SGI: Sejarah Gereja di Sulawesi Utara secara Lengkap dari masa ke masa
I.
Abstraksi
Kita
telah dengar bahwa sesudah orang Portugis di usir oleh orang-orang Belanda pada
tahun 1605 pemeliharaan dari orang-orang Kristen di Sulawesi Utara dilakukan
dari Manila oleh orang-orang Spanyol. Berpuluh-puluh tahun lamanya Spanyol dan
orang-orang Belanda berganti-ganti menguasai daerah itu.Lalu pada tahun 1660
orang-orang Spanyol di usir oleh orang-orang Belanda dari Minahasa.Sejak abad
ke-16/ke-17 sudah ada orang-orang Minahasa, yang sebelumnya menganut ajaran
Katolik, beralih menjadi penganut Protestan. Tapi karena ketidaksukaan mereka
terhadap gaya pemerintahan kolonial Belanda, kebanyakan mereka kemudian
berbalik kembali menjadi penganut agama suku.Namun, kunjungan Joseph Kam kesana
akhirnya membuka jalan untuk kedatangan utusan Zending Belanda yang berikutnya
yang ditugaskan untuk menjangkau penganut agama-agama suku asli Minahasa.
II. Pembahasan
2.1. Kekristenan dan
Konteks Budaya Lokal di Sulawesi Utara
Di Sulawesi, sebelum masuknya Islam dan
Kekristenan disana penduduk asli Sulawesi masih menganut kepercayaan asli, yang
umumnya bersifat animisme dan dinamisme. Kepercayaan asli inilah yang dianggap
sebagai agama dan kepercayaan yang benar, seperti Toani Tolotang, Patuntung,
dan Aluk Todolo.Sejauh mengetahui sejarahnya, hal-hal tentang agama dan
kepercayaan jauh lebih baik sebelum Islam dan Kekristenan masuk di
Sulawesi.Masyarakat telah lebih dulu mengenal ajaran yang menekankan kerohanian
dan kejiawaan. Mereka sadar bahwa dunia mereka terdiri dari dua aspek, yakni:
dunia nyata dan dunia yang tidak nampak. Kepercayaan mereka terhadap dunia yang
tidak nampak itu berkaitan dengan ketakutan masyarakat Sulawesi secara umum
untuk menghadapi kemurkaan makhluk dan kekuatan alam. Maka dari itu, agar
masyarakat tidak terkena murka para makhluk yang tak nampak itu, mereka mencoba
mengambil hati mereka dengan cara menyembah dan mengirimkan saji-sajian. Dengan
itu, diharapkan mereka dapat memberi perlindungan dan mewujudkan cita-cita
masyarakat.Maka, untuk menjembatani dua dunia ini diperlukan suatu tempat untuk
menyalurkannya sehingga terbentuklah suatu prana sosial keagamaan untuk
menghubungkan keduanya.[1]
2.2. Latar Belakang
Masuknya Keristenan ke Sulawesi Utara
Kita telah dengar,
bahwa sesudah orang-orang Portugis diusir oleh orang-orang Belanda dari Maluku
(1605), pemeliharaan dari orang-orang Kristen di Sulawesi Utara dilakukan dari
Manila oleh orang-orang Spanyol. Berpuluh-puluh tahun lamanya orang-orang Spanyol
dan orang-orang Belanda berganti-ganti menguasai daerah itu.Lalu pada tahun
1660 orang-orang Spanyol diusir oleh orang-orang Belanda dari Minahasa.Dari
laporan Pendeta Montanus, yang ditulis beberapa tahun sesudah itu (1675) nyata,
bahwa sebagian besar dari penduduk Manado memeluk agama Kristen dan sisahnya
agama Islam atau kafir.[2]
Kemudian tahun 1817 Kam mengadakan
kunjungan ke Sulawesi Utara dan ke pulau-pulau Sangir. Lamanya kunjungan itu
sekitar 6 bulan dan menurut Kam itu merupakan kunjungan yang paling sulit yang
pernah ia adakan. Di mana-mana penduduk menyatakan keinginannya untuk menjadi
Kristen, tetapi berhubungan dengan tidak adanya tenaga, keinginan itu belum
dapat ia penuhi. Dua tahun kemudian Pendeta Lenting mengunjungi daerah-daerah
itu: banyak orang yang ia baptis pada waktu itu dan dari segala pihak dating
permintaan untuk mendapatkan tenaga guru. Permintaan-permintaan itu ia teruskan
kepada Kam di Ambon.
Dalam pekerjaan apostolat di Indonesia
Timur, Minahasa mendapat perhatian khusus dari NZG.Terutama Kam dan Hellendoorn
sangat berjasa dalam usaha mereka “mempromosikan” daerah ini sebagai daerah
pekabaran Injil.Pada tahun 1821, Kam menempatkan Jungmichel di Manado sebagai
Pendeta zending yang pertama di NZG.Kemudian dengan usaha Hallendoorn yang
keras seluruh Minahasa dibebaskan dari kuasa kegelapan dan dimasukkan ke dalam
kerajaan Kristus. Hal itu ia kerjakan dari waktu ia tiba di tempat itu.[3]
2.3. Sejarah Gereja/
Keristenan di Sulawesi Utara Pada Masa Portugis/ Spanyol
Dalam tahun 1560-an, agama Kristen
mendapat tempat berpijak juga di Sulawesi Utara dan Sangir Talaud.Di sini pula,
penyebaran kekristenan jalin-menjalin dengan persaingan antara orang-orang
Portugis dan orang Ternate, kemudian orang-orang Spanyol dan orang-orang Belanda.Kemudian
pada tahun 1563, Sultan Hairun bermaksud hendak mengirimkan pasukan-pasukan
tentara ke Sulawesi Utara untuk menaklukkan daerah itu. Rencana itu tercium
oleh orang-orang portugis, sejak saat itu dua anggota Portugis diutus berlayar
ke Sulawesi, dan tentu saja seorang misionaris ikut serta dalam ekspedesi itu,
mereka sampai di Manado pada bulan Mei 1563.
Sesampai di Manado sang misionaris Pater
Magelhaes, disambut dengan gembira. Penduduk ingin sekali ingin menerima agama
orang-orang Portugis.Pater Mgelhaes menggunakan waktu dua minggu untuk
mengajarkan pokok-pokok agama Kristen, disesuaikan dengan daya pengertian
mereka.Dalam laporannya raja dan 1500 orang rakyat dipermandikan kebetulan pada
waktu itu raja pulau Siau berada di Manado.Ia pun meminta dipermandikan dan
sewaktu dibaptis diberi nama Jeronimo (nama Portugis). Rakyatnya menyusul
beberapa tahun kemudian.Peristiwa-peristiwa itu boleh dikatakan permulaan
Kristen di Minahasa dan di Sangir Talaud.[4]
Dari penjelasan di atas, dijelaskan
bahwa sejak 1563 Portugis mendukung karya misi dalam rangka menghalangi rencana
Sultan Hairun untuk menguasai dan mengislamkannya. Salah seorang tokoh pribumi
yang ikut memajukan misi dan dengan berani mempertahankan imannya berhadapan
dengan pasukan Ternate adalah Raja Siau, yang ketika dibaptis mendapat nama
Hieronymus.
Sampai tahun 1570 terlihat beberapa
kemajuan pekerjaan misi, walaupun tenaganya sangat terbatas.Tetapi akibat
pembunuhan Sultan Hairun karya misi terpukul dan merosot tajam.Sultan Baabullah
menyerang dan mendesak orang-orang yang sudah Krisrten untuk masuk Islam,
Sementara tenaga rohaniawan yang mengasuh mereka praktis tidak ada. Akibatnya
selama periode 1570-an hingga 1630-an sebagian besar orang yang sudah sempat
Kristen meninggalkan imannya, Entah kembali ke Agama Suku ataupun beralih ke
Islam. Tekanan tidak hanya dating dari Ternate, melainkan juga dari Makassar
sejak 1606.Walaupun pada periode ini cukup banyak masyarakat yang beragama suku
yang minta masuk Kristen sekaliigus mendapat perlindungan dari Spanyaol dan
Portugis, tetapi permintaan itu tidak dapat dipenuhi.Karena itu pada periode
ini justru Islam lah yang mengalami perkembangan pesat di daerah ini.
