sejarah Kekristenan di Maluku dari Portugis hingga sekarang


Gereja/ Kekristenan di Maluku

I.          Pembahasan
1.1.Keadaan Maluku Sebelum Kekristenan[1]
1.1.1.      Konteks Agama
Sebelum kekristenan muncul, penduduk di daerah Maluku banyak menganut agama nenek moyang. Tetapi pada akhir abad ke 15, beberapa raja-raja di pulau kecil lepas pantai Halmahera memeluk agama baru, yang telah dibawa oleh pedagang-pedagang dari Indonesia bagian barat, yakni agama Islam. Dengan demikian terdapatlah empat kerajaan Islam, yaitu Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Di Maluku Selatan juga sejumlah kampong masuk Islam pada waktu itu.
1.1.2.      Konteks Politik
Masuknya agama Islam, berarti masuknya faktor baru dalam pertikaian antara kampung dan suku. Secara khusus, sultan-sultan Ternate berusaha menaklukkan daerah-daerah lain di Maluku Utara dan diluarnya, sekaligus menyebarkan agama Islam.
1.1.3.      Konteks Ekonomi
Maluku merupakan salah satu daerah penghasil rempah-rempah yang terbaik di Nusantara. Sehingga banyak para pedagang yang datang dari dalam negeri bahkan juga dari luar negeri untuk membeli rempah-rempah di Maluku. Sebagian masyarakat Maluku bermata pencaharian sebagai petani, pedagang. Mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi akan hidupnya sehari-hari.
1.2.Gereja/Kekristenan di Maluku Pada Masa Portugis (±1511-1799)
Gereja/ kekristenan sebenarnya sudah hadir di Nusantara sejak abad ke VII, yaitu di pantai barat Sumatera Utara, dibawa oleh kaum Nestorian. Tetapi kemudian gereja Nestorian tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Barulah pada awal abad ke XVI kekristenan hadir kembali, yaitu Katolik Roma, yang dibawa oleh Portugis ke daerah Maluku.[2]Tetapi sebelumnya pada tahun 1498, Vasco de Gama(seorang berkebangsaan Portugis)telah mendapat jalan laut ke Timur dan tiba di pantai India.[3] Lalu pada tahun 1510 Portugis akhirnya berhasil menguasai Goa (di India) dan mendirikan pangkalan dagang militer maupun pusat misinya disana. Tahun berikutnya Portugis melakukan hal yang sama di Malaka. Armada dagang Portugis yang pertama ke Nusantara yang terdiri dari berbagai kapal dan berangkat dari Malaka pada bulan November 1511 dan tiba di Maluku tahun 1512, yaitu di Pulau Banda yang sebagian penduduknya sudah beragama Islam.[4]
Kemudian mereka menuju Ternate setelah sempat singgah di Pulau Ambon yang sebagian penduduknya Islam. Jadi selain berjumpa dengan masyarakat yang masih beragama suku, disitu Portugis juga berjumpa dengan masyarakat yang sebagian sudah beragama Islam, yang disebut sebagai “orang Moor”[5] Bahkan sejumlah penguasa setempat (Sultan ataupun Raja) juga menganut agama Islam, sehingga wilayah kekuasaan mereka ini dapat disebut sebagai Kesultanan dan Kerajaan Islam seperti Ternate-Tidore, Bacan, dan Jailolo.[6]
Maksud kedatangan Portugis ke daerah Maluku bukanlah untuk menjajah tempat-tempat itu, tetapi mereka pada awalnya hanya ingin berdagang. Untuk melindungi kepentingan saudagar-saudagarnya, maka mereka mendirikan benteng-benteng di Maluku yang kemudian nantinya akan menjadi pusat misi pula. Pada waktu itu penguasa Islam yang terkuat di daerah Maluku adalah Sultan Ternate. Orang-orang yang beragama suku dan raja-raja Islam lainnya merasa terancam oleh Sultan Ternate dan mereka meminta pertolongan kepada Portugis.[7]
Pada awalnya para penguasa pribumi Islam, terutama Sultan Ternate dan Tidore yang selalu bersaing dan saling berperang, tidak bersedia menjalin hubungan dagang dengan Portugis. Terlebih setelah mendengar bahwa Portugis telah berhasil mendirikan bentengnya di Malaka, pada tahun 1511, ini berarti Portugis berhasil menyaingi bahkan mengambil alih kendali perdagangan dari tangan para saudagar Islam. Sultan Ternate dan Tidore melihat pentingnya bermitra dengan bangsa yang sudah membuktikan kehandalannya di bidang pelayaran. Dalam hal ini Tidore kalah cepat dengan Ternate.[8]
Sultan Ternate, Abu Lais[9] misalnya, pada tahun 1512 mengundang Portugis yang kala itu sedang terdampar di Ambon sekembalinya dari membeli pala di Banda untuk mendirikan banteng di Ternate dan berjanji untuk menjual cengkeh henya kepada Portugis.[10] Bagi sang Sultan, aliansi dengan Portugis selain menjanjikan keuntungan dan kekayaan yang lebih besar, karena Portugis bersedia membeli dengan harga lebih tinggi sekaligus akan memperkuat posisinya dalam bersaing dengan penguasa pribumi lainnya, terutama Tidore dan Jailolo. Tetapi aliansi Ternate dan Portugis itu justru menimbulkan kesulitan besar bagi keduanya. Sebab kemudian, Tidore dan Jailolo menjalin persekutuan dengan Spanyol yang pada waktu itu sudah berpangkalan di Filipina dan merupakan rival Portugis di bidang perdagangan, kendati dalam hal keagamaan keduanya mendapat mandate yang sama. Armada Spanyol telah hadir di Tidore sejak 1521 dan rivalitas kedua bangsa Kristen itu justru menghambat mereka menjalankan mandat menyiarkan Injil dan meluaskan gereja di Maluku.[11]
Pada tanggal 24 Juni 1522 peletakan batu pertama benteng Portugis yang kemudian diberi nama benteng Sao Paulo di rayakan di Ternate lengkap dengan upacara keagamaan Katolik.[12] Lalu setelah Sultan Abu Lais wafat pada tahun itu terjadi cekcok dan perebutan tahta dikalangan Istana. Personil Portugis yang campur tangan malah memperkeruh keadaan melalui tindakan yang tercela, yang pada gilirannya merusak hubungan kedua pihak. Tetapi justru pada kurun waktu yang rumit pada masa pemerintahan Sultan Tabarija (1523-1535) itulah terjadi pembaptisan pertama yaitu atas sangaji atau kolano (kepala suku) Mamuya dan Tolo berikut rakyatnya dari daerah Moro, Halmahera tahun 1534. Sebelumnya mereka ini menyampaikan keluhan kepada Gonzalo Veloso, seorang pedagang Portugis yang selama ini bersikap bersahabat dengan mereka, baik menyangkut cara masyarakat dan penguasa Ternate memperlakukan mereka sebagai budak, maupun desakan kepada mereka agar masuk Islam. Veloso menyarankan agar mereka meminta perlindungan Portugis. Tetapi sebelumnya sudah ada semacam kesepakatan antara Portugis dan penguasa Ternate bahwa Portugis hanya boleh melindungi orang Kristen bila ada pertikaian di antara sesama pribumi.[13]
Akhirnya mereka dibaptis, mula-mula Kolano Mamuya dan Tolo bersama tujuh pendampingan mereka berada di dalam benteng Sao Paulo di Ternate lalu disusul oleh ribuan rakyat mereka di dua desa itu beserta dengan kepala-kepala suku dan rakyat dari desa tetangga. Mereka ini dicatat sebagai komunitas Kristen Katolik pertama di Indonesia walaupun kekristenan yang mereka anut bercorak Portugis. Sesuai dengan perjanjian Portugis, maka selain gedung gereja didirikan, di desa mereka juga didirikan benteng kecil yang diperlengkapi dengan sejumlah serdadu untuk melindungi mereka dari serangan Ternate. Tetapi ternyata bahwa pelindung yang diberikan Portugis itu terlalu lemah, terlihat ketika masyarakat Moro yang baru masuk Kristen itu mendapat ancaman dari kerajaan-kerajaan Islam. Sementara itu panglima Portugis di Ternate pada waktu itu yaitu Tristao de Atayde juga tidak berhasil membina persahabatan dengan masyarakat, terutama dengan yang Islam. Dalam situasi kebencian terhadap Portugis itulah pada tahun 1535, misionaris Simon Vaz terbunuh bersama sejumlah masyarakat yang baru masuk Kristen terbunuh dan mereka dicatat sebagai martir pertama di Indonesia.[14]
Tetapi kita perlu mencatat keteguhan hati mereka mempertahankan keyakinan dan iman yang baru itu. Ketika dua tahun sesudah baptisan itu (1536), Raja Jailolo memaksa masyarakat Mamuya yang baru masuk Kristen itu untuk menyangkali Iman Kristen dan masuk Islam. Don Joao[15] menolak sehingga nyaris terbunuh, karena itulah ia dihormati rakyatnya dan kalangan misi Katolik sebagai pahlawan iman. Pada tahun 1535 panglima Portugis Tristao de Atayde yang terkenal sebagai panglima Portugis yang bejat, mencopot Sultan Tabarija yang dituduhnya berkhianat dan mengirimnya ke Goa (di India) untuk diadili oleh gubernur jenderal Portugis. Selanjutnya Atayde berperan mendudukan Hairun, yang merupakan saudara tiri sekaligus pesaing Tabarija di dalam tahta Kesultanan Ternate. Tetapi sykurlah, Atayde segera diganti dengan Antonio Galvao yang cinta damai. Galvao berhasil memulihkan hubungan yang baik dengan raja-raja Maluku Utara, terutama Ternate. Sehingga citra Portugis maupun kekristenan mambaik di mata masyarakat dan penguasa pribumi. Berkat kepemimpinan Galvao yang bijaksana, adil dan tidak mengejar keuntungan sendiri, maka dia berhasil membuat lawan-lawannya menjadi sahabat. Dan ia juga berhasil membuat mereka mengakui Hairun, tokoh yang dilindunginya sebagai raja. Karena itu tidak heran bila dari antara masyarakat ada yang mengusulkan kepada raja Portugis agar Galvao ditetapkan sebagai gubernur Maluku seumur hidup, tetapi usul ini tidak dikabulkan.[16]
