Sejarah Kekristenan di Irian Jaya dari HIndia-Belanda sampai sekarang
Sejarah
Gereja/ Kekristenan di Irian Jaya
I.
Abstraksi
Kekristenan
di Irian Jaya di mulai pada masa pemerintahan Hindia Belanda, sejarah
kekristenen kekristenan Irian Jaya sendiri sangat unik dan begitu banyak
pergumulan. Pada 5 Februari 1855 Ottow dan Geissler
menginjakan kakinya ke tandah Papua atau Irian Jaya tepatnya di depan Kampung
Mansiam, pelabuhan Doreh, banyak metode-metode yang di gunakan oleh misionaris
untuk menarik Penduduk Pribumi untuk masuk menjadi Agama Kristen seperti
membangun sekolah-sekolah untuk anak-anak, penebusan budak yang kemudian di
ajari dan di ajak untuk membantu rumah injil, mengajak
penduduk setempat untuk beribadah dengan di beri sirih, gambir dan rokok. Dalam
perjalananya kekristenan di Irian Jaya banyak mengalami tantangan-tantangan
mengenai masalah Budaya di Irian Jaya yang sering terjadi perang antar suku,
perang Dunia II, Konflik Indonesia-Belanda dan begitu pula dengan OPM (Operasi
Papua Merdeka), dalam perjalananya akan di bahas pada sajian Berikut ini,
semoga menambah wawasan kita Bersama. Tuhan Yesus Memaberkati.
II.
Pembahasan
2.1.
Seputar
Irian Jaya
Irian Jaya merupakan wilayah ketiga paling luas di
seluruh Indonesia, sesudah Kalimantan dan Sumatra. Luas daerah Irian Jaya ialah
412.781 km² (20,36%) dari luas wilayah Republik Indonesia. Provinsi Irian Jaya
terdiri dari dua bagian: daratan dan ratusan pulau-pulau di Teluk Cendrawasih
dan bagian darat daerah Raja Empat.[1]
Sejak tahun 2000 nama Irian Jaya resmi menjadi Papua.[2] Lebih
dari 2,6 juta orang tinggal Papua dan hampir dari 75% dari populasi tinggal di
daerah pedesaan. Papua diberkahi dengan beragam ekosistem yang luar biasa dan
tidak biasa, termasuk gletser, padang rumput alpine, hutan awan, hutan daratan
rendah, sabana, hutan bakau, terumbu karang, dan padang lamun.
Papua adalah istilah yang
digunakan untuk menggambarkan seluruh pulau tropis terbesar, panjangnya sekitar
2.700 km, dan lebarnya 900 km. Setengah dari bagian timur pulau itu menjadi bagian
daratan Pupua Nugini, yang meraih kemerdekaan dari Australia pada 1975.[3]
2.2.
Sejarah
Gereja/ Keristenan di Irian Jaya Pada Masa Hindia-Belanda
Perjalanan Ternate-Papua
dimulai tanggal 12 Januari 1855, dengan sekunar “Ternate” ditempuh kurang lebih
tiga minggu, 25 hari kemudian Ottow dan Geissler memasuki Teluk Doreh. Tepat
tanggal, 5 Februari 1855, hari minggu pagi yang cerah, jam 06.00 sekunar
Ternate membuang sauhnya didepan kampung Mansinam, pelabuhan Doreh.[4]
Kedua zendeling menginjakkan kaki di pantai Mansinam, mula-mula mereka berdua
menguncapkan pernyataan iman : “Dengan
Nama Tuhan kami menginjakan kaki di tanah ini” dengan pernyataan serta doa
yang diucapkan tersebut maka, dimulailah pekerjaan zending di tanah Papua. Dua
tahun kemudian (1857), Ottow membuka pos pekabaran Injil ke dua di Kwawi,
sedang Geiisler meneruskan pekerjaan di Mansinam.[5] Gossner dan Heldring adalah
zendeling-tukang, mereka segera mulai bekerja dengan tangan sendiri: menebang
pohon, membangun rumah sendiri. Di kemudian hari mereka berdagang untuk
menghidupi diri, di samping mendapat tunjangan dari pemerintah sebagai imbalan
jasa menyelamatkan awak kapal Eropa yang terdampar. Sesuai dengan asas metode
Gossner-Heldring mereka tidak digaji. Tetapi dı samping berdagang mereka
berupaya sekuat tenaga untuk mengikuti panggilan menyebarkan Injil dan
memerangi agama kafir. Yang pertama, pekabaran Injil itu, berupa kebaktian yang
diadakan pada hari Minggu pagi di rumah sendiri. Caranya secara asasi sama
seperti di jemaat yang sudah lama berdiri: ada doa, ada nyanyian, ada khotbah.
Khotbah itu berpokok penawaran keselamatan kekal bagi orang yang mau bertobat
dan pengancaman kebinasaan kekal kepada mereka yang tetap berkanjang dalam
kebiasaan kekafirannya.
Pada tahun
1863 UZV berencana mengirim zendeling-zendeling mereka ke Papua. Para perintis
di Irian pun sadar bahwa tenaga mereka kurang. Karena itu mereka meminta
bantuan dari Eropa.[6]
Keputusan untuk memilih Papua sebagai salah satu medan kerja UZV tidak terlepas
dari dorongan Heldring yang sebelumnya telah merintis usaha pekabaran Injil di
Papua melalui utusan-utusan tukang. Sebab pada waktu itu keadaan di Papua masih
dalam proses perintisan dan penanaman Injil Kristus karena masih banyak
kekafiran serta agama Suku yang masih kuat. Utusan –utusan pertama UZV yang
dikirim ke Papua adalah: J.L. Van Hasselt, Th.F Klaassen sudah berkeluarga dan
Otterspoor masih bujangan. Mereka tiba di teluk Doreh (Manokwari) pada 18 April
1863.[7]
Pada tahun (1924-1942) perkembangan
pesat dalam medan pekabaran Injil di Papua dengan bertambahnya pos-pos
pekabaran Injil, disamping itu bertambah pula tenaga zendeling : F.J.S. van
Hasselt, D.B. Starrenburg, P.J. Grondel, F.C.Kamma, juga guru zending (darurat)
yang datang dari Maluku dan Sangir Talaud.[8]
Pekerjaan zending sangat maju, resort-resort dan jemaat-jemaat dapat di
organisir dengan menempatkan tenaga-tenaga zendeling baik dari Eropa maupun
pribumi. Disamping itu sekolah-sekolah yang telah dibuka dan memenuhi syarat
diberi subsidi oleh pemerintah sedangkan dijemaat-jemaat diangkat dan dipilih
penatua dan syamas untuk menangani pekerjaan di jemaat.[9] Agar orang Irian tertarik, maka
sehabis kebaktian mereka ini disuguhi tembakau atau gambir. Mula-mula bahasa
pengantar ialah bahasa Melayu, tetapi pada tahun 1859 kebaktian mulai diadakan
dalam bahasa Numfor. Pada tahun 1861 sudah dapat diterbitkan sebuah kumpulan
lagu-lagu Kristen dalam bahasa itu dan sebelum 1870 beberapa kitab PB sudah
berhasil diterjemahkan.[10]
Pada tahun 1962 organisasi UZV berhasil mendirikan sebuah gereja. Mereka
berhasil mengajak penduduk setempat untuk mengikuti kebaktian dengan di beri sirih, gambir dan Rokok. Para
pekabar injil membebaskan budak-budak anak-anak yang kemudian membantu tumah
injil dan mendapat pengajaran iman Kristen, [11]
Orang Irian dewasa ternyata tidak dapat ditarık dengan
metode tersebut. Maka para zendeling melakukan pendekatan melalui generasi muda
dengan dua cara. Mereka mendirikan sekolah-sekolah, supaya di sana anak-anak,
mereka mendengar cerita-cerita Alkitab dan belajar menyanyi lagu-lagu Kristen.