Pada tahun 1630-an hingga 1640-an ada
tanda-tanda kepulihan misi, tetapi pertikaian antara para penguasa pribumi dan
Spanyol, maupun antara Spanyol dan Belanda, membuat karya misi terhambat, dan
membuat Islam kian berkembang. Karya misi di Minahasa berakhir tahun 1666,
disusul Kaidipan, Siau, Sangir dan Talaud tahun 1677.[5]
2.4. Sejarah Gereja/
Keristenan di Sulawesi Utara Pada Masa VOC
Pada tanggal 20 Maret
1602 dibentuk Vereenidge Ost-Indische
Companie, kongsi dagang Hindia Timur sering juga disebut kompeni.[6]Dengan
kehadiran VOC maka lahirlah Kristen Protestan beraliran Calvinis di Indonesia.Pada
zaman inni beberapa penginjil yang digerakkan semangat pietisme mencoba masuk
dan menginjili negeri ini. Tetapi VOC menolak kehadiran mereka, karena
orang-orang yang akan mereka injili nanti akan berontak melawan VOC. Mengingat
bahwa penginjil-penginjil pietis ini adalah bukan orang-orang Belanda.[7]Pada
tahun 1605, angkatan laut VOC merebut benteng-benteng Portugis di Banda dan
Ambon.Rakyat yang ada disana menjadi rakyat kompeni dan sebaliknya orang-orang
Islam disitu menjadi sekutu VOC. Namun kedatangan VOC membawa pengaruh besar
karena dapat memberhentikan peperangan antar kampungselama pemerintahan
Portugis yang menjadi halangan besar bagi perkembangan agama Kristen.[8]
Peristiwa masuknya VOC ke Indonesia
bukan hanya mempunyai akibat Politik dan ekonomi, tetapi juga mempunyai akibat
yang cukup hebat di bidang keagamaan terutama atas segelintir orang Kristen
Katolik yang terdapat di Indonesia selaku hasil kerja misi Portugis.Perbahan
ini menyangkut perubahan ikatan orang Kristen itu.Bila di zaman Portugis mereka
selaku umat Katolik terikat dalam persekutuan universal dengan gereja yang
berpusat di Roma, maka dengan kehadiran Belanda yang membawa tradisi reformasi,
maka orang-orang Kristen dibawa ke dalam wilayah pengaruh baru.[9]
Kemudian pada tahun 1644 kekalahan
Spanyol mengakibatkan kematian seorang misionaris dan gagalnya usaha misi di
Minahasa.Setelah itu kompeni mengusir orang-orang Spanyol dari Sulawesi Utara.
Orang Katolik di Manado, usaha pekabaran Injil di kepulauan Sangir menderita terus
menerus karena suasana politis. Kepulauan itu merupakan daerah perbatasan
antara wilayah pengaruh spanyol yang berpusat di Filipina, dan VOC yang
bersekutu dengan Ternate.Raja Siau tetap setia kepada Spanyol, sedang raja-raja
tetangganya di Sangir Timur dan di Tagulandang lebih cenderung kepada
Ternate.Setelah kemenangan Spanyol atas Ternate agama Kristen mulai berkembang
kembali.Akan tetapi disini usaha untuk memelihara orang-orang Kristen dan
mengabarkan Injil diganggu oleh serangan-serangan kompeni dan ternate, dan oleh
kematian beberapa tokoh misionaris. Misi barulah mendapat angin setelah raja
Siau bermimpi didatangi oleh ayahnya yang memerintahkan ia untuk membangun
sebuah gereja dan pergi ke benteng Spanyol di Ternate. Sesudah itu
berbondong-bondonglah penduduk Siau mendengarkan ajaran agama dari Peter yang
sudah ada (1628).Seluruh penduduk Siau masuk agama Kristen, tetapi keadaan
perang dating lagi menyulitakan misi, sehingga pada tahun 1677, pasukan-pasukan
kompeni dan Ternate menduduki Siau dan Sanggir. Di Sangir, pemuka-pemuka
Kristen dibunuh. Tetapi dengan raja
Siau, yang menguasai juga sebagian pulau Sangir, kompeni mengikat perjanjian
yaitu: penduduk kerajaannya akan beralih menjadi Protestan. Dengan demikian,
tamatlah riwayat Misi di Sulawesi Utara dan kepulauan Sangir.
Kemudian setelah peristiwa itu,
ternyata orang-orang Belanda membutuhkan Minahasa sebagai gudang perbekalan
sedangkan di Siau terdapat cengkeh.Pada tahun 1666 mereka membangun benteng di
Menado; tahun 1677 mereka mengadakan perjanjian dengan raja Siau. Apa yang
terjadi di Ambon, sekarang terulang: selama beberapa tahun orang-orang Kristen
yang dari Katolik menjadi Protestan
berada dalam keadaan terlantar. Pada tahun 1675, ketika misi masi bekerja di
Sangir, untuk pertama kali seorang pendeta dating berkunjung ke sana, tetapi ia
meninggal di pulau itu. Beberapa pendeta lain menyusul. Mereka menemukan
orang-orang Kristen di Menado hampir 500 orang. Tetapi menurut laporan tahun
1705 masih terdapat juga orang-orang Kristen di daerah-daerah di sebelah Barat
Minahasa, yaitu Bolaang Itam, Kaidipan, Buol dll.
Kemudian karena singkatnya kunjungan
pendeta-pendeta.VOC menentukan bahwa perlu menempatkan seorang
pendeta-pendeta.VOC menentukan bahwa perlu menempatkan seorang pendeta di Menado
secara tetap tetapi hal itu tidak terwujud.Lalu Sulawesi Utara selalu
dikunjungi oleh pendeta-pendeta dari Ternate.Tetapi kunjungan itu paling sering
dilakukan setahun sekali, dan kadang-kadang tidak ada pendeta datangg selama
enam tahun.Dan tentu saja di setiap tempat yang dikunjungi pendeta bisa tinggal
paling lama beberapa hari saja.Pemeliharaan sehari-hari harus diselenggarakan
oleh guru-guru sekolah, yang tidak mendapat pendidikan untuk itu. Soalmya
ialah, Sulawesi Utara termasuk daerah pinggir wilayah VOC dan dengan demikian juga daerah pinggir
gereja VOC.[10]
Akibatnya jemaat di Minahasa dan Sangir
Talaud selama abad ke-17 dan ke 18 tidak bisa semantap jemaat di Ambon-Lease,
yang dipelihara secara jauh lebih teratur. Kemerosotan VOCpada akhir abad ke-18
memukul jemaat-jemaat di Sulawesi Utara
juga. Sejak tahun 1789 tidak ada lagi seorang pendeta dating berkunjung kesana
dan jemaat di sana terlantar sampai tahun 1817.Jadi secara ringkas, dapat
dijelaskan bahwa mula-mula perkembangan agama Kristen di Sulawesi Utara memberi
harapan baik. Tetapi bagi orang-orang Portugis-Spanyol maupun Belanda, daerah ini merupakan daerah
