Perjamuan Kudus bagi Kaum Difabel


PERJAMUAN KUDUS BAGI KAUM DIFABEL

I.                   Latar Belakang masalah
Pengertian Difabel Dan Disabilitas secara umum adalah sama yaitu sebutan bagi orang yang memiliki kemampuan fisik dan mental yang tidak normal sebagaimana layaknya orang normal. Namun penggunaan istilah difabel dan disabiltas menimbulkan pro kontra baik di Indonesia maupun di dunia internasional. Pengertian Difabel adalah sebutan bagi orang yang memiliki perbedaan kemampuan secara normal atau layak. Kata difabel merupakan akronim dari different abilities people (yang kemudian di Indonesia-kan menjadi difabel) digunakan dengan tujuan untuk memperhalus kata-kata atau sebutan bagi seluruh penyandang cacat sebagai pengganti dari kata cacat(ada beberapa jenis kecacatan yang disebut sebagai difabel, sehingga penulis membuat batasan kecacatan difabel tersebut yang akan penulis bahas yaitu kecacatan mental akibat gangguan perkembangan otak atau yang sering disebut sebagai Autis). Dalam dewasa ini gereja terlihat tertutup atau kurang peduli terhadap kaum difabel, yang dimana meskipun jemaatnya ada mengalami difabel gereja hanya diam tanpa melakukan apapun atau gereja tidak memberikan pelayan kepada kaum difabel seperti pelayanan kepada jemaat lainnya. Karena ketertutupan gereja akan kaum difabel  mengakibatkan  sangat jarang kaum difabel yang mengikuti kegiatan-kegiatan gereja.
Penyeminar melihat bahwa kaum difabel adalah juga ciptaan Tuhan sehingga kaum difabel berhak untuk mendapatkan pelayanan dari gereja terkhusus pelayanan perjamuan kudus, tetapi penyeminar masih melihat gereja terutup terhadap kaum difabel tersebut. sehingga penyeminar mencari tahu dengan membagikat angket sebanyak 30 lbr di isi dengan pertanyaan-pertanyaan khusus. Setelah penyeminar menganalisa jawaban terhadap angket dan wawancara kepada 3 orang jemaat dan 1 orang pendeta, maka penyeminar dapat menentukan beberapa latar belakang masalah,yaitu:
1.      Kaum difabel tidak dapat melakukan perjamuan kudus Diakibatkan peraturan Gereja bahwa orang yang mengikuti sakramen perjamuan kudus adalah orang yang sudah melakukan angkat sidi.[1]
2.      Gereja belum memberikan hatinya kepada kaum difabel (autis) sehingga gereja masih mengabaikan kaum difabel.[2]
3.      Kaum difabel tidak bisa melakukan apa-apa karena tidak adanya pelayanan gereja secara khusus. Bagaimana mereka (kaum difabel) melakukan perjamuan kudus sedangkan gereja tidak pernah memberi pengajaran agar mereka dapat melaksanakan angkat sidi dan mendapatkan perjamuan kudus.[3]
4.      Seolah-olah Gereja mengabaikan atau tidak memperdulikan orang disability atau difabel padahal pada prinsipnya mereka juga adalah sama seperti kita, tapi seolah-olah Gereja “mengabaikan” mereka. Secara umum GKPPD belum pernah melayani kaum difabel.[4]
Dalam hal ini penyeminar melihat menjadi masalah adalah:
1.      Gereja membuat aturan bahwa yang menjadi tolak ukur untuk bisa menjadi peserta perjamuan kudus adalah Angkat sidi tetapi gereja tidak memberikan pengajaran yang khusus bagi kaum difabel agar bisa melakukan hal tersebut.
2.      kaum difabel dianggap sebagai kaum yang minoritas sehingga Gereja masih mengabaikannya.
3.      jemaat menganggap bahwa kaum difabel sama halnya dengan jemaat yang lain, yeng membutuhkan pelayanan. Tetapi gereja tidak pernah memberikan pelayan kepada kaum difabel terkhusus dalam perjamuan kudus.