Selain itu, para zendeling menebus anak-anak yang telah di perbudak, lantas
mendidik mereka di rumah sendiri. Mereka mengharap anak-anak itu bisa tumbuh
tanpa mengalami pengaruh jahat masyarakat Numfor, sehingga setelah dewasa bisa
menjadi kelompok inti jemaat Kristen, bahkan membantu dalam karya PI. Setelah
menjadi dewasa, orang-orang tebusan ini, bersama dengan orang Irian merdeka
yang sudah dibaptis, diharuskan tinggal dalam sebuah "kampung
Kristen".[12]
Para perintis di Irian pun sadar bahwa tenaga mereka kurang. Karena itu mereka meminta bantuan dari Eropa.
Bantuan itu datang dari pihak UZV yang baru saja didirikan . Pada tahun 1863
(Ottow sudah meninggal setahun sebelumnya), tiga orang utusan UZV tiba di Mansinam.
Salah seorang di antaranya ialah J.L. van Hasselt, yang bertahan di Trian
sampai tahun 1907. Asas-asas yang dianut UZV dalam hal metode PI berbeda dengan
asas Gossner dan Heldring. UZV berikhtiar agar para calon zendeling menikmati
pendidikan yang agak lengkap, dan mereka ini menerima gaji dengan teratur.
Namun, di lapangan pada umumnya mereka mengikuti pola kerja seperti yang
digambarkan di atas, meskipun dalam beberapa hal sikap mereka lebih terbuka.
Van Hasselt memberitakan Firman lebih banyak dalam bentuk percakapan dengan
para pendengarnya. Di antara rekan-rekannya ada yang kadang kala menunjukkan
pengertian terhadap makna sosial upacara-upacara orang Irian, sehingga mereka
tidak menolaknya mentah-mentah. Peng- urus di negeri Belanda malah khawatir,
jangan-jangan mereka tertarik Pasifik. Akan tetapi, perlu diulang bahwa pada
pokoknya sepanjang abad oleh agama kafir, seperti yang sudah terjadi
berkali-kali di daerah Lautan ke-19 para utusan UZV tetap mengikuti pola yang
sesuai dengan catatan- catatan di atas.[13]
2.3.
Sejarah
Gereja/ Keristenan di Irian Jaya Pada Masa Jepang
Pada
masa perang dunia II jemaat-jemaat di Irian mengalami goncangan yang sangat
besar. Terdapat guru-guru terutama yang guru Ambon bersama keluarganya tewas
terbunuh oleh tentara Jepang, begitu juga dengan gerakan anti Jepang yang di
sebut gerakan Koreri. Pada tahun 1944 tentara Sekutu datang ke Irian Jaya yang
mengacaukan suasana di Irian Jaya. Dalam hal kekristenan, kegiatan jemaat hanya
bisa dilakukan secara terbatas karena disebabkan tekanan dari pihak Jepang dan
juga karena kebijakan para zendeling, yang pada waktu di giring ke penjara
tidak meninggalkan organisasi gereja yang belum mantap serta pengerja-pengerja
pribumi yang di persiapkan mengganti mereka.[14]
Akan tetapi pada saat inilah terjadi kesadaran orang Kristen Papua sendiri
untuk mengurus Gereja sendiri atau mandiri dan tidak terus bergantung pada
bangsa barat.
2.4.
Sejarah
Gereja/ Keristenan di Irian Jaya Pada Masa Indonesia Merdeka
Pemerintahan
Belanda atas Papua berlangsung dari 1898 sampai dengan Perang Dunia II (PD II).
Pada 17 Agustus 1945 Indonesia menyatakan dirinya sebagai negara yang merdeka,
dengan BPUPKI dan kemudian PPKI sebagai
badan atau lembaga dalam mempersiapkan kemerdekaan itu. Sesudah PD II (tahun
1945) Belanda tetap melanjutkan penguasaannya atas Papua, hal ini menjadi
sebuah konflik antara Indonesia dengan Belanda karena dalam rapat Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945, ditetapkan bahwa
melalui Proklamasi Kemerdekaan Indonesia wilayah Indonesia mencakup seluruh
wilayah yang dikuasai Belanda yakni: Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku. Pada masa itu Papua merupakan
bagian dari propinsi Maluku.[15]Atas
dasar penetapan di atas maka Indonesia
merasa berhak untuk menyatukan atau mengintegrasikan Papua ke dalam NKRI.
Kekristenan pada saat ini mengalami goncangan yang amatlah berat tetapi karena
pertimbangan-pertimbangan yang ada: secara Politis Pulau Papua merupakan bagian
dari NKRI karena pada saat itu masih merupakan wilayah Maluku namun tidak
menutup kemungkinan pemahaman bahwa Bangsa Belanda telah banyak berjasa untuk
perkembangan Kekristenan dan banyaknya janji-janji atau iming-iming yang di
berikan secara khusus kepada Geraja.
2.5.
Sejarah
Gereja/ Keristenan di Irian Jaya Pada Masa Orde Lama
Konfik sengketa antara Belanda dan Indonesia
berlangsung sampai tahun 1971yang pada akhirnya mengenai tanah Papua di berikan
kepada Pemerintah RI atas desakan Amerika Serikat mengingat kondisi Indonesia
yang karena persengketaan itu mengeluarkan diri dari anggota PBB, Amerika
serikat takut dengan semakin lamanya Indonesia tidak anggota PBB maka Indonesia
akan semakin dekat dengan Rusia. Pada masa sebelum tahun 1971 gereja sendiri
mengalami di dilema karena setelah PD 2 Gereja di Papua di urus kembali oleh
Belanda sebagai Policy Zendelingnya sehingga mengaklami tekanan yaitu pertama
tekanan dari Pemerintah Indonesia dan Zedeling Belanda yang mengenai masa depan
Irian barat yang tidak menentu dan kedua yaitu pada masa 1956-1962 dalam
kepemimpinan yang baru gereja GKI masih di damping oleh pendeta-pendeta
zendeling yang mempunyai pemahaman dan pengetahuan mengenai irian.
Maksud dan cita-cita mengenai pembentukan Gereja
Kristen Injili di Nederland Nieuw Guinea atau Papua, telah
dimulai dan didorong ke arah
yang lebih kongkrit. Rencana itu secara luas dibahas pada komperensi persiapan
(proto sinode) di Serui 1954. Cita–cita
serta usaha dan kerja keras dalam waktu yang panjang melalui pekabar Injil dari
berbagai etnis, suku dan latar belakang, bermuara pada pembentukkan Gereja
Kristen Injili di Nederlands Nieuw Guinea dan Gereja ini hadir bagi seluruh
umat yang ada di Tanah Papua. Bukan sebuah mimpi, melainkan suatu kenyataan
dari Tuhan, atas kehendakNya yang Agung maka lahirlah gereja Tuhan di Tanah Papua.
Melalui Sidang Sinode Umum pertama dijemaat Harapan Abepura, tanggal 18 – 26
Oktober 1956, dapat diresmikan pembentukan Gereja Kristen Injili di Nederlands
Nieuw Guinea (sekarang GKI Di Tanah Papua). Badan Pekerja Harian Sinode Umum
(BPHSU) terpilih periode 1956-1960 : Ketua : Pdt. Filip Jakop Spener Rumainum,
Wakil Ketua : Pdt. H. Mori Musendi, Sekretaris : Dr. F.C. Kamma dan Bendahara :
G.W. de Kater, ditambah dengan tiga anggota lainnya. Gereja Kristen Injili di Tanah Papua sejak
terbentuk 1956, memiliki 186 bakal jemaat, 580 Jemaat, 9 resort dan 1 klasis
bebahasa Belanda dan terdapat 130.000 lebih orang Kristen. [16]
Dalam
persiapan pembentukkan GKI, Zending sudah mengusulkan agar selain penyerahan
organisasi gereja dari Zending kepada GKI, diserahkan pula urusan persekolahan
yang berada di bawah Pengurus Umum Sekolah-sekolah Zending (ASB= Algemene School Beheerder). Usul Zending
mengenai penyerahan persekolahan ditolak, karena GKI yang bakal dibentuk merasa
belum mampu untuk menerima tanggung jawab tersebut.[17]
Pada tahun
1961 mulai terjadi perubahan politik di Papua menjelang penyerahan kekuasaan
dari Belanda kepada Indonesia. Tahun 1961-192 berangsur-amgsur Belanda
meninggalkan Tanah Papua dan kembali ke negerinya.[18]Pada
tanggal 1 Mei 1963, United Nations Temporary Administration(UNTEA) menyerahkan
pemerintahan di Irian Barat kepada Republik Indonesia[19],
maka berakhirlah pula seluruh proses alih kepemimpinan dari zending dalam
bidang organisasi gereja, pendidikan dan lain sebagainya dan tanggung jawab tersebut
diberikan kepada GKI di Tanah Papua untuk menjalankannya.