pinggir sehingga tidak mendapat perhatian yang secukupnya. Pekerjaan diganggu
juga oleh perang dan oleh kematian banyak pekerja.Akibatnya, gereja di Minahasa
dan di Sangir-Talaud selama masa itu masih tetap lemah. Pada akhir masa VOC ia
malah menjadi sama sekali terlantar.[11]
2.5. Sejarah Gereja/
Keristenan di Sulawesi Utara Pada Masa Hindia-Belanda
Setelah membubarkan VOC tanggal 31 desember
1799, mulai tahun 1800 pemerintah Belanda menangani sendiri pemerintahan atas
wilayah jajahannya di Nusantara, dan wilayah itu disebutnya Nederlandch-Indie (Hindia-Belanda). Maka
ditetapkan sistem dan perangkat pemerintah yang baru, lengkap dengan personilnya.Dengan
kata lain, pemerintahan baru di Hindia-Belanda sejak saat itu resmi menjadi
bagian dari pemerintahan Belanda.Sebagai kepala pemerintahan di Hindia-Belanda,
semula diangkatlah Letnan-Gubernur Jendral.Yang pertama adalah Pieter van Overstraten,
lalu kemudian digantikan oleh Johannes Siberg (1801-1805) dan Albertus
Hendricus (1805-1808).[12]
Pemerintah Belanda yang baru itu mulai mengusai daerah-daerah jajahan secara
langsung yang sama seperti di Nederland sendiri, asas-asas pencerahan hendak digunakan
dalam tata pemerintahan. Kepentingan rakyat Indonesia harus dimajukan dalam
segala hal dan Negara tidak campur tangan lagi dalam soal agama, melainkan
sikap netral.[13]
Kemudian yang menjadi misi Protestan
adalah Dengan berakhirnya monopoli VOC dan terbuka pintu untuk para badan-badan
misi di Indonesia yang memberikan kesempatan baru, maka dalam kekristenan di
Eropa telah terdapat kekuatan baru. Kesadaran akan pekabaran injil ini lahir
diantara orang-orang Kristen, yang kemudian membentuk berbagai badan pekabaran
Injil selaku persekutuan-persekutuan pribadi dari orang percaya. Lahirlah apa yang kemudian dikenal selaku
Perkumpulan-perkumpulan Pekabaran Injil yang bergerak diluar gereja resmi. Dari
perkumpulan pekabaran Injil ini berdatangan utusan-utusan Injil ke Indonesia
dan bekerja didaerah yang belum dilayani oleh gereja Negara.Tujuan utama dari
badan Pekabaran Injil ini agar orang-orang yang masih belum beragama itu
menerima Injil yang indah dari Allah yang Mahatinggi dan tertanam ajaran
manusiawi.[14]
Kemudian dalam penyebaran agama Kristen
di Sulawesi Utara terkhusnya di daerah Minahasa.Masyarakat Minahasa pada masa
itu tidak memiliki hubungan yang cukup baik dengan bangsa kulit
putih.Persaingan dan peperangan antara Spanyol dan Belanda sedikit banyak ikut
mempengaruhinya.Apalagi, pemerintah kolonial Belanda sering bertindak tidak
bijak terhadap masyarakat setempat. Belanda menerapkan gaya pemerintahan yang
represif dan ingin ikut mengatur berbagai urusan warga Minahasa. Sejak abad
ke-16 ke-17 sudah ada orang-orang Minahasa, yang sebelumnya menganut ajaran
Katolik, beralih menjadi Protestan. Tetapi karena ketidaksukaan mereka terhadap
gaya pemerintahan kolonial Belanda, kebanyakan mereka kemudian berbalik kembali
menjadi penganut agama-agama suku. Namun, kunjungan Joseph Kam ke sana akhirnya
membuka jalan untuk kedatangan utusan Zending
Belanda yang berikutnya. Mereka mengutus Johann Friedrich Riedel seorang
utusan Injil berkebangsaan Jerman.Pengutusan beliau disponsori oleh NZG yang
beraliran Pietis.
Implikasi praktisnya, pengutusan Riedel
ternyata tidak dapat lepas dari keikutsertaan GPI, sebagai lembaga
“perpanjangan tangan” dari Pemerintahan Hindia-Belanda.Riedel ditugaskan untuk
menjangkau penganut agama-agama suku asli Minahasa. Kemudian Riedel menggunakan
beberapa metode yaitu:
1. Riedel
memulai pelayanan tanpa menyertakan bantuan tenaga orang Kristen Minahasa.
2. Riedel
juga tidak meneruskan kebiasaan-kebiasaan pendeta-pendeta bangsa Belanda yang
sering mengancam praktik tradisi dan adat-adat istiadat para pengantut agama
suku asli. Beliau justru menghindari kata-kata kecaman yang pedas
3. Riedel
bersikap ramah-tamah terhadap semua orang, mengundang mereka datang ke
rumahnya, dan mengajak mereka berdiskusi
hangat tentang ajaran-ajaran Kristen
Penerapan
metode ini menjadikan pada tahun 1850, sekitar 70 % warga Tondano telah
menerima baptisan.Riedel didampingi oleh beberapa orang utusan Injil bangsa
Belanda.[15]
2.6. Sejarah Gereja/
Keristenan di Sulawesi Utara Pada Masa Pergerakan Nasional
Awal munculnya gerakan
ini pada tahun 1908 sebagai suatu gerakan di antara mahasiswa-mahasiswa sekolah
kedokteran di Jakarta dan mula-mula memperlihatkan pengaruh kebudayaan Jawa
yang agak kuat. Pada tahun 1928 muncullah suatu gerakan pemuda seluruh
Indonesia, diikat oleh “Sumpah Pemuda” yang
mengikrarkan satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa (bahasa
Indonesia). Dalam perkembangan ini, cita-cita bersama yaitu Negara dan suatu
bangsa yang merdeka, dalam kesadaran berbagai kelompok manusia, dihubungkan
dengan berbagai cita-cita religious dan sosial.[16]
Gerakan Nasionalisme yang dimulai dengan
pembentukan Budi Utomo, partai-partai PNI, serikat Islam sampai pada
pergerakan-pergerakan lainnya (1908-1928) yang menyebabkan berkobarnya semangat
nasionalisme bangsa, juga mempengaruhi kehidupan umat Kristen dan gereja-gereja
di Indonesia. Perkembangan kehidupan gereja pada saat ini jelas ikut diwarnai
oleh pergolakan politik tersebut.Oleh sebab itu pengertian dan penghayatan
kehidupan gereja-gereja turut dipengaruhi semangat nasionalisme yang bergerak
di tengah-tengah kehidupan masyarakat.Usaha-usaha penyebaran injil yang
dilakukanoleh missionaris-missionaris dari berbagai badan zending pada masa
lampau di tanah air tidaklah sia-sia.Karena jerih payah pekerjaan mereka itu
pada saat itu memperlihatkan hasil buahnya.