II.                Pembahasan
2.1  Pengertian Disabilitas dan Difabel                                                
  Pengistilahan bagi orang-orang cacat telah banyak digunakan pada perkembangannya kata cacat, kecacatan, penyandang cacat mengalami penghalusan kata. Penghalusan kata yang dilakukan dengan penggunaan kata Tuna bagi penyandang cacat. Kata disabilitas merupakan kata serapan dari kata Ingris yaitu disability yang berarti ketidakmampuan. Disability merupakan istilah bagi penyandang cacat atau suatu bentuk ketidakmampuan.[5]Disability berasal dari kata dis dan ability. Kata dis menunjukan kata ke-tidak atau hilang atau juga kesalahan. Sedangkan ability adalah kemampuan. Dari pengertian ini disability diartikan sebagai ketidak mampuan atau kehilangan kemampuan. Penyebutan lain yang digunakan bagi penyandang cacat adalah impairment, handicap, dan difabel. Sedangkan kata difabel merupakan singkatan dari differently abled, yang berarti kemampuan yang berbeda. Istilah bagi penyandang cacat terus mengalami perubahan sampai kepada penggunaan kata difabel yang artinya kemampuan yang berbeda. Perubahan penyebutan ini merupakan salah satu upaya untuk merekonstruksi pandangan, pemahaman dan persepsi masyarakat pada orang-orang difabel yang merupakan seorang yang tidak normal.[6]
2.1.1        Pandangan Alkitab tentang Disabilitas dan Difabel
Istilah disability adalah istilah modern yang tidak mempunyai kesejajaran dengan bahasa kuno seperti Ibrani dan Yunani di alkitab. Dialkitab kita membaca tentang orang yang buta. Tuli, lumpuh dan juga orang yang luka semuanya pada zaman sekarang kita sebut orang yang difabel, dan orang yang mempunyai kelainan mental disebut difabel. Jadi, istilah difabel adalah istilah modern yang dibangun atas pengertian modern terhadap orang-orang difabel sebagai kelompok orang yang membutuhkan kebutuhan khusus oleh karena perbedaan fungsi fisik atau mental.[7] Dari sudut pandang alkitab setiap orang tanpa terkecuali (termasuk penyandang difabel) adalah gambar dan citra Allah. Maka segala kekurangan yang terdapat dalam diri manusia, bukanlah penghalang bagi mereka untuk menjadi gambar dan rupa Allah yang seutuhnya. Gereja seharusnya menerapkan konsep Alkitab ini dalam memandang manusia sebagai gambar dan citra Allah seutuhnya. Gereja seharusnya menerapkan konsep Alkitab ini dalam memandang manusia sebagai gambar dan citra Allah: baik cacat atau sehat, miskin atau kaya, sama sama dapat menjadi penatalayan di bumi untuk mendukung kehidupan menjadi lebih baik. Maka segala bentuk diskriminasi terhadap orang cacat tentu sangatlah menyakitkan hati Tuhan sebagai pencipta karena perbuatan itu berarti merusak gambar dan rupa Allah. Tubuh manusia dengan segala keberadaan dan keterbatasannya tidak dianggap sebagai penghalang hubungannya dengan Allah, hubungan manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam sekitar.[8] Adalah sesuatu yang cukup sulit untuk setuju tentang apa yang alkitab sebutkan mengenai disability. Orang yang disability pada prinsipnya tidak mengharapkan simpati atau belaskasihan karena yang mereka harapkan adalah kesempatan yang sama sebagaimana orang lain miliki. Mereka tidak rela untuk diperlakukan berbeda. Pada zaman alkitabiah mereka yang disability jarang sekali berfungsi sepenuhnya sebagai anggota masyarakat. Pertemuan Yesus sendiri dengan orang yang disability selalu ditandai dengan belas kasihan dan kemudian menyembuhkannya. Injil Markus mencatatnya, dalam Markus 1:41. Sikap ini mendukung model penyembuhan karena seorang yang disability mempunyai kekurangan dan perlu bantuan.