Perubahan
nama Geredja Kristen Indjili di Nederlands Nieuw Guinea menjadi Gereja Kristen Injili
Di Tanah Papua memiliki perjalanan tersendiri sebagai jawaban atas penyesuaian
terhadap situasi dan kondisi tanpa meninggalkan esensi: Geredja Kristen Indjili
di Nederlands Niew Guinea di Hollandia (1956 – 1962), ditetapkan oleh Zending
Belanda. Saat itu dalam konteks politik Belanda di Nederland Nieuw Guinea, Kongres Papua
I dan Trikora 1961. Geredja Kristen
Indjili di Irian Barat (1962 – 1971) ditetapkan pada tahun 1962 di Sidang
Sinode darurat di Hollandia (yang berubah nama menjadi Sukarnapura dan sekarang
Jayapura), dalam konteks politik Indonesia atas negeri Papua Barat.[20] selanjutnya pada masa kedua
1963-1971 hampir semua tenaga Belanda hampir semua tenaga Belanda kembali, dan
bagaimana menjalin hubungan dengan Dewan Gereja-Gereja seluruh Indonesia. Pada
tahun 1967 dari menjadi penentuan
keberadaan Status Irian melalui PEPERA
yang di lakukan oleh UNTEA. Dengan ini Gereja mulai menjawab atas
keraguan-keraguan atas rasa naionalismenya dengan melakukan berbagai
tindakan-tindakan yang mengarahkan keberdukunganya pada pererintah Indonesia.
2.6.
Sejarah
Gereja/ Keristenan di Irian Jaya Pada Masa Orde Baru
Ternyata hasil
dari PERPERA tidak di terima oleh semua penduduk Papua terlihat masih adanya Operasi
Papua Merdeka yang aktif berusaha memperjuangkan cita-cita Negara Papua
Merdeka, tanah papua menjadi sangat panas antara konflik Pemerintah Indonesia
dengan OPM, sebagai gereja yang Okumene dan merupakan anggota Dewan
Gereja-Gereja Indonesia, GKI IRJA tidak dapat di sangkal menlegimitasi dirinya
kepada Pasukan Papua Merdeka. Alasan dari Penduduk Papua untuk memisahkan diri
karena Mereka merasa cemburu akan orang-orang yang pendatang dari luar daerah
membanjir dengan pesat sekali. Keadaan ini tentunya tidak memilih apakah ia
Kristen atau bukan, karena kedatangan dari luar daerah ini adalah dalam rangka
membangun bersama wilayah Irian Jaya. dan dengan pesatnya proses pembangunan di wilayah ini, maka mengalir
pulalah pengusaha-pengusaha swasta baik yang besar maupun yang kecil-kecilan.
Sebagian besar dari mereka ini adalah
saudara-saaudara yang beragama Islam,
sepeti suku Bugis, Makasar, Buton sampai-sampai mereka yang dari
Sumatera. Para Pendatang yang bekerja di Papua kebanyakan lebih sejahtera
dengan penduduk Pribumi, Tanah Papua yang sangat kaya terutama tambang emas
tidak bisa di nikmati sepenuhnya oleh penduduk Papua karena semua pembangunan
terpusat di Jakarta (Ibu Kota Negara).[21]
2.7.
Gereja/
Kekristenan di Irian Jaya pada Masa Reformasi
Pada
masa terjadi reformasi di Indonesia (1998) melalui pencopotan Presiden Soeharto
dan diganti oleh presiden B.J. Habibie, tiba era keterbukaan. Bila sebelumnya rakyat Papua dibungkamkan
untuk bicara mengenai keinginan-keinginan politik dengan cara ditahan dan
dipenjarakan bahkan dihilangkan, maka sejak era reformasi mulai ada peluang
mengaspirasikan keinginan politik secara terbuka untuk merdeka. Untuk mengatasi tuntutan rakyat Papua
tersebut maka pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No.21 tahun 2001 yang isinya
berisi pemberian Otonomi Khusus (OTSUS)
yang pada intinya merupakan bentuk proteksi terhadap orang asli Papua, baik di
bidang legislatif, eksekutif, perlindungan masyarakat adat dengan pembentukkan
MRP (Majelis Rakyat Papua), maupun program-program afirmasi dengan kekhususan
bagi orang asli Papua. [22]
Di
era kepemimpinan Joko Widodo sebagai presiden RI, Papua diberi perhatian lebih
khusus melalui kunjungan-kunjungan kerja secara rutin dan pembangunan infra
struktur berupa lapangan terbang di hampir semua kabupaten/kota, pembangunan
pelabuhan laut maupun pembangunan daerah perbatasan.Program 1000 doktor yang
dicanangkan oleh Gubernur Barnabas Suebu mulai memperlihatkan hasilnya dengan
kembali doktor-doktor anak asli Papua tamatan dalam dan Luar Negeri. Dana Otsus
dialokasikan ke kampung-kampung di seluruh Tanah Papua dengan pembagian 80%
untuk kampung dan 20% untuk provinsi (kebijakan Gubernur Lukas Enembe), dengan
maksud agar kampung dibangun.
Upaya-upaya
perbaikan dan perubahan sudah dilakukan tetapi kepincangan belum tuntas karena
berbagai keadaan sosial, pendidikan, ekonomi, geografis, demografis mau pun
politik, masih menjadi kendala untuk menjadikan Papua sebagai Tanah Damai.[23]
2.8.
Gereja-Gereja
di Irian Jaya
2.8.1.
GKI
IRJA
Maksud dan cita-cita mengenai pembentukan Gereja
Kristen Injili di Nederland Nieuw Guinea, telah dimulai dan didorong kearah
yang lebih kongkrit. Rencana itu secara luas dibahas pada komperensi persiapan
(proto sinode) di Serui 1954. Cita–cita
serta usaha dan kerja keras dalam waktu yang panjang melalui pekabar Injil dari
berbagai etnis, suku dan latar belakang, bermuara pada pembentukkan Gereja
Kristen Injili di Nederlands Nieuw Guinea dan Gereja ini hadir bagi seluruh
umat yang ada di Tanah Papua. Bukan sebuah mimpi, melainkan suatu kenyataan
dari Tuhan, atas kehendakNya yang Agung maka lahirlah gereja Tuhan di Tanah
Papua. Melalui Sidang Sinode Umum pertama dijemaat Harapan Abepura, tanggal 18
– 26 Oktober 1956, dapat diresmikan pembentukan Gereja Kristen Injili di
Nederlands Nieuw Guinea (sekarang GKI Di Tanah Papua). Badan Pekerja Harian
Sinode Umum (BPHSU) terpilih periode 1956-1960 : Ketua : Pdt. Filip Jakop
Spener Rumainum, Wakil Ketua : Pdt. H. Mori Musendi, Sekretaris : Dr. F.C.
