Arti, Sejarah dan Perkembangan Pietisme di Dunia
PIETISME
I.
Abstraksi
Sesudah reformasi dan Kontrareformasi gereja-gereja
mencoba mengukuhkan dan memperkembang apa yang telah diperoleh dalam bidang
ajaran dan dalam kehidupan gerejani. Munculnya Pietisme berhubungan erat dengan
kekacauan politik dan keadaan sosial ekonomi yang rusak akibat kekecauan itu.
Pietisme muncul sekaligus sebagai reaksi dan koreksi terhadap semua
kepincangan-kepincangan pada waktu itu
Pada satu pihak
terlihat kecenderungan untuk mempertahankan hasil Reformasi dan Kontrareformasi
dan untuk mengatur kehidupan gereja sedemikian rupa, hingga tidak menyimpang
dari jalan yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Pada pihak lain, orang-orang
Eropah mulai menuntut kebebasan untuk percaya dan berpikir menurut perasaan
sendiri. Inilah yang dapat kita lihat dalam Pietisme yaitu gerakan pembaharuan
yang diberi sebutan “gerakan kesalehan”. Gerakan ini merupakan gerakan yang
mencoba menghidupkan kehidupan rohani dan memaknai anugerah Allah melalui
bidang kehidupan. Kaum Pietisme sangat menekankan iman yang berpusat pada
Alkitab bukan pada gereja, rasa berdosa, pengampunan, pertobatan, kesucian
hidup dan persekutuan sebagai sesuatu yang pas dalam kehidupan semangat
menginjili.
II.
Pembahasan
2.1. Defenisi
Pietisme
Kata Pietis berasal dari bahasa latin yaitu Pietas (Kesalehan).[1]
Kesalehan dan diberi nama ejekan kepada orang yang menekankan bahwa Iman
Kristen harus menjadi dampak kehidupan saleh.[2]Pietisme
juga disebut sebagai semangat dan gerakan kesalehan.[3]Ada
yang juga yang mengartikan Pietisme adalah reaksi terhadap suasana Gereja yang
suam itu dan terhadap semangat dunia yang sudah merajalela di dalam masyarakat
Kristen.[4]
Pietisme adalah gerakan keagamaan abad ke-17 yang berasal dari Jerman yang
menekankan pemahaman Alkitab dan pengalaman religious pribadi.[5]
Aliran ini merupakan suatu reaksi terhadap perkembangan di gereja-gereja
protestan sesudah reformasi.[6]
2.2. Latar
Belakang Munculnya Pietisme
Sekitar tahun 1677 di Darmstadt, istilah Pietisme muncul
dan menjadi populer di kalangan gereja-gereja Lutheran. Kata pietisme
dipergunakan sebagai ejekan terhadap kelompok-kelompok orang yang hidup saleh (Collegia Pietatis) yang artinya bukan
kelompok-kelompok yang terlalu eksklusif
(sendirian), yang pada waktu itu
berkembang cepat dalam gereja-gereja Lutheran. Kesalehan mereka terlalu
berlebihan dan dituduh farisi oleh masyarakat. Tetapi lama kelamaan konotasi (pemikiran) negatif dari kata
itu mulai menghilang, bahkan Pietisme itu dijadikan sebagai tanda pengenal.
Sejak tahun 1669, kelompok Collegia Pietatis pertama sekali didirikan oleh Spener, dalam
rangka memberi arti dan memanfaatkan kehidupan orang-orang Kristen. Spener
mengatakan “Daripada dalam seminggu anggota-anggota Jemaat hanya menghabiskan
waktu mereka untuk bermabuk-mabukan, berjudi atau bermain kartu, maka lebih
baik mereka memanfaatkan waktu itu untuk hal-hal yang membangun.” Spener
membentuk kelompok-kelompok saleh (Collegia Pietatis) pada waktu itu dirasakan
sebagai sebuah kebutuhan yang mendesak, sebab Jerman sedang dilanda kemerosotan
moral yang dahsyat, akibat perang 30 tahun (1618-1648).
