistematis merupakan sajian yang teratur dari hasil penelitian teologi. Teologi sistematis ini juga berhubungan dengan kontekstualisasi teologi dimana kontekstualisasi adalah usaha menempatkan sesuatu dalam konteksnya, sehingga tidak asing lagi, tetapi terjalin dan menyatu dengan keseluruhan seperti benang dalam tekstil. Dalam sajian ini akan menjelaskan apa itu kontekstualisasi dalam teologi. Semoga sajian ini dapat menambah wawasan kita semua.

II.                Pembahasan
2.1. Pengertian Teologi
Istilah “Theologi” berasal dari dua akar kata dalam bahasa Yunani, theo yang berarti “Allah” dan logos berarti perkataan, pikiran, percakapan. Dengan demikian ”Theologi” adalah berfikir atau berbicara tentang Allah. Kalau dikatakan bahwa Teologi adalah berbicara tentang Allah dapat berarti bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang dapat kita kerjakan dalam kesendirian kita.[1]
2.2.Pengertian Sistematika
Menurut KBBI, sistematika adalah susunan aturan mengenai suatu sistem yang teratur dengan baik. Istilah sistematika sehubungan dengan kata “sistem” sebagai perangkat teratur dan saling berkaitan sehingga membentuk totalitas.[2] Sistematis berasal dari kata Sistematikos yang artinya adalah penempatan dan penyusunan yang baik dan tepat.[3]

2.3. Pengertian Teologi Sistematika
 Teologi Sistematika adalah usaha untuk menjelaskan ajaran-ajaran Kristiani yang pokok secara koheren dan ilmiah. Teologi sistematika menjelaskan hubungan iman kriten dengan dunia dan kebudayaan manusia atau orang kristen sehingga makna firnan Allah (wahyu  Allah) dapat dipahami di tengah-tengah panggilan hidup sebagai orang percaya. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa teologi sistematika adalah suatu usaha yang bertujuan agar kita mengetahui apa yang kita percayai tentenag keseluruhan iman kristen yang dinyatakan di dalam Alkitab dengen mengumpulkan, membahas pengertian semua Alkitab (semua pengajaran Alkitab) dengan pengajaran secara metodis, sistematis dan bertalian[4]

2.4. Pengertian Kontekstualisasi
Kontekstualisasi adalah usaha menempatkan sesuatu dalam konteksnya, sehingga tidak asing lagi, tetapi terjalin dan menyatu dengan keseluruhan seperti benang dalam tekstil. Dalam hal ini tidak hanya tradisi kebudayaan yang menentukan tetapi situasi dan kondisi sosial pun turut berbicara.[5] Konteks aritnya cara dan keadaan. Cara ialah usaha manusia untuk hidup lebih baik dan kita sering menyebutnya dengan istilah budaya.[6]

2.5.Pengertian Kontekstualisasi Teologi[7]
Konteks aritnya cara dan keadaan. Cara ialah usaha manusia untuk hidup lebih baik dan kita sering menyebutnya dengan istilah budaya. Berteologi ialah cara atau budaya untuk mnegeksipresikan imannya baik dalam bentuk rumusan, sikap, maupun tindakan. Teologi adalah perpaduan teks, yaitu kitab suci dan konteks yaitu cara atau keadaan. Dengan demikian, yang konteks berteologi adalah cara atau budaya dan keadaan orang percaya yang dipakai untuk mendekati atau memahami teks kitab suci.