Kamma dan Bendahara : G.W. de Kater, ditambah dengan tiga anggota lainnya. Gereja Kristen Injili di Tanah Papua sejak
terbentuk 1956, memiliki 186 bakal jemaat, 580 Jemaat, 9 resort dan 1 klasis
bebahasa Belanda dan terdapat 130.000 lebih orang Kristen. [24]
Dalam persiapan pembentukkan GKI, Zending sudah
mengusulkan agar selain penyerahan organisasi gereja dari Zending kepada GKI,
diserahkan pula urusan persekolahan yang berada di bawah Pengurus Umum
Sekolah-sekolah Zending (ASB= Algemene
School Beheerder). Usul Zending mengenai penyerahan persekolahan ditolak,
karena GKI yang bakal dibentuk merasa belum mampu untuk menerima tanggung jawab
tersebut.[25]
Pada tahun 1961 mulai terjadi perubahan politik
di Papua menjelang penyerahan kekuasaan dari Belanda kepada Indonesia. Tahun
1961-192 berangsur-amgsur Belanda meninggalkan Tanah Papua dan kembali ke
negerinya.[26]Pada
tanggal 1 Mei 1963, United Nations Temporary Administration(UNTEA) menyerahkan
pemerintahan di Irian Barat kepada Republik Indonesia[27],
maka berakhirlah pula seluruh proses alih kepemimpinan dari zending dalam
bidang organisasi gereja, pendidikan dan lain sebagainya dan tanggung jawab
tersebut diberikan kepada GKI di Tanah Papua untuk menjalankannya.
Perubahan nama Geredja
Kristen Indjili di Nederlands Nieuw
Guinea menjadi Gereja Kristen Injili Di Tanah Papua memiliki perjalanan
tersendiri sebagai jawaban atas penyesuaian terhadap situasi dan kondisi tanpa
meninggalkan esensi:Geredja Kristen Indjili di Nederlands Niew Guinea di
Hollandia (1956 – 1962), ditetapkan oleh Zending Belanda. Saat itu dalam
konteks politik Belanda di Nederland Nieuw
Guinea, Kongres Papua I dan Trikora
1961. Geredja Kristen Indjili di Irian Barat (1962 – 1971) ditetapkan pada
tahun 1962 di Sidang Sinode darurat di Hollandia (yang berubah nama menjadi
Sukarnapura dan sekarang Jayapura), dalam konteks politik Indonesia atas negeri
Papua Barat.Gereja Kristen Injili di Irian Jaya (1971-2000) ditetapkan sebagai
penyesuaian atas dirubahnya nama Irian Barat menjadi Irian Jaya oleh pemerintah
Indonesia pada tahun 1971 dalam konteks politik dan ekonomi Irian Jaya. Gereja
Kristen Injili Di Tanah Papua (2000 - Sekarang), ditetapkan dalam Sidang Sinode
XIV tahun 2000 di Sorong sesuai dengan keinginan Jemaat.Dalam konteks politik
di Tanah Papua, Kongres Papua II yang melahirkan UU RI No.21 Tahun 2001.[28]
GKI Di Tanah Papua
berdiri sendiri pada 26 Oktober 1956 orang Kristen di Tanah Papua sudah hidup
dalam suasana plural: Maluku/Ambon,Sanger, Minahasa/Manado, Belanda, Jerman,
Swiss dll. Aspek ini mempengaruhi
pemberian nama Gereja. Karena itu Gereja yang dibentuk 26 Oktober 1956 tidak
disebut “Gereja Papua” tetapi diberi nama Geredja Kristen Indjili “Di” Nederlands Niew Guinea. Kata “Di”
mempunyai makna oikumenis (persekutuan dan kebersamaan). Siapa saja orang
Kristen dan dari mana saja meskipun berbeda bahasa, budaya, warna kulit atau
apapun, ketika berada di Nederlands Nieuw
Guinea (Papua Barat), mereka “dapat” dan “akan” menjadi anggota Gereja Kristen
Injili Di Tanah Papua. Dengan demikian Gereja Kristen Injili Di Tanah Papua
adalah Gereja yang esa yang oikumenis terbuka untuk mempersatukan orang Kristen
dari segala suku bangsa di Indonesia dan di dunia.Inilah keunikan GKI Di Tanah
Papua.Tanah Papua secara Pemerintahan
terbagi menjadi Dua Provinsi saat ini yakni Provinsi Papua dan Papua Barat, tetapi GKI Di Tanah Papua tetap menjadi satu
dibawah Satu Sinode GKI Di Tanah Papua.[29] Jumlah Klasis/Bakal Klasis:45
Klasis / 11 Bakal Klasis , Jumlah Jemaat :2.100 Jemaat (komunitas), Jumlah Bakal Jemaat: 147 Bakal Jemaat, Jumlah Pos Pekabaran Injil: 23 Pos PI, Jumlah Pendeta:
± 1.237. orang ,Jumlah
Guru Jemaat: 278 orang, Jumlah Penginjil:
170 orang, Jumlah
Pengajar:27orang, Jumlah Vikaris:
367 orang, Jumlah warga jemaat : ± 650.000 jiwa.[30]
2.9.
Aliran-Aliran
Lain di Irian Jaya
2.9.1.
Katolik
Dalam
catatan Sejarah, Paus Gregorius XVI mengeluarkan dekrit Ex Debito Pastoralis (19 Juli 1844) untuk membentuk dua Vikariat,
yaitu Melanesia-Mikronesia, yang berwilayah 125 km2 – 160 km2
meliputi Nova Guinea (Irian) dan pulau-pulau sekitarnya. Pada tanggal 11 Juli
1891 Pemerintah memberi Ijin kepada Gereja untuk bekerja di Irian Jaya.
Ternyata Irian Barat berada dalam kuasa Uskup Jakarta yang mempunyai wewenang
atas segala kepulauan di Indonesia yang pada saat itu di bawah jajahan Belanda.
Bulan Oktober 1892, Mgr. A.C. Claessens memberi surat perintah kepada Pater C.
Van der Heyden SJ, yang berada di Tual untuk pergi ke Irian Barat bagian
selatan untuk mencari tempat yang baik untuk mendirikan stasi.[31] Kontak Pertama dengan Gereja Katolik terjadi
pada tahun 1894 waktu Pater Le Cocq d’Armandville SJ, memulai misinya di Kapaur dekat
Fak-fak. Dua tahun kemudian, pada tanggal 27 Mei 1896, ia menemui ajalnya dan
mati lemas di depan pantai Mimika. Pantai Selatan dikunjungi juga oleh seorang
pastor Jesuit, yaitu Pater van der Heijden SJ, pada tahun 1892, namun ia tidak
tinggal di wilayah itu. Pada tahun 1893 ia kembali lagi dan menetap di daerah
ini tapi rencananya gagal karena pos pemerintah dekat Merauke, yaitu Salire
ditutup.[32]
Mendaratnya
Katolik di Wilayah Pantai Selatan.
Mengingat luasnya wilayah yang tak terjangkau, maka pada
tahun 1902 wilayah Gereja Irian Jaya/Maluku dipisahkan dari Vikariat Jakarta
dan diserahkan kepada Terekat MSC.[33]
Pater Mathias Neijens MSC, (Pater Neyens) Misionaris pertama yang mengunjungi
Merauke tahun 1904.[34]
Pada 14 Agustus 1905 Tarekat MSC menetap di Merauke. Para
misionaris yang tiba pada tahun 1905, yakni P.PH. Nollen MSC, P.Ph. Braun MSC,
Br.Oomen MSC dan Br. Van Roessel MSC. Tujuan para misionaris waktu itu “mewartakan kekayaan Kristus yang tak terduga
itu, kepada kaum yang belum mengenal Kristus dan membuat terang bagi segala
orang yakni rencana Allah, sehingga berani mendekati Allah dengan penuh
kepercayaan karena iman dengan harapan bahwa kita berakar dan beralas dalam
cinta kasih Kristus”.
Selama 20 tahun evangelisasi mengalami terlalu
banyak tantangan baik dari penduduk asli beserta adatnya yang sangat
bertentangan dengan kabar gembira Injil maupun dari segi bahasa, serta kondisi
alam yang sangat menyulitkan komunikasi dan transportasi. Sesudah 17 tahun,
kelompok pertama pemuda Marind dibaptis. Stasi – stasi baru yang dibuka di
pantai Selatan ialah Wendu (1908); Okaba (1910); Wamal (1926); Kimaam (1931).
Di pantai selatan, misionaris mengunjungi rakyat, merawat yang sakit serta
mempelajari bahasa dan adat, lalu menyusun kamus dan katekismus.