Perang ini merupakan perang antara penganut-penganut
Katolik Roma dan Reformasi. Inilah sebuah perang dengan latar belakang agama,
tetapi ternyata menghancurkan semua nilai-nilai agama. Budaya manusia hancur,
moral merosot, dan banyak gedung gereja yang ditutup. Akibat perang itu dalam
semua bidang kehidupan ternyata sangat fatal. Banyak desa-desa yang musnah, rumah-rumah
dan kebun dibakar. Penyakit merajalela, uang kehilangan nilainya, sadisme
ditemukan di mana-mana, mabuk-mabukan dan pelacuran adalah hal yang biasa. Di
tengah-tengahkemerosotan moral dan kemeralatan akibat Perang Tiga Puluh Tahun,
Gereja-gereja Lutheran tidak mempunyai saran untuk mengisi keadaan itu.[7]
Khotbah-khotbah pada waktu itu sama sekali tidak cocok
dengan kebutuhan orang. Isi khotbah hanya merupakan serangan-serangan terhadap
sekte-sekte. Kadang-kadang khotbah tidak lebih dari pidato yang berapi-api,
pengulangan kata atau permain kata, pertanyaan-pertanyaan retoris yang dangkal
dan yang dikumpulkan Alkitab. Misalnya kita dapat memperhatikan sebuah khotbah
pada tahun 1605 yang berbicara tentang : “Semua rambut di atas kepalamu telah
dihitung”. Tema ini lalu dibagi atas 4 bagian yaitu : a. Asal-mula rambut. b.
Pemeliharaan rambut yang benar. c. Daya tarik atau keindahan rambut. d. Bagaimana
merawat rambut sebagai orang Kristen yang baik. Kesan yang timbul dari khotbah
ini sangat kering dan sama sekali tidak mendarat atau menjawab masalah jemaat.
Dalam keadaan seperti inilah Pietisme lahir dan berusaha
menjawab keadaan, sejak tahun 1669. Kelompok pietis muncul pertama kali yang
didirikan oleh spener. Pietisme lahir sebagai reaksi dari suasana gereja yang
suam dan dari semangat dunia yang sudah merajalela di dalam masyarakat Kristen.[8]
Orang- orang pietis menekankan pertobatan manusia sebagai hasil kelahiran
kembali yang dikerjakan oleh kasih karunia Allah, merasa diri terdorong untuk
menyampaikan injil kepada mereka yang belum mengenal keselamatan dalam Kristus.[9]
Kelompok Pietisme ingin kembali pada kehangatan persaudaraan, pengalaman rohani
dan persekutuan langsung pada Allah, kesederhanaan pemahaman atas Alkitab serta
pemeliharaan nilai-nilai moral dan kesucian hidup.[10]
Maka untuk mencapai tujuannya, kaum Pietis menekankan iman yang berpusat pada
Alkitab bukan kepada ajaran gereja, pengalaman dalam kehidupan kristiani (rasa berdosa,
pengampunan, pertobatan, kesucian dan kasih di dalam persekutuan). Dan
pengungkapan iman secara bebas melalui nyanyian, kesaksian dan semangat
menginjili.[11]
2.3. Tujuan Pietisme
Tujuan peitisme adalah untuk menyelesaikan reformasi abad
ke-16 supaya tidak hanya ajaran yang di reformasikan, tetapi juga seluruh
kehidupan baik pribadi maupun persekutuan dalam Kristen (Gereja, bahkan
masyarakat), mencerminkan iman Kristen.[12]
Tujuan peitisme adalah untuk menghidupkan kembali kehidupan iman dalam kalangan
orang-orang protestan di Jerman yang telah menjadi suam karena kebekuan ajaran
dan pengaruh semangat pencerahan.[13]
Pietisme berusaha memberantas semangat yang suam itu dengan mengutamakan
beberapa hal yang hendak membina kembali hidup rohani jemaat, yaitu kesalehan
batin perseorangan, praktek kesalehan dalam hidup sehari-hari, akibat pendirian
dan organisasi Pietisme yang berupa konventikal (perkumpulan/persekutuan).[14]
2.4. Ciri-Ciri
Umum Pietisme[15]
Ternyata ada bermacam-macam aliran Pietisme yang
masing-masing mempunyai kekhasan tersendiri, dan masing-masing mempunyai
perbedaan-perbedaan dan ada juga persamaannya. Persamaan yang paling prinsip
adalah kesalehan. Minat utama Pietisme bukanlah teologi, tetapi kesalehan.
