Makalah Filsafat Moral: Etika


Filsafat Moral: Etika


I.                   Pendahuluan
Moral adalah sikap manusia berkenaan dengan hukum moral yang didasarkan atas keputusan bebasnya. Namun tindakan bebas manusia dalam hal tertentu, konkret selalu baik atau pun buruk dan ini menumbuhkan sikap dan perilaku yang berbudi luhur. Berikut ini kita akan membahas bagaimana sebenarnya Filsafat moral tersebut. Bagaimana lahirnya filsafat moral, apa yang menjadi dasar dalam filsafat moral, namun bukan hanya itu saja kita juga akan melihat pandangan Kristen mengenai filsafat moral tersebut. Semoga sajian ini menambah wawasan kita semua.
II.                Pembahasan
2.1. Latar Belakang Lahirnya Filsafat Moral: Etika
Secara historis Etika sebagai usaha filsafat lahir dari keambrukan tatanan moral di lingkungan kebudayaan yunani 2500 tahun lalu. Karena pandangan-pandangan lama tentang baik dan buruk tidak lagi dipercayai, para Filsuf mempertanyakan kembali norma-norma dasar bagi kelakuan manusia. Situasi itu juga berlaku pada zaman sekarang, bahkan bagi kita masing-masing. Yang dipersoalkan bukan hanya apakah yang merupakan kewajiban saya dan apa yang tidak, melainkan manakah norma-norma untuk menetukan apa yang harus dianggap kewajiban.[1]
2.2.Pengertian Filsafat Moral
Filsafat moral adalah memikirkan tentang “bagaimana saya harus hidup”, “apa yang boleh dan apa yang tidak boleh, dan apa yang wajib saya perbuat?”Jadi ajaran moral mengajukan norma-norma padanya hidup harus diarahkan. Bagaimana cara menjawab pertanyaan tersebut adalah dengan etika. Karena etika adalah filsafat tentang ajaran moral. Etika pertama-tama tidak mengajar apa yang wajib dilakukan orang, melainkan bagaimana pertanyaan-pertanyaan itu dijawab secara rasional, secara bertanggung jawab.[2]Penilaian dan perbuatan moral pada intinya bersifat rasional.
Filsafat moral atau etika berfungsi untuk menumbuhkan sikap dan perilaku manusia yang kritis dan berbudi luhur dalam kehidupan setiap hari, serta menjadi manusia yang bertanggung jawab, yang dapat hidup berdampingan dan menghargai orang lain.[3]Moralitas yang secara leksikal dapat dipahami sebagai suatu tata aturan yang mengatur pengertian baik atau buruk perbuatan kemanusiaan, yang mana manusia dapat membedakan baik dan buruknya yang boleh dilakukan dan larangan sekalipun dapat mewujudkannya, atau suatu azas dan kaidah kesusilaan dalam hidup bermasyarakat.[4]
2.3.   Filsafat Moral Menurut Para Tokoh
1.   Durkheim
Moral memiliki peranan terpenting. Kekangan atau wewenang yang dilaksanakan oleh kesadaran kolektif jelas terlihat dalam bidang moral. Sesungguhnya fakta-fakta moral itu ada, tetapi ia hanya hidup dalam konteks sosial. Moralitas dalam segala bentuknya tidak dapat hidup kecuali dalam masyarakat.Moralitas tidak bersumber pada individu, melainkan bersumber pada masyarakat dan merupakan gejala masyarakat.Masyarakat berkuasa terhadap individu, dalam arti kewajiban, misalnya berbicara adalah suara masyarakat maka masyarakatlah yang menentukan dan menekankan segala peraturan-peraturan kehidupan itu berlaku.Moralitas merupakan fakta sosial yang khas. Aturan moral selalu memiliki wibawa yang khas yang membuatnya diturut karena ia merumuskan suatu perintah. Disini kita melihat suatu rasa wajib.Kewajiban ini adalah sifat pertama dari aturan moral.Kebajikan dan kewajiban merupakan ciri khas dari perbuatan moral.[5]Moralitas merupakan fakta sosial yang khas, dan dalam semua bentuknya tidak dapat hidup kecuali dalam masyarakat. Moral memiliki tiga unsur yaitu, disiplin, keterikatan pada kelompok, dan otonomi kehendak manusia.masyarakat memiliki wibawa moral, yaitu kenyataan kejiwaan, suatu kesadaran yang lebih luhur dan lebih unggul dari wibawa seorang individu. Masyarakat memiliki wibawa ini karena ia merupakan penyimpan segala hal ihwal intelektual yaitu bahan-bahan pembentuk peradaban. Disiplin membuat manusia lengkap dalam kesusilaannya, disamping rasa keterikatan pada kelompok, karena tindakan moral hanyalah tindakan yang ditujukan pada kepentingan dan kedamaian kehidupan bersama.[6]