Pada awal masa pemerintahan Sultan Hairun (1535-1570), yaitu sekitar tahun 1535-1543, hubungan Portugis dengan Ternate cukup baik. Khusus terhadap agama Kristen, Sultan Hairun pada masa itu tidak memperlihatkan sikap antipati, kendati ia tahu bahwa Galvao sangat bersemangat mendukung penginjilan dan pertumbuhan gereja. Sampai batas tertentu ia bahkan memperlihatkan penghargaannya dan tidak menghalangi anggota keluarga istana untuk menerima baptisan dan masuk Kristen karena antara lain tertarik pada kepribadian Galvao. Bahkan Hairun mengizinkan salah seorang anaknya mengikuti pendidikan di sekolah Yesuit di Goa (India). Tetapi ia sendiri menolak masuk Kristen.[17]
Pada tahun 1540-an suasana misi di Maluku mengalami perubahan. Masuklah unsur baru, yaitu pater-pater Serikat Jesuit (orang-orang Yesuit) yang membawa suasana Kontra-Reformasi. Kontra reformasi adalah pembaharuan dalam tubuh Roma Katolik. Berkat pembaruan itu, muncullah suatu angkatan missionaris yang bersemangat, yang tidak terikat kepada Potugis dan Spanyol, tetapi kepada gereja, kepada paus dan Kristus. Bagi mereka, perluasan agama Kristen wajib dilaksanakan.[18] Para missionaris baru, khususnya orang-orang Yesuit yang bekerja di Maluku, membawa metode-metode baru dalam penginjilan. Mereka merasa perlu dilakukan pendidikan agama yang lebih mendalam supaya orang-orang semakin sadar akan makna sebagai orang Kristen yang sebenarnya dan secara khusus untuk membimbing mereka untuk ikut serta dalam komuni (perayaan Misa).[19] Pada tahun 1540 juga muncul sebuah ordo baru yang disebut Serikat Jesuit, salah seorang imamnya bernama Fransiscus Xaverius, dia adalah warga kebangsaan Spanyol.[20] Xaverius tiba di Ambon pada tanggal 14 Febuari 1546. Sesudah empat bulan bekerja di Ambon dia melanjutkan perjalanannya ke Ternate, Halmahera dan Morotai.[21] Pekerjaan Xaverius banyak berhasil karena pendekatannya menggabungkan pengkristenan massal dengan pembinaan, pelayanan diakonia dan pergaulan yang akrab dengan penduduk.[22]  Pada pertengahan abad ke 16 misi Katolik berkembang paling menonjol di Halmahera. Di sana dan di Morotai, jumlah kampung-kampung Kristen terus bertambah.[23]
Tetapi pekerjaan para missionaris tidak selalu didukung oleh Portugis yang semata-mata memiliki nafsu untuk berkuasa dan hasrat mendapat keuntungan yang lebih besar semakin meningkat dan upaya untuk mendukung penginjilan tidak dilakukan dengan bijaksana. Hal ini terlihat dalam kasus penawanan Sultan Hairun yang dilakukan oleh Jordao de Freitas, yaitu seorang panglima Portugis di Ternate pada tahun 1544. Walaupun demikian, Sultan Hairun belum memperlihatkan sikap anti Kristen karena dia sangat simpatik ketika Fransiscus Xaverius datang mengunjunginya pada tahun 1547. Bahkan dia memandang dirinya sebagai sahabat Xaverius. Hairun juga pernah berkata bahwa “Muslim dan Kristen menyembah Tuhan yang sama dan pada suatu ketika keduanya akan menjadi satu agama. Tetapi setelah itu, hubungan Hairun dan Portugis kian memburuk. Beberapa kali Hairun dicurangi dan diperlakukan secara tidak patut oleh Portugis, misalnya pada tanggal 1 Desember 1557-1558, Hairun bersama adik dan ibunya ditahan oleh Portugis tanpa alasan yang jelas. Hairun tidak dapat melupakan penghinaan ini. Akibatnya Portugis dan orang-orang Kristen yang ada di Maluku dipersulit kehidupannya. Di pulau Moro (Halmahera) yang merupakan wilayah kekuaaan Sultan Hairun, orang-orang Kristen disana dipaksa untuk masuk Islam dan hal ini tentu sangat berbahaya juga bagi para missionaris.[24]
Puncaknya terjadi pada tahun 1570, misi Katolik Roma di Maluku ditimpa bencana yang hebat.[25] Sultan Hairun diundang untuk dating ke benteng Sao Paulo di Ternate untuk mengikat perjanjian damai sehubungan dengan serangkaian pertikaian yang terjadi sebelumnya. Pada tanggal 27 Febuari 1570 perdamaian ditandatangani dan diikrarkan. Tetapi keesokan harinya ketika sedang meninjau benteng itu, Sultan Hairun dibunuh oleh seorang anak muda yang bernama Martin Alfonso Primenta.[26] Akibat dari peristiwa ini, banyak kampung Kristen yang dibakar oleh orang Islam, selain itu juga dimana-mana terdapat serangan umat Islam terhadap jemaat Kristen yang kian tambah berbahaya. Hal ini juga mengakibatkan berkurangnya tenaga missionaris dan semakin surutlah kuasa Portugis.[27]
Sultan Baabullah, yaitu putra dari Sultan Hairun yang terbunuh itu bersumpah untuk membalaskan kematian ayahnya dengan melakukan pertumpahan darah. Dengan bantuan sejumlah pemimpin Islam lainnya, benteng Portugis di Ternate yang sekaligus menjadi pusat misi, diserang oleh umat Islam dan selanjutnya banyak desa Kristen di Moro dan Morotai dimusnahkan. Selain itu penduduknya juga dipaksa untuk memilih masuk ke agama Islam atau dibunuh. Jumlah orang Kristen pada waktu itu menurun drastic karena banyak yang diislamkan oleh Sultan Ternate yang baru itu. Sejak tahun 1576, Sultan Baabulah berhasil memulihkan kekuasaannya di Maluku bahkan meluaskan kekuasaannya hinggal ke Sulawesi Utara dan NTT. Di daerah itu pasukannya menindas orang-orang Kristen sembari menyiarkan dan memulihkan kembali agama Islam. Setelah Sultan Baabullah meninggal (1583), Portugis yang sejak tahun 1580 sudah bersatu dengan Spanyol, sempat mencoba untuk merebut kembali benteng Ternate, tetapi usaha itu gagal karena Ternate dibantu oleh sejumlah tentara Turki dan armada dari Jawa. Koalisi Ternate dengan Turki dan jawa ini dapat dilihat sebagai “kesatuan Muslim” berhadapan dengan dua kekuatan Barat. Dalam perkembangan selanjutnya pengganti Baabullah, yaitu Sultan Said atau Sahid Barkat (1584-1606), justru berkoalisi dengan kekuatan Barat lainnya, yaitu Belanda (VOC)[28] untuk mengusir Portugis dan Spanyol dari Maluku.[29] Orang-orang Portugis yang masih tersisa di daerah Maluku dan sekitarnya disuruh berlayar ke Filipina. Kaum pribumi yang telah memeluk agama Katolik segera berpindah masuk Protestan, selaku sesuatu yang lumrah menurut hokum berikut, yaitu: (cuis region euis religio), siapa yang berkuasa secara politik, agama-nyalah yang patut dianut.[30]
1.2.1.      Tokoh-tokoh Misi Katolik di Maluku
1.    Fransiscus Xaverius
Fransiscus Xaverius dilahirkan di istana Xavier di Navarre pada tahun 1506.[31] Ayahnya bernama Juan de Yasu, merupakan seorang pejabat tinggi di Spanyol. Xaverius belajar ilmu hokum dan teologia di Universitas Paris. Disanalah ia bertemu dengan PetrusFavre dan Ignatius dari Loyola yang kemudian menjadi temannya.Pada tahun 1537 Xaverius ditahbiskan menjadi imam di Vinece.[32]Xaverius dianggap sebagai utusan katolik yang terbesar di sepanjang sejarah. Beliau melayani ke Ambon, kemudia berlanjut ke Ternate dan Halmahera selama 15 bulan. Xaverius memiliki kepribadian yang kuat dan sangat penuh semangat.Selain itu dia juga memiliki karunia rohani untuk menyembuhkan orang-orang sakit. Di Ternate Xaverius menyelenggarakan dua jam pembelajaran agama Kristen setiap hari. Materi pelajarannya meliputi pokok-pokok iman Kristen, Pengakuan Iman Rasuli, Doa Bapa Kami, Salam Maria, Sepuluh Perintah Allah dan lain-lain.[33]
Xaverius juga menyusun sejenis katekismus berbentuk syair-syair yang berisi tentang Pengakuan Iman Rasulidalam dua Bahasa, yaitu Portugis dan Melayu. Pergaulannya cukup luas, termasuk dengan orang-orang Islam, bahkan dengan Sultan Hairun. Begitu juga di Ambon. Dia tiba di Ambon pada tahun 1547 terdapat tujuh kampung Kristen disana. Dia juga menerapkan metode yang sama ketika berada di Ternate. Xaverius juga dia mengabarkan Injil dari rumah ke rumah dan selalu bertanya kepada setiap penghuni rumah yang dikunjunginya: adakah disini anak kecil yang belum dibaptis? Adakah orang sakit yang ingin didoakan? Adakah seorang percaya baru saja meninggal dan perlu dikuburkan serta dipercik air suci?[34] Pada saat berada di Ambon, pada tanggal 10 Mei 1546 Xaverius menuliskan surat kepada pemimpin ordo Yesuit di Eropa, isi surat itu adalah: “jika hanya selusin iman mau dating kemari dari Eropa setiap tahunnya untuk membantu, tidak lama lagi akan berakhir gerakan agama Islam dan semua orang di kepulauan ini akan menjadi Kristen”.[35]
Xaverius juga berusaha untuk menyebarkan Injil kepada orang-orang yang masih menganut agama nenek moyang sehingga dia berkeliling di seluruh pulau Ambon. Fransiscus tidak dapat tinggal lebih lama di Ambon dan di Maluku. Ia merasa dirinya sebagai perintis, tidak mau menetap disuatu tempat. Ia telah mendengar mengenai kesempatan indah yang berada di negara Jepang dan ingin pergi kesana. Penduduk Maluku baik yang Kristen atau yang Islam ataupun yang menganut agama suku sangat menyayangkan keberangkatannya. Fransiscus Xaverius telah berhasil menimbulkan rasa cinta pada mereka semua karena keramahtamahannya yang luar biasa. Orang-orang di Ambon dan Ternate menangis ketika ia pergi. Fransiscus Xaverius meninggal di suatu pulau kecil lepas pantai Tiongkok, setelah usaha untuk memasuki negeri itu gagal (1552). Pada tahun 1622, Xaverius dinyatakan sebagai orang kudus (Santo) oleh Gereja Katolik Roma.[36]