Salah satu ciri yang menonjol dalam
kehidupan umat Kristen di Indonesia pada periode ini adalah kesadaran gereja
akan pengenalan dirinya dalam rangka pergerakan nasionalisme yang sedang
berkobar di berbagai daerah. Semangat kebangsaan nampak dalam kedewasaan di
kalangan pemimpin-pemimpin pribumi agar supaya kepemimpinan gereja dipindahkan
dari tangan missionaris ke orang-orang Indonesia.[17]
2.8. Sejarah Gereja/
Keristenan di Sulawesi Utara Pada Masa Jepang
Sejak akhir abad ke 19, pemerintah
Jepang mengambil langkah tertentu dan melakukan berbagai kegiatan untuk
meluaskan kekuasaannya ke seluruh Asia Timur dan Tenggara termasuk
Indonesia.Tahun 1895 Jepang berhasil mengalahkan Cina.Tahun 1905 Jepang menang
atas Rusia dan selanjutnya juga menaklukan Korea.Khusus di Indonesia, salah
satu langkah yang diambilnya ialah merintis dan menjalin hubungan baik dengan
kalangan Islam.Jadi pendudukan Jepang atas Indonesia bukanlah suatu peristiwa
yang mendadak. Sementara itu sejak akhir 1930-an kekuatan Hindia-Belanda sudah
semakin merosot akibat berbagai factor yaitu gencarnya gerakan-gerakan dan
partai-partai berskala nasional memperlihatkan sikap anti penjajahan dan
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia atau paling tidak Indonesia berparlemen.[18]
Pada Tahun 1941, Jepang menyerang Amerika Serikat (Pearl Harbor, 7 Desember
1941) dan dalam waktu singkat angkatan Laut dan tentara Jepang berhasil
menundukkan seluruh Asia Tenggara termasuk wilayah Hindia Belanda.Minahasa
sudah direbut dalam bulan Januari, Ambon dan Timor dalam bulan Februari, Jawa
dan Sumatera Utara bulan Maret.Keadaan-keadaan gereja-gereja pada permulaan
Jepang yaitu pada umumnya orang Belanda masih menempati kedudukan yang penting
dalam badan-badan pimpinan pusat. Konferensi para Zendeling tetap merupakan
badan pimpinan pusat, sehingga sama sekali belum ada orang Indonesia ikut serta
di dalamnya (Sangir, Poso, Halmahera, Irian). Pendeta-Ketua GMIM, GPM dan
gereja di Timor adalah seorang Belanda. Tahun 1942 S. Marantika terpilih
menjadi ketua Sinode GPM; W. J. Rumambi diperbantukan oleh GMIM pada biro agama
Minseibu di Manado sehingga menjadi pengantara antara gerejanya dengan penguasa
Jepang. Dalam gereja-gereja yang sudah berdiri sendiri, tetapi yang ketuanya
masih seorang Belanda, dengan sendirinya wakil Ketua (Minahasa) atau seorang
anggota badan pengurus yang lain (Maluku) yang berkebangsaan Indonesia
menggantikan ketua bangsa Belanda itu.Di beberapa daerah pada mulanya rakyat
Kristen bersikap positif terhadap kedatangan Jepang yaitu daerah yang mayoritas
Kristen dan yang sudah menerima cita-cita nasional seperti di Tapanuli dan di
Minahasa. Namun karena penderitaan yang dialami orang Kristen sudah
berpendirian lain, namun ada juga yang merasa bahwa kedatangan Jepang membawa
kemajuan bagi dirinya dan bagi bangsa Indonesia, sehingga tetap pro-Jepang, Mayoritas
besar diam karena takut dan jarang ada yang berbicara secara terus terang.Setiap
hari minggu diadakan ibadah yang berlaku sementara adalah larangan berkhotbah,
jadi yang dilakukan adalah membaca Alkitab saja.Namun ada dua factor yang
mempengaruhi kehadiran anggota jemaat jadi berkurang.Pertama, banyak orang
Kristen yang tidak dapat penjelasan bahwa upacara kebangsaan Jepang wajib
diselenggarakan sebelum atau dalam tiap-tiap kebaktian itu merupakan
penghormatan secara manusia belaka, mereka menjauhinya karena takut berdosa
kepada Tuhan. Kedua, di beberap daerah lama-lama orang tidak memiliki lagi
pakaian yang rapi atau malahan sama sekali tidak memiliki pakaian lagi,
sehingga mereka malu pergi ke gereja. Di Sangir dalam tahun 1945 ada anak-anak
yang duduk di sekolah telanjang, tetapi orang tuanya tidak mau pergi ke gereja
dalam keadaan demikian.[19]9
pendeta ditempatkan di Kalimantan, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Maluku dan
wilayah Jawa-Sumatera.Tanggal 11 Januari 1942, pasukan Jepang memasuki Minahasa.Pemerintahan
Jepang memberi kebebasan beribadah dan malahan menawarkan untuk menanggung gaji
pendeta yang sebelumnya dibayar oleh pemerintahan Hindia-Belanda. Namun dipihak
lain Jepang juga mempersulit kehidupan gereja dengan melarang menyelenggarakan
sekolah di gedung-gedung gereja dan menempatkan sekolah-sekolah milik gereja di
bawah pengawasan Jepang dengan menutup sejumlah gedung gereja dan dengan
menuntut supaya bendera Jepang dibentangkan di semua gedung gereja serta diberi
hormat pada permulaan setiap kebaktian.GMIM memiliki jaringan sekolah dan usaha
sosial yang sangat luas.Didirikanlah sejumlah sekolah menengah Kristen dan
(1965) Universitas Kristen Indonesia Tomohon (UKIT). Akademik Theologia yang
sudah ada sejak tahun 1956 digabungkan dengan UKIT menjadi fakultas Teologia.GMIM juga memiliki
Rumah sakit sejumlah 5 buah yang besar, klinik bersalin dan panti asuhan.[20]
2.9. Sejarah Gereja/
Keristenan di SulawesiUtara Pada Masa Orde Lama
Dimasa orde lama, sewaktu politik
menjadi panglima gereja, sepenuhnya siuman bahwa gereja tidak bisa diidentikkan
dengan segala cita-cita politik. Dengan pengembangan gagasan Nasakom, sikap
pemerintah terhadap gereja memang positif karena pemerintah berkeinginan kuat
untuk menghimpun semua golongan dan kekuatan tanpa kehilangan identitas
masing-masing demi mencapai tujuan revolusi: masyarakat adil dan makmur. Pada
waktu itu gereja tidak ikut terjebak dalam arus pengkultusan individu.[21]Dalam
masa 1875-1935, kekristenan di Minahasa mengalami kemacetan dalam
perkembangannya menuju gereja yang berdiri sendiri.Akan tetapi berkat perubahan
yang terjadi di kalangan orang Minahasa sendiri dan dalam lingkungan pimpinan
gereja berkebangsaan Belanda, maka akhirnya tujuan itu tercapai juga. Selama
masa itu, di Minahasa sering terjadi suasana tegang antara empat unsur penting:
Zending, gereja (GPI), pemerintah dan tokoh-tokoh Minahasa yang sudah aktif di
bidang politik dan gereja. Ketegangan itu membawa banyak kesulitan, tetapi
sempat menjadi pula pencetus pendobrakan kemacetan tersebut. Yang penting juga
ialah: pihak-pihak yang bersangkutan, khususnya Zending dan gereja telah mulai
melihat bahwa kemandirian gereja bukanlah tahap terakhir dalam perkembangan
orang Kristen Minahasa menuju ketingkat kekristenan yang sempurna, melainkan
titik tolak untuk pertumbuhan rohani dalam mengahadapi tantangan-tantangan
dalam lingkungan sendiri. Pada masa Jepang dan pada tahun 1950-an serta 1960-an,
GMIM mengahadapi tantangan yang baru.Dalam menjawab tantangan itu, tokoh
pendeta Wenas memainkan peranan yang sangat penting. Sama seperti sejumlah
besar gereja yang lain, GMIM ragu-ragu memilih antara sentralisasi dan
desentralisasi dalam hal urusan gereja.[22]
2.10. Sejarah Gereja/
Keristenan di Sulawesi Utara Pada Masa Orde Baru
Setelah terjadi peristiwa G 30 S yang
dianggap oleh umum selaku perbuatan kaum ateis, maka pemerintah menganjurkan
kepada rakyat agar memilih salah satu diantara agama dan kepercayaan yang
diakui sah oleh pemerintah.Anjuran ini telah mendorong banyak orang untuk
memilih agama yang sesuai dengan hati nuraninya. Berbeda dengan sikap
golongan-golongan lain, yang menakut-nakuti rakyat, agar supaya memilih agama
mereka masing-masing, gereja sebaliknya membuka diri seluas-luasnya dan
mengabarkan Injil perdamaian yang setia, menjelaskan isi pengharapannya dengan
lebut dan hormat, serta melayani siapa saja yang memerlukan pertolongan.Sikap
ini membuat lebih banyak orang memilih agama Kristen.[23]
Dalam periode orde baru, pemerintah
sangat menyadari pentingnya peranan agama terutama untuk memberikan kekuatan
mental bagi rakyat sehingga tidak terpengaruh dengan paham-paham agama.Dalam
keadaan demikian, kerjasama antara gereja dan pemerintah menunjukan gambaran
yang positif dan sehat.Juga dalam iklim pembangunan tambah disadari betapa
pentingnya peranan agama untuk mempersiapkan dan memantapkan mental rohani
seluruh bangsa, sehingga cita-cita pembangunan dapat dilaksanakan secara wajar
dan menyeluruh.Dalam hubungan gereja ini, gereja Indonesia semakin dewasa dalam
sikap teologis positifnya.[24]
Kemudian pada masa orde baru di Sulawesi
Utara dijelaskan juga tentang perkembangan kekristenan/gereja yang ada di
daerah tersebut.Dimana, sesudah tahun 1945, GMIM tidak mau kembali begitu saja
ke hubungan dengan GPI dan pengurusnya di Jakarta yang berlaku sebelum perang.
Wewenang untuk mengangkat ketua sinode serta pendeta-pendeta tidaklah dikembalikan
kepada pengurus am, tetapi tetap berada di tangan GMIM itu sendiri.Hubungan
tenaga pendeta dengan warga gereja berkebangsaan Eropa juga berubah.Sebelum
perang, satu klasis dari jumlah 11 merupakan klasis khusus untuk warga Eropa:
kini klasis itu dihapuskan. Kemudian majelis jemaat-jemaat tersebut diberi wewenang
lebih besar daripada yang dimiliki oleh majelis jemaat daya lama, misalnya
dalam hal keuangan jemaat dan pemanggilan pendeta. Dalam tahun 1970-an timbul
gerakan balik, sehingga wewenang jemaat kembali dikurangi khusus nya di bidang
keuangan.[25]
2.11.