Pada
tahun 1912, pemerintah membuat garis pemisah wilayah Katolik untuk bagian
selatan, dan Protestan untuk bagian utara. Akan tetapi pada tahun 1929,
pemerintah mencabut garis pemisah wilayah kerja gerejani. Akibat dihapusnya
garis pemisah memungkinkan Gereja Kristen bergiat di daerah Mimika dan daerah
merauke. Dan ini terjadi secara terbuka, pada tahun 1930, tepat pada perayaan
25 tahun berdirinya Gereja Katolik di merauke. Pada 24 Juni 1950, Merauke
dipisahkan dari Ambonia dan menjadi wilayah gerejani sendiri, yaitu Vikariat
Apostolik Merauke dengan Uskup pertamanya Mgr. H. Tillemans MSC. Karena usia
lanjut Mgr. Tillemans mengundurkan diri dan di ganti oleh Mgr. J. Duivenvoorde
(1972). Pada bulan Juli 2004, Mgr. J. Duivenvoorde mengakhiri masa
kegembalaannya sebagai Uskup Agung Merauke dan kini diganti oleh Mgr. Nikolaus
Adiseputra, MSC.[35]
2.9.2.
KINGMI
Kehadiran Kemah
Injil berawal dari visi Dr. Albert Benyamin Simpson, pendiri Christian and Missionary Alliance
(C&MA) yang merupakan cikal bakal dari Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII). Albert Benjamin Simpson adalah
seorang keturunan Skotlandia.Ia lahir pada tahun 1843 di Kanada dan dibaptis di
Gereja Presbiterian ketika masih bayi.Pada tahun 1865 Benjamin di tahbiskan
menjadi pendeta gereja tersebut.[36]
Awal mula Gereja Kemah Injil (KINGMI) di Tanah
Papua berasal dari penkabaran Injil yang dilakukan oleh suatu badan Misi yaitu Chirstian
and Missionary Allience (C&MA) dari Amerika yang didirikan oleh Albert
Benjamin Simpson. Datang ke Indonesia berpusat di Makassar. Dan akhirnya
mengabarkan Injil-Nya juga ke Papua. Inilah cikal bakal dari Gereja Kemah Injil
Indonesia (GKII) yang dahulunya
persatuan dari beberapa KINGMI di
berbagai daerah di nusantara yang menjadi satu sehingga dinamakan GKII. Namun,
khusus KINGMI Papua mereka merasa perlu mandiri atau mengurusi dirinya sendiri
sehingga terpecah menjadi dua yang pertama GKII di Papua dan yang kedua KINGMI
di Tanah Papua. Kali ini akan dibahas khusus KINGMI di Tanah Papua. KINGMI di
Tanah Papua berpusat di Jayapura. Gereja ini memiliki otonominya sendiri dan
menginjili sesuai penginjilan/misi yang berkonteks Papua.
Pada Tahun 1936: Frits Julius Wissel, seorang pilot muda berpangkat letnan
2 dari angkatan laut Belanda, sedang terbang melewati sebuah rute yang
membawahnya melintasi pegunungan tengah Papua. Penerbangan itu dilakukan untuk
kepentingan perusahaan minyak NNGPM. Wissel melaporakan bahwa ia melihat banyak
kampung dan orang disekitar tiga buah danau yakni danau Paniai, Tigi dan Tage
(Danau-danau Wissel) itulah pertamakalinya dunia luar mengetahui keberadaan
orang-orang Mee. Itu juga pertamakalinya orang-orang Mee menyadari bahwa mereka
tidak sendirian di dunia ini.Dari situ lahirlah sebuah pemerintah di Enarotali. Pada Tahun 1937: C&MA pun menyusul setelah
pemerintah Belanda. [37]
Mendengar bahwa ditemukannya wilayah baru, Jaffray yang saat itu
merupakan ketua misi mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia-Belanda
agar diizinkan membuka daerah pedalaman Papua bagi penginjilan.Permohonan
itupun dikabulkan. Pada Tahun 1938 Jeffray menumpang kapal dari Makasar menuju Timur. Ia ingin
melihat kondisi Papua. Ia mendengar bahwa di pulau yang besar itu masih ada
manusia yang hidup di zaman batu. Mereka di sebut suku terbelakang, pemakan
orang, dan berbagai julukan negatif lainnya.Namun, Jaffray tahu bahwa mereka
adalah orang-orang yang dikasihi Allah dan bahwa Yesus telah juga mati bagi
mereka.oleh karena itu ia mengunjungi pulau tersebut. Pada bulan Desember
Walter Post dan Pdt. Russell Deibler menjadi perintis di Papua.Mereka berdua
meninggalkan istri mereka di Makassar dan berlayar menuju pantai Selatan Papua.[38]
Pada
tanggal 6 April 1961 disepakati dalam suatu rapat di Beoga, kabupaten Puncak
(setelah Badan Misi C&MA ini berkarya di pegunungan tengah lebih dari 20
tahun) untuk membentuk KINGMI Irian Jaya (Papua). Karena dalam suasana
ketidakpastian masa depan Papua, lantaran ketegangan antara pihak Belanda dan
Indonesia terkait status politik, sehingga dibentuklah KINGMI Papua.[39]
Pada tahun 1962, diangkat dan dilantik secara institusi /organisasi dalam
Konferensi perdana Gereja tersebut badan Pengurus Sinode KINGMI Irian Barat
(Papua) diangkat dan di lantik.[40]
Pada
tanggal 20 Maret 1983, nama “Kemah Injil Gereja Masehi Indonesia” (KINGMI)
diresmikan kemudian, nama itu diganti menjadi “Gereja Kemah Injil Indonesia”
(GKII). GKII pada waktu itu memiliki 7 anggota diantaranya:KINGMI Kaltim, KINGMI
Kalbar, KINGMIT, KINGMI Irian jaya.[41]
Namun, pada
tahun 2006, Gereja Kemah Injil (KINGMI) di Tanah Papua memisahkan dirinya
dengan GKII/dan badan misi. KINGMI menjadi suatu badan yang otonom yang
berpusat di Jayapura-Papua. Ini dikarenakan Gereja Kemah Injil (KINGMI) di
Tanah Papua merasa mampu dan dewasa untuk mengurus dirinya sendiri. Pada Tanggal 6 April 1962 dijadikan sebagai hari
jadi (HUT) Gereja Kemah Injil (KINGMI) di Tanah Papua, yang di ketuai oleh Pdt. Benny Giay sebagai Ketua
Badan Pengurus Sinode KINGMI di Tanah Papua dengan 72 Klasis.[42]
2.9.3.
Gereja
Baptis
Anugerah Indonesia di Papua
Pada tahun 1949, persekutuan Gereja-gereja Baptis New South Wales, Australia
mengirim utusan Injil mereka ke Papua Nieuw Gunea (PNG), bersama dengan
Missionary Adviantion Fellowshif (MAF) Australia, membuka pos-pos pelayanan
dengan semua misionaris di PNG. Pada tahun 1955, Norm dan Sheila Draper membuka
lapangan terbang dan melayani di pos Baiyer River (Kumbareta) dan Lumusa. Pada
suatu hari di lapangan terbang itu mendarat pesawat MAF tersebut dikemudikan
oleh pilot Charles Mellis yang baru
terbang dari Papua Barat (Pada saat itu disebut
Netherlands New Guinea atau Dutch New Guine). Pilot Charles Mellis menerangkan
sedikit tentang Lembah Baliem kepada Norm dan Sheila Draper. Dia menekankan
supaya Misionari dari Australia datang melayani
di Papua (Netherlands New Guinea atau Dutch New
Guine), karena negara Australia adalah negara yang terdekat dengan Papua. Pilot
Charles Mellis mengatakan kepada Norm dan Sheila Draper bahwa orang babtis
Australia harus mulai pikirkan tentang pelayanan di Papua dalam bidang penginjilan,
kesehatan dan pendidikan.[43]
Bukan secara kebetulan sebelumnya Norm dan Draper
pernah membaca sebuah buku karya
Lioyd Rees yang menulis tentang pengalaman Dorter Viktor de Bruyn, sesudah
perjalanannya di daerah ini. Buku itu berjudul Jungle Pimperal.Dengan
sendirinya dijumpai dalam perjalanan
ekspedisi itu bukan hanya tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan dan hutan tetapi
juga penduduk asli (Fonataba, 1999: 2). Ketidakmungkinan menemukan tempat dari
daerah ter-barat dari PNG membuat daerah Papua sebagaimana ditemukan didalam buku tersebut.