[9] Dalam Alkitab ibrani tidak terdapat istilah paralel dari kata difabel secara tepat, hanya saja kata cacat jasmani atau ketidak mampuan yang mengarah kepada kelompok ini dalam Perjanjian Lama diartikan sebagai defects.[10] Dalam Perjanjian Lama, difabel dialami sebagai tanda kelemahan dan sekaligus dipahami sebagai sesuatu yang terikat dengan dosa. Perjanjian Lama terlihat bersikap diskriminasi terhadap penyandang difabel dengan menyebut bahwa mereka tidak dapat mengikuti kelompok imam (Imamat 21:17-21). Orang cacat, sakit, kerasukan roh jahat dianggap tidak mengambil bagian dalam berkat Allah perjanjian Allah umat Israel, (Imamat 21:18-20, Ulangan 23:1-2, Imamat 20:27 ; 13:45-46).[11] Dengan demikian pada konteks Perjanjian Lama, orang Cacat selalu didiagnosa serta diawali dengan pernyataan apa dan siapa yang berdosa, Difabel merupakan hukuman atas perbuatan yang salah atau berdosa kepada Allah.[12] Perjanjian Baru menyebutkan disability itu antara lain adalah, orang tuli yang tidak mampu berbicara dan mendengar (Markus 7:23), dan ada juga yang tuli untuk sementara (Lukas 1:20). Lumpuh adalah istilah umum bagi tubuh yang lemah dan cacat (Johannes 5:5 ; 1Timotius 5:23), sakit lepros atau kusta merupakan sakit kulit yang sangat ditakuti oleh orang-orang di zaman Alkitab karena mereka akan diisolasi disituasi tertentu (Lukas 5:18), ada juga orang yang mati sebelah tangannya (Matius 12:10). Orang pada zaman Alkitab menghubungkan kebajikan dengan kebaikan fisik. Pandanga umum terhadap disability adalah bahwa penyakit dikirim Allah sebagai hukuman karena dosa (Ulangan 32:39 ; John 9:2). Beberapa dari disability itu juga diyakini akibat kerasukan roh (Markus 9:17). Tetapi memang Yesus datang membawa kerajaan Allah sehingga orang yang disability diterima dan bisa disembuhkan.[13] Kecacatan pada seseorang rentan sekali dihubungkan dengan dosa. Kata umum untuk dosa ialah Hamartia yang hampir selalu dipakai dalam bentuk tunggal, dan biasanya berarti dalam keadaan berdosa. orang-orang farisi dengan pengertian yang sangat meragukan, yang ditimbulkan dari pandangan bahwa kebutaan secara langsung diakibatkan oleh dosa.[14] Rasul Petrus dalam suratnya menyebutkan tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitahukan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terangNya yang ajaib, kamu yang dahulu bukan umat Allah, tetapi yang sekarang telah menjadi umatNya, yang dahulu tidak dikasihani tetapi yang sekarang telah beroleh belaskasihan (I Petrus 2:9-10). Ungkapan ini merupakan pandangan yang membangun gambar diri positif penyandang cacat mental juga manusia normal.[15]Jika kita mendalami akan gejolak dalam batin, maka sesungguhnya gambari diri mereka adalah sebuah penderitaan yang terpatri sedemikian rupa dalam hidup, karena kecacatan itu akan disandang seumur hidup, sebuah gelar yang belum tentu semua orang dapat menyandangnya. Yang perlu dipahami adalah apa arti dan makna yang terkandung dalam penderitaan sehingga dapat mengerti bahwa penderitaan merupakan salah satu alat yang Allah guakan untuk membuat kita lebih peka dan mencapai tujuanNya dalam kehidupan kita. Dalam pemahaman yang lebih mendalam yaitu pada rencana Allah, penderitaan adalah sesuatu yang menuntut manusia supaya berfikir positif. Penderitaan dimaknai pada tujuan utamanya agar terbentuk sikap-sikap Kristus dalam diri seseorang (Roma 8:28-29).[16]
2.2  Pengertian Sakramen Perjamuan Kudus