2.    Antonio Galvao
Antonio Galvao adalah seorang panglima armada Portugis yang kadang-kadang juga disebut sebagai Gubernur ketujuh Portugis di Maluku pada tahun 1536. Ia adalah Panglima Portugis yang ditugaskan di Ternate. Galvao adalah seorang yang bijaksana dan selama masa pemerintahannya misinya mendapat angin kembali. Ketika di Ternate, Galvao juga memprakarsai pembukaan sekolah atau kolese yang sekaligus berfungsi sebagai seminari, yaitu lembaga pendidikan atau penyemaian calon tenaga rohaniawan pribumi. Bahkan ada juga sejumlah tokoh masyarakat Ternate, termasuk juga dari kalangan istana yang tertarik masuk Kristen karena terkesan atas isi ajaran Kristen maupun kepribadian Galvao.[37]
3.    Gonzalo Veloso
Gonzalo Veloso merupakan seorang pedagang berkebangsaan Portugis. Veloso juga berperan dalam memberitakan Injil di daerah Moro, bagian utara Halmahera, termasuk di desa Mamuya.[38]Gonzalo Veloso, seorang pedagang Portugis yang selama ini bersikap bersahabat dengan suku Mamuya dan Tolo, baik menyangkut cara masyarakat dan penguasa Ternate memperlakukan mereka sebagai budak, maupun desakan kepada mereka agar masuk Islam. Veloso menyarankan agar mereka meminta perlindungan Portugis. Tetapi sebelumnya sudah ada semacam kesepakatan antara Portugis dan penguasa Ternate bahwa Portugis hanya boleh melindungi orang Kristen bila ada pertikaian di antara sesama pribumi.[39]
4.    Simon Vaz
Simon Vaz adalah pimpinan Kristen Katolik pertama yang dikirim ke Maluku.[40] Simon Vaz adalah seorang rahib Fransiskan, karena kegiatannya yang besar dan karena teladan hidupnya berhasil menarik sejumlah orang di Mamuya dan di kampung-kampung lain menjadi Kristen. Pekerjaan yang begitu meluas, sehingga seorang imam harus didatangkan. Juga pedagang-pedagang Portugis lebih banyak lagi berdatangan. Pada tahun 1534, Simon Vaz membaptis mula-mula Kolano Mamuya dan Tolo bersama tujuh pendampingan mereka berada di dalam benteng Sao Paulo di Ternate lalu diusul oleh ribuan rakyat mereka di dua desa itu, beserta dengan kepala-kepala suku dan rakyat dari desa tetangga. Mereka ini dicatat sebagai komunitas Kristen Katolik pertama di Indonesia walaupun kekristenan yang mereka anut bercorak Portugis.[41]Perluasan perdagangan dan perluasan iman bergandengan tangan.[42] Pada tahun 1536 banyak jemaat Kristen yang menderita karena pemberontakan terhadap tindakan-tindakan kejam dari orang-orang Portugis dan yang terbunuh adalah Simon Vaz. Dia mati sebagai seorang martir yang pertama di Indonesia.[43]
1.3.Gereja/ Kekristenan di Maluku Pada Masa VOC (±1600-1799)
Pada abad ke XVI belum ada kemungkinan bagi gereja reformasi untuk memperhatikan pemberitaan Injil di luar negeri, karena segala benua masih dikuasai oleh Portugis dan Spanyol yang menganut sistem GKR. Tetapi keadaan berubah sejak tahun 1600, karena pada waktu itu Belanda dan Inggris telah merebut kuasa di laut dari Spanyol dan Portugis. Pada tahun 1602 Belanda membentuk lembaga kongsi dagang milikinya yang diberi nama “Verenigde Oost-Indische Compagnie” (VOC).[44] Anggota-anggota VOC yang datang ke Indonesia berasal dari golongan sampah masyarakat, kesusilaan mereka sering kali bobrok, mereka juga melakukan korupsi, memeras orang pribumi, mabuk, hidup kurang senonoh. Mereka memberi contoh yang buruk sekali.[45]VOC diberi hak monopoli perdagangan dalam wilayahnya. Disamping itu VOC juga diberi hak kedaulatan sendiri, mempunyai pasukan sendiri, mengeluarkan mata uang sendiri serta mengadakan perjanjian atau perang dengan negara lain. VOC juga bertanggung jawab atas kehidupan gereja dan pekabaran Injil dalam wilayah jajahannya. Oleh karena itu lembaga inilah yang menanamkan kekeristenan yang bercorak Protestan Calvinis untuk pertama kalinya di Indonesia.[46]
Disamping mengejar keuntungan ekonomis dan ikut membangun Imperium Belanda, VOC juga mendapat mandat dari gereja Protestan Belanda (Gereformeerde Kerk) yang pada waktu itu berstatus sebagai gereja negara, untuk menyebarkan iman Kristen. Sesuai denga nisi pasal 36 Pengakuan Iman Belanda tahun 1561, VOC bertugas untuk mempertahankan pelayanan gereja yang kudus, memberantas dan memusnahkan seluruh penyembahan berhala dan agama palsu, menjatuhkan anti Kristus dan berikhtiar supaya kerajaan Yesus Kristus terus berkembang.[47]Agama palsu yang dimaksud adalah Katolik, sedangkan si anti Kristus merupakan sebutan untuk Paus.[48]Pada tahun 1605 Ambon diduduki oleh VOC dan orang-orang Katolik diprotestankan.[49] Karena pada waktu itu VOC menggunakan semboyan “cuis region euis religio”, artinya siapa yang punya wilayah maka agamanya yang dianut. Maka orang-orang Katolik di Ambon disuruh menjadi Protestan. Imam-imam mereka diusir karena dicurigai sebagai mata-mata Portugis.[50] Pada masa VOC juga tidak diizinkan aliran lain masuk kecuali Gereformeed Kerk (Gereja Calvinis Belanda).[51]
Sejak kedatangan Belanda (VOC), gereja di Indonesia khususnya Maluku ditarik masuk ke dalam gereja reformasi terutama dalam gereja Calvinis.[52]Wilayah Maluku sangat diperhatikan oleh VOC, karena Maluku merupakan pusat dari penghasil rempah-rempah.[53]Pada awal abad ke 17, VOC mendatangkan para pekabar Injil Protestan dari gereja Gereformed Belanda, mereka diberi tugas untuk membina kehidupan orang-orang Belanda di Indonesia, memelihara orang-orang Indonesia yang telah menjadi Kristen, menyebarkan iman Kristen kepada orang-orang yang belum mengenal Kristus. Tata kebaktian pada waktu itu mengikuti pola liturgis Belanda yang memperlihatkan corak Calvinisme.[54] VOC bersedia sungguh-sungguh mengasuh gereja dengan mendatangkan guru Injil dan para pendeta dari Belanda, memberikan sekolah-sekolah, membiayai terjemahan Alkitab dan sebagainya. Tetapi sebagai lembaga dagang miliki Belanda, VOC mempunyai kepentingan lain dari pada gereja. Tujuan utamanya yaitu untuk mendapatkan keuntungan. VOC ingin menjadikan gereja sebagai alat yang takluk kepadanya.[55]
Pada tahun 1605 Ambon diduduki oleh VOC dan orang-orang Katolik diprotestankan.[56] Karena pada waktu itu VOC menggunakan semboyan “cuis region euis religio”, artinya siapa yang punya wilayah maka agamanya yang dianut. Maka orang-orang Katolik di Ambon disuruh menjadi Protestan. Imam-imam mereka diusir karena dicurigai sebagai mata-mata Portugis.[57] Wilayah Maluku sangat diperhatikan oleh VOC, karena Maluku merupakan pusat dari penghasil rempah-rempah.[58]Pada waktu VOC masuk ke daerah Maluku, mereka langsung memprotestankan sebanyak 16.000 orang penganut Katolik untuk beralih menjadi Protestan. Pada tahun 1615, majelis pertama di gereja Ambon telah berhasil dibentuk. Namun seiring berjalannya waktu, terjadi kekurangan tenaga pendeta sehingga VOC menempuh kebijakan untuk lebih mengutamakan pelayanan kepada orang-orang Belanda. Akibatnya penginjilan di Maluku menjadi sangat terabaikan sepanjang masa kekuasaan VOC.[59]
1.3.1.      Metode Pekabaran Injil Protestan di Maluku
    Metode pekabaran Injil yang digunakan pada saat itu adalah dengan mendirikan sekolah dan merintis pendidikan guru. Hal ini diharapkan agar rakyat pribumi semakin banyak yang menganut agama Kristen Protestan dan meninggalkan agama suku serta agama Katolik yang sudah mereka anut sebelmnya. Seperti yang terjadi di Ambon telah dirilis pendidikan dan sekolah-sekolah yang nantinya guru-gur sekolah itu merangkap pengantar jemaat-jemaat yang akan dibangun. Disamping itu mereka juga mendirikan gedung-gedung gereja, mencetak buku dalam Bahasa Melayu atau Bahasa Latin (Alkitab).[60]
1.4.Gereja/Kekristenan di Maluku Pada Masa Hindia Belanda(1800-1942)
Pada akhirnya VOC tidak dapat memberi keuntungan kepada pemerintah Belanda dan memiliki utang yang cukup banyak.[61] Mengapa hal itu bias terjadi? Hal itu terjadi karena anggota-anggota VOC yang datang ke Indonesia berasal dari golongan sampah masyarakat, kesusilaan mereka sering kali bobrok, mereka juga melakukan korupsi, memeras orang pribumi, mabuk, hidup kurang senonoh. Mereka memberi contoh yang buruk sekali.[62] Sehingga pada akhirnya nanti VOC akan dibubarkan, tetapi mereka tidak berduyung-duyung pergi karena mereka hanya berganti pemimpin saja.[63]
Setelah membubarkan VOC pada tanggal 31 Desember 1799, mulai tahun 1800 pemerintah Belanda menangani sendiri pemerintahan atas wilayah jajahannya di Nusantara. Dan wilayah itu disebutnya Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), disingkat HB, ditetapkanlah sistem dan perangkat pemerintahan yang baru lengkap dengan personilnya. Dengan kata lain, pemerintahan baru di HB sejak itu resmi menjadi bagian dari pemerintahan Belanda. Sebagai kepala pemerintahan di HB, semula diangkatlah Letnan Gubernur Jenderal. Yang pertama adalah Pieter van Oversraten, lalu kemudian digantikan oleh Johannes Siberg (1801-1805) dan Albertus Hendricus Wiese (1805-1808).