Daerah ini belum pernah dijejaki oleh pemerintah Belanda dan misi-misi
lain.Norm dan Sheila Draper menyampaikan informasi
ini kepada dewan pengurus ABMS (Australian Baptist Missionary Society) di
Australia. Setelah beberapa minggu, pada bulan Agustus 1955 Dewan pengurus ABMS
sekarang menjadi Global InterAction (GIA) mengadakan pertemuan di Melbourne, Australia. Dalam rapat itu,
diputuskan untuk memulai pelayanan di Papua di daerah pedalaman Papua sangat padat penduduknya
yang dikenal dengan sebutan Balim Utara.[44]
Setelah sidang Pleno dewan pengurus ABMS memberi
mandat untuk mempelajari keadaan dengan pemerintahan Belanda yang diwakili oleh
Viktor de Bruyn kepada komisi Regional PNG untuk mengadakan penelitian ke Papua Barat. Untuk maksud itu Viktor
White di utus ke Holandia untuk mempelajari keaadan pihak pemerintah Belanda
yang diwakili oleh Dr. Viktor de Bruyn (Directur of Cultural Affairs dari
pemerintah Belanda di Papua) yang menangani masalah kependudukan. Ia mengusulkan bahwa ABMS harus melayani di Lembah Baliem Utara (suatu
daerah yang belum pernah disentuh). Dalam hal ini pernah dicatat adanya
perbedaan kebijakan antara pemerintah PNG dan Papua Barat. Di PNG para utusan
misi baru di izinkan memasuki suatu daerah, jika daerah tersebut sudah dibawah
kontrol pemerintahan. Sedangkan di Papua
Barat para utusan Injil boleh mulai dimana saja, termaksud daerah-daerah
yang belum dijangkau oleh pemerintah.[45]
Sebelum masuk ke daerah
pedalaman para misionari ABMS harus meminta izin dari Pemerintah Belanda yang
berkuasa pada saat itu. Setelah berjuang dan bekerja keras untuk memperoleh
izin akhirnya Pemerintah Belanda memberi izin dengan syarat apa bila terjadi sesuatu yang membahayakan,
pemerintah Belanda tidak akan bertanggung jawab atau dengan kata lain resiko perjalanan ABMS di
tanggung sendiri. Kemudian Norm Draper
bersama dengan Viktor White meninjau dengan pesawat MAF yang dikemudikan oleh pilot Dave Steiger
ke daerah pedalaman. Mereka tertarik
dengan daerah Balim Utara dan dalam hati kedua misionaris itu berkata; “
Orang apa yang ada disini? Apa yang mereka pikirkan? Dan apa yang mereka
lakukan? (aakumi nonggop mendek yime
wonogwe? Aakumi yime iniki nonggop konggwi kwe? Aakumi yiime nano ekwi kwe?)”.
karena misionaris ABMS tidak tahu di Lembah Balim Utara itu adalah tempat
keberadaan orang Lani.[46]
Penerbangan ini merupakan
penerbangan yang bersejarah. Sesudah melintasi dataran yang rendah, mereka
melintasi daerah hutan rimba dan pegununggan. Pada ketinggian 13 ribu kaki di
atas permukaan laut, mereka melihat adanya cela yang dibentuk oleh barisan
gunung yang menjulang tinggi. Pada waktu pesawat melintasi cela itu mereka
melihat suatu dataran yang menghijau dan luas serta dipagari sekelilingnya oleh
lingkaran pegununggan tinggi. Inilah Lembah Balim Raya yang dikenal juga dengan
nama Lembah itu “Sanggri-La (Firdaus) Valley” di beri nama oleh George Lait dan
Harry E. Patterson, anggota angkatan udara Amerika Serikat.
Kemudian pesawat membelok ke
arah kanan mengikuti sungai Balim bagian Utara. Sementara mengikuti arah aliran
sungai, mereka melintasi suatu celah yang lebih kecil bagaikan pintu masuk ke
bagian Utara yang dalam. Di daerah ini mereka melihat pemukiman penduduk berupa
Rumah-rumah berbentuk jamur bertebaran di tengah lereng-lereng Gunung dan pada
tepian sungai, begitu juga kebun-kebun mereka nyata terlihat dari udara. Pada
waktu memasuki lebih jauh kedalam Lembah,
tiba-tiba perhatian mereka tertuju kepada suatu kejadian yang
menyeramkan yang belum pernah mereka saksikan, yang sedang berlangsungnya suatu
peperangan antara dua kelompok besar, yaitu kelompok Tawarak”onua Wanimbo dan
Mbalim” mendek Yigibalom. Melihat hal itu mereka berniat untuk mencoba
membubarkan kedua kelompok yang sedang berperang. Hal itu dilakukan dengan
jalan menakut-nakuti mereka dengan terbang rendah di atas kepalah mereka.
Ternyata siasat yang digunakan itu berhasil membubarkan mereka semua yang
sedang berperang. Yang seorang mencoba mendahului yang lain untuk berusaha
menyelamatkan diri. Dalam sekejap maka perang pun berakhirlah dan apa yang terjadi
selanjutnya tidak diketahui oleh kedua misionaris itu. Hanya yang diketahui
adalah pembicaraan orang Lani mengenai burung besar itu, setiap orang dengan
pendapatnya sendiri-sendiri. Hal itu terjadi pada akhir tahun 1955 dan tempt
terjadinya peperangan itu kemudian di jadikan tempat pos yang pertama yaitu
Yigi”nuwa atau sekarang ini kita namakan Tiom (Ti Eyom) artinya “Saat itu”.
Dengan di selesaikannnya penelitian ini, akhirnya keputusan untuk pelayanan di
Papua Barat di setujui berdasarkan laporan itu. [47]
Penelitian yang dilakukan oleh
tim Ekspedisi dan Misionaris bertujuan untuk mengakhiri masa kegelapan
sekaligus menjawab masa penantian nubuatan dan mimipi-mimpi nenek moyang orang
Lani di masa lampau. Roda kehidupan baru telah di mulai dengan melakukan kontak
dengan bangsa asing. Perubahan pola hidup yang lama segerah di gantikan dengan
pola hidup yang baru, yang akan di letakan oleh Misionaris.[48]
Di awal perkembangan Gereja
Baptis mula-mula banyak tantangan yang di hadapi secara intrnal dan eksternal.
Perkembangan Gereja Baptis melewati berliku-liku, suka dan duka dalam kehidupan
umat Baptis. Walaupun demikian kualitas kehidupan dijalani oleh Gereja yang
berasaskan Akitabiah ini terlihat dan menarik jiwa-jiwa, bagaikan ibarat
magnet. .
Secara umum perkembangan Gereja
Baptis menjadi dua bagian. Yang
pertama, daerah Balim Utara Beam – Kwiyawagi . yang kedua adalah diluar daerah
Balim Utara antara lain Wamena, Jayapura, Sorong, Serui,Manokwari,Nabire,
Timika, Biak, Merauke, dan Puncak Jaya.[49]
2.9.4.
Gereja
Orthodox di Papua
Gereja orthodox di
papua masuk pada tahun 2007 yang dibawa oleh Daniel Bambang Wijantoro. Untuk
memperluaskan misinya maka pada tahun 2007 beliau datang ke Papua untuk
membabtiskan beberapa orang yaitu 12 orang pada tahun 2008 dan pada tahun 2009
kembali ke Papua serta membabtis 10 orang. Kemudian yang sudah dibaptis
diangkat menjadi diaken dan imam lalu mendirikan jemaat di beberapa jemaat di
Papua.[50]
Pada tanggal 12 Maret
2007 misi Gereja Orthodox masuk di Tanah
Papua dengan dibaptiskannya dua putera Papua pertama yaitu Bapak Athanasius
Joseph Mori Muzendi dan Isteri Paraskeva Dolly Josephine Sembor. Dengan
demikian maka terbentuklah komunitas Orthodox di Tanah Papua dan Bapak
Athanasius Joseph Mori Muzendi menjadi koordinator untuk seluruh wilayah di
Tanah Papua. Bapak Athanasius Joseph Mori Muzendi ditahbiskan menjadi seorang
Diakon pada bulan Desember 2008, kemudian pada tanggal 28 Juni 2009 di Solo (
Surakarta ) oleh Uskup Agung Metropolitan Hilariondari keuskupan agung Australia
–Salandia Baru beliau ditahbiskan menjadi Imam/ Presbiter/ Penatua (lihat Kis
14:23 ; Yak 5:14). Presbiter Athanasius Joseph Mori Muzendi melayani bersama
istri Presbitera Paraskeva Dolly Josephine Sembor melayani di Paroki St.