dalam  Katekismus  Heidelberg  dijelaskan  bahwa  sakramen adalah  akta-akta  atau  upacara-upacara  yang  ditetapkan  oleh  Allah,  dengan  maksud  untuk berfungsi sebagai tanda-tanda dari janji Allah, yang disampaikan-Nya kepada kita dalam firman-Nya.[17]
            Perjamuan Kudus,Perjamuan Suci,Perjamuan Paskah atau ekaristi (dalam bahasa inggris:Eucharist) adalah suatu ritus yang dipandang oleh kebanyakan gereja dalam kekristenan sebagai suatu sakramen. Menurut beberapa kitab Perjanjian Baru, Ekaristi dilambangkan oleh Yesus Kristus saat perjamuan malam terakhir (Mat 26:26-29; Mrk 14:22-25; Luk 22:14-20).[18] Yesus memberikan roti dan anggur kepada murid-muridNya lalu memerintahkan murid-muridNya dengan berkata “Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” sambil merujuk roti tersebut sebagai “Tubuh-KU” dan anggur tersebut sebagai “Darah-KU” (Luk 2:19).[19] Jadi sakramen Perjamuan Kudus yang berasal dari kata sacer yaitu kudus, adalah segala rahasia yang bersangkutan dengan Tuhan Allah serta pernyataan yaitu melalui upacara-upacara kebaktian. Dan dalam arti spesifik sakramen Perjamuan Kudus merupakan tanda yang kelihatan dari rahmat Allah yang dikaruniakan kepada orang-orang percaya dan tanda ini ditetapkan dan diperintahkan oleh Kristus sendiri.[20]

2.2.1        Arti dan makna Perjamuan Kudus
Menurut  Katekismus  menjelaskan  bahwa  Perjamuan  Kudus  adalah suatu sakramen,  di mana  dengan  memberi  dan  menerima  roti  dan  anggur  sesuai  dengan  ketetapan  Kristus, kematian-Nya diberitakan; dan  orang-orang yang menerimanya dengan cara yang layak, bukan secara jasmaniah atau kedagingan, melainkan melalui iman, dijadikan berbagian di dalam tubuh dan darah-Nya, dengan semua berkat-berkat dari-Nya. Dengan demikian mereka mendapatkan makanan rohani dan bertumbuh dalam anugerah.[21]     
            Pada  masa  reformasi  sakramen  dipandang  sebagai  akomodasi  ilahi  atas  kelemahan manusia.Inilah  yang  dijelaskan  Calvin.Oleh karena mengetahui  kesulitan  kita dalam  menerima firman dan janji-Nya, Allah telah melengkapi firman-Nya dengan tanda-tanda yang dapat dilihat dan  diraba  tentang  anugerah-Nya.         
            Luther  mendefinisikan  sakramen  sebagai  janji-janji dengan tanda-tanda yang dilampirkan kepada mereka atau tanda-tanda ilahi yang ditetapkan  dan janji akan pengampunan  dosa.[22]Sementara Zwingli  melihat  sakramen  sebagai  sumpah atau jaminan di  mana  sakramen  merupakan  jaminan  ketaatan  dan  kesetiaan.  Sakramen  adalah  cara  yang memungkinkan seseorang dapat membuktikan dan mendemonstrasikan kepada gereja tentang imannya.[23]Dari penafsiran akan arti sakramen ini, para reformator menjelaskan teologi mereka mengenai Perjamuan Kudus. Selain arti sakramen, perlu dijelaskan juga tujuan dilaksanakannya sakramen Perjamuan Kudus ialah seperti berikut:            
             Sebagai suatu peringatan akan kehidupan dan kematian Tuhan kita sebagai
            pengorbanan-Nya untuk menggenapkan keadilan-Nya (Luk. 22:19). Di dalam
            Perjamuan Kudus  diproklamasikan fakta  Injil  (1 Kor.  11:26) juga  untuk  
            mempersiapkan diri  pada kedatangan-Nya  kedua  kali  (1  Kor.  11:26).Perjamuan  
            Kudus  mengingatkan  kita  pada kesatuan kita dengan sesama di dalam tubuh Kristus
            dan persekutuan yang kita bagikan sebagai saudara di dalam anggota tubuh
            Kristus (1 Kor. 10:17).Perjamuan Kudus berbicara  tentang  sumber  hidup  baru  