Minat utama mereka terhadap kesalehan itulah yang membuat mereka bernama
Pietisme.
2.4.1. Natura Pietatis
Natura Pietatis artinya pietisme yang menekankan manusia
baru atau regenerasi (lahir baru). Umumnya aliran pietisme ini masih
dipengaruhi oleh reformasi. Mereka berpendapat kelahiran baru adalah anugerah
Allah semata-mata, tetapi anugerah Allah itu bukanlah untuk diserap manusia
lama, pergumulan antara manusia lama dan manusia baru itu terus berlangsung,
sebab kelahiran baru adalah sebuah proses, atas dasar pertimbangan itulah
ditemukan di dalam pietisme dominasinya peranan manusia. Demikan juga ditemukan
kegigihan orang pietisme untuk memutuskan hubungan secara total dengan
kehidupan yang lama.
2.4.2. Collegia Pietatis
Collegia Pietatis merupakan sebuah persekutuan yang
menjalankan kesalehan atau sebuah persekutuan saleh, hal-hal yang lahiriah
harus diganti dengan hal-hal yang batiniah. Ungakapn-ungkapan yang terkenal dalam
Pietatisme misalnya “Kristus didalam aku”, dimana ditekankan hubungan yang
organis yang hidup antara setiap individu dengan Kristus yang tubuh mistiknya
adalah gereja, atau dengan perkataan lain individualisme bertujuan untuk
menciptakan hubungan yang bebas dengan Allah.
Jelaslah betapa pentingnya individu dalam Pietisme,
tetapi sebenarnya bagi Pietisme, manusia baru bukanlah manusia yang terpisah
dari persekutuan. Pada pietisme secara umum individu-individu itu hidup dalam
satu jaringan reaksi atau komunikasi dengan individu-individu yang lain.
Hubungan itu bukanlah merupakan sebuah pilihan, tetapi merupakan hasil
persekutuan manusia. Persekutuan itulah yang dinamakan Collegia Pietatis (kesalehan yang tepat).
2.4.3. Praksis Pietatis
Pietisme menekankan pengetahuan tentang bagaimana hidup
untuk Allah serta menekankan hal-hal yang praktis dalam kehidupan sehari-hari.
Pietisme tidak mementingkan kemurnian doktrin tetapi yang diutamakan adalah
kebenaran hidup orang-orang Kristen. Praksis Pietatis dapat diwujudkan dalam
kehidupan secara pribadi, tetapi perlu juga diwujudkan dalam masyarakat. Salah
seorang tokoh Pietisme Puritan yang sangat menekankan unsur Praksis Pietatis
ialah Lewis Bayly, dia memberi petunjuk-petunjuk seperti bagaimana memasuki
pagi hari dengan doa dan meditasi. Praksis Pietisme dapat diwujudkan dalam
kehidupan secara pribadi misalnya : meditasi, bagaimana membaca Alkitab yang praktis
dan berguna.
2.4.4. Reformatio Pietatis
Menurut orang- orang pietisme, reformasi pertama yang di
buat oleh Luther sebenarnya belum selesai, sebab tidak menyangkut segala bidang
kehidupan. Oleh karena itu perlu reformasi yang kedua, yaitu pembaharuan kehidupan,
untuk itulah Spener menulis Pia Desideria
yaitu semacam kerangka yang harus diikuti dalam reformation pietatis pembaharuan itu dimulai dari bidang moral,
karna dunia kurang bermoral, kurang disiplin dan kurang kebahagiaan.
Kemungkinan pembaharuan lalu ditonjolkan oleh pietisme, dalam Pia Desideria, ditemukan sebuah nada
yang optimis.
