Masalah Orang Kristen dalam Pembentukan Piagam Jakarta
sebelim membaca artikel ini alangkah baiknya jika membaca artikel Kiprah orang kristen sebelum kemerdekaan
Piagam Jakarta
Pada sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 itu menyambut gembira pidato dan usul Soekarno. Tepuk tangan riuh rendah dari seluruh hadirin. Pertanyaan lebih lanjut yang harus dijawab para tokoh yang berhimpun di BPUPKI itu adalah: haruskan dasar remsi untuk Negara Indonesia terbentuk dari asas-asas Islam yang dinyatakan dengan peristilahan Islam, ataukah Indonesia akan didasarkan kepada pancasila dan menjadi suatu contoh dari Negara yang rakyatnya menganut bernegara raga agama, yang didalamnya para pengikut dari berbagai agama, hidup, dan bekerja sama dengan saling menghormat? Sebagaimana terlihat dalam perkembangan selanjutnya, yaitu pada reses diantara dua masa persidangan BPUPKI itu, para tokoh Islam tetap mengkehendaki agar Islam ditetapkan sebagai dasar Negara.
lihat juga: 95 Dalil Martin Luther
Sehingga di dalam rapat-rapat itu terlihat perdebatan antara kelompok nasionalis “sekuler” dan para pemimpin Islam. Karena tidak adanya kesepakatan dan untuk meredakan ketegangan yang semakin meningkat antara kedua kubu itu, maka Soekarno selaku ketua panitia kecil mengundang semua anggota BPUPKI pada tanggal 18 Juni 1945. Diantaranya 38 orang yang hadir dipilih 9 orang yang ditugaskan untuk merumuskan dasar negara yang akan termuat juga dalam pembukaan undang-undang dasar. Dalam rapat “kelompok 9” yang berlangsung pada tanggal 22 Juni 1945 rapat dalam panitia kecil ini berlangsung cukup alot dan sulit. Akhirnya paniti kecil itu mencapai jalan tengah atau semacam gentlemen agreement atara kelompok nasionalis dan kelompok Islam. Kesepakatan tersebut berupa konsep pembukaan UUD yang memuat Dasar Negara.
lihat juga: Reformasi Martin Luther
Konsep yang dikenal sebagai Piagam Jakarta ini menerima kelima prinsip yang diajukan Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 dengan menetapkan prinsip Ketuhanan pada urut pertama dan dengan menambahkan pada prinsip itu ketujuh kata: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Pada tanggal 10-16 Juli 1945, BPUPKI kembali mengadakan sidangnya yang kedua. Pada kesempatan ini Soekarno ketua panitia kecil melaporkan hasil pekerjaan mereka dihadapan peserta sidang, sambil mendesak rekan-rekannya untuk segera mencapai kesepakatan tentang struktur negara dan Undang-undang Dasarnya sehingga Tokyo dapat mengakui kemerekaan Indonesia dan membentuk suatu pemerintahan di Jakarta. Paigam Jakarta sebagai hasil kompromi kemudian dibacakan dan mendapat tepuk tangan dari mereka yang hadir.
Penerimaan Piagam Jakarta pada waktu itu, bagi Islam sangat penting sebagai langkah awal kemenangan, karena walaupun piagam tersebut tidak secara khusus mentebutkan tentang pembentukan suatu negara Islam, namun itu bisa berarti merupakan kewajiban hukum bagi pemerintah Indonesia untuk merepkan hukum Islam sebagai pengikat umat Islam tanpa memandang latar belakang kulutral atau kemasyarakatan mereka. Pada hari pertama sidang kedua yaitu para anggota BPUPKI juga memperdebatkan bentuk pemerintahan yang akan dipakai, kerajaan atau repubilk?. Pemungutan suarapun diadakan dan hasilnya: orang memilig bentuk republic dengan kepala negara adalah seorang presiden; 6 orang memilih raja, dan 2 orang memilih “lainnya”.
Piagam Jakarta
Pada sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 itu menyambut gembira pidato dan usul Soekarno. Tepuk tangan riuh rendah dari seluruh hadirin. Pertanyaan lebih lanjut yang harus dijawab para tokoh yang berhimpun di BPUPKI itu adalah: haruskan dasar remsi untuk Negara Indonesia terbentuk dari asas-asas Islam yang dinyatakan dengan peristilahan Islam, ataukah Indonesia akan didasarkan kepada pancasila dan menjadi suatu contoh dari Negara yang rakyatnya menganut bernegara raga agama, yang didalamnya para pengikut dari berbagai agama, hidup, dan bekerja sama dengan saling menghormat? Sebagaimana terlihat dalam perkembangan selanjutnya, yaitu pada reses diantara dua masa persidangan BPUPKI itu, para tokoh Islam tetap mengkehendaki agar Islam ditetapkan sebagai dasar Negara.
lihat juga: 95 Dalil Martin Luther
Sehingga di dalam rapat-rapat itu terlihat perdebatan antara kelompok nasionalis “sekuler” dan para pemimpin Islam. Karena tidak adanya kesepakatan dan untuk meredakan ketegangan yang semakin meningkat antara kedua kubu itu, maka Soekarno selaku ketua panitia kecil mengundang semua anggota BPUPKI pada tanggal 18 Juni 1945. Diantaranya 38 orang yang hadir dipilih 9 orang yang ditugaskan untuk merumuskan dasar negara yang akan termuat juga dalam pembukaan undang-undang dasar. Dalam rapat “kelompok 9” yang berlangsung pada tanggal 22 Juni 1945 rapat dalam panitia kecil ini berlangsung cukup alot dan sulit. Akhirnya paniti kecil itu mencapai jalan tengah atau semacam gentlemen agreement atara kelompok nasionalis dan kelompok Islam. Kesepakatan tersebut berupa konsep pembukaan UUD yang memuat Dasar Negara.
lihat juga: Reformasi Martin Luther
Konsep yang dikenal sebagai Piagam Jakarta ini menerima kelima prinsip yang diajukan Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 dengan menetapkan prinsip Ketuhanan pada urut pertama dan dengan menambahkan pada prinsip itu ketujuh kata: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Pada tanggal 10-16 Juli 1945, BPUPKI kembali mengadakan sidangnya yang kedua. Pada kesempatan ini Soekarno ketua panitia kecil melaporkan hasil pekerjaan mereka dihadapan peserta sidang, sambil mendesak rekan-rekannya untuk segera mencapai kesepakatan tentang struktur negara dan Undang-undang Dasarnya sehingga Tokyo dapat mengakui kemerekaan Indonesia dan membentuk suatu pemerintahan di Jakarta. Paigam Jakarta sebagai hasil kompromi kemudian dibacakan dan mendapat tepuk tangan dari mereka yang hadir.
Penerimaan Piagam Jakarta pada waktu itu, bagi Islam sangat penting sebagai langkah awal kemenangan, karena walaupun piagam tersebut tidak secara khusus mentebutkan tentang pembentukan suatu negara Islam, namun itu bisa berarti merupakan kewajiban hukum bagi pemerintah Indonesia untuk merepkan hukum Islam sebagai pengikat umat Islam tanpa memandang latar belakang kulutral atau kemasyarakatan mereka. Pada hari pertama sidang kedua yaitu para anggota BPUPKI juga memperdebatkan bentuk pemerintahan yang akan dipakai, kerajaan atau repubilk?. Pemungutan suarapun diadakan dan hasilnya: orang memilig bentuk republic dengan kepala negara adalah seorang presiden; 6 orang memilih raja, dan 2 orang memilih “lainnya”.