Gereja/ Kekristenan di Sulawesi Utara pada Masa Reformasi
Pada masa reformasi ini dilatarbelakangi
daripada orde baru yang dimana banyak gejolak dan permasalahan dikarenakan ada
oknum yang tidak mengerjakan pekerjaannya dengan baik.Pemerintah pada saat itu
otoriter itulah yang menjadi munculnya latarbelakang reformasi di Indonesia.Sehingga
gereja sangat sulit berkembang dan banyak kesulitan.Orde reformasi ditandai
dengan munculnya B. J Habibie sebagai presiden Republik Indonesia yang
ketiga.Naiknya B. J Habibie sebagai presiden menggantikan Soeharto menjadi
polemik dikalangan ahli hukum. Sebagian ahli menilai hal itu konstitusional,
tetapi yang lain berpendapat institusional. Pengangkatan B. J Habibie dipandang
konstitusional berdasarkan kepada pasal 8 UUD 1945 yang mengatakan bahwa “bila
presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajiban Ia diganti oleh
wakil Presiden sampai habis waktunya”. Pihak yang menyatakan bahwa naiknya
Habibie inskonstitusional berpegang pada ketentuan pasal 9 UUD 1945 yang
mengatakan bahwa “sebelum Presiden memangku jabata, maka Presiden baru
mengucapkan sumpah atau janji di depan MPR/DPR”. Sementara Habibie tidak
melakukan itu ia mengucapkan sumpah dan janji di depan Mahkamah Agung dan
personil MPR/DPR yang bersifat kelembagaan.[26]
Kemudian dalam perkembangan gereja di
Sulawesi Utara pada masa Reformasi bahwasanya ada dikenal salah satu gereja
local yanki GERMITA atau Gereja Masehi Injili Talaud yang mulai berdiri pada
tanggal 23 Oktober 1997 sebagai perluasan dari Gereja Injili Sangir Talaud, dan
kemudian pada tanggal 23 Oktober 1997 dibentuklah gereja Masehi Injili Talaud
yang disingkat GERMITA. Berdirinya GERMITA tentunya tidak bisa dilepaskan dari
karya pekabaran Injil Zendeling (Misionaris) bangsa Eropa pada abad 19, sebab
abad 19 adalah abad pekabaran Injil.Bersamaan dengan kemajuan teknik meluasnya
hubungan lintas dunia, maka pekabaran Injil berjalan ke pelosok dunia.[27]
2.12.
Gereja/Kekristenan di Sulawesi Utara Pada Masa Merdeka
Di zaman kemerdekaan, gereja mengalami
gelombang cobaan yang cukup kritis.Di beberapa daerah, gereja mengalami
kesengsaraan yang cukup perih, akibat aksi-aksi teror dari gerombolan D I
sampai T II.Namun sikap pemerintah dan gereja jelas dan mantap, melindungu dan
membantu membebaskan dari gangguan gerombolan tersebut sampai akhirnya
gerombolan D I sampai T II dapat ditumpaskan.[28]Pada
tahun 1947 (25 Mei) berdirilah Gereja Injili Sangir-Talaud selama tahun-tahun
pertama, sebagian besar jemaat Talaud tidak masuk ke dalam gereja yang baru berdiri
itu.Barulah pada tahun 1955, ketika ketua sinode yang pertama, Y. Salawati
diganti oleh salah satu seorang Talaud, jemaat-jemaat itu bergabung dengan
GMIST.[29]
2.11. Berdirinya Gereja
yang Mandiri
2.11.1. GMIM
Seperti yang
telah dikemukakan oleh Sondakh dan Jones (2003), masyarakat Sulawesi
Utara-Khususnya Minahasa- memiliki sebuah lembaga swadaya masyarakat yang
berakar sejak zaman kolonial hingga di era desentralisasi dan otonomi daerah
sekarang ini, yaitu GMIM.[30]Kekristenan
di Minahasa ditanam oleh misionaris Portugis.Pada tahun 1563, Peter Magelhaes
membabtiskan raja Minahasa bersama 1.500 rakyatnya.Tahun 1663 Portugis diusir
oleh VOC dari Minahasa. Pada tahun 1675 Pdt. Montanus mengunjungi Minahasa dan menemukan sekelompok orang
Kristen disana.[31]Selama
kunjungannya ia memberikan pengajaran katekisasi kepada 24 orang dewasa (22
wanita dan 2 pria) dan membabtis 16 anak kecil. Minat agama Kristen cukup
besar, banyak orang meminta untuk mengikuti pengajaran agama.[32]Pada
tahun 1707, terdapat 5.000 orang Kristen.Tahun 1771 didirikan jemaat kedua di
Likupang.Ketika terjadi peralihan dari VOC kepada Indische Kerk jemaat disni
menderita, tidak ada tenaga pendeta yang merawat mereka.Joseph Kam mengutus dua
orang Misionaris yaitu Pdt. Muller dan Pdt. Lammers, pada tahun 1882. Jemaat
terdapat di Manado, Amurang, Tanawangko, Kema, Likupang, Tondano dan Langoan.
Pada Tahun 1831,
GPI menyerahkan wilayah Minahasa kepada NZG. Dua orang Misionaris NZG yang
sangat berjasa bagi perluasa kekristenan di Minahasa adalah Pdt, Johann
Friedrich dan Pdt. Johann Gotlieb Schwarz. Riedel menempati Tondano, sedangkan
Schwarz di Langoan. Tenaga pendeta kemudian ditemoatkan di daerah-daerah
lainnya: Amurang (1836), Tomohon (1838), Kema, Airmadidi dan tanawangko (1848),
Kumelembuai (1849), Sonder (1861), Ratahan (1862) dan Talasa (1864). Selama
hampir 40 tahun lamanya seluruh Minahasa telah menjadi Kristen.NZG menyerahkan
kembali Minahasa kepada GPI pada tahun 1876 dengan jumlah anggota jemaat sekitar
80.000 orang atau 80% dari penduduk Minahasa. Pendeta Minahasa yang pertama
ialah Adrianus Angkow yang ditahbiskan pada tahun 1847. Kursus penginjil
didirikan di Tomohon pada tahun 1867 dan kemudian menjadi STOVIL Pada tahun
1886 yang kini menjadi fakultas teologi UKIT di Tomohon pada 20 September 1934
jemaat-jemaat GPI di Minahasa membentuk sinodenya sendiri dengan nama Gereja
Masehi Injili di Minahasa (GMIM). Jumlah anggota jemaat terus bertambah. Pada
tahun 1938 menjadi 282.473 orang dan pada tahun 2000 mencapai 632.705 orang.[33]Dengan
didirikannya GMIM sebagai gereja yang berdiri sendiri, maka berlakulah suatu
tata gereja yang baru. Pertama-tama segala resort diubah menjadi klasis yang
terdiri dari sejumlah jemaat yang masing-masing sama haknya.Kemudian
dengan berdirinya GMIM terbukalah kesempatan bagi gereja itu untuk bergerak
lebih daripada dahulu. Memang masih berlaku ikatan-ikatan satu pihak dalam hal
bergantungan kepada gereja Protestan pusat Jakarta, dan pihak lain dalam soal
anggaran belanja yang sebagian besar masih dipikul oleh pemerintah Belanda.Namun
begitu GMIM mulai mempergunakan kebebasannya yang baru, pertama-tama kita melihat
bahwa GMIM bisa menyelesaikan masalah itu.