Optimisme itu muncul berdasarkan janji Allah dalam kitab
suci dan berdasarkan fakta bahwa pembaharuan itu pernah terjadi pada jemaat
mula-mula. Keyakinan Spener bahwa sebuah masa yang baru akan datang di dalam
gereja ternyata sangat membekas dihati murid-muridnya. Itulah sebabnya antara
lain Francke membangun lembaga Halle, untuk dijadikan alat dalam mewujudkan
harapan itu. Menurut Pietisme, Allah telah memberikan janji-Nya dengan melihat
kepada janji Allah itu, sekarang bukan masanya untuk santai, akan tetapi orang
Pietisme harus bertindak dan berkarya menyongsong masa depan itu. Dengan
perkataan lain, kemungkinan itu ada di dalam tangan Allah, tetapi harus
direalisir oleh gereja.
2.5. Aliran
Pietisme[16]
2.5.1. Pietisme Halle
Pada tahun 1651 Spener masuk Universitas Strassburg, dan
dididik oleh tokoh-tokoh Lutheran dan ortodoks yaitu : C. Dannhauer, J. Schmidt
dan lain-lain. Tetapi sebenarnya tradisi Reformed atau (Calvinis) juga kuat di
Strassburg. Disana Spener tertarik dengan hal-hal praktis yang dilihat Spener
pada orang-orang Reformed. Walaupun Spener tidak menetap di Halle, tetapi
gagasan Spenerlah yang berkembang disana. Gagasan Spener dapat ditemukan dalam
karyanya Pia Desideria (1675) yang
berisi sebuah program pembaharuan, menurut Spener pembaharuan itu pasti
berhasil karena telah dijanjikan oleh Tuhan dan sama sekali tidak bergantung
kepada kemampuan manusia. Pia Desideria
terbagi atas 3 pokok penting :
1.
Menyangkut kondisi
korup gereja. Seluruh lapisan masyarakat dikecam oleh Spener. Spener mengecam
raja-raja yang salah mempergunakan kekuasaan mereka, mengatur dan mengendalikan
gereja sesuka hati (Caesero-Papism).
Ia berpendapat harus ada pemisahan total antara gereja dan Negara.
2.
Pia Desideria
sebenarnya melukiskan tentang harapan perbaikan gereja yang sudah rusak yang
harus diperbaiki, karena janji Allah sendiri dan bukan kemampuan manusia
mengutip Roma 11: 25, 26.
3.
Pia Desideria
adalah usul-usul pembaharuan yang diajukan oleh Spener, kurang lebih ada 6 hal
:
a.
Penggunaan Firman
Allah secara ekstensif (2 Tim. 3:16).
b.
Imamat am orang
percaya (semua orang Kristen adalah imam yang ditunjuk oleh Kristus dan diurapi
Roh Kudus).
c.
Pengetahuan iman
saja belum cukup, tetapi harus diwujudkan di dalam praktek.
d.
Bagaimanakah
seharusnya sikap kita terhadap mereka yang tidak percaya, yaitu orang-orang
yang belum mengenal Kristus.
e.
Usul untuk
pendidikan calon-calon pendeta.
f.
Alat-alat yang
dipakai Allah seperti Firman dan Sakramen, sebenarnya harus terarah kepada
batin manusia.
Spener menulis program pembaharuan itu bukan maksudnya
untuk memisahkan diri dari gereja. Collegia Pietatis tidak dimaksudkan untuk
berdiri di samping gereja, tetapi di dalam gereja. Menurut Spener, walaupun
gereja penuh dengan kelemahan-kelemahan, ia adalah tubuh Kristus yang perlu
untuk diperbaharui atau diperbaiki.
2.5.2. Pietisme
Herrnhut
Pietisme Herrnhut mula-mula terbentuk dari sekelompok
orang-orang Kristen Moravian, yang terpaksa melarikan diri dari tanah airnya
karena penghambatan. Kurang lebih 200 orang imigran Moravian di bawah pimpinan
Christian David, diberi tempat oleh Zinzendorf di Berthelsdorf. Zinzendorf
merasa sangat bertanggung jawab terhadap orang-orang ini, baik secara material
maupun menyangkut kehidupan keagamaan mereka. Tempat itu kemudian dinamakan
Herrnhut yang berarti perlindungan Tuhan. Di tempat inilah Zinzendorf mulai
menanam pengaruh Pietismenya. Ia membentuk kelompok-kelompok kecil dengan
tujuan meningkatkan kehidupan rohani di Herrnhut, lewat doa dan
diskusi-diskusi.