            yaitu  perjanjian  baru  (Luk.  22:20).  Perjamuan kudus menyatakan adanya  berkat
            yang diberikan di  bawah perjanjian yang baru lewat pengudusan dan berkat
            kemuliaan pada masa yang akan datang (1 Kor. 11:26).[24]
2.2.2        Pengertian Perjamuan Kudus menurut Marthin Luther
Berdasarkan penelitiannya atas Alkitab itu Luther menemukan bahwa hanya ada dua sakramen yang mempunyai dasar alkitabiah, dalam arti yang langsung ditetapkan oleh Kristus sendiri. Berdasarkan itu kaum Lutheran menolak lima lainnya (yang diakui sebagai sakramen oleh GKR), yaitu peneguhan (konfirmasi), pengakuan dosa, penahbisan imam, pengurapan (perminyakan, terutama pada orang sakit atau menjelang ajal) dan perkawinan.[25]
Martin Luther menolak doktrin Roma Katolik mengenai transubstansiasi yaitu doktrin yang mengatakan bahwa roti dan anggur pada waktu perjamuan berubah menjadi tubuh dan darah Kristus yang sesungguhnya. Luther setuju bahwa kehadiran Kristus tidak perlu digantikan dengan kehadiran roti dan anggur, Luther tetap mempertahankan bahwa tubuh dan darah kristus hadir di dalam dan melalui unsur-unsur roti dan anggur.[26]
Pada saat menjelang reformasi, transubstansiasi merupakan penjelasan resmi tentang kehadiran Kristus dalam Ekaristi, yang telah diumumkan pada Konsili Luteran IV. Para reformator menolak transubstansiasi, sejalan dengan penolakan mereka atas misa sebagai persembahan kurban. Pembahasan Luther mengenai isu-isu tersebut menunjukkan pemikian daripada reformator. Luther mengambil posisi bahwa tubuh Kristus hadir sebagai substansi, tetapi bukan karena transubstansiasi dari roti dan anggur itu diubah menjadi tubuh dan darah Kristus. Sebaliknya, menurutnya substansi tubuh dan darah Kristus itu hadir tanpa aksiden-aksiden apapun (warna.bentuk, berat, dll) dan juga substansi roti dan anggur itu hadir bersama-sama dengan aksiden-aksidennya. Pandangan Luther adalah bahwa dalam sakramen itu roti dan anggur tetaputuh dan lengkap, yang mempunyai substansi dan aksiden-aksiden; Kristus memilih hadir tetapi hanya dalam substansi dan tanpa aksiden tubuh dan darahnya. Luther juga menggunakan cara-cara yang lain untuk menjelaskan kehadiran Kristus dalam sakramen itu. Selain berbicara tentang Kristus sebagai yang hadir di dalam roti itu dan bahkan mungkin di bawah roti itu.[27]
Ajaran Luther tentang perjamuan kudus disebut consubstansiasi (Con:bersama-sama, berbarengan; substansiasi:hakekat, zat). Artinya kedua unsur perjamuan yaitu roti dan anggur, menca
kup kedua hakekat substansi sekaligus hakekat jasmani, tetap sebagai roti dan anggur, dan hakekat rohani sebagai tubuh dan darah Kristus, yang diterima peserta perjamuan secara nyata. Penerimaan ini terjadi menurut Luther karena janji Tuhan Yesus pada perjamuan malam terakhir bersama murid-murid-Nya.[28]
2.3 Tinjauan Dogmatis Tentang Pandangan Gereja Melayankan Perjamuan Kudus Bagi Kaum Difabel
Melalui Perjamuan Kudus manusia diyakinkan bahwa dia tumbuh menjadi satu tubuh dengan Kristus. Dengan demikian segala sesuatu yang adalah kepunyaan Dia boleh kita namakan kepunyaan kita. Melalui Perjamuan Kudus manusia diyakinkan bahwa kehidupan kekal yang telah diwarisinya menjadi milik manusia dan bahwa Kerajaan Sorga yang telah dimasuki-Nya tak dapat luput dari manusia sebagaimana tak dapat luput dari Dia. Manusia boleh yakin juga bahwa manusia tidak dapat dihukum karena dosa-dosanya, manusia telah bebas oleh-Nya dari kesalahan yang merupakan akibat dari dosa-dosa sebab Dia menghendaki supaya dosa-dosa itu diperhitungkan kepada-Nya seakan-akan dosa-Nya sendiri. Dia telah membuat manusia menjadi anak-anak Allah bersama Dia, dengan turunnya Dia ke bumi Dia telah merintis jalan bagi manusia untuk naik ke Sorga, dengan menerima kelemahan manusia, kita dikokohkan-Nya dengan kekuatan-Nya.