Tetapi amat
disayangkan bahwa singkat sekali waktu bagi GMIM untuk berkembang setelah tahun
1934.Beberapa tahun kemudian, kesulitan-kesulitan perang ke II dengan segala
akibatnya menimpa seluruh Indonesia.Dengan peristiwa itu, sumber keuangan
lenyap begitu saja yang sampai pada saat itu dijamin oleh pemerintah Belanda.Pertolongan
berupa tenaga orang dari gereja Prostestan lenyap pula, oleh karena
pendeta-pendeta Belanda beserta pendeta pembantu ditangkap serta ditahan oleh
pemerintah Jepang selama berkuasa di Indonesia.Pemerintah itu mencoba untuk
mempersatukan segala gereja dan sekte Kristen menjadi satu organisasi.Namun
begitu hidup jemaat berlangsung terus dengan tiada perubahan dalam kepenjajahan
atau sifat Protestan mereka.Sesudah saat-saat kesukaran itu berlaku maka
keadaan seluruhnya berada dalam masa pancaroba yang hebat.[34]
Pada tahun 1933
terjadi perpecahan dalam kalangan jemaat-jemaat GPI di Minahasa.Hal ini
disebabkan lambannya pendewasaan jemaat-jemaat GPI di Minahasa.Kelompok itu
mendirikan gereja tersendiri yang disebut Kerapatan Gereja Protestan Minahasa
(KGPM).Pada masa kedudukan Jepang, GMIM dipimpin oleh Pdt. A.Z. Wenas.Pada masa
ini, pemerintah Jepang membentuk Persatuan Kristen Selebes Utara (PARSU).GMIM
aktif di dalam wadah ini.Sistem pemerintahan Gerejawinya adalah
Presbiterial-Sinodal.Gereja ini menjadi anggota PGI pada tahun 1950.Kantor
pusatnya berada di Tomohon.GMIM merupakan Gereja Protestan di Indonesia
(GPI).GMIM mempunyai Universitas Kristen Tomohon (UKIT). Gereja ini juga
menyelenggarakan persekolahan dan mempunyai limasakit yang besar, Klinik
Bersalin, dan sebagainya.GMIM melaksanakan
pemeliharaan dan pengkabaran injil didaerah bolaang Mongondow,
Gorontalo, dan Donggala yang kemudia menjadi gereja yang berdiri sendiri.[35]Orang
Kristen di Minahasa berjumlah 80.000 jiwa.Pada tahun 1898 jumlah itu telah
meningkat menjadi 149.740, pada tahun 1913 berjumlah 183.000 dan pada tahun
1934 berjumlah 270.000 jiwa, diantaranya 90.000 lebih anggota sidi.Jumlah
jemaat ikut meningkat dari 246 (1913) menjadi 361 (semua dengan majelis gereja)
pada tahun GMIM berdiri sendiri 1934. Pada tahun itu juga jemaat itu dilayani
oleh dua orang pendeta (orang Eropa), 9 orang pendeta bantu (3 orang Minahasa),
89 orang pendeta pribumi (1934), 374 guru jemaat, dan 6.000 anggota majelis.
Ada pula kurang lebih 360 guru dipekerjakan di sekolah gereja.[36]
2.11.2. GMIST
Sejak tahun 1858, panitia
Zendeling-tukang tidak begitu aktif lagi, dan dengan kematian Heldring pada
tahun 1876 kegiatan panitia itu sama sekali berhenti. Maka pada tahun 1887 di
negeri Belanda didirikan panitia Sangir Talaud.Atas desakan panitia itu para
pekerja di Sangir Talaud yang selama itu bekerja sendiri-sendiri dengan
mengikuti selera masing-masing dalam hal metode, digabungkan menjadi konferensi
para zendeling, yang berkumpul setahun sekali.Disamping itu, dibentuk pulak
konferensi para pengerja pribumi yang berkumpul 2 tahun sekali bersamaan waktu
dan tempat dengan konferensi para zendeling. Maka pada tahun 1921 sudah
ditahbiskan 16 pendeta pribumi yang berhak melayangkan sakramen-sakramen
sehingga berwenang sama dengan para utusan injil dari Eropa. Tahun 1930
diadakan pembicaraan dengan maksud mempersiapkan peraturan gereja berpola
presbiterial.Prosesnya berkepanjangan, sehingga belum selesai waktu perang
dunia ke II meletus.Pada tahun 1926 dua kelompok malah memisahkan diri dari
jemaat Zending, karena tidak lagi menerima perwakilan zending itu. Tetapi zaman
Jepang yang penuh kesusahan itu (sejumlah pemuka masyarakat Sangir tewas
terbunuh oleh Jepang) untuk sementara waktu menghentikan proses peralihan
pimpinan; lagipula pada masa itu para zendeling lagi ditawan oleh Jepang.[37]
Pada tahun 1934 diupayakan mendewasakan jemaat disana pada 25 Mei 1947 nama
yang digunakan ialah Gereja Masehi Injili Sangihe-Talaud (GMIST). Pada tahun
1955 Pdt. Yahya Salawati (1890-1964) menjadi ketua sinode yang I kantor pusatnya
berada di Talaud- Sulawesi Utara.[38]
Selama tahun-tahun pertama, sebagian
besar jemaat-jemaat di kepulauan Talaud tidak masuk dalam bagian Gereja yang
baru berdiri sendiri itu.Barulah pada tahun 1955 katika ketua sinode yang
pertama Y. Salawati diganti oleh seorang Talaud, jemaat-jemaat itu bergabung
dengan GMIST. Dimasa kemudian, hubungan antara kedua wilayah GMIST itu bukan
tidak menimbulkan persoalan, pun hubungan dengan klasis Indonesia Barat, yang
mencakup jemaat-jemaat orang sangir dalam perantauan di Jawa dan Sumatera,
mengalami kesulitan karena jarak yang jauh. Terdapat pulak sejumlah besar orang
Sangir yang dari dulu sudah menetap di Filipina Selatan.Pada tahun 1943 bakal
GMIST sudah merencanakan usaha Pekabaran Injil di tengah kelompok, tetapi pelaksanaannya
dicegah oleh campur tangan pihak Jepang.Pada Tahun 1965, GMIST meminjamkan
seorang pendetanya kepada DGI yang mengutusnya ke Filipina Selatan untuk
bekerja disitu dibawah naungan gereja-gereja Filipina, bersama beberapa guru
Sangir.[39]
2.12. Aliran-aliran
Lain di Sulawesi Utara
2.12.1. Gereja Setan
Gereja setan
mulai masuk di Indonesia sejak tahun 1990-an. Meski keberadaanya masih
misterius tapi beberapa orang yang mengaku pernah masuk perkumpulan satanic
mengungkapkan bahwa penganut aliran setan sendiri sudah mencapai ribuan
orang.Gereja setan atau Satanic Church pertama kali didirikan oleh Anton
Szandor LaVey di San Francisco, California, Amerika Serikat.Aliran dari
kelompok ini menganut kepercayaan seks bebas, aliran ini pula yang menjadi daya
tarik kuat bagi kalangan anak muda di Indonesia. Dari kabar-kabar misteri yang
beredar konon penganut aliran dari kelompok gereja setan berhasil menembus di
berbagai kota besar seperti Bandung, Jakarta dan Manado.
Kota manado
sendiri terletak di Sulawesi utara disebut sebagai pusat kegiatan gereja setan,
bahkan para pemimpin gereja setan justru berencana menjadikan Manado sebagai
gereja setan terbesar didunia setelah California. Gereja setan di Indonesia
pertama kali berdiri pada 31 Oktober 1991 di gedung Joeang, Manado. Gereja
setan tak hanya merasuk dan merusak orang Kristen di manado, tetapi mereka juga
merencanakan Manado sebagai pusat gereja setan nomor 2 dunia setalah California
di As. Hal ini terbukti dari ucapan Prince Of Michael, bahwa separuh kota
Manado sudah dikuasai oleh Gereja Setan. Lalu, mengapa target mereka justru
Manado, kota terbesar di kawasan Utara Indonesia yang justru merupakan banteng
iman kristiani yang tangguh? Di manado, banyak hamba Tuhan yang menentukan
detak nadi aktivitas pelayanan di Indonesia. Kehidupan masyarakatnya dinilai
sangat baik, kehidupan rohaninya kuat.Selain itu persekutuan yang sangat
tangguh seperti seringnya diadakan KKR. Jadi, kalau Manado yang di nilai
sebagai “Jantungnya” Orang Kristen, sudah hancur, maka dengan sendirinya
seluruh kota lainnya di Indonesia akan mudah ditaklukan oleh gereja setan.[40]
2.12.2. Aliran
Pentakosta
Gereja-gereja Pentakosta di Indonesia
dan di seluruh dunia berasal dari gerakan Pentakosta yang timbul di Amerika
Utara sekitar tahun 1906.Gerakan ini merupakan salah satu tunas Holiness
Movement (gerakan kesucian) yang timbul di dalam gerakan Methodist dalam paroan
kedua abad ke-19. Lama kelamaan penganut gerakan kesucian ini keluar dari
gereja Methodist dan membentuk organisasi-organisasi tersendiri. Dengan
demikian gerakan Pentakosta merupakan cabang gerakan kesucian, tetapi dengan
menekankan secara khusus pada karunia-karunia roh. Mereka berhasil menarik hati
sejumlah tokoh yang kemudian menyiarkan keyakinan mereka yang baru dengan giat
sekali, sehingga gerakan Pentakosta dengan cepat tersebar dadri Surabaya ke
seluruh Jawa Timur, Sumatera Utara, Minahasa, Maluku dan Irian. Tahun 1922-1925
seorang Inggris beristrikan orang Belanda bernama William Bernard , di utus ke
Jawa oleh salah satu kelompok Pentakosta di Belanda. Ia menetap di Temanggung.