Tanggal 13 Agustus 1717 dianggap sebagai hari ualng tahun
persekutuan Herrnhut. Herrnhut berkembang menjadi satu persekutuan yang unik,
antara lain : Khotbah pendeta di Berhtelsdorf diringkaskan dan didiskusikan
oleh kelompok itu setiap petang. Perjamuan kasih mulai diadakan, mereka juga
melakukan hari doa setiap bulan, penggunaan undi dalam mengambil keputusan,
Perjamuan Kudus dilaksanakan secara bulanan, kebaktian fajar pada hari Paskah,
pelayan-pelayan berjaga-jaga sepanjang malam. Sejak tahun 1727, mereka mulai
mengadakan pekabaran injil ke mana-mana, sehingga terbentuklah jemaat Herrnhut
dimana-mana bahkan sampai ke benua Amerika.
2.5.3. Pietisme
Wurttemberg
Aliran ini dimulai di Tubingen. Di sana ada seorang ahli
bahasa Johann Andreas Hochstetter (1637-1720). Ia adalah seorang tokoh Ortodoks
Wurttemberg, tetapi di dalam kehidupannya sehari-hari mengikuti contoh orang
Puritan. Misalnya : Bangun jam 4 pagi, berdoa dan meditasi, memberikan
perpuluhan kepada gereja secara beratur, kadang-kadang beribadah sampai jam
24.00 dst. Tokoh inilah yang memberikan inspirasi munculnya Pietisme
Wurttemberg, yaitu semacam aliran yang merupakan kombinasi antara Pietisme dan
Ortodoksi.Selama abad ke-18, protestanisme di Wurttemberg mempergunakan
Konventikel (ungkapan ketidakpuasan terhadap gereja resmi) sebagai alat yang
sah untuk mereka dapat mengungkapkan keyakinan mereka dan sebagai sarana untuk
mereka saling melengkapi dan mengisi.
Persoalan Konventikal lalu menjadi isu politik antara
golongan pietisme moderat disatu pihak dan ortodoksi dipihak yang lain. Namun
pada saat yang sama, Pietisme Wurttemberg berkembang dengan pesat dipengaruhi
oleh semangat toleransi, dan golongan Pietisme hidup subur. Pada tahun 1743
dibuat persetujuan-persetujuan sekitar gerakan Pietisme Wurttemberg yaitu
sebagai berikut : pemimpin-pemimpin awam harus berada dibawah supervisi
pastor-pastor. Pertemuan-pertemuan Konventikel tidak boleh diadakan bertepatan
dengan ibadah resmi. Pengaruhnya mencapai segala golongan masyarakat termasuk
yang jelata, bahkan menurut peneliti-peneliti Pietisme, pengaruh Pietisme itu
masih membekas sampai sekarang di Wurttenberg.
2.5.4. Pietisme
Radikal
Pada umumnya unsur-unsur mistik lebih dominan dalam
Pietisme radikal. Salah seorang tokoh Pietisme radikal yang terkenal ialah
Gottfried Arnold (1666-1714). Ia lahir di Anaberg, belajar dimarkas ortodoks
yaitu Wittenberg dan Dresden. Di Dresden dia mulai dipengaruhi oleh Spener. Ia
juga mulai beraksi melawan Wittenberg. Pada tahun 1697 ia diangkat menjadi
professor sejarah di Giessen dan mulailah dia menulis banyak karya-karyanya.
Orang Kristen yang benar menurut Arnold harus mengalami kelahiran baru secara
radikal dan pembaharuan hati. Ia mengatakan semua itu terjadi karena anugrah
Allah. Dalam hal ini konsep Arnold sama dengan Peitisme Halle, yaitu semua
anugrah Allah, namun kelahiran baru juga menuntut tindakan dan kehendak
manusia.