[29] Perjamuan kudus itu harus kita layani dan diikuti secara yang dikehendaki oleh Tuhan Yesus sendiri, yaitu dengan menyediakan hati kita masing-masing yang sesungguhnya, karena “Barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan” (1 Kor 11:27-29). Ia mendatangkan hukuman atas dirinya. Apabila kita merasa tidak sempurna, itu tidak menjadi rintangan untuk turut Perjamuan Kudus. Sebab Perjamuan Kudus itu justru bagi orang-orang yang merasa lemah dan yang mencari kekuatannya dari Tuhan.[30]
Paulus menggunakan gambaran gereja sebagai tubuh kristus. Dalam Roma 6:13, kata “anggota tubuh” sinonim dengan “tubuh”. Dalam konsepsi ini paulus bukan hanya membandingkan persekutuan dengan tubuh (1 kor 12:12-56), tetapi kita juga termasuk tubuh Kristus dan masing-masing kita adalah anggota (1 kor 12:12-56). Paulus dalam 1 Korintus 10:16-17 menyebut dalam perjamuan Tuhan , kita adalah satu tubuh , karena semua mendapat dalam roti yang sama dan semua anggota makan dari roti yang satu itu. Kesatuan sebagai tubuh Kristus menunjukkan hakekatnya bahwa kita adalah satu tidak ada perbedaan karena sama-sama tubuh Kristus. Dari pemahaman kita sebagai sebagai tubuh Kristus kita adalah saling terikat satu dengan yang lain. Sebagai tubuh dan Kristus adalah kepala maka ttindakan merendahkan, memisah-misah orang lain karena situasinya yang dialaminya seperti sebagai kaum difabel merupakan pengingkaran diri sebagai tubuh Kristus.Gereja sebagai tubuh kristus terpanggil untuk menerjemahkan visi dan misi Kristus dalam aksi nyata di dunia ini, yaitu bagaimana merangkul dan memperdulikan orang kaum difabel yang diabaikan atau di rendahkan di masyarakat. Yesus sangat menentang sikap pemisah-misahan di dalam agama dan masyarakat, khususnya terhadap kaum difabel. Dalam kaitan keikutsertaan kaum difabel dalam Perjamuan Kudus merupakan pergumulan yang sangat dirasakan, khususnya bila kaum difabel yang belum menjadi anggota sidi, atau belum angkat sidi. Dalam banyak gereja-gereja ada ketentuan yang dibuat gereja bahwa tidak diperkenankan menerima Perjamuan Kudus sebelum melaksanakan Angkat Sidi. Namun catatan sejarah dalam abad 1 masehi tidak ada ditemukan catatan sejarah yang berkaitan dengan larangan orang yang belum sidi untuk ikut Perjamuan Kudus, barulah abad kedua Masehi larangan itu dicatatkan.[31] Dalam faktanya peraturan pelayanan Sakramen Perjamuan Kudus di Gereja tegas mengatakan bahwa syarat untuk mendapatkan pelayanan perjamuan kudus adalah sudah naik sidi, memang peraturan ini tidak ada tertulis di tata gereja terkusus di Indonesia tetapi ini adalah peraturan yang tersirat yang dipedomani oleh para pendeta.[32]  Dengan ketentuan ini jelas membatasi partisipasi baik anak-anak dan kaum difabel untuk menerima roti dan anggur yang adalah tanda anugerah Allah yang kelihatan dan dirasakan. Sering kali alasan-alasan yang ditekankan untuk layak tidaknya seseorang menerima Perjamuan adalah dikaitkan kepada kemampuan manusia : “menguji diri sendiri” (bnd. 1 kor 11:27-28). Dengan anggapan ini maka kaum difabel merupakan orang yang tidak layak. Namun pemahaman ini adalah tidak tepat , karena keselamatan manusia, kebenaran manusia, layaknya seseorang menerima Perjamuan Kudus bukanlah ditentukan normal tidaknya seseorang atau ditentukan oleh kemampuan akal manusia itu sendiri, melainkan hanya Anugrah Allah semata-mata.Kepedulian gereja terhadap kaum difabel dapat juga dikaitkan dengan meneladani bagaimana sikap para reformator di dalam sejarah gereja, dalam hal ini Martin Luther yang secara terbuka dan tegas mengizinkan kaum difabel, seperti penyandang tuna runggu dan yang lainnya mengizinkan mereka masuk dan berpartisipasi dalam perjamuan kudus.[33]
