Masa Depan Mesianis Dalam PL

Masa Depan Mesianis Dalam PL


Dalam pengharapan nabi-nabi eskatologis, diharapkan seorang yang kelak akan memerintah dalam keadilan dan dalam damai (Yes.11:1-5). Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa Allah yang turun tangan dalam sejarah keselamatan manusia dengan mengutus utusan-Nya.

Dari situlah dikenal sebutan Kristus yang menjadi salah satu gelar Yesus dan sebutan berakar dari pengertian Yahudi mengenai suatu tokoh pada masa depan yang akan datang sebagai wakil Allah yang membawa keselamatan bagi umat Yahudi.

lihat juga: Teologi Allah Mati

Sesuai kebiasaan Israel kuno yang melihat tindakan pengurapan sebagai pemilihan dan pengudusan Allah. Orang yang diurapi dianggap sebagai milik Allah dan mendapat tugas khusus. Tokoh yang dilantik dengan pengurapan biasanya raja dan imam, atau pun tokoh yang dipilih  Allah sendiri.

Dalam Perjanjian Lama, istilah tersebut dikenakan kepada raja dan orang-orang Yahudi yang diurapi saat peristiwa pelantikan dirinya (1 Sam. 10:1, Mzm. 2:2).[15]

lihat juga: Arti dan makna Kerajaan Allah menurut Matius

 Dalam hal ini juga ditandai oleh adanya pengharapan Perjanjian lama terhadap Mesianis. Umat Israel yang memusatkan perhatiannya pada masa depan dan mengharapan munculnya satu tokoh yaitu Mesias  yang akan memenuhi kebutuhan rohani maupun politis mereka.

Konsep tentang ini dapat dilihat dalam gambaran-Nya sebagai Anak Daud.[16]Di dalam pengharapan Israel akan masa depan, pemegang kunci ialah Almasih (Mesias) yang dijanjikan selaku pembawa keselamatan. Atau lebih tepat lagi; Ia merupakan poros berisarnya masa depan.

Yang terpenting dalam gambaran tentang zaman yang akan datang itu ialah pemerintahan Tuhan atas Israel dan atas bangsa-bangsa lain, dan pemerintahan itu akan didatangkan dan dilaksanaan oleh oknum mesianis sebagai penyelamat.

Seringali pengharapan itu berpusat pada diri Daud dan keturunannya yang akan memerintah dengan adil dan damai pada zamab depan sebagai raja yang diberikan Allah oknum mesias juga sering disebut sebagai ana manusia. Kadang-kadang pula pengharapan mesianis berpaut pada orang yang diurapi Tuhan, baik dia mengaku jabatan raja (Mzm 2), maupun jabatan imam (Mzm 10) atau nabi (Yes 61).

Perhatian khusus harus diberikan kepada hamba Tuhan yang menderita seperti tampak dalam nyanyian-nyanyian Deutero-Yesaya (Yes 40-55). Unsur yang menentuan dalam nyanyian itu (Yes 42:1-7; 49:1-7; 50:4-9; 52:13-53:12) ialah penderitaan sengsara.

Masadepan mendekat hanyalah melalui sengsara. Jadi mesianis akan menderita sebagai ganti orang lain. Ia mendirian Israel, memberikan kepadanya penghiburan dan kekuatan baru, terutama dengan menimbulkan pengharapan. Ia membuat Israel baru dengan memberikannya keadilan, hukum. Dan dengan demikian Ia menjadi perjanjian bagi umat manusia, menjadi terang untu bangsa-bangsa.[17]

Kesimpulan
Misi merupakan kepedulian Tuhan atas ciptaan-Nya yang telah jatuh. Dengan cara mana Ia menyatakan kepeduluian-Nya adalah otoritasNya. Dalam hal ini adalah Umat Israeldipilih sebagai alatNya. Sebab mereka adalah pewaris janji yang telah lama dinyatakan-Nya kepada leluhurnya (Abraham, Ishak, dan Yakub). Kehendak Tuhan dalam memulihkan kejatuhan manusia semakin tampak terang dengan panggilan Abraham (Kej 12:1-3). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Israel adalah alat Tuhan. Dan karena itulah bangsa Israel memiliki keunikan status dan peran istimewa bagi bangsa-bangsa diseluruh muka bumi. Namun keselamatan yang sama yang diberikan oleh Allah itu bagi Israel sifatnya universal, artinya keselamatan yang dicurahkan oleh Allah itu berlaku juga bagi bangsa-bangsa (Yesaya 42:1). Namun dalam perkembangan misi tersebut Umat Israel yang memusatkan perhatiannya pada masa depan dan mengharapkan munculnya satu tokoh yaitu Mesias  yang akan memenuhi kebutuhan rohani maupun politis mereka. Konsep tentang ini dapat dilihat dalam gambaran-Nya sebagai Anak Daud.

Note:
[15]BarnabasLudji,KerajaanMesias(Jakarta: UPI STT Jakarta, 2002), 34.
[16]S. M Siahaan, Pengharapan Mesias dalam Perjanjian Lama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 4.
[17]Arie De Kuiper, Missiologia, 24-25.