Disitu ditemukannya sejumlah orang Kristen yang bergabung dalam sebuah kelompok
doa. Dari Temanggung gerakan itu meluas ke beberapa kota di Jawa. Selanjutnya
pengaruhnya terasa terutama di Jawa Barat dan Tengah dan di Sulawesi.
Kelompok-kelompok yang tertarik oleh pemberitaan ajaran Pentakosta ialah
golongan Indo-Eropa yang selama itu tidak mendapat perhatian secukupnya dari
pihak gerejanya, yaitu gereja Protestan, orang Tionghoa, dan para warga
suku-suku yang sudah dikristenkan, seperti Minahasa, Maluku dan Batak. Jumlah
anggota seluruh gereja Pentakosta di Indonesia sulit diperkirakan, tapi dapat
ditafsir berada antara 1,2-1,5 juta. Orang yang masuk Pentakosta kebanyakan
dating dari gereja lain. Begitu pula, sampai sekarang anggota gereja-gereja
Pentakosta yang terbanyak (sekitar 80%) tinggal di daerah-daerah di mana sudah
terdapat banyak orang Kristen yakni Sumut, Jakarta dan kota-kota besar di pulau
Jawa lainnya, serta Sulawesi Utara.[41]
2.13.3. Aliran Babtis
Di samping gereja-gereja arus utama yang
berkembang di Sulawesi Utara, khususnya Manado, hadir pula Kerapatan Gereja
Baptis Indonesia (KGBI) yang berpusat di Manado. KGBI merupakan cikal bakal
dari beberapa pemuda dari GMIM yang belajar di sekolah Alkitab CAMA/KINGMI di
Makassar pada tahun sekitar 1930-an dan 1940-an. Hal yang mereka perkenalkan
adalah mengenai wawasan dan gerakan ‘‘iman dan pertobatan pribadi’’ dan ‘‘Baptisan
orang percaya’’ atau disebut Baptisan dewasa, namun pimpinan GMIM menolaknya. Sehingga
kemudian mereka membentuk organisasi gereja baru sejak tahun 1951. Dari antara
warganya ada yang belajar di seminari baptis di Semarang, lalu secara
perlahan mereka mengidentifikasi diri
mereka bagian dari gereja baptis, lalu menggunakan nama KGBI sejak 1979.Gereja
ini giat melakukan Penginjilan mulai dari Sulawesi Utara dilanjutkan ke
kepulauan Sangir-Talaud, Halmahera bahkan sampai ke Jawa, Sumatera, dan
Kalimantan.Untuk pekerjaan misi KGBI didukung oleh misi dari Canadian Baptist
dan Southern Baptist Convention. Sekarang ia memiliki sekitar 7000 jiwa warga
penuh.[42]
2.13. Tokoh-tokoh
Sejarah Gereja/ Kekristenan di Sulawesi Utara
2.13.1. Johann
Friedrich Riedel
Gereja di Minahasa (1831-1880) diikuti
persaingan dan peperangan antara Spanyol dan Belanda sedikit banyak ikut
mempengaruhinya. Belanda menerapkan gaya
pemerintahan yang represif dan ingin ikut mengatur berbagai urusan warga Minahasa.
Sejak tahun sebelumnya ada orang Minahasa yang sebelumnya menganut ajaran
Katolik, beralih menjadi penganut Protestan.Tetapi, karena ketidaknyamanan
mereka kemudian beralih kembali menjadi penganut agama-agama suku. Namun,
Joseph Kam ke sana dan akhirnya membuka jalan untuk kedatangan utusan Zending
Belanda berikutnya. Mereka mengutus Riedel seorang utusan Injil berkebangsaan
Jerman.Pengutusan beliau didasarkan NZG yang beraliran Pietis.Riedel ditugaskan
untuk menjangkau penganut agama-agama suku asli Minahasa. Riedel menggunakan
beberapa metode:
1.
Riedel memulai
pelayanan tanpa menyertakan bantuan tenaga orang Kristen Minahasa.
2.
Riedel juga tidak
meneruskan kebiasaan-kebiasaan pendeta-pendeta bangsa Belanda yang sering
mengancam praktik tradisi dan adat-adat istiadat para pengantut agama suku
asli. Beliau justru menghindari kata-kata kecaman yang pedas
3.
Riedel bersikap
ramah-tamah terhadap semua orang, mengundang mereka datang ke rumahnya, dan
mengajak mereka berdiskusi hangat
tentang ajaran-ajaran Kristen.
Penerapan
metode ini menjadikan pada tahun 1850, sekitar 70 % warga Tondano telah
menerima baptisan.Riedel didampingi oleh beberapa orang utusan Injil bangsa
Belanda.[43]
2.13.2. Josep Kam
Joseph Kam dilahirkan September
1769.Ayahnya bernama Joost Kam yaitu seorang tukang pangkas rambut.Keluarga Kam
adalah anggota gereja Hervormd yang setia, tetapi suasana rumah tangga mereka
dipengaruhi oleh semangat pietisme Herrnhut.Mereka mempunya hubungan dengan
kelompok Herrnhut di Zeist. Joseph adalah seorang pekabar Injil yang memberikan
darah segar kepada tubuh jemaat-jemaat di Maluku yang ditinggalkan terlantar
sesudah bubarnya VOC di Indonesia pada tahun 1799. Ia memiliki tekad menjadi
pekabar Injil. Ia melamar kepada NZG pada tahun 1807. Ia mempersiapkan diri
untuk menjadi pekabar Injil di Denhaag dan Rotterdam beberapa pendeta. NZG
belum memiliki sekolah pekabaran Injil sendiri.Pada tahun 1811 pendidikan
persiapannya dianggap selesai, namun Kam belum dapat diberangkatkan karena
perang masih berkecamuk.Berhubung Kam belum dapat diberangkatkan, maka NZG
meminta kepada kelompok Herrnhut di Zeist supaya sementara memakai tenaga
Kam.Sementara itu NZG berusaha mencari jalan untuk menyeludupkan Kam ke
Inggris. Dalam kerja sama LMS (London Missinary Society).[44] Kam dikirim ke Indonesia namun mengikuti
ujian dan ia dinyatakan lulus. Pada 1813 Kam ditahbiskan menjadi pendeta di
London.Penahbisan ke dalam jabatan pendeta merupakan tindakan yang sangat
bijaksana karena dengannya Kam dapat melayani sakramen di Indonesia.Pada tahun
1814 Kam menuju Maluku dalam umur 33 tahun bersama dengan Bruckner dan
Supper.Sambil menunggu kapal ke Maluku, Kam bekerja sementara dalam Gereja
Protestan di Surabaya.Ia membentuk kelompok kecil orang saleh di Surabaya yang
giat dalam pemberitaan Injil.[45]Pada
tahun 1815 Kam meniggalkan Surabaya menuju Ambon.Ia langsung terjun dalam
pekerjaannya. Dia satu-satunya pendeta di seluruh Indonesia Timur, satu-satunya
orang yang berhak melayankan sakramen-sakramen di Jemaat yang terbentang.Kam
harus melayankan baptisan kepada 7.553 orang di jemaat-jemaat Pulau Ambon,
Serem dan Lease saja.Pada hari paskah tahun 1815 Perjamuan Kudus dilayankannya
kembali untuk pertama kalinya sejak 13 tahun. Dari Agustus 1817 sampai Februari
1818 ia melakukan perjaanan ke Ternate, Minahasa dan Sangir.[46]Kemudian
pada tahun yang sama Joseph Kam datang ke wilayah Minahasa dan melakukan
pembinaan pelayanan keagamaan bagi umat Kristen Protestan. Pada tahun 1822, Kam
meminta NZG mengirimkan utusan penyiar Injil ke Minahasa sehingga Belanda
mengirimkan Melledoorn yang menjabat sebagai pendeta pada tahun 1827 hingga
1839.Sementara aktivitas zending itu banyak ditentukan oleh dukungan dan campur
tangan pemerintah.Pada tanggal 5 September 1815 lembaga gereja ditempatkan di
bawah kementerian perdagangan koloni yang menunjuk pada suatu komisi yang
bernama Maagsche Commissie sebagai badan penasihat bagi pemerintah.[47]
VI. Daftar Pustaka
Abineno, J. L. Ch., Sejarah Apostolat di Indonesia 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978.