Pada tahun 1808, raja Lodewijk Bonaparte[64], menempatkan Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jendral di HB. Ia ditugaskan mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris yang saat itu tengah berperang dengan Prancis. Dalam menjalankan tugasnya ini, Daendels berlaku sangat keras dan berdisiplin, baik terhadap kalangan pribumi maupun para pejabat HB, sehingga dia dibenci. Dia berupaya keras memberantas praktik korupsi di lingkungan personil asal Eropa dan ini justru semakin menambah jumlah musuhnya. Walau begitu, ia juga disukai kalangan tertentu, karena sesuai dengan semangat Pencerahan yang berkobar di Eropa ketika itu ia mencanangkan program penghormatan atas hak hidup semua agama di wilayah HB. Kebijakan ini antara lain membuat umat Katolik kembali berpeluang untuk berkembang secara bebas. Lebih dari itu, kebijakan ini memperlihatkan bahwa pemerintah HB berada dari VOC tidak lagi mengemban amanat yang dirumuskan Gereja Reformasi (Protestan/ Calvinis) Belanda dalam Pengakuan Imannya. Dengan demikian Daendels dapat dilihat sebagai pelopor atau peletak dasar kebijakan atas asas netralitas pemerintah HB di bidang keagamaan.[65]
Jadi dapat diketahui bahwa pada masa Hindia Belanda, perubahan terjadi di bidang politik, ekonomi, khusunya agama, yaitu mengenai kebebasan beragama, dalam pengertian tidak lagi terjadi monopoli aliran Calvinis (Gereformeed Kerk), tetapi aliran-aliran lain boleh masuk ke Nusantara. Karena pada waktu itu Belanda dipengaruhi oleh semangat revolusi Prancis.[66]Revolusi Perancis membawa Perancis menguasai Belanda serta membawa angina kebebasan, persamaan dan persaudaraan sebagai paradigma baru, termasuk di dalamnya kebebasan beragama.[67]Dengan semboyan atau prinsip baru yaitu: Liberte (kebebasan), Egalite (persamaan), Fraternite (persaudaraan). Sejak itu monopoli agama Kristen Protestan Calvinis ikut berakhir.[68]Dengan kata lain bahwa negara tidak boleh campur tangan terhadap gereja.[69] Untuk seterusnya negara akan bersikap netral dibidang agama. Tidak akan ada lagi gereja-negara.[70]
Untuk mengembangkan pekabaran Injil di Nusantara, Belanda juga membentuk “Balai Alkitab” pada tahun 1814 yang nantinya merupakan cikal bakal Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Kemudian ada juga dibentuk perhimpunan pekabaran Injil di berbagai daerah, termasuk di wilayah Ambon dan Maluku pada tahun 1821. Sehingga kekristenan pada masa Hindia Belanda sangat menonjol dan mengakibatkan agama Islam menjadi cemburu dan melontarkan suatu tuduhan bahwa “Kristen itu agama penjajah”.[71]Tujuan utama dari badan Pekabaran Injil ini agar orang-orang yang belum beragama itu menerima Injil.[72]Salah satu pekabar Injil yang popular di Maluku adalah Joseph Kam (1769-1883). Kam berasal dari Belanda, dia merupakan seorang missionaris Kristen Protestan yang bekerja di Maluku dan sekitarnya.[73]Pada bulan Maret 1815 Kam tiba di Maluku. Kam merupakan seorang pekabar Injil yang memberikan darah segar kepada tubuh jemaat-jemaat di Maluku yang ditinggalkan terlantar sesudah bubarnya VOC di Indonesia pada tahun 1799.Joseph Kam aktif dalam mengadakan perkunjungan-perkunjungan ke jemaat-jemaat di Ambon dan Maluku. Oleh jemaat Maluku, Kam diberi gelar Rasul Maluku.[74]
1.4.1.      Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH)
Gereja ini adalah hasil pekabaran Injil missionaris Perhimpunan Pekabaran Injil Tukang (Zendeling-Werkman), yaitu H. van Dijken, dan missionaris perkabaran Injil Utrecht (Ultrechctsche Zendingsvereenigning-UZV). Mereka mulai bekerja di Halmahera pada tahun 1865 dan menjadikan Tobelo sebagai pangkalan kegiatannya. Van Dijken dalam kegiatan pekabaran Injilnya mempergunakan metode pembukaan desa Kristen dan perkebunan. Desa Kristen yang dibukanya adalah Duma. Dalam desa ini, penduduk dilarang bekerja pada hari minggu, berjudi dan harus mengikuti ibadah pada setiap hari minggu. Gayanya sebagai desa Kristen yang didirikan oleh Jansz di daerah sekita Gunung Muria, Jawa Tengah. Van Dijken menolak keras adat istiadat penduduk asli. Hasilnya berjalan sangat lamban, karena ia menuntut Kekristenan yang sejati. Perkembangan yang menggembirakan adalah pada masa pekerjaan Pdt. A. Hueting, seorang missionaris UZV. Perkembangan ini disebabkan oleh Tobelo dan Sultan Ternate pada tahun 1897. Orang Tobelo berpindah menjadi Kristen karena disamping metode Hueting yang tidak terlalu keras seperti Van Dijken, Hueting tidak terlalu keras menolak adat-istiadat penduduk asli Halmahera. Pada masa pendudukan Jepang, jemaat-jemaat di Halmahera sangat menderita. Ada usaha-usaha GPM untuk memasukkan jemaat-jemaat di Halmahera ke dalam GPM namun jemaat Kristen Halmahera tidak menghendakinnya. Oleh karena itu debentuklah Gereja Protestan Halmahera (GPH). Setelah Jepang menyerah, diusahakan untuk membentuk gereja yang berdiri sendiri dan baru terwujud pada tanggal 6 Juni 1949 dengan nama Gereja Masehi Injili di Halamhera dengan kantor pusatnya di Tobelo, Halmahera, kabupaten Maluku Utara. Sistem pemerintahan gerejawinya adalah presbiterial-sinodal. Gereja ini sangat menderita pada masa pemberontakan DI/TII, Permesta dan PKI. Pada masa ini semua tenaga asing meninggalkan Halmahera, namun antara tahun 1957-1966 gereja ini mendapat bantuan Gereja Menonit Amerika untuk pekerjaan di bidang pendidikan, kesehatan dan pertanian. Selain itu juga terjadi kerusuhan antar umat beragama yang terjadi pada tahun 1999. Di sisi lain GMIH menyelenggarakan sekolah Teologi sendiri yang bernama Sekolah Tinggi Teologi GMIH. Pada tahun 2000 Gereja ini beranggotakan 151.325 orang. GMIH menjadi anggota PGI pada tahun 1950 .[75]
1.4.2.      Tokoh-tokoh Protestan di Maluku
1.    Joseph Kam (1769-1833)
Joseph Kam adalah seorangmissionaris Kristen Protestan yang bekerja di Maluku dan sekitarnya. Dia berasal dari Belanda dan bekerja sebagai pendeta sekaligus missionaris di Maluku.[76]Sebelum menjadi seorang missionaris, Kam melamar kepada NZG pada tahun 1807.Ayahnya bernama Joost Kam. Keluarga Kam adalah anggota gereja Hervormd yang setia, tetapi suasana rumah tangga mereka dipengaruhi oleh semangat pietisme Herrnhut. Pada tahun 1802 ayah dan ibunya meninggal. Kam merupakan seorang pekabar Injilyang memberikan darah segar kepada tubuh jemaat-jemaat di Maluku yang ditinggalkan terlantar sesudah bubarnya VOC di Indonesia pada tahun 1799. Joseph Kam aktif dalam mengadakan perkunjungan-perkunjungan ke jemaat-jemaat di Ambon dan Maluku. Kam terus saja mengadakan perjalanan keliling mengunjungi jemaat-jemaat hingga meninggalnya. Kam meninggal dunia pada tanggal 18 Juli 1833 setelah berjerih payah selama 20 tahun lamanya di maluku. Oleh jemaat Maluku, Kam diberi gelar Rasul Maluku.[77]
2.      Bernard Roskott (1835-1864)
Sepeninggalan Kam, NZG mengutus Roskott ke Maluku dan Ambon.Dia bukanlah pendeta, melainkan seorang guru. Dia membuka suatu sekolah pendidikan guru (SPG). Roskott memiliki tugas khusus memperhatikan di bidang pendidikan.[78]Selain itu dia juga mengembangkan pendidikan di Nusantara, termasuk sekolah STOVIL yang menghasilkan pendeta-pendeta pribumi.[79]
3.      Sebastian Danckaerts
Dia bekerja di Ambon (1618-1622). Di Ambon dia berkotbah dalam Bahasa Belanda dan Melayu. Dia mementingkan persekolahan, atas usulnya, tiap-tiap hari pemerintah memberi beras kepada anak-anak sekolah. Selain itu dia juga membuka sekolah guru untuk melatih penolong-penolong yang cakap bagi pekerjaan di jemaat dan di sekolah. Dengan karangannya tentang keadaan agama Kristen di Ambon, Danckaerts menghidupkan perhatian Gereja Belanda terhadap pekabaran Injil.[80]
1.4.3.      Aliran –aliran  Lainnya Di Maluku
1.      Aliran Baptis
Pada tahun 1814 dapat disebut sebagai awal masuknya aliran Baptis ke Indonesia. Sebab pada tahun tersebut Jebez Cary, penginjil dari Baptist Missionary Socienty (Lembaga Pekabaran Injil Baptis yang sangat besar di Inggris), diutus untuk bekerja di Maluku. Selain Jabez Cary, pada kurun waktu 1813-1857 ada sekitar 20 penginjil Baptis yang bekerja di Indonesia.[81]Jabez bekerja di Maluku pada tahun 1814-1818 dan diterima dengan baik oleh umat Kristen di Ambon. Dia juga diangkat menjadi pengawas sekolah-sekolah dan giat dalam memerangi perbudakan. Sesuai dengan ajaran Gereja Baptis, Jabez Cary mempraktikkan baptisan dewasa di daerah Maluku.[82]
2.      Bala Keselamatan
Pada tahun 1894, Bala Keselamatan telah hadir di Indonesia melalui dua Perwira BK asal Belanda, yaitu Kapten J.G. Brouwer dan Ensign (Letnan Muda) A. van Emmerik. Semula pemerintah Hindia Belanda berkeberatan atas kehadiran BK di negeri ini, tetapi setelah pemimpin BK di Belanda memberikan penjelasan kepada Mentri daerah jajahan, maka diberilah izin kerja kepada dua opsir itu. Sesuai dengan petunjuk dari Gubernur Jendral Hindia Belanda, mereka memulai pekerjaan (pelayanan kemanusiaan)di daerah Nusantara. Kini kita bias menemukan kehadiran BK, khususnya di daerah Maluku dalam berbagai wadah pelayanan sosial, seperti panti asuhan anak-anak, panti karya, panti jompo, rumah sakit umum, poliklinik dan lain sebagainya. Semua itu digabung dengan semangat penginjilan, sesuai dengan salah satu semboyan BK, yaitu “hati pada Allah, tangan pada manusia”.[83]