Moralitas sebagai sesuatu yang dapat dipelajari atau diselidiki sebagai benda, secara deskriptif saja.Karena itu, untuk dapat sampai pada pengetahuan tentang mengapa manusia tidak boleh membunuh, tidak boleh mencuri dan memperkosa, tidak perlu mempelajari dari sejarah, dari perbandingan yurisprudensi ataupun dari perbandingan religi.[7]
2.      Immanuel Kant
Dalam Filsafatnya tentang moral yaitu bahwa nilai moral baru diperoleh di dalam moralitasMorality is not properly a doctrine how to make ourselves happy, but how we can make ourselves worthy of happiness” (Moralitas secara tepat bukanlah ajaran bagaimana membuat diri kita bahagia, tetapi bagaimana kita dapat membuat diri kita pantas untuk kebahagiaan).[8] Yang dimaksud Kant dengan moralitas adalah “kesesuaian sikap dan perbuatan kita dengan norma atau hukum batiniah kita, yakni apa yang kita pandang sebagai kewajiban kita”. Moralitas akan tercapai apabila menaati hukum lahiriah bukan hal itu lantaran membawa akibat yang menguntungkan atau lantaran takut pada kuasa sang pemberi hokum, melainkan kita sendiri menyadari bahwa hokum itu merupakan kewajiban kita.[9]Kant mau menegaskan bahwa sesungguhnya sikap moral baru tampak kalau bertindak demi kewajiban itu sendiri, kendati itu tidak mengenakkan atau tidak memuaskan perasaan kita. Dorongan atau motivasi lain selain kewajiban (seperti belaskasihan atau iba hati) memang patut dipuji, tetapi itu sama sekali tidak mempunyai nilai moral (bukan amoral atau bertentangan dengan moral!). bagi Kant yang lantas menjadi tolok ukur atau batu uji apakah tindakan seseorang boleh disebut tindakan moral atau tidak.[10]
 Kant membedakan moralitas dalam dua jenis yaitu:
a.      Moralitas heteronom
Adalah sikap di mana kewajiban ditaati dan dilaksanakan, bukan karena kewajiban itu sendiri, melainkan karena suatu yang berasal dari luar kehendak si pelaku sendiri, misalnya karena mau mencapai tujuan yang diinginkan ataupun karena perasaan takut pada penguasa yang memberi kewajiban itu. Sikap semacam ini menurut  Kant menghancurkan moral.
b.      Moralitas otonom
Adalah kesadaran manusia akan kewajibannya yang akan ia taati sebagai suatu yang dikehendakinya sendiri karena diyakinyanya baik. Sikap semacam ini bagi Kant menyebutnya juga sebagai otonomi kehendak, merupakan prinsip tertinggi moralitas, sebab ia jelas berkaitan dengan kebebasan, hal yang sangat hakiki dari tindakan mahkluk rasional manusia.[11]
3.      Bergerson
Bergon menguraikan dengan sangat teliti tentang moral. Sejak masa hidupnya yang dini, manusia telah mengenal apa yang disebut dengan larangan. Larangan ini dikenakan kepada sang anak oleh orangtuanya, saudaranya, gurunya dan pengasuhnya. Mengapa sianak patuh?Ini merupakan suatu kebiasaan.Karena orangtua, guru dan saudaranya yang lebih tua memiliki wewenang dan kedudukan khusus dalam hubungan mereka dengan si anak.Si anak merasa bahwa di balik mereka itu ada sesuatau yang menimbulkan semacam tekanan terhadap dia.[12]
4.      Santayana
Santayana menganggap moralitas terpisah dari etika. Etika anggapnya sebagai suatu disiplin rasional. Sedangkan moralitas berkaitan lebih erat dengan adat-istiadat atau kebiasaan. Ia membedakan bentuk moralitas prarasional dan pascarasional.[13]
5.      Albert Einstein
Try not to become only a man of success, but rather try to become a man of value.(Janganlah berusaha hanya menjadi manusia yang berhasil, tetapi lebih baik berusaha menjadi manusia berharga).