Abineno,
J. L. Ch., Sejarah Apostolat di Indonesia
II/1. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978.
Aritonang,
Jan S., Berbagai Aliran di Dalam dan di
Sekitar Gereja.Jakarta: BPK-GM, 2016.
Aritonang, Jan S., Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di
Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016.
Berkhof,
H., Sejarah Gereja. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2017.
Culver,
Jonathan E., Sejarah Gereja Indonesia.
Bandung: Biji Sesawi, 2014.
Depdikbud.Sejarah Kebudayaan Sulawesi.Jakarta: cv.
Dwi Jaya Karya, 1995.
End,
Th. Van Den dan weitjens, J., Ragi Carita
2.Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018.
End,
Th. Van den, Harta dalam Bejana.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016.
End, Th. Van den, Ragi Cerita 1: Sejarah Gereja di Indonesia
1. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2019.
Kamsori,
M. Eryk, Ilmu Pengetahuan Sosial Sejarah.
Bogor: CC. Regini, 2006.
Kruger,
Muller, Sejarah Gereja di Indonesia.Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1966.
Sejarah
3 SMA XII.Yudhistira Ghalia Indonesia, 2006.
Tirtosudarmo,
Riwanto, Mancari Indonesia. Jakarta:
LIPI Presa, 2007.
Ukur, F.,& Cooley, F.
L., Jerih dan Juang.Jakarta: Lembaga
Penelitian dan Studi-DGI, 1979.
Wellem, F. D., Kamus Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.
Sumber Lain
http://www.seputarsulut.com/geografi-sulawesi-utara/. Diakses pada tanggal 11 Februari 2020,
Pukul 16.51 WIB.
https://id.wikipedia.org/wiki/Sulawesi. Diakses pada tanggal 11 Februari 2020 pukul
16.05.
Jelajah-misteri.blogspot.com/2014/11/kisah-misteri-gereja-setan-di-manado.html?m=1, diakses
pada tanggal 08 Februari 2020, Pukul 22.15 Wib.
http://lukasyohans.blogspot.com/2015/06/kekristenan-di-sulawesi-utara-sejak.html, diakses pada tanggal 10 Februari pukul
13.00 WIB.
[1]Depdikbud.Sejarah Kebudayaan
Sulawesi (Jakarta: cv. Dwi Jaya Karya,1995), 95.
[2]J. L. Ch. Abineno, Sejarah
Apostolat di Indonesia 1 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978), 98.
[3]J. L. Ch. Abineno, Sejarah
Apostolat di Indonesia II/1 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978), 95-96.
[4]Th. Van den End, Ragi Cerita
Sejarah Gereja di Indonesia 1 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2019), 80.
[5]Jan S. Aritonang, Sejarah
Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2016),40-41.
[6] H. Berkhof ,Sejarah Gereja (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2017), 236.
[7] Jan S. Aritonang, Sejarah
Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 38.
[8]Th. Van den End, Ragi Cerita
Sejarah Gereja di Indonesia 1, 65.
[9] F. Ukur & F. L. Cooley, Jerih dan Juang (Jakarta: Lembaga
Penelitian dan Studi-DGI, 1979), 459.
[10]Th. Van den End, Ragi Cerita
Sejarah Gereja di Indonesia 1, 82-85.
[11] Ibid, 86.
[12] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam Di
Indonesia, 73-74.
[13] Th. Van den End, Ragi Cerita 1: Sejarah Gereja di Indonesia,
144-145.
[14] F. Ukur & F.L.
Cooley, Jerih dan Juang, 477.
[15] Jonathan E. Culver,
(Bandung: Biji Sesawi, 2014), Sejarah Gereja
Indonesia, 70-72.
[16] M. Eryk Kamsori, Ilmu
Pengetahuan Sosial Sejarah (Bogor: CC. Regini, 2006), 82.
[18] Jan S. Aritonang, Sejarah
Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2004), 210.
[19]Th. Van Den End dan J. weitjens, Ragi
Carita 2, 342-353.
[20]Th. Van Den End dan J. weitjens, Ragi
Carita 2, 96, 98.
[21]F. Ukur & F.L.
Cooley, Jerih dan Juang, 370.
[22]Th. Van Den End dan J. weitjens, Ragi
Carita 2, 99-100.
[23]F. Ukur & F.L.
Cooley, Jerih dan Juang, 519-520.
[24] Ibid, 370-371.
[25]Th. Van Den End dan J. weitjens, Ragi
Carita 2, 97-98.
[27]http://lukasyohans.blogspot.com/2015/06/kekristenan-di-sulawesi-utara-sejak.html, diakses pada tanggal 10 Februari
pukul 13.00 WIB.
[29]Th. Van Den End dan J. weitjens, Ragi
Carita 2, 148.
[30] Riwanto Tirtosudarmo, Mancari
Indonesia (Jakarta: LIPI Presa, 2007), 214.
[31] F. D. Wellem, Kamus Sejarah
Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 137.
[32]J. L. Ch. Abineno, Sejarah
Apostolat di Indonesia 1 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978), 92.
[33] F. D. Wellem, Kamus Sejarah
Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 137-138.
[34] Muller Kruger, Sejarah Gereja
di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1966), 115-117.
[35] F. D. Wellem, Kamus Sejarah
Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 137-138.
[36]Th. Van Den End dan J. weitjens, Ragi
Carita 2, 87.
[37] Th. Van Den End dan J. weitjens, Ragi Carita 2 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), 147-148.
[38] F. D. Wellem, Kamus Sejarah
Gereja, 142.
[39] Th. Van Den End dan J. weitjens, Ragi Carita 2 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), 147-148.
[40]
Jelajah-misteri.blogspot.com/2014/11/kisah-misteri-gereja-setan-di-manado.html?m=1, diakses
pada tanggal 08 Februari 2020, Pukul 22.15 Wib.
[41]Th. Van Den End dan J. weitjens, Ragi
Carita, 270-275.
[42] Jan S. Aritonang, Berbagai
Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja (Jakarta: BPK-GM, 2016), 169-170.
[43]Jonathan E. Culver, Sejarah Gereja Indonesia, 71-72.
[44] LMS adalah lembaga
pengkabarn Injil ini didirikan di London, Inggris pada taun 1795, oleh
orang-orang Anglikan, Kongregasional, Presbiterian, dan Wesleyan yang
dipengaruhi oleh semangat Pietisme dan Revivalisme. Lembaga ini bertujuan
memberitakan di tenagh-tengah masyarakat dengan beragama non Kristen.Ketika
Indenesia dijajah oleh Inggris, NZG mengutus Joseph Kam ke Indonesia dengan
perantaraan Lembaga ini. (F.D. Wellem,
Kamus Sejarah Gereja, 267)
[45] F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat (Jakarta:
BPK-GM, 2015), 110.
[46]Th. Van den End, Harta dalam Bejana, 254-256.
[47]Depdikbud.Sejarah Kebudayaan
Sulawesi, 100.