1.5.Gereja/Kekristenan di Maluku Pada Masa Gereja Negara (Indische Kerk)
Pada tanggal 11 Desember 1815/1816, raja Belanda yaitu raja Willem I menyatakan bahwa semua orang Protestan di Indonesia dipersatukan kedalam satu gereja Protestan saja yang ditetapkan di Hindia Belanda. Gereja ini dikenal dengan nama Gereja Protestan Indonesia (GPI) atau Indische Kerk. Gereja ini dikenal dengan gereja negara, sehingga pendeta-pendetanya adalah pegawai pemerintah. Wilayah kerjanya adalah Maluku, Minahasa, Timor dan jemaat-jemaat bekas jemaat VOC di Indonesia Barat.[84]Hal ini sebenarnya tidak wajar dilakukanoleh raja Willem I, mengapa? Karena pada tahun 1796, di Belanda, gereja sudah berpisah dengan negara karena dipengaruhi oleh semangat revolusi Perancis. Setelah reformasi bukan lagi Gereformeed Kerk (gereja negara) tetapi menjadi Hervormde (bukan lagi gereja negara). Sehingga ini memang tidak wajar, karena di Belanda sudah dihapus tentang gereja negara.[85]
     Tetapi menurut Undang-undang Dasar Belanda tahun 1815, raja berdaulat penuh atas negara atau wilayah jajahannya. Raja menganggap salah satu kewajiban utamanya adalah memberi bantuan kepada gereja yang sangat membutuhkannya.[86] Dia juga melihat bahwa kekristenan peninggalan VOC itu sangat memprihatinkan. Agar pelayanan itu terintegrasi, maka harus ada wadah yang bisa memberikan pelayanan atau suatu suntikan darah segar kepada kekristenan itu.[87] Sehingga pada tanggal 11 Desember 1815/1816, raja Belanda yaitu raja Willem I menyatakan bahwa semua orang Protestan di Indonesia dipersatukan kedalam satu gereja Protestan saja yang ditetapkan di Hindia Belanda. Gereja ini dikenal dengan nama Gereja Protestan Indonesia (GPI) atau Indische Kerk.[88]Karena GPI adalah gereja negara maka pemimpin tertingginya adalah pejabat negara.[89]Semua biaya ditanggung oleh negara, termasuk juga badan pengurusnya, pendeta-pendetanya dan anggota majelisnya diangkat langsung oleh pemerintah.[90]Dalam perkembangannya gereja negara ini sangat hierarkis yang diberikan izin oleh Gubernur Jendral.[91]
1.5.1.      Pemisahan Gereja Negara di Maluku dan Berdirinya GPM (Gereja Protestan Maluku)
Pada tahun 1848 parlemen Belanda dikuasai oleh kelompok liberal. Mereka memutuskan agarsemua praktik gereja negara di negara jajahan dihapuskan. Pada tahun 1863, praktenya di Indonesia perpisahan itu dilakukan. Jadi inisisatif awalnya itu dimulai dari pemerintah Belanda, atas perintah parlemen Belanda. Maka terjadilah pro dan kontra yang kemudian dikalangan orang pribumi (bagi yang sudah mendapat kedudukan di gereja).[92]Prosesnya sangat lama ± 70 tahun, dan baru berpisah secara administrasi pada tahun 1935.[93]
Di kalangan orang Maluku, keinginan untuk mendirikan gereja sendiri. Van Oostrom Soede menginginkan supaya Gereja Protestan di Maluku berdiri sendiri. Ia mulai mengambil beberapa tindakan. Orang Maluku diberi tempat yang lebih besar dalam pimpinan gereja. Akan tetapi timbul perlawanan dari kelompok yang bernama “Autonome Molukse Kerk” (Perhimpunan Gereja Maluku Otonom). Kelompok itu menganggap bahwa reorganisasi berjalan terlalu lambandan berkeberatan terhadap tetap adanya hubungan GPI serta sistem pemerintahan dari atas ke bawah. Perlawanan AMK itu bersifat sangat tajam, sampai-samapi singkatan AMK itu ditafsirkan sebagai “Awas Minum Kopi”. Van Oostrom Soede tidak tahan dan memutuskan untuk meninggalkan Maluku.[94]
Lalu pada tahun 1932, pendeta Van Herwerden menyusun konsep tata gereja GPM dan telah memiliki pengakuan iman.[95]Pada tahun 1935 Gereja Protestan Maluku (GPM) telah mandiri.[96]Mengenai anggaran belanja rekening tahunan GPM harus disetujui langsung oleh pengurus Am GPI. Pengurus Am ini juga yang berhak mengangkat ketua sinode GPM. Sampai tahun 1942, sinode ini diketuai seorang pendeta Belanda, dan wakil ketua serta bendehara adalah orang Belanda. Dalam tata gereja tahun 1935, GPM menyatakan “dengan berdasarkan Jesoes Kristoes, ia mendapat roemoesan pengakoean imannja dalam kedoeabelas Perkara Iman Masehi, jang berdasar Alkitab”.[97]
Dalam sejarah GPM, antara tahun 1945-1960 dapat dianggap sebagai masa peralihan. Pada tahun 1948, pendeta-ketua yang terakhir yaitu Dr. J. E. Chr. Geissler, menyerahkan wewenangnya kepada BPH Sinode GPM. Dengan demikian berakhirlah pengaruh pengurus GPI dalam kehidupan gereja di Maluku dan kepemimpinan dalam gereja tidak lagi bersifat perseorangan. Pada tahun itu juga, 1948 sinode GPM menetapkan bahwa untuk seterusnya tiap-tiap penghantar jemaat, apapun tingkat pendidikannya, memiliki wewenang yang sama dalam hal pelayanan firman dan sakramen. Dengan demikian dua unsur penting yang menciptakan suasasn hierarkis dalam gereja telah dilenyapkan. Pada tahun 1954, GPM membentuk “Bagian Pekabaran Injil” dalam struktur organisasi ditingkat badan pekerja sinode. Tugasnya memimpin dan mengkoordinasi semua kegiatan PI dalam lingkungan GPM.[98]
Sistem pemerintahan gerejawinya adalah presbiterial sinodal dan berkantor pust di Ambon. Pada masa pendudukan Jepang, gereja ini sangat menderita. Tercatat 16 orang pendeta, 26 guru jemaat, dan dua utusan Injil dibunuh oleh Jepang. Penderitaan dialami juga oleh GPM ketika terjadi pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan) pada tahun 1951. Dan menderita lagi pada tahun 1999 dengan kerusuhan yang bernuansa SARA. Gereja ini menjadi anggota PGI pada tahun 1950 dengan jumlah anggota pada tahun 2000 adalah 453.978 orang.[99]
GPM mempunyai lembaga pendidikan teologi sendiri yang dimulai dengan STOVIL pada tahun 1865 dan menjadi akademi teologi. Akademi ini ditingkatkan menjadi Sekolah Tinggi Teologi. Kini sekolah itu menjadi Fakultas Teologi dalam Universitas Kristen Indonesia Maluku. GPM memberitakan Injil ke daerah pantai Barat Irian Jaya yang melahirkan gereja Protestan Indonesia di Irian Jaya. Gereja ini menyelenggarakan persekolahan, rumah sakit dan usaha-usaha sosial lainnya.[100]
1.6.Gereja/Kekristenan di Maluku Pada Masa Pergerakan Nasional
Pada tanggal 1 September 1908, para anggota tentara di bawah pimpinan J.P. Risakotta mengorganisir suatu perkumpulan untuk “anak-anak Ambon” dengan nama Wihelmina, yang mendapat pengesahan dari pemerintah pada tanggal 18 Januari 1912. Untuk kepentingan orang-orang Ambon yang beragama Kristen, dr. W.K. Tehupeiory seorang lulusan STOVIA mendirikan Ambonsch Studiefonds pada tanggal 24 September 1909 dan (diakui oleh pemerintah pada 14 Januari 1911) dengan tujuan mencari bantuan beasiswa bagi pemuda-pemuda Kristen Ambon yang belajar di Hindia atau di Eropa.[101]
Selain itu juga, di Ambon dibentuklah suatu perkumpulan pegawai-pegawai pribumi bernama Ambon’s Bond, yang bertujuan untukmengumpulkan dana beasiswa, disamping berjuang untuk meningkatkan dan memperhatikan taraf hidup rakyat dan memberi bantuan kepada setiap orang. Organisasi ini mendapat pengakuan dari pemerintah pada tanggal 11 September 1911. Selain itu juga didirikan suatu organisasi politik yang berdasarkan agama Kristen Christelijke Ambonsche Volksbond (CAV) yang didirikan pada tanggal 1917 di Ambon dengan ketua W. Pattiasina, yang merupakan seorang pendeta pribumi. Tujuan CAV adalah, meningkatkan persatuan orang Kristen Ambon, meningkatkan kesejeahteraan social-ekonomi anggotanya. Beberapa tahun kemudia juga didirikan Sou Maluku Ambon yang didirikan di Ambon yang juga bertujuan untuk memajukan perkembangan social dan ekonomi penduduk Ambon. Selain itu juga dibentuk kerangka pergerakan nasional Indonesia, organisasi politik orang Maluku yang terpenting adalah Sarekat Ambon yang didirikan pada tanggal 9 Mei 1920. Tujuannya adalah untuk memajukan kepentingan jasmani dan rohani orang Ambon dan daerahnya.[102]
1.7.Gereja/Kekristenan di Maluku Pada Masa Kependudukan Jepang (1942-1945)
Pada zaman kependudukan Jepang di Indonesia, pemerintah Jepang mengambil langkah tertentu dan melakukan berbagai kegiatan untuk meluaskan kekuasaannya ke seluruh Asia Timur dan tenggara (termasuk Indonesia). Khususnya di derah Indonesia, Jepang melakukan langkah pendekatan dengan daerah dan orang-orang yang beragama Islam. Jepang melihat bahwa Indonesia dominan menganut agama Islam, sehingga Jepang mendekati Islam sebagai agama mayoritas dan mempropagandakan supaya Islam dan Kristen terpecah.[103]Khusus di daerah Maluku, GPM merasakan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Jepang. Gedung gereja di ambil alih oleh para prajurit dan dijadikan sebagai milik militer. Para pendeta juga tidak pernah luput dari tindakan pengawasan jepang, selain itu setiap pendeta yang akan berkotbah harus menyerahkan naskah kotbahnya agar disensor. Selain itu, banyak perempuan di Maluku yang dijadikan sebagai jugun ianfu (pelacur/pemuas nafsu).[104]