2.4.Dasar-Dasar Filsafat Moral
Moral menyangkut kebaikan.Orang yang tidak baik juga disebut orang yang tidak bermoral, atau sekurang-kurangnya sebagai orang yang kurang bermoral.Maka, secara sederhana kita mungkin dapat menyamakan moral dengan kebaikan orang atau kebaikan manusiawi.[14]


2.4.1.      Sikap Batin dan Perbuatan Lahir
Moral sebenarnya memuat dua segi yang berbeda, yakni segi batiniah dan segi lahiriah.Orang yang baik mempunyai hati yang baik. Akan tetapi sikap batin sikap yang baik baru dapat dilihat oleh orang lain setelah terwujudnya perbuatan lahiriah yang baik,  dengan kata lain, moral rupanya hanya dapat diukur secara tepat apabila hati maupun perbuatanya ditinjau bersama. Dan disitulah terletak kesulitanya, kita hanya dapat menilai dari orang lain dari luar,dari perbuatan lahiriahnya. Sementara itu hatinya hanya dapat kita nilai dengan menduga-duga saja.Atau, sebagai orang yang beriman bahwa Allah itu mahatahu, kita dapat mengatakan bahwa Tuhanlah yang dapat menilai moral manusia secara tepat.[15]
2.4.2.      Ukuran Moral
Untuk menilai sikap batin maupun perbuatan lahir dibutuhkan suatu alat, yakni ukuran moral. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman, kiranya dapat kita katakan bahwa sekurang-kurangnya kita mengenal adanya dua ukuran yang berbeda, yakni ukuran yang ada dalam hati dan ukuran yang dipakai oleh orang waktu mereka menilai diri kita. Dalam hati kita ada ukuran subjektif, sedangkan orang lain mungkin memakai ukuran yang lebih objektif. Kita menilai diri kita dengan ukuran kita sendiri, sementara mereka menilai diri kita dengan ukuran yang umum. Berhubungan dengan masalah ukuran moral, kita mendengar dengan istilah hati nurani dan norma. Kedua istilah ini memang dapat membantu pemahaman kita tentang moral. Secara singkat mungkin dapat kita katakan bahwa hati nurani menyediakan ukuran subjektif, sedangkan norma menunjuk pada ukuran objektif. Baik yang subjektif maupun yang objektif mengandung ukuran yang benar atas moralitas manusia. Dengan kata lain: hati nurani memberitahukan mana yang benar, norma diberikan untuk menunjukkan kepada semua orang mana yang benar itu. Maka hubungan antara hati nurani dan norma dapat dijelaskan secara berikut : norma diberitahukan kepadaku, supaya aku mengalami kebaikan dan hidup sesuai dengan kebaikan itu, tetapi hati nuraniku itulah yang akan mengatakan dengan lebih tegas kepadaku tentang kebaikan yang harus dikejar. Dalam sejarah hidup kita semua, ribuan norma telah disampaikan kepada kita melalui orangtua, guru-guru, tetangga, sahabat, kenakalan, maupun media. Sayangnya, hati nurani kita juga dapat keliru, atau tumpul, atau bahkan buta. Hal itu disebabkan karena kita adalah mahkluk ciptaan yang tidak sempurna, dan hidup dalam lingkungan masyarakat yang tidak sempurna pula.[16]
2.4.3.      Pertumbuhan Hati Nurani