Tokoh Pietis Radikal yang lain ialah : Gerhard Tersteegen
(1687-1769). Ia terkenal karena banyak menulis buku-buku rohani dan nyanyian
rohani. Ia juga merupakan salah satu tokoh yang sangat disenangi oleh orang
banyak, sebab sangat terkenal sebagai seorang tokoh yang mencintai sesama
manusia. Ia juga menekankan pembaharuan batin yang hanya mungkin apabila Yesus
menjadi satu dengan manusia. Menurut dia Yesus adalah buku pemahaman Alkitabnya
berpusat pada penderitaan dan kematian Yesus Kristus, yang dilihat sebagai
dasar perdamaian antara manusia dengan Allah. Ia juga melihat kehidupan
Kristus, kematian dan penderitaanNya sebagai pola kesalehan.
2.5.5. Neo Pietisme
Pada akhir abad 17, di Eropa muncul perkembangan yang
luar biasa dibidang ilmu pengetahuan. Orang mulai mengandalkan akal dalam
segala hal. Di Jerman reaksi terhadap gereja tidak terlalu radikal, sebab
Jerman dipengaruhi oleh Christian Wolf (1679-1754). Ia mengatakan pernyataan
Allah dalam Alkitab dan akal, sama nilainya. Sebagai reaksi terhadap
rasionalisme Wolff, muncul aliran Sturm und Drang yang menekankan pengalaman
batin, legimitasi dan pentingnya perasaan, hal-hal yang irasional. Aliran ini
lalu dinamakan Neo-Pietisme, yang selama paruhan kedua abad ke-18, menolak
pencerahan disatu pihak, tetapi di pihak yang lain mengakomodasikan diri dengan
roh itu. Ciri-cirinya ialah antara lain :
a.
Melawan otonomi
manusia dan menekankan wibawa Alkitab sebagai otoritas final buat iman dan
kehidupan manusia.
b.
Melawan etik
natural dan etik penyataan.
c.
Melawan reduksi
teologi Kristen oleh prinsip-prinsip akal dan menekankan pernyataan Alkitab
tentang aktifitas Allah yang menyelamatkan.
2.6. Tokoh-Tokoh
Pietisme
2.6.1. Philip Jakob
Spener (1635-1705)
Philip Jakob Spener adalah seorang tokoh dan pelopor
Pietisme. Ia lahir di Rapoltsweiler pada tahun 1635. Sejak kecil ia telah
diserahkan ayahnya untuk pekerjaan gereja, ia hidup dalam lingkungan kesalehan.[17]
Ia dididik untuk takut kepada Tuhan dan menjadi pendeta di Frankfurt pada tahun
1666 dan sewaktu disana ia menjadi leluhur atau pendiri utama Peitisme. Ia
meninggalkan Frankfurt pada tahun 1686, ketika menjadi pendeta istana di
Dresden. Dari sana ia pindah ke Berlin dan menjadi pendeta disana pada tahun
1691. Ia meninggal pada tahun 1705.[18]
Pada pertengahan abab ke-17, ada yang tidak beres dalam
Lutheranisme. Spener menekankan pentingnya penelahaan Alkitab, tidak cukup
hanya memakai Alkitab untuk membuktikan benarnya ajaran Luteran, Roh kuduslah
yang berbicara kepada hati kita melalui kitab suci dan menerapkannya kepada
kita secara pribadi. Alkitab harus dibacakannya dan dikhotbahkan dengan cara
beribadah, sehingga gaya hidup kita akan berubah. Spener memperkenalkan bentuk
awal kelompok penelaan Alkitab dirumah untuk memajukan kaum awam. Kaum awam dilibatkan dalam hal
pelayanan gereja. Dalam bukunya Pia Desideria
yang berarti cita-cita kesalehan.[19]
Dalam bukunya ia menekankan bahwa ajaran gereja sudah
cukup lengkap, tetapi jemaat harus diperbaharui kembali.[20]
Dalam Pia Desideria yang diusulkan
bahwa anggota-anggota gereja rakyat yang sungguh-sungguh mau hidup dari
penelahan Alkitab, membentuk kelompok-kelompok sebagai gereja-gereja kecil yang
dibentuk secara suka rela oleh orang-orang percaya. Dan juga untuk
membangkitkan kehidupan gereja rakyat yang telah menjadi suam karena terlalu