2.6. Prinsip Kontekstualisasi Teologi Menurut Alkitab[8]
2.6.1.      Pernjanjian Lama
1.      Kontekstualisasi dimulai dari Allah yang berinkarnasi lewat firmann-Nya.
2.      Kontekstualisasi dinyatakan dalam konteks budaya total dari suatu masyarakat yang berkembang oleh kreatifitas manusia.
3.      Refleksi teologi dinyatakan lewat filter budaya dan akan seimbang dengan pemahaman/penerimaan yang dalam kenyataan terbungkus oleh kebudayaan
4.      Bentuk, arti, dan fungsi elemen budaya yang digunakan secara selektif untuk mengekspresikan firman yang berinkarnasi dan refleksi penghayatan Firman dari orang dalam (emic).
5.      Bentuk, arti dan fungsi elemen budaya yang digunakan selali bersifat kontemporer, aktual, dan familier dalam suatu konteks budaya pada suatu era sejarah tertentu sehingga secara jelas dan langsung bersifat konunikatif seta menjawab kebutuhan peserta budaya dari konteks tersebut.
6.      Kontekstualisasi yang benar akan membawa perubahan yang berinkarnasi itu menjadi bagian budaya dimaksud dan secara mekanis beroprasi di dalam kerangka hidup budaya tersebut.
7.      Unsur-unsur yang selalu tampak dalam kontekstualisasi ialah penyataan diri Allah, transformasi, dan penghayatan pernjanjian berkat Allah yang merefleksikan diri perspektif emic.

2.6.2.      Perjanjian Baru
1.      Inkarnasi Yesus Kristus dalam konteks Hebraic yang sudah utuh menjelaskan bahwa inkarnasi Injil ke dalam konteks suatu budaya haruslah penuh, sebagai dasar kontekstualisasi.
2.      Inkarnasi injil dalam konteks haruslah membawa transformasi sebagai dasar penting keabsahan kontekstualisasi.
3.      Konsep kenotis Yesus Kristus memberi dasar moral bagi setiap pemberitaan injil untuk mengambil sikap hamba/mengosongkan diri agar dapat berkontekstualisasi dengan baik (memberi tempat bagi orang lain).
4.      Sikap determinasi kontekstual harus didukung oleh sikap etika kontekstualisasi yang alkitabiah kepada konteks dan refleksi iman yang kontekstuali alkitabiah pula.
5.      Sikap determinasi pendekatan kontekstual memberi peluang kepada usaha pendekatan diri kepada konteks yang kontekstual yang akhirnya mencipta transformasi dan refleksi yang kontekstual pula dari dalam konteks dimana injil diberitakan.

2.7. Model-model Pendekatan Kontekstualisasi[9]
1.      Model Akomodasi (Kisah Para Rasul 17:28)
Akomodasi adalah sikap menghargai dan terbuka terhadap kebudayaan asli yang dilakukan dalam sikap, kelakuan, dan pedekatan praktis dalam tugas misionaris yang baik secara teologi maupun secara ilmiah. Obyek akomodasi  adalah kehidupan budaya yang menyeluruh dari suatu bangsa  baik dari segi fisik, sosial, maupun ideal.
2.      Model Adaptasi
Perbedaan adaptasi dan akomodasi terletak pada cara pendekatannya. Model adaptasi tidak menghasilkan unsur budaya dalam mengekspresikan Injil, tetapi menggunakan bentuk dan ide logos untuk menjelaskan kebenaran penjelmaan/inkarnasi (Yohanes 1) dan Paulus menggunakan konsep rahasia (II Kor 3:18)
Tujuan adaptasi ialah mengeskpresikan dan menerjemahkan injil dalam istilah setempat (indigenous terms) sehingga menjadi relevan dalam situasi budaya tersebut.
3.      Model Prossesio
Prossesio adalah sikap yang menaggapi kebudayaan sevara negatif. Proses prossesio terjadi melalui kebudayaan sebagai sesuatu yang sudah rusak oleh dosa dan tidak ada kebaikan yang muncul dari dalamnya.
4.      Model Transformasi
Allah itu di atas budaya, dan melalui budaya itu pula Allah menggunakan elemen- elemen kebudayaan untuk berinteraksi dengan manusia. Bila seseorang dibaharui Allah, maka inti kebudayaannya juga dibaharui (II Kor 5:17).

5.      Model Dialektik
Ini adalah interaksi dinamis antara teks dengan konteks. Konsep ini didukung oleh perkiraan yang kuat bahwa perubahan pasti ada dalam kebudayaan. Untuk setiap kurun waktu perubahan itu terjadi secara dinamis. Dengan demikian gereja harus menggunakan peran kenabiannya untuk menganalisis, menginterpretasi, dan menilai setiap keadaan.