III.             Kesimpulan
Dari pemaparan diatas maka saya sebagai penulis menyimpulkan bahwa difabel merupakan singkatan dari differently abled, yang berarti kemampuan yang berbeda. Dari sudut pandang alkitab setiap orang tanpa terkecuali (termasuk penyandang difabel) adalah gambar dan citra Allah. Maka segala kekurangan yang terdapat dalam diri manusia, bukanlah penghalang bagi mereka untuk menjadi gambar dan rupa Allah yang seutuhnya. oleh karena itu gereja harus menerima dan menikutsertakan kaum difabel dalam menerima sakramen perjamuan kudus
IV.             Daftar Pustaka
AbinenoJ.L.Ch.,Perjamuan Malam Menurut Para Reformato,Jakarta:BPK-GM,1990
Anthony HoekemaA., Created in God’s Image, Grand Rapids, MI: Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 1994
AritonangJan S., Berbagai Aliran di Dalam dan Sekitar Gereja, Jakarta:BPK-Gunung Mulia, 2008
Arne Fritzon,People With Disability in The Bible:Who Are They and What Can We Learn From Them?,Leicester:Intervarsity Press,1992
Caspar-Ursinus, Katekismus Heidelberg (Pengajaran Agama Kristen),  Jakarta: BPK 2007
DuraiA. Arumai,”The Church and the Otherwise-able:A Historical overview”, Embracing the inclusive Community:A Disability perspective,ed.A. Wati longchar & R. Christopher Rajkumar Bangalore: BTESSC/SATHRI,NCCI & SCEPTRE,2010
EislandNancy L., Theology of the Disable God; Toward A Liberatory Disability,Nashvile; Abingdon Press, 1994
GuthrieDonal, Teologi Perjanjian BaruI,Jakarta: BPK-GM, 2012
HeukenAdolf SJ,Ensiklopedi Gereja Jilid V,Jakarta:Yayasan Cipta Loka Caraka,2005
illiamsonG.I.W,Katekismus Singkat Westminster 2,Surabaya:Momentum,2008
MarianaAmirudin, “Kata dan Makna” dalam Mencari Ruang Untuk Difabel Vol 65 oleh Mariana Amirudin (ed.), Jakarta : Yayasan YJP, 2010
McGrathE.Alister,Sejarah Pemikiran Reformasi,Jakarta:BPK-GM,2006
MiglioreDaniel L., Faith Seeking Understanding: An Introduction to Christian Theology, third edition,Grand Rapids, MI: William B. Eerdmans Publishing Company, 2014
NiftrikG.C.Van & B.J.Boland,Dogmatika Masa Kini,Jakarta:BPK-GM,1990
OlyanSaul M.,Disability in The Hebrew Bible,Amerika:Cambrigde University Press,2008
PardedePetrus,Tanggungjawab Manusia Sebagai Imagodei,Maj.IMMANUEL,Vol:112,no 7,Tapanauli Utara:HKBP,2002
RondaDaniel,Dasar Teologi yang Teguh Panduan Teologi Sistematika di Perguruan Tinggi,Makasar:STT Jaffray,2013
SemiunYustinus, Kesehatan Mental 2,  Yogyakarta:Kanisius, 2006
SihombingBatara, dalam Jurnal: Gereja dan Disabilitas,Dalam Jurnal Teologi STT Abdi Sabda Edisi XXX Juli-Desember,Medan:Abdi Sabda, 2013
SoedarmoR.,Ikhtisar Dogmatika,Jakarta:BPK-GM,1996
SproulR.C., Kebenaran-kebenaran Dasar Iman Kristen,Jakarta:BPK-Gunung Mulia, 1995
UrbanLinwood, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, Jakarta:BPK-Gunung Mulia, 2003
WalemF.D.,Kamus Sejarah Gereja,Jakarta:BPK-GM,2006
WijantoM.W., ”Praktik Perjamuan Kudus dalam Kitab Perjanjian Baru”, Seminar Keikutsertaan Anak  Dalam Perjamuan Kudus , Magelang 10-11 Desember  2012