sibuk dengan hal-hal seperti tata gereja yang hanya memuaskan akal tetapi tidak
menyentuh hati.[21]
Pengaruh Pietisme saat itu luar biasa, ia menjadi kekuatan
dalam gereja-gereja Luteran, khususnya di daerah-daerah seperti Wurttemberg di
Jerman Selatan dan Norwegia.[22]
Pada tahun 1670, Spener mendirikan sejenis asrama di lingkungan gerejanya
ditempat para pendeta dan kaum awam dapat berkumpul bersama-sama untuk
mempelajari Alkitab dari berdoa, serta saling membangun.[23]
Spener juga mendorong para pastor menyampaikan khotbah yang menyerapkan kitab
suci dalam kehidupan, mereka harus mengilhami dan memberi pengetahuan yang
dapat dimengerti dan membangkitkan, dari pada hanya berceramaah, para pastor
diharuskan memberi inspirasi kepada umat Tuhan.[24]
Spener mengecam pemerintah untuk melakukan pembaharuan
gereja, karena menurutnya akar kebejatan gereja terletak pada diri pendeta itu
sendiri yang tidak memberi contoh yang baik. Para pendeta tidak berusaha
memperbaiki gereja dan tidak membawa jemaat kepada suatu hubungan yang mesra
dengan Allah. Lebih suka menekankan akal daripada hati. Sehingga ia mengusulkan
enam usul :
1.
Harus disediakan
waktu yang lebih banyak untuk mendengar fiman Allah.
2.
Harus mengajak
anggota jemaat untuk mempraktikkan imamat am-Nya.
3.
Iman Kristen harus
di praktikkan.
4.
Para teolog tidak
boleh memakai kata-kata pahit terhadap lawannya.
5.
Lembaga pendidikan
teologi haruslah menjadi bengkel-bengkel Roh Kudus.
6.
Khotbah-khotbah
harus disusun dengan tujuan untuk membangkitkan iman pendengarnya supaya
imannya menunjukkan buah-buah roh.
Pada tahun 1686, Spener diangkat menjadi pengkhotbah
istana Pangeran John George III dari Saksen. Selama lima tahun ia tinggal di
Dresden dan disinilah ia berkenalan dengan Francke. Pada tahun 1691 Spener
menjadi pendeta jemaat di Berlin.[25]
2.6.2. August Herman
Francke (1663-1727)
Francke adalah seorang tokoh gerakan pietisme Jerman yang
termuka pada abad pertengahan abab ke-17 dan permulaan abad ke-18. Francke
dilahirkan pada tanggal 22 Maret 1663 di Lubeck, 60 kilometer sebelah utara
kota Hamburg. Ibunya bernama Anna Gloxin, saudara perempuannya ahli hukum
terkenal di Lubeck, neneknya adalah Hans Francke, seorang ahli hukum. Francke
berasal dari keluarga intelektual. Pada umur 16 tahun, Francke memasuki
perguruan tinggi di Universitas Erfurt, dalam studi logika dan metafisika,
kemudian dia pindah ke Universitas Kiel, dalam studi teologi, fisika, filsafat
dan sejarah.
Pada tahun 1687, Francke pergi belajar eksegesis ke Luneburg,
setiba disana tiba-tiba Francke mengalami krisis batiniah (pertobatan).[26]
Pertobatan ini menjadi dasar sistim teologi yang dikembangkan kemudian hari.
Sejak pertobatannya hingga tahun 1690 Francke berkecimpung dalam lingkungan
Spener. Spener memberikan pengaruh besar ketika ia berdiam diri di Hamburg.
Pada tanggal 7 Januari 1692 ia tiba di Halle, pokok penting dalam pengajaran
teologinya adalah hubungan pribadi yang baru dengan Allah. Iman yang benar
adalah karya Allah dalam kita. Di Halle, Francke mengadakan kegiatan-kegiatan
yang jangkauannya sangat luas. Di Halle Francke mendirikan sekolah-sekolah
berdasarkan strata social pada masa itu :
1.
Paedagogium Regium
Sekolah
ini hanya menerima anak-anak bangsawan, yang bertujuan untuk mempersiapkan
tenaga bagi jabatan-jabatan tertinggi.