Athanasius Abepura Jayapura – Papua.[51]
Sehari
setelah pentahbisan Imam maka pada tanggal 29 Juni 2009 di Paroki St. Thomas
Jakarta ditahbiskan seorang putera Papua lagi oleh Metropolitan Hilarion yaitu
Chrisostomos Rolling S. Gaspersz menjadi
diakon (lihat 1 Tim 3 : 12), yang kemudian bersama istrinya diakonisa
Cicilia Imelda Rumbewas melayani
membantu Imam dalam pelayanannya. Pada bulan 2012, Diakon Chrisostomos
Gaspersz ditahbiskan dan menerima sakramen imamat untuk kemudian menjadi
gembala bagi komunitas paroki St. Nikolaus Jayapura. Di kota Jayapura sendiri
tadinya jemaat Gereja Othodox hanya ada di jalan manokwari akan tetapi tahun
2010 mendirikan salah satu jemaat lagi yaitu jemaat St. Nikolaus Jayapura di
kali Kamwolker.Saat ini
anggota baptisan di Gereja Orthodox Indonesia Parokia St. Nikolaus berjumlah 64 orang termasuk anak-anak.[52]
2.10.
Badan
Zendeling di Irian Jaya
2.10.1.
Zendeling Tukang
Pekabaran Injil
menurut metode lain dari yang dipakai oleh NZG diusahakan oleh pendeta O.G.
Heldring, seorang penganut aliran Reveil. NZG mengutus tenaga profesional yang
dididik selama beberapa tahun dan yang di tempat kerja menerima gaji (tetapi
hal ini baru mulai berlaku pada tahun 1843; sebelumnya NZG pun tidak memberi
gaji). Cara ini oleh Heldring dianggap kurang kena karena mahal, sehingga jumlah
utusan terpaksa kecil saja. Heldring ingin mengutus orang-orang Kristen secara
spontan, tanpa pendidikan selain yang paling perlu, dan tanpa jaminan hidup. Di
tempat kerjanya mereka harus menghidupi diri sendiri, sama seperti Paulus si
tukang kemah, misalnya dengan bercocok tanam, berdagang, bertukang, dan
sebagainya, sambil bersaksi tentang Injil Kristus. Sikap Heldring ini sampai
sekarang masih diikuti juga oleh lembaga-lembaga yang biasanya disebut “Faith Missions”.
Selama 10 tahun Heldring bersama “Panitia Tukang Kristen”
nya berhasil mengutus 52 orang, di antaranya 20 ke Jawa, 2 ke Irian Barat
(1855), dan 8 ke Sangir (1857) dan Talaud (tiba di sana 1859). Dengan demikian,
Heldring menjadi perintis usaha pekabaran Injil, dalam mencari calon zendeling,
ia bekerja sama dengan Goosner, seorang pendeta di Berlin (Jerman).[53]
2.10.2.
RMG (Rheinische
Missionsgesellschaft) di
Papua
Setelah
GKI berdiri sendiri (1956) tugas penginjilan tetap melekat pada dirinya. Ketua
Sinode GKI pada waktu itu, Pdt.Rumainum, mulai mencari peluang untuk membuka
pos pekabaran Injil di daerah Baliem-Yalimu. Pada masa kerja UZV (kemudian
menjadi ZNHK) daerah Pegunungan Tengah ini belum tersentuh. Pada kesempatan
mengadakan kunjungan ke Eropa, kepada Sekretaris Umum ZNHK, Rumainum meminta
dua pendeta dan satu dokter untuk membuka daerah Jayawijaya. Dr.Locher
menyarankan agar permohonan itu diajukan kepada badan pekabaran Injil Rheinische Mission di Jerman. Rumainum
bertemu dengan pimpinan zending RMG dan sesudah hal itu dipertimbangan dan
didoakan, maka dicapai persetujuan diantara tiga pihak, yaitu: GKI, ZNHK, RMG.
ZNHK menyetujui untuk membiayai pekerjaan di bidang kesehatan, sedangkan RMG
mau membiayai pekerjaan pekabaran Injil di Jayawijaya.[54]
Pada
tanggal 24 September 1960 Dr.W.H.Vriend dan Pdt.S.Zollner tiba di Papua.
Pdt.P.G.Aring dengan keluarganya tiba pada bulan Oktober 1960. Dalam sebuah
rapat yang dihadiri oleh Pdt.Ab Rigters, Sekretaris Sinode GKI dan Dr.Heinrich
F. de Kleine (direktur Rheinische Mission),
diambil keputusan bahwa Pdt.Aring ditempatkan di Jemaat GKI Wamena sedangkan
Dr.Vriend dan Pdt.Zollner akan mempersiapkan semua keperluan untuk membuka
daerah baru. Pdt. Manassa Yoku sebagai pendeta jemaat Wamena ditugaskan untuk
ikut membuka daerah baru itu. Di Wamena dibangun sebuah gedung gereja dan
pastori, karena jemaat disana terus menerus bertambah anggota (kebanyakan
pegawai pemerintah/anggota-anggota GKI). Wamena juga akan menjadi pusat dan
basis untuk melayani kebutuhan-kebutuhan di daerah baru. Banyak bahan makanan,
kapak besi, sekop,kulit bia, garam, dll. dibungkus untuk diterbangkan dengan
pesawat MAF dan dijatuhkan dari udara di daerah baru.[55]
Pada
bulan Oktober dan November 1960 pilot David Steiger dan Bob Johanson bersama
Pdt.F.J.S.Rumainum (GKI), Dr.H.F.de Kleine (direktur Rheinische Mission), Dr. Vriend (ZNHK) dan Pdt. Zollner (RMG)
beberapa kali mengadakan penerbangan survei
di atas lembah Heluk dan Yahuli sebelah timur dari Wamena. Sesudah itu diadakan
satu rapat resmi diantara GKI, MAF dan CAMA, dan di dalamnya ditentukan daerah
baru untuk GKI di atas peta. Kemudian dipilih dan ditentukan daerah Yalimu
dengan sungai besar Yahuli sebagai daerah pekabaran Injil yang baru. Sesudah
rapat bulan November 1960 itu, baru MAF secara resmi bersedia melakukan
penerbangan untuk GKI. Bulan November 1960 Dr. Vriend dan Pdt.Zollner pindah
dari Wamena ke Kurima dan pada bulan Januari 1961 dari Kurima ke Yuwaireinma di
lembah Mugwi. Dari Yuwaireinma diteruskan pekerjaan melalui gunung-gunung yang
tingginya lebih dari 3500 m ke daerah Yalimu ke sebelah timur, sebagai lokasi
kerja RMG selama bertahun-tahun. Sampai saat ini VEM, dalam kerjasama dengan
GKI, masih bekerja di daerah Yalimu dan tetap memberi perhatian secara khusus.[56]
2.10.3.
UZV (Utrechtse
Zendings-Vereniging)
UZV adalah badan zending Belanda yang didirikan pada 13
April 1859, pengurusnya berkedudukan di kota Utrecht. Badan zending ini lahir
dari pengaruh Pietisme/Revival. Secara khusus pembentukkannya terkait dengan
sikap tokoh-tokoh aliran etis yang tidak setuju dengan suasana NZG yang sangat
dipengaruhi oleh aliran modern. Sebagai protes terhadap dominasi aliran modern
dalam NZG, tokoh-tokoh aliran etis keluar dari NZG dan membentuk badan zending
baru yaitu Utrechtse Zendings-Vereeniging (Perhimpunan Zending Utrecht).[57]
Medan kerjanya terdapat di Irian Barat (1863), di Halmahera (1866), Bali
(1866-1878), Buru (mulai tahun 1885), dan Sulawesi Selatan (1895-1905). [58]
III.