Tindakan represif yang dilakukan oleh Jepang ini kemudian berkurang, setelah pendeta-pendeta Jepang, seperti S. Miyahira dan H. Shirato tiba di Indonesia.[105]Mereka diutus oleh Nippon Kirisuto Kyodan (Gereja Kristus di Jepang) untuk membantu pelayanan rohani bagi orang-orang Kristen Indonesia. Di Ambon, Shirato memprakarsai berdirinya suatu wadah kerjasama antar gereja-gereja di Ambon yang diberi nama Pergabungan Gereja-Gereja Masehi di Ambon atau Ambon Syu Kiristokyo Rengokai pada tanggal 20 September 1943. Kehadiran Shirato dan MIyahira menjadi sangat penting dalam meredakan ketegangan antara umat Kristen dan Islam, sehubungan dengan adanya isu bahwa dengan kedatangan jepang maka semua orang Kristen akan dipaksa untuk masuk Islam dan masjid-masjid akan menggantikan gereja.[106]
1.8.Gereja/Kekristenan di Maluku Pada Masa Indonesia Merdeka (1945)
Pada masa Indonesia merdeka, terdapat beberapa perselisihan diantaranya mengenai sila pertama dalam piagam Jakarta yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan menjalankan syariat-syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Kepada Tokoh Kristen, Soekarno berkata: “Saya minta supaya apa yang saya usulkan itu diterima dengan bulat-bulat oleh anggota sekalian, walaupun saya mengetahui bahwa ini berarti pengorbanan yang sehebat-hebatnya dari pihak saudara-saudara kaum patriot (Latuharhary dan Maramis yang tidak beragama Islam). Saya minta dengan rasa menangis supaya sukalah saudara-saudara menjalankan offer ini kepada tanah air dan bangsa kita, pengorbanan untuk keinginan kita, supaya kita bias lekas menyelesaikan ini dan supaya Indonesia merdeka.[107]
Salah satu tokoh nasionalis Islam yang bernama Abdul Kahar Moezakir, tidak ingin negara Indonesia menjadi negara Islam. Dia mengatakan bahwa “kita tidak boleh mengimport dasar negara yang bermayoritas Islam. Tetapi harus membangun dasar negara melalui kepribadian bangsa, baik suku, agama, ras, golongan serta kebudayaan. Jadi negara ini tidak berdiri di atas agama Islam, sehingga negara akan netral”.[108]
Termasuk juga tokoh agama Kristen yang terus berjuang untuk mempertahankan dasar negara, yaitu Mr. A.A. Maramis dan J. Latuharhary (orang Maluku). Selain itu ada juga peran dari Nisijima yang merupakan Admiral Angkatan Laut Jepang, yang menelepon Drs. Mohammad Hatta dan mengatakan “jika tetap dipertahakan tujuh kata dalam sila pertama, maka orang yang beragama Kristen di wilayah Timur akan keluar dari Indonesia”. Sehingga keesokan harinya, pada tanggal 18 Agustus 1945, sepelum dilakukan pilpres dan penetapan UUD 1945, maka dilakukanlah diskusi. Dan pada akhirnya dipustuskanlah tujuh kata yang terdapat pada sila pertama. Jadi pada Indonesia merdeka tidak mudah memperjuangkan dasar negara itu. Banyak tokoh Kristen yang terlibat dalam proses itu, seperti Maramis dan Latuharhary, yang tentunya tidak terlepas dari dialog antara orang Kristen di wilayah Timur dengan Jepang. Jadi dapat dikatakan memang, orang Kristen tidak menyerah begitu saja, maka dari itu kita harus tetap membangun rasa cinta tanah air.[109]
1.9.Gereja/Kekristenan di Maluku Pada Masa Orde Lama (1950-1965)
Setelah Indonesia merdeka, jumlah gereja bertambah besar dan kekristenan bertambah beraneka ragam.[110]Pada tanggal 3 November 1945 atas usulan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), pemerintah mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa pemerintah mengizinkan berdirinya partai-partai politik terkait dengan diselenggarakannya pemilihan umum. Tujuannya didirikannya partai politik adalah sebagai wadah dalam menyalurkan aspirasi masyarakat.[111]
Sehingga muncullah PARKINDO dan partai Katolik dari kalangan orang Kristen. Selain itu pada masa orde lama, orang Kristen banyak duduk di pemerintahan, yaitu: Dr. Johannes Leimena. Dia lahir pada tanggal6 Maret 1905 di Ambon. Leimena merupakan salah satu tokoh penting orang Kristen pada masa orde lama. Leimena pernah bergabung dalam kabinet Presiden Soekarno sebanyak 18 kali. Leimena juga dianggap sebagai tempat strategis, karena dia sangat dekat dengan Soekarno. Dia juga merupakan penggagas berdirinya PUSKESMAS (Pusat Kesehatan Masyarakat) dan dia juga pernah menjabat sebagai ketua GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia).[112]Leimena pernah berkata bahwa “Jika gereja berdiri di tengah-tengah lapangan, maka di sekitar lapangan itu didirikan pagar penjaga”. Lalu berdirilah PARKINDO dan ormas-ormas Kristen lainnya untuk menjaga gereja yang menjadi pusat kehidupan orang Kristen di Indonesia.[113]
Pada masa orde lama, DGI secara resmi dinyatakan berdiri pada 25 Mei 1950. Pada pemilu tahun 1955 DGI menyarankan agar orang-orang Kristen Indonesie memilih partai PARKINDO dan tentunya juga PKI. Mengapa? Karena PKI juga partai yang ingin mencegah negara Islam di Indonesia. Makanya orang Kristen juga banyak memilih partai PKI.[114]
1.10.        Gereja/Kekristenan di Maluku Pada Masa Orde Baru (1966-1998)
Jika pada masa orde lama orang-orang Kristen banyak duduk dalam kursi pemerintahan, berbeda dengan masa Orde Baru, pemerintahan Soeharto lebih merangkul ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia). Ada beberapa peraturan yang dianggap dapat membawa penderitaan dan mempersempit ruang gerak kekristenan pada waktu itu, yaitu:
1.    Difusi Partai
Pada tahun 1973 pemerintah melakukan penyederhanaan jumlah partai politik menjadi tiga, yaitu Golkar, PPP (Partai Persatuan Pembangunan) dan PDI (Partai Demokrasi Indonesia). Hal ini dilakukan supaya Soeharto dapat menjadi presiden terus menerus dan untuk menguatkan posisinya.[115] Dalam hal ini, sejak tanggal 10 Januari 1973, PARKINDO dan partai Katolik memilih untuk bergabung dalam PDI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.[116]
2.    Masalah Pembangunan Rumah Ibadah (SKB No. 1/1969)
Pertambahan jumlah umat Kristen yang cukup pesat, terutama sejak 1965, dengan sendirinya melahirkan kebutuhan akan rumah ibadat atau gedung gereja yang baru. Dengan adanya SKB No.1/ 1969 dianggap mempersulit umat Kristen dalam membangun rumah ibadah.[117]
3.    UU Tentang Perkawinan
Menurut catatan sipil, memungkinkan untuk menikah walaupun beda agama. Sebenarnya Islam dan Kristen pun menentang akan hal itu. Terlebih orang Kristen menganggap bahwa pernikahan beda agama merupakan tidak kristiani, harus seiman. Pihak Islam menuduh bahwa catatan sipil itu merupakan suatu upaya kristenisasi. Hingga pada akhirnya mereka memasang spanduk, bahwa “UU Perkawinan adalah haram”.[118]
Pada masa orba PKI berhasil dibubarkan. Ratusan ribu nyawa kader dan simpatisan PKI dihabisi oleh militer dan barisan antikomunis. Sementara ratusan ribu lainnya diasingkan ke Pulau Buru, Maluku.[119]Selain itu, pada masa orde baru juga pemerintah menetapkan peraturan bahwa setiap warga negara Indonesia harus menganut salah satu agama resmi yang diakui oleh pemerintah, yakni Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Dengan kata lain bahwa di Indonesia tidak diberi tempat bagi orang yang tidak beragama (komunis/ PKI). Sehingga pada waktu itu banyak orang mencari jalan selamat. Banyak juga diantara mereka yang dating ke lingkungan gereja Kristen Protestan maupun Katolik yang menawarkan perlindungan dan pendampingan kepada mereka yang dicurigai atau dituduh terlibat sebagai komunis/ PKI.[120]
1.11.        Gereja/Kekristenan di Maluku Pada Masa Reformasi (1998-2003)[121]
Selama berabad-abad, hingga masa Orde Baru, sebenarnya Ambon terkenal dengan kerukunan umat beragamanya, yang antara lain didukung oleh perantara sosial budaya pada masa reformasi pela atau pela gandong, yaitu ikatan persaudaraan dan kerjasama diantara desa dan penganut agama yang berbeda, termasuk dalam hal gotong royong membangun rumah ibadah. Bahkan mengacu pada hasil penelitian Diater Bartels (seorang sarjana Jerman) tahun 1974-1975, Steenbrink mencatat bahwa di Ambon ada warisan agama bersama yang yang disebut agama Nanusaku, yang menyerap berbagai unsur dari Agama Islam dan Kristen. Tetapi disisi lain, konflik diantara masyarakat islam dan Kristen di Ambonpada khususnya dan dimaluku pada umumnya acap pula berlangsung sejak abad ke-16. Khusus dipulau Ambon kita telah melihat bahwa warga ulilima didaerah Hitu sebagian besar beragama Islam, sedangkan warga Ulisiwa didaerah Leitimor sebagian menjadi Kristen, dan diantara mereka sering terjadi pertikaian, bahkan sejak sebelum Islam dan Kristen masuk kesana. Pranata pela gandong baru belakangan tercipta dan tidak selalu dapat meredam pertikaian.