Hati nurani merupakan pusat kepribadian. Maka, seperti seluruh kepribadian, hati nurani manusia juga mengalami pertumbuhan. Pertumbuhan itu dapat berarti kemajuan, namun juga dapat berarti kemunduran. Mutu dari pertumbuhan itu tergantung dari tanggapan lingkungan maupun usaha sendiri. Lingkungan yang baik dapat mendukung pertumbuhan hati nurani secara positif.[17]
2.4.4.      Salah dan Dosa
Dengan memahami perbedaan antara keyakinan hati nurani dan norma-norma moral, kiranya kita juga lebih mampu memahami perbedaan salah dan dosa. Secara singkat kiranya perbedaan itu dapat dirumuskan sebagai berikut: salah adalah tindakan yang objektif melawan norma yang berlaku, sedangkan dosa adalah tindakan yang dengan sengaja dilakukan walaupun secara subjektif diketahui sebagai tindakan yang tidak baik. Jadi, salah lebih bersifat objektif dan menyangkut norma, sementara dosa lebih bersifat subjektif menyangkut keyakinan hati nurani.[18]
2.4.5.      Keutamaan Moral
Orang yang berusaha hidup baik secara tekun dalam waktu yang lama dapat mencapai keunggulan moral yang biasa disebut keutamaan. Keutamaan adalah kemampuan yang dicapai oleh seseorang untuk bersikpa batin maupun berbuat secara benar. Misalnya: kerendahan hati, kepercayaan kepada orang lain, keterbukaan, kebijaksannaan, ketekunan kerja, kejujuran, keadilan, keberanian, penuh harap, penuh kasih dan sebagainya. Untuk mencapai keutamaan diperlukan ketekunan usaha pribadi maupun dukungan positif dari lingkungan, bahkan juga bantuan dari Tuhan sendiri. Sebagai manusia yang lemah, kita akan seringkali gagal bersikap batin maupun bertindak baik. Dalam keadaan seperti itu bantuan dari Tuhan dan sesama akan beramat berarti, karena dapat membangkitkan semangat kita untuk berusaha lagi. Karena kegagalan itu kerap terjadi, perlulah pertobatan terus-menerus, koreksi berulangkali, bahkan juga teguran yang tegas.
Sebagai makhluk ciptaan yang beriman, kita percaya bahwa tanpa bantuan Tuhan sulitlah, atau bahkan mustahillah, kita mencapai keutamaan. Iman kepada Tuhan misalnya, merupakan keutamaan yang sulit atau yang tak mungkin kita capai sendiri. Dalam hal itu kita membutuhkan rahmat Tuhan sendiri. Bahkan hal yang sama mungkin harus kita katakan pula untuk mencapai keutamaan-keutamaan yang lain. Dalam masyarakat yang kurang adil dan kurang jujur, rasanya sulitlah kita dapat mencapai keutamaan keadilan dan kejujuran tanpa bantuan Tuhan sendiri.[19]
2.5.   Pandangan Kristen tentang Filsafat Moral
Sumber ajaran moral yang sempurna adalah Alkitab, mencari “yang baik” berarti mencari Tuhan.Sebab hanya Tuhanlah yang baik dan sumber segala yang baik. Jadi “apakah yang baik itu?” hanya dapat terjawab dari Alkitab: “Bahwa sudah diberitahu kepadamu, hai manusia, mana yang baik dan apa gerangan yang dituntut Tuhan dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?” (Mik. 6:8).