Daftar
Pustaka
·
Sumber Buku
Alex Rumaseb, Sejarah Gereja Kemah Injil Indonesia di
Tanah Papua, Bandung: Kalam
Hidup, 2014.
B.W. Kranendonk dan A.F. Van Toor, Jejak Seorang Pekabar Injil di Papua Gerit
Kuijit, Jakarta: BPK-GM, 2007.
Badan Pengurus
Sinode KINGMI di Tanah Papua, Sekitar
Gagasan PI Baru, Abepura: Penerbit Deyai, 2015.
Bernarda
Meteray, Nasionalisme Ganda Orang Papua, Jakarta:
Kompas, 2012.
F.C Kamma , Ajaib
Di Mata Kita, Jilid III, Jakarta: BPK
Gunung Mulia,1981.
F.Ukur dan F.L. Cooley, Benih Yang Tumbuh VIII, Jakarta:
Lembaga Penelitian dan Studi Dewan Gereja-gereja di Indonesia, 1977.
I.S.Kijne, Alasan Yang Hidup, Oegsteest: Raad voor
de zending de Ned. Herv. Kerk, 1954.
Jacobus P.
Solossa, Mengangkat Martabat Rakyat Papua
Di Dalam NKRI,
Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2005.
Jacobus
Perviddya Solossa, Otonomi Khusus Papua. Mengangkat Martabat Rakyat Papua di Dalam NKRI, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2005.
Jan Boelaars, Sejarah Gereja Katolik di Irian Selatan, Merauke:
Keuskupan Agung Merauke,1999.
Kamma , Ajaib Di Mata Kita, Jilid I, Jakarta:
BPK Gunung Mulia,1981.
Kumpulan Hasil
Penelitian Bidang Studi SGTP I, Pengenalan
Gereja-gereja Di Tanah Papua, Jayapura: STFT GKI I.S.Kijne, 2014.
Numberi, Papua Dalam Mata Rantai, Manokwari:
Sekolah Pendidikan Guru Jemaat, 2010.
Sientje
Latuputty, “Kiprah Dan Ajaran Gereja
Kristen Injili Di Tanah Papua Dan Gereja Katolik Di Bidang Pendidikan Di Papua”
Disertasi D.Th., STT Jakarta, 2014.
Th. Van den End
dan J. Weitjens, Ragi Carita 2, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016.
Tim Penyusun Sinode GKI di Tanah Papua, Visi Misi Gereja Kristen Injili Di Tanah Papua tahun 2011 – 2036, dokumen gereja Jayapura: Sinode GKI di Tanah Papua,2011.
Willem
Hanny Rawung, Menelususri Jejak
Misionaris di Papua Selatan (Merauke : Seksi Sejarah Panitia Seratus Tahun
Gereja Katolik di Papua Selatan, 2005.
·
Sumber
Lain
Wawancara melalui telepon dengan Alter
Renaldo Boseren, narasumber adalah
seorang teolog yang menempuh strata satu di STT GKI izaakh Samuel Kijne dan
sedang menempuh strata sua di STT Jakarta. Beliau gereja di GKII di Papua.
[1]
F.Ukur dan F.L. Cooley, Benih Yang Tumbuh VIII (Jakarta: Lembaga
Penelitian dan Studi Dewan Gereja-gereja di Indonesia, 1977), 15.
[2]
Jurnal Sejarah, (Yayasan Obor Indonesia),
54.
[3]Andrew
J. Marshall, The Ecology of Papua, (Jakarta:
Tuttle Publishing, 2011), 20.
[5] Sientje Latuputty, “Kiprah Dan Ajaran Gereja Kristen Injili Di
Tanah Papua Dan Gereja Katolik Di Bidang Pendidikan Di Papua” (Disertasi D.Th., STT Jakarta,
2014), 107.
[7]Kamma, Ajaib Di Mata Kita, Jilid I, 185 – 186.
[8]Numberi, Papua Dalam Mata Rantai, 64.
[9]I.S.Kijne, Alasan Yang Hidup, (Oegsteest: Raad voor de zending de Ned. Herv.
Kerk, 1954), 29.
[11]B.W.
Kranendonk dan A.F. Van Toor, Jejak
Seorang Pekabar Injil di Papua Gerit Kuijit, (Jakarta: BPK-GM, 2007), 73.
[15]Lihat: Bernarda Meteray, Nasionalisme Ganda Orang Papua (Jakarta:
Kompas, 2012).
[16]F.C Kamma , Ajaib
Di Mata Kita, Jilid III (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1981), 518-519.
[17]Latupuuty,Kiprah Dan Ajaran Gereja, 255.
[18]Ibid., 259.
[19]Jacobus P. Solossa, Mengangkat Martabat Rakyat Papua Di Dalam
NKRI (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005),9.
[21]F.Ukur
dan F.L. Cooley, Benih Yang Tumbuh VIII (Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi
Dewan Gereja-gereja di Indonesia, 1977), 303.
[22]Lihat Jacobus Perviddya Solossa, Otonomi
Khusus Papua. Mengangkat Martabat Rakyat Papua di Dalam NKRI (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2005), 91-184.
[23] Wawancara
melalui telepon dengan Alter Renaldo Boseren, narasumber adalah seorang teolog yang menempuh strata
satu di STT GKI izaakh Samuel Kijne dan sedang menempuh strata sua di STT
Jakarta. Beliau gereja di GKII di Papua.
[24]F.C Kamma , Ajaib
Di Mata Kita, Jilid III (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1981), 518-519.
[27]Jacobus P. Solossa, Mengangkat Martabat Rakyat Papua Di Dalam NKRI
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005),9.
[28]Tim Penyusun Sinode GKI di Tanah Papua, Visi
Misi Gereja Kristen Injili
Di Tanah Papua tahun 2011 – 2036(dokumen gereja
Jayapura: Sinode GKI di Tanah Papua,2011),1.
[29]Ibid.,4.
[31]Willem Hanny Rawung, Menelususri Jejak Misionaris di Papua
Selatan (Merauke : Seksi Sejarah Panitia Seratus Tahun Gereja Katolik di
Papua Selatan, 2005), 1.
[32]Jan Boelaars, Sejarah Gereja Katolik di Irian Selatan,(Merauke:
Keuskupan Agung Merauke,1999), 6.
[35]Rawung, Menelususri Jejak Misionaris di Papua Selatan, 5-6.
[36]Alex Rumaseb, Sejarah Gereja Kemah Injil Indonesia di
Tanah Papua (Bandung: Kalam Hidup, 2014),13-15.
[39]Ibid., 170.
[40]Badan Pengurus Sinode KINGMI di
Tanah Papua, Sekitar Gagasan PI Baru (Abepura:
Penerbit Deyai, 2015), 85.
[41]Rumaseb, Sejarah Gereja Kemah Injil, 171.
[50]Kumpulan Hasil Penelitian Bidang
Studi SGTP I, Pengenalan Gereja-gereja Di
Tanah Papua (Jayapura: STFT GKI I.S.Kijne, 2014), 50.
Melalui panduan Alter Renaldo Boseren,
narasumber adalah seorang teolog yang
menempuh strata satu di STT GKI izaakh Samuel Kijne dan sedang menempuh strata
sua di STT Jakarta. Beliau gereja di GKII di Papua.
[54]Latuputty,Kiprah Dan Ajaran Gereja, 183.
[56]Ibid.,184 & 187
[57]Sientje Latuputty, “Kiprah Dan
Ajaran Gereja Kristen Injili Di Tanah Papua Dan Gereja Katolik Di Bidang
Pendidikan Di Papua” (Disertasi
D.Th., STT Jakarta, 2014), 133.
[58]End dan Weitjens,
Ragi Carita 2, 24.