WismoadyS. Wahono,Di Sini Kutemukan,Jakarta:BPK-GM,2011




[1]Wawancara kepada St.Drs.J.Berutu,Minggu,26 Mei 2019
[2]Wawancara Kepada St. Tumpak Banurea.SH,M.Hum,minggu,26 mei 2019
[3]Wawancara kepada St.Santono Tumangger,Minggu 26 mei 2019
[4]Wawancara Kepada Pdt.J.Anak Ampun S.Th,minggu 05 mei 2019
[5] Mariana Amirudin, “Kata dan Makna” dalam Mencari Ruang Untuk Difabel Vol 65 oleh Mariana Amirudin (ed.), (Jakarta : Yayasan YJP, 2010),  175
[6] Yustinus Semiun, Kesehatan Mental 2, ( Yogyakarta:Kanisius, 2006), 265
[7] Arne Fritzon,People With Disability in The Bible:Who Are They and What Can We Learn From Them?,(Leicester:Intervarsity Press,1992),300
[8] Petrus Pardede,Tanggungjawab Manusia Sebagai Imagodei,Maj.IMMANUEL,Vol:112,no 7(Tapanauli Utara:HKBP,2002),31-34
[9] Batara Sihombing,Gereja dan Disabilias,Dalam Jurnal Teologi STT Abdi Sabda Edisi XXX Juli-Desember,(Medan:STT Abdi Sabda,2013),18
[10] Saul M.Olyan,Disability in The Hebrew Bible,(Amerika:Cambrigde University Press,2008),1
[11]Nancy L. Eisland, Theology of the Disable God; Toward A Liberatory Disability,(Nashvile; Abingdon Press, 1994),73-74 
[12]Nancy L. Eisland, Theology of the Disable God; Toward A Liberatory Disability, (Nashvile; Abingdon Press, 1994),80
[13]Batara Sihombing, dalam Jurnal: Gereja dan Disabilitas,Dalam Jurnal Teologi STT Abdi Sabda Edisi XXX Juli-Desember, (Medan:Abdi Sabda, 2013), 20-21 
[14]Donal Guthrie, Teologi Perjanjian BaruI, (Jakarta: BPK-GM, 2012), 207-208
[15]Daniel L. Migliore, Faith Seeking Understanding: An Introduction to Christian Theology, third edition, (Grand Rapids, MI: William B. Eerdmans Publishing Company, 2014), 145.
[16]Anthony A. Hoekema, Created in God’s Image, (Grand Rapids, MI: Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 1994), 21
[17] J.L.Ch.Abineno,Perjamuan Malam Menurut Para Reformato,(Jakarta:BPK-GM,1990),4
[18] Adolf Heuken SJ,Ensiklopedi Gereja Jilid V,(Jakarta:Yayasan Cipta Loka Caraka,2005),233 
[19] G.C.Van Niftrik & B.J.Boland,Dogmatika Masa Kini,(Jakarta:BPK-GM,1990),455
[20]F.D.Walem,Kamus Sejarah Gereja,(Jakarta:BPK-GM,2006),405
[21] G.I.Williamson,Katekismus Singkat Westminster 2,(Surabaya:Momentum,2008),167
[22] Alister E.McGrath,Sejarah Pemikiran Reformasi,(Jakarta:BPK-GM,2006)236
[23]Alister E.McGrath,Sejarah Pemikiran Reformasi,(Jakarta:BPK-GM,2006),222
[24]Daniel Ronda,Dasar Teologi yang Teguh Panduan Teologi Sistematika di Perguruan Tinggi,(Makasar:STT Jaffray,2013),134-135
[25] Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan Sekitar Gereja, (Jakarta:BPK-Gunung Mulia, 2008), 44-45
[26] R.C. Sproul, Kebenaran-kebenaran Dasar Iman Kristen, (Jakarta:BPK-Gunung Mulia, 1995), 303
[27] Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, (Jakarta:BPK-Gunung Mulia, 2003), 371-372
[28] Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan Sekitar Gereja, (Jakarta:BPK-Gunung Mulia, 2008),45-46
[29]Ursinus-Caspar, Katekismus Heidelberg (Pengajaran Agama Kristen),  Jakarta: BPK 2007, hal 51
[30]R.Soedarmo,Ikhtisar Dogmatika,(Jakarta:BPK-GM,1996),247
[31] M.W. Wijanto, ”Praktik Perjamuan Kudus dalam Kitab Perjanjian Baru”, Seminar Keikutsertaan Anak  Dalam Perjamuan Kudus , (Magelang 10-11 Desember  2012),1
[32]Hasil Wawancara dengan Pdt J Anak ampun
[33]A. Arumai Durai,”The Church and the Otherwise-able:A Historical overview”, Embracing the inclusive Community:A Disability perspective,ed.A. Wati longchar & R. Christopher Rajkumar (Bangalore: BTESSC/SATHRI,NCCI & SCEPTRE,2010),25-26