Konflik fisik di Ambon secara kasat mata dipicu oleh percekcokan di terminal Batumerah antara Usman, pemuda Bugis yang tinggal dikawasan Islam, Batumerah Bawah, dan Yopie Saiya, pemuda Ambon dari Kawasan Kristen, Mardika, tanggal 19 Januari 1999, bertepatan dengan hari raya Idul Fitri. Beberapa jam sesudah cekcok di terminal Batumerah itu telah beredar desas desus bahwa gedung gereja dan masjid telah dihancurkan dan kabar burung ini berhasil membakar emosi kedua belah pihak sehingga berkobarlah huru hara besar, meliputi seluruh kota Ambon. Hinggal 24 Januari telah 52 orang tewas, 13 gedung gereja dan masjid serta limaratusan rumah terbakar, dan puluhan ribu penduduk menjadi pengungsi dari kalangan Kristen maupun Islam.
Khusus Maluku Utara (Ternate, Tidore, Halmahera, dan sekitarnya), Konflik yang kurang banyak diberitakan dibanding yang di Ambon berlangsung pada tahun 1999 dalam beberapa babak: babak I dimulai dari 18 Agustus, babak II dimulai dari 24 Oktober, dan babak III dimulai dari 26 Desember 1999. Konflik ini memakan korban sedikitnya 3.000.000 jiwa melayang dan 1.000.00 menjadi pengungsi. Selain itu terdapat juga konflik mengenai perebutan tambang emas yang baru ditemukan. Tetapi pemicunya adalah selembaran yang berisi tanda tangan palsu dari Ketua Sinode GPM, Pdt. Sammy Titaley, seakan-akan ia menyampaikan seruan kepada umat Kristen disana untuk mengkristenkan masyarakat muslim. Pada tanggal 7 Januari tahun 2000 sejumlah tokoh Islam, antara lain Amien Rais, Hamzah Haz, Fuad Bawazier, Ahmad Sumargono dan Ja’Var Umar Thalid  (pemimpin Laskar Jihad Ahlus Sunnah wal Jamaah), mengadakan Tabligh Akbar Umat Islam di Monas Jakarta sebagai wujud solidaritas. Aksi ini disusul dengan pendaftaran dan pelatihan ribuan muslim yang siap berjihad di Maluku di bawah Panji Laskar Jihad Ahlus Sunnah wal Jamaah. Pasukan Jihad ini terbukti berhasil menembus blockade militer yang sebelumnya sudah dikirim untuk meredam konflik di Maluku dan membuat Konflik di Maluku semakin berlarut-larut. Keterlibatan Amien Rais dalam berbagai gerakan itu, PGI menulis surat yang cukup tajam, yang pada pokoknya menyayangkan bahwa Amien Rais sebagai ketua MPR, tidak berupaya menenangkan dan mendamaikan hati umat, malah sebaliknya menunjukkan sikap dan mengeluarkan berbagai penyataan yang menurut penilaian PGI membakar emosi masyarakat islam. Singkat cerita pada tanggal 17-18 januari 2000 sebenarnya para pemimpin Islam dan Kristen (termasuk Khatolik) bertemu di Jakarta untuk menandatangani Dokumen Persetujuan pengakiran konflik. Tetapi tidak lama kemudia pertikaian kembali berkobar terutama setelah Laskar Jihad tiba Ambon sejak awal Mei 2000. Salah satu puncaknya adalah pembakaran komplek Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) pada sekitar tanggal 20 juni 2000 bersama sejumlah gedung gereja. Pristiwa ini disusul dengan perusakan Universita Pattimura pada tanggal 3-4 Juli 2000 dan pemusnahan sejumlah desa dan jemaat Kristen.
Tetapi secara perlahan keamanan mulai pulih di Maluku pada akhir bulan Desember 2000 dan semakin baik pada awal tahun 2001. Walau begitu, status darurat sipil belum sepenuhnya dicabut karena pemerintah sempat khawatir akan timbul konflik kembali. Masalah pokok yang menunggu untuk diselesaikan adalah rekonsiliasi. Pada bulan Februari 2000 diadakan perjanjian damai oleh kedua belah pihak yang bertikai di Maluku. Perjanjian itu dikenal dengan “Deklarasi Malino II”. Ternyata sama seperti di Poso tidak lama kemudian kerusuhan kembali meledak. Salah satu penyebabnya adalah kegiatan kelompok tertentu yang mengaku diri sebagai pejuang Republik Maluku Selatan (RMS). Dalam rangka mempringati berdirinya RMS pada tanggal 25 April 1950, disekitar tanggal 25 April 2002 mereka mengadakan berbagai acara, antara lain mengibarkan bendera RMS dan mengerahkan banyak penduduk untuk merayakannya. Kegiatan itu dipimpin oleh dr. Alexander Manufutty (yang belakangan ditangkap dan diadili di Jakarta). Kelompok ini berpendapat bahwa RMS merupakan institusi atau wujud kenegaraan yang legal. Akibat perayaan itu terjadi lagi bentrokan yang sangat berdarah dan pemboman gedung gereja. Bahkan komplek kantor Gubernur Maluku dan kantor DPRD Maluku di Ambon dibakar. Pihak Islam mendakwa RMS sebagai pelaku pembakaran dan untuk kesekian kalinya menyatakan bahwa segala kegiatan separatis kalangan RMS itu merupakan kegiatan atau bagian dari upaya kalangan Kristen untuk memisahkan diri dari NKRI dan mendirikan negara yang bercorak Kristen. bahkan mereka menuduh Pemda Provinsi Maluku bersekongkol RMS dan gereja.
    II.            Daftar Pustaka
…, Dr. Johannes Leimena Negarawan Sejati. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007.
Abineno, J.L.Ch. Sejarah Apostolat di Indonesia I. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978. 
Amal, M. Adam. Kepulauan Rempah-rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950. Jakarta: KPG, 2010.
Aritonang, Jan S.  Belajar Memahami Sejarah di Tengah Realitas. Bandung: Jurnal Info Media, 2007. 
Aritonang, Jan S. Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016. 
Aritonang, Jan S. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016.
Asshiddiqie, Jimmy. Kemerdekaan Berserikat. Jakarta: Konstitusi Pers, 2005. 
Batlajery, Agustinus M.L, End, Th. Van den. Dua Belas Tulisan Mengenai Calvin dan Calvinisme. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015. 
Berkhof, H., Enklaar, I. H. Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016. 
Culver, Jonathan E.  Sejarah Gereja Indonesia. Bandung: Biji Sesawi, 2014. 
End, Th. van den, Weitjens, J. Ragi Carita 2. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018.
End, Th. van den. Ragi Carita 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2019. 
End, Thomas Van Den. Harta Dalam Bejana. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2019. 
Enklaar, I.H. Joseph Kam: Rasul Maluku. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980. 
Kruger, Muller. Sedjarah Geredja di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1959.
Kruger, Muller. Sejarah Gereja di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1966.  
Leirissa, Richard Z. Maluku Dalam Perjuangan Nasional Indonesia. Jakarta: Lembaga Sejarah FS-UI, 1975.
Locher, G. P. Tata Gereja-gereja Protestan di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997. 
Ngelow, Zakaria J. Kekristenan dan Nasionalisme. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017. 
Ruck, Anne. Sejarah Gereja di Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008. 
Schie, G. Van. Rangkuman Sejarah Gereja Kristiani Dalam Konteks Sejarah Agama-agama Lain. Jakarta: Obor, 1995.
Ukur, F., Cooley, F. L. Jerih dan Juang. Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi DGI, 1979. 
Wellem, F. D. Kamus Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006. 
Wellem, F. D. Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.
Wellem, F.D. Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989.   
Wetzel, Klaus. Ringkas Sejarah Gereja Asia. Malang: Gandum Mas, 2015. 
Sumber Lain
giafidrisa.blogspot.com, diakses pada tanggal 4 Februari 2020, pukul 17:14 WIB.   
https://kumparan.com, diakses pada hari Senin, 23 Maret 2020, pada pukul 08:04 WIB.
Tarigan, Tri Yose Basita. Catatan Rekaman Akademik di Kelas III-C, dosen: Berthalyna Br Tarigan, pada tanggal 12 September 2019.   
Tarigan, Tri Yose Basita. Catatan Rekaman Akademik di Kelas III-C, dosen: Berthalyna Br Tarigan, pada tanggal 19 September 2019.  
Tarigan, Tri Yose Basita. Catatan Rekaman Akademik di Kelas III-C, dosen: Berthalyna Br Tarigan, pada tanggal 26 September 2019. 
Tarigan, Tri Yose Basita. Catatan Rekaman Akademik di Kelas III-C, dosen: Berthalyna Br Tarigan, pada tanggal 10 Oktober 2019.  
Tarigan, Tri Yose Basita. Catatan Rekaman Akademik di Kelas III-C, dosen: Berthalyna Br Tarigan, pada tanggal 24 Oktober 2019.
Tarigan, Tri Yose Basita. Catatan Rekaman Akademik di Kelas III-C, dosen: Berthalyna Br Tarigan, pada tanggal 31 Oktober 2019.



[1] Th. van den End, Ragi Carita 1 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2019), 36. 
[2] Jan S. Aritonang, Belajar Memahami Sejarah di Tengah Realitas (Bandung: Jurnal Info Media, 2007), 124. 
[3] H. Berkhof dan I. H. Enklaar, Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 235. 