            Bagaimana manusia dapat megetahui kehendak Tuhan?Kehendak Tuhan dapat dipahami serta dihayati oleh manusia, hanya bila hubungan manusia dengan Tuhan Sang Pencipta itu tetap baik di dalam iman dan ketaatan kepada-Nya. Di dalam Alkitab, telah diberitahukan, apa yang baik itu. Bukan suara alam yang berkata di situ, bukan suara akal budi, bukan suara perasaan, bukan suara bangsa, dan bukan pula suara golongan.Tetapi yang bersuara di situ adalah Dia, yang adalah kasih semata-mata, yaitu Tuhan Allah.[20]
              Hidup orang Kristen sebagai mengikuti Kristus bukan soal istilah.Pewartaan Yesus dan sikap-Nya terhadap manusia menumbuhkan beberapa corak dalam perbuatan moral manusia dan dalam arti itu membuka kemungkinan bagi moral yang baru.Dalam arti yang nyata, Kristus telah merintis jalan dan hidup orang Kristen itu mengikut Kristus.Pewartaan Yesus mengenai Kerajaan Allah memanggil manusia untuk bertobat dan percaya.Seruan tobat mengajak orang untuk mengalihkan pandangannya dari diri sendiri kepada Allah yang mendatanginya.Dengan maklumat Kerajaan Allah yang mendatang itu, manusia memperoleh suatu titik tolak yang baru, untuk mengambil langkah penuh harapan.[21]
III.        Kesimpulan
Filsafat moral memberikan kita pandangan mengenai bagaimana seharusnya kita harus bertindak, secara singkatnya filsafat moral memberikan petunjuk hidup bagi kita melalui ajaran moral dan norma yang ada. Namun Kristen mempunyai pandangan juga mengenai filsafat moral dan menyatakan bahwa sumber ajaran itu adalah Alkitab. Hidup orang Kristen bukan hanya berbicara mengenai Kristus sebagai istilah namun pewartaan Yesus sebagai pandangan moral bagi setiap orang. Kerajaan Allah yang mengajak setiap orang untuk bertobat dan percaya dan manusia memiliki langkah baru untuk hidup yang penuh harapan.
IV.        Daftar Pustaka 
BagusLorens, Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 2000.
Hadiwardoyo Al. Purwa, Moral dan Masalahnya.Yogjakarta: Kanisius, 1997
Muhni Djuretna A. Imam, Moral dan Religi. Yogyakarta: Kanisius, 1994
Panjaitan Farel, Filsafat Moral & Etika Theologis. Medan: Univ. HKBP Nommensen, 2007
Poespoprodjo, Filsafat Moral; Kesusilaan dalam Teori dan Praktek.Bandung: Remaja Karya, 2005
SJ Bernhard Kieser, Moral Dasar Kaitan Iman dan Perbuatan. Yogyakarta: KANISIUS, 1987
Suseno Franz Magnis, Etika Dasar, Masalah-masalah pokok filsafat moral. Yogyakarta: Kanisius. 1997
Suseno, Franz Magnis Berfilsafat Dari Konteks. Jakarta: PT Gramedia, 1992
Tjahjadi S.P., Lili, Hukum Moral. Yogyakarta: Kanisius, 1991


[1]Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, Masalah-masalah pokok  filsafat moral, (Yogyakarta: Kanisius. 1997), 15
[2] Franz Magnis Suseno, Berfilsafat Dari Konteks, (Jakarta: PT Gramedia, 1992), 10.
[3] Farel Panjaitan, Filsafat Moral & Etika Theologis, (Medan: Univ. HKBP Nommensen, 2007), 12.
[4] Poespoprodjo, Filsafat Moral; Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Remaja Karya, 2005), 3-4.
[5] Djuretna A. Imam Muhni, Moral  dan Religi, 36-39.
[6] Djuretna A. Imam Muhni, Moral  dan Religi, 126.
[7] Djuretna A. Imam Muhni, Moral  dan Religi, 127.
[8]Farel Panjaitan, Filsafat Moral & Etika Theologis, 12.
[9]S.P., Lili Tjahjadi, Hukum Moral, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), 47.
[10]S.P., Lili Tjahjadi, Hukum Moral, 48.
[11]S.P., Lili Tjahjadi, Hukum Moral, 48.
[12] Djuretna A. Imam Muhni, Moral  dan Religi, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 86-87.
[13] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2000), 674.
[14]Al. Purwa Hadiwardoyo, Moral dan Masalahnya, (Yogjakarta: Kanisius, 1997), 13
[15] Al. Purwa Hadiwardoyo, Moral dan Masalahnya, 14-16
[16] Al. Purwa Hadiwardoyo, Moral dan Masalahnya,14-16
[17] Al. Purwa Hadiwardoyo, Moral dan Masalahnya,16-18
[18] Al. Purwa Hadiwardoyo, Moral dan Masalahnya,19-21
[19] Al. Purwa Hadiwardoyo, Moral dan Masalahnya, 23
[20]Farel Panjaitan, Filsafat Moral & Etika Theologis, 21.
[21]Bernhard Kieser SJ, Moral Dasar Kaitan Iman dan Perbuatan, (Yogyakarta: KANISIUS, 1987), 278-279