2.8. Ciri-ciri Kontekstualisasi
1.      Bersifat dinamis
2.      Berorientasi pada masa depan
3.      Proses aksi (memahami budaya) dan refleksi (menanggapi injil)
4.      Dapat berakibat sinkretisme[10]

2.9. Hubungan Teologi Sistematika dan Kontekstualisasi Teologi
        Hubungan Teologi dan Sistematika dan Kontekstualisasi Teologi adalah bahwasanya Teologi sistematis sebagai dasarnnya dan juga memberikan arah terhadap Kontekstualisasi Teologi. Disamping itu juga teologi tidak hanya berupa teori tetapi juga harus di praktekkan atau di kontekstualisasikan secara sistematis. Dalam Teologi Kontekstualisasi secara sistematis ini haruslah memiliki pendekatan dalam penerapannya sehingga tersampailah Kontekstualisasi berteologinya. Teologi kontekstualisasi juga menekankan bahwa teologi Kontekstualisasi bukanlah antitesis terhadap (yang bersumber dari konteks lain), tetapi lebih cenderung berfungsi menolong untuk berteologi yang tepat pada tempat pijakan pemberian anugerah dimana individu Kristen dan gereja ada dan berada. Teologi Kontekstualisasi menekankan bagaimana seharusnya orang Kristen berteologi dan berkonteks, yaitu konteks budaya, sosial, ekonimi, politik, dan geografi.[11]

III.             Kesimpulan
Teologi Sistematika saling berhubungan dengan Kontekstualisasi Teologi, karena didalam Teologi sistematika itu merupakan proses ataupun teori-teori yang disampaikan dengan sistematika sehingga dibutuhkanlah Kontekstualisasi Teologinya yaitu mempraktekkan Teologi secara sistematis ataupun secara tersusun. Teologi Kontekstualisasi menekankan bagaimana seharusnya setiap orang kristen berteologi dalam konteks. Teologi kontekstualisasi juga bukanlah antitesis terhadap teologi transplantasi (yang bersumber dari konteks lain), tetapi cenderung berfungsi menolong untuk berteologi yang tepat pada tempat pijakan pemberian anugerah dimana individu Kristen dan gereja ada dan berada
IV.             Daftar Pustaka
....KBBI. Jakarta, BPK-GM, 1996.
Avis, Paul .Ambang Pintu Teologi. Jakarta: BPK-GM, 1991.
B.F. Drewes & Julianus Monjau, Apa itu Teologi.Jakarta: BPK-GM, 2010.      
Gerald dan Farugia, Edward G.  Kamus Teologi.Jakarta: BPK-GM, 2013.       
Rachman, Rasid. Pengantar Sejarah Liturgi.Tangggerang: Bintang Fajar, 1999
Suranta Ginting, Edi. Konteks Berteologi. Bandung: Sekolah Tinggi Alkitab Tiranus, 2012.
Tomatala, Y.  Teologi Kontekstual. Malang: Gandum Mas, 2007.



[1]Paul Avis, Ambang Pintu Teologi, (Jakarta: BPK-GM, 1991), 2.
[2]....KBBI, (Jakarta, BPK-GM, 1996).
[3]B.F. Drewes & Julianus Monjau, Apa itu Teologi, (Jakarta: BPK-GM, 2010), 87.              
[4]Gerald dan Edward G. Farugia, Kamus Teologi, (Jakarta: BPK-GM, 2013), 327.               
[5] Rasid Rachman, Pengantar Sejarah Liturgi, (Tangggerang: Bintang Fajar, 1999), 122.
[6] Edi Suranta Ginting, Konteks Berteologi, (Bandung: Sekolah Tinggi Alkitab Tiranus, 2012), 13.

[7]ibid .    
[8] DR. Y. Tomatala, D. Miss, Pengantar Teologi Kontekstualisasi, (Jawa Timur: Gandum Mas, 2007),  18 & 31.
[9]  Ibid, 77.                             
[10]  Y. Tomatala, Teologi Kontekstual, ( Malang: Gandum Mas, 2007),9.
[11] Ibid, 92.