[4] Jan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 24. 
[5] Isitilah ini pada awalnya dikenakan oleh bangsa-bangsa Eropa kepada umat Islam di daerah Afrika Utara. Tetapi kemudian dikenakan juga kepada umat Islam pada umumnya. 
[6] Jan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 24-26. 
[7] Thomas Van Den End, Harta Dalam Bejana (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2019), 212. 
[8] Jan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 25. 
[9] Di literature tertentu disebut dengan nama Bayan Sirrullah ataupun Bem Acorala. 
[10] Sampai waku itu cengkeh hanya ada di Ternate, Tidore, dan pulau-pulau sekitarnya. Baru setelah kedatangan Portugis, cengkeh ditanam di pulau Ambon dan sekitarnya.
[11]Jan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 25-26. 
[12]Jan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 26.  
[13]Ibid, 26.  
[14] Jan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 26-27. 
[15]Don Joao merupakan gelar untuk kepala suku Mamuya, jika sebelum dibaptis gelarnya adalah Kolano. Tetapi setelah dibaptis maka berubah menjadi Don (Dom) Joao.  
[16] Jan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 28-29.
[17] Jan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 29. 
[18]Th. van den End, Ragi Carita 1, 43. 
[19] Ibid, 44. 
[20] Jonathan E. Culver, Sejarah Gereja Indonesia (Bandung: Biji Sesawi, 2014), 32. 
[21] J.L.Ch. Abineno, Sejarah Apostolat di Indonesia I (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978) 17. 
[22] Zakaria J. Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017), 12. 
[23] Jonathan E. Culver, Sejarah Gereja Indonesia, 36.  
[24] Jan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 31-30.
[25] H. Berkhof dan I. H. Enklaar, Sejarah Gereja, 236. 
[26] Jan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 38.
[27] H. Berkhof dan I. H. Enklaar, Sejarah Gereja, 236.
[28] Pada tanggal 22 Mei 1599 beberapa kapal Belanda berlabuh di Ternate. Orang-orang Belanda itu diterima dengan baik oleh Sultan Ternate. Sultan Ternate mengetahui bahwa orang Belanda bermusuhan dengan Portugis dan Spanyol. Itulah sebabnya mereka diterima baik oleh Sultan Ternate.  
[29] Jan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 40. 
[30] H. Berkhof dan I. H. Enklaar, Sejarah Gereja, 237. 
[31] F. D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 192
[32] F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), 248.   
[33] Jonathan E. Culver, Sejarah Gereja Indonesia, 32-33.
[34]Ibid, 34. 
[35] Jan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 30-31. 
[36] Th. Van Den End, Ragi Carita 1, 47-51
[37] Jan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam Di Indonesia, 22
[38]Ibid 22.  
[39]Ibid, 26.  
[40] M. Adam Amal, Kepulauan Rempah-rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950, (Jakarta: KPG, 2010), 72.
[41] Jan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 26. 
[42]Ibid, 40.
[43] Muller Kruger, Sedjarah Geredja di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1959), 24.
[44] H. Berkhof dan I. H. Enklaar, Sejarah Gereja, 237. 
[45] Thomas Van Den End, Harta Dalam Bejana, 223. 
[46] F. D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 471. 
[47] Jan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 49-50.  
[48] Anne Ruck, Sejarah Gereja di Asia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 88. 
[49] Klaus Wetzel, Ringkas Sejarah Gereja Asia (Malang: Gandum Mas, 2015), 115. 
[50] Thomas Van Den End, Harta Dalam Bejana, 218-219. 
[51]Tri Yose Basita Tarigan, Catatan Rekaman Akademik di Kelas III-C, dosen: Berthalyna Br Tarigan, pada tanggal 12 September 2019.   
[52] Muller Kruger, Sejarah Gereja di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1966), 31.  
[53] Tri Yose Basita Tarigan, Catatan Rekaman Akademik di Kelas III-C, dosen: Berthalyna Br Tarigan, pada tanggal 12 September 2019. 
[54] Agustinus M.L Batlajery dan Th. Van den End, Dua Belas Tulisan Mengenai Calvin dan Calvinisme (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 70-71. 
[55] Thomas Van den End, Harta Dalam Bejana (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2019), 222. 
[56] Klaus Wetzel, Ringkas Sejarah Gereja Asia, 115. 
[57] Thomas Van Den End, Harta Dalam Bejana, 218-219. 
[58]Tri Yose Basita Tarigan, Catatan Rekaman Akademik di Kelas III-C, dosen: Berthalyna Br Tarigan, pada tanggal 12 September 2019.  
[59] Jonathan E. Culver, Sejarah Gereja Indonesia, 46-47.
[60]G. P. Locher, Tata Gereja-gereja Protestan di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 178. 
[61] Tri Yose Basita Tarigan, Catatan Rekaman Akademik di Kelas III-C, dosen: Berthalyna Br Tarigan, pada tanggal 12 September 2019.  
[62] Thomas Van Den End, Harta Dalam Bejana, 223. 
[63] Tri Yose Basita Tarigan, Catatan Rekaman Akademik di Kelas III-C, dosen: Berthalyna Br Tarigan, pada tanggal 19 September 2019.  
[64] Pada tahun 1795 Prancis menyerbu dan sempat menguasai Belanda. Napoleon Bonaparte mengangkat saudaranya Louis Bonaparte untuk menjadi raja di Belanda dan memberinya mandate penuh untuk mengatur administrasi negara, termasuk di HB. 
[65] Jan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 73-74. 
[66] Tri Yose Basita Tarigan, Catatan Rekaman Akademik di Kelas III-C, dosen: Berthalyna Br Tarigan, pada tanggal 19 September 2019. 
[67] G. Van Schie, Rangkuman Sejarah Gereja Kristiani Dalam Konteks Sejarah Agama-agama Lain (Jakarta: Obor, 1995), 68.
[68] F. Ukur dan F. L. Cooley, Jerih dan Juang (Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi DGI, 1979), 473. 
[69] Tri Yose Basita Tarigan, Catatan Rekaman Akademik di Kelas III-C, dosen: Berthalyna Br Tarigan, pada tanggal 19 September 2019. 
[70] Th. van den End, Ragi Carita 1, 145.  
[71] Tri Yose Basita Tarigan, Catatan Rekaman Akademik di Kelas III-C, dosen: Berthalyna Br Tarigan, pada tanggal 19 September 2019. 
[72] F. Ukur dan F. L. Cooley, Jerih dan Juang, 477. 
[73] I.H. Enklaar, Joseph Kam: Rasul Maluku (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), 155. 
[74] F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja, 155-156. 
[75] F. D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, 136-137.
[76] I.H. Enklaar, Joseph Kam: Rasul Maluku, 155.
[77] F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja, 155-156. 
[78] Th. van den End, Ragi Carita 1, 165. 
[79] Tri Yose Basita Tarigan, Catatan Rekaman Akademik di Kelas III-C, dosen: Berthalyna Br Tarigan, pada tanggal 19 September 2019.  
[80] H. Berkhof dan I.H. Enklaar, Sejarah Gereja, 241. 
[81] giafidrisa.blogspot.com, diakses pada tanggal 4 Februari 2020, pukul 17:14 WIB.   
[82] Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 165. 
[83]Ibid, 344-346. 
[84] F. D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, 144. 
[85] Tri Yose Basita Tarigan, Catatan Rekaman Akademik di Kelas III-C, dosen: Berthalyna Br Tarigan, pada tanggal 26 September 2019. 
[86] Zakaria J. Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme, 17. 
[87] Tri Yose Basita Tarigan, Catatan Rekaman Akademik di Kelas III-C, dosen: Berthalyna Br Tarigan, pada tanggal 26 September 2019. 
[88] F. D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, 144.
[89] Jan S. Aritonang, Belajar Memahami Sejarah di Tengah Realitas, 96.
[90] Thomas van den End, Harta Dalam Bejana, 250. 
[91] Tri Yose Basita Tarigan, Catatan Rekaman Akademik di Kelas III-C, dosen: Berthalyna Br Tarigan, pada tanggal 26 September 2019. 
[92] Tri Yose Basita Tarigan, Catatan Rekaman Akademik di Kelas III-C, dosen: Berthalyna Br Tarigan, pada tanggal 26 September 2019.
[93] F. D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, 144. 
[94]Th. van den End dan J. Weitjens, Ragi Carita 2 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), 74-75.
[95]Ibid, 75-76. 
[96] Thomas van den End, Harta Dalam Bejana, 258. 
[97] Th. van den End dan J. Weitjens, Ragi Carita 2, 76.
[98]Th. van den End dan J. Weitjens, Ragi Carita 2, 78-79.
[99] F. D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, 149.
[100]Ibid, 149.
[101] Richard Z. Leirissa, Maluku Dalam Perjuangan Nasional Indonesia (Jakarta: Lembaga Sejarah FS-UI, 1975), 53.
[102] Zakaria J. Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme, 60-68.
[103] Jan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 210. 
[104]Ibid, 232. 
[105] Wilayah kerjanya meliputi Buru Selatan, Halmahera dan lain sebagainya. 
[106] Jan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 232-234. 
[107]Ibid, 245-251.
[108]Ibid, 249-250.
[109] Tri Yose Basita Tarigan, Catatan Rekaman Akademik di Kelas III-C, dosen: Berthalyna Br Tarigan, pada tanggal 10 Oktober 2019.  
[110] Th. van den End dan J. Weitjens, Ragi Carita 2, 357.
[111] Jimmy Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat (Jakarta: Konstitusi Pers, 2005), 177. 
[112] …, Dr. Johannes Leimena Negarawan Sejati (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 11-13.
[113] Jan S. Aritonang, Belajar Memahami Sejarah di Tengah Realitas, 25. 
[114]Tri Yose Basita Tarigan, Catatan Rekaman Akademik di Kelas III-C, dosen: Berthalyna Br Tarigan, pada tanggal 24 Oktober 2019.
[115]Jan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 377.
[116]Ibid, 378.
[117]Ibid,397.
[118]Tri Yose Basita Tarigan, Catatan Rekaman Akademik di Kelas III-C, dosen: Berthalyna Br Tarigan, pada tanggal 31 Oktober 2019.
[119]https://kumparan.com, diakses pada hari Senin, 23 Maret 2020, pada pukul 08:04 WIB.
[120]Jan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 413.
[121]Ibid, 544-560.