2.
Sekolah Latin
Sekolah
ini bertujuan untuk mempersiapkan masuk ke Universitas yang akan menjadi ahli
hukum, dokter, teolog dan sebagainya.
3.
Sekolah Jerman
Sekolah
ini dikhususkan untuk warga Negara biasa yang bertujuan untuk mempersiapkan
seseorang bagi pekerjaan sehari-hari.
4.
Sekolah untuk Orang
Miskin
Sekolah
ini dipergunakan untuk anak-anak miskin, mereka dibebaskan dari uang sekolah.
Seluruh kegiatan Francke mempunyai
tujuan yang lebih lanjut.[27]
Kota Halle merupakan pusat Pietisme Lutheran Jerman
dimana Francke mendirikan bermacam-macam lembaga yang melakukan sebagian dari
program Pietis, seperti panti asuhan, sekolah, apotik dan lembaga Alkitab
dengan harga murah. Kegiatan social yang dilakukan Francke juga merupakan
pekabaran injil kepada bangsa yang bukan Kristen dan ke tengah-tengah orang Yahudi.[28]
2.6.3. Nicholaus
Ludwing Von Zinzendorf (1700-1760)
Nicholaus Ludwing Von Zinzendorf adalah keturunan
bangsawan di daerah Saksen. Zinzendorf dilahirkan di kota Dresden 26 Mei 1700.
Ayahnya meninggal ketika dia masih bayi kemudian ibunya menikah lagi, dan
Zinzendorf diasuh oleh neneknya, Henrietta Von Gerstorff, seorang yang
dipengaruhi oleh Spener dan memiliki hubungan yang baik dengan Francke. Pada
umur 10 tahun Zinzendorf di kirim untuk belajar di Peadagogium Regium di Halle
yaitu sebuah sekolah yang di khususkan untuk anak para bangsawan dan Zinzendorf
belajar disana selama 10 tahunn (1710-1716). Dengan demikian, Zinzendorf
dibesarkan dalam udara Pietisme sejak kecil.
Di Halle, Zinzendorf sudah memperlihatkan kemampuannya
dalam bidang bidang bahasa, kepemimpinan, dan sifat tanggung jawab yang besar,
serta semangat keagamaan. Setelah pendidikannya selesai di Halle, Zinzendorf
dikirim ke Wittenberg untuk belajar ilmu hukum agar kemudian hari ia menjadi
ahli hukum. Namun suasana Wittenberg tidak menyenangkan hatinya karena disana
merupakan pusat ortodoksi gereja. Ia mengenang kegembiraan masa lalunya di
Halle, di Wittenberg Zinzendorf tetap rajin membaca Alkitab, berdoa dan
bermeditasi. Disinilah Zinzendorf menjadi seorang yang sungguh-sungguh Pietis.
Untuk memperlengkapi studi hukumnya, Zinzendorf
mengadakan serangkaian perjalan ke kota-kota lainnya, seperti Utrecht, Dresden,
Leipziq, Frankfurt, Mainz, Dusseldorf, Paris, Straussburg, dan Babel. Pada
tahun 1721, Zinzendorf membeli tanah di Oberlausitz dan mengangkat seorang
pendeta untuk melayani penduduk disitu. Pada tahun 1722, didirikanlah
perhimpunan saudara-saudara Injili. Mereka biasa disebut orang-orang Herrnhut.
Mereka merupakan golongan tersendiri yang mempunyai undang-undang sendiri
sekalipun masih tergolong dalam gereja Lutheran Jerman. Zinzendorf menjadi
pemimpin mereka. Pada tahun 1735
Zinzendorf ditahbiskan menjadi uskup oleh Jablonski dan Nitschman. Pada masa
akhir hidupnya ia mengunjungi kelompok-kelompok Herrnhut di Jerman dan di luar
Jerman hingga ia meninggal pada tahun 1760.
Zinzendorf menekankan
bahwa perhatian kita harus diarahkan kepada salib Kristus. Iman yang
sungguh-sungguh terhadap pekerjaan penebusan dosa yang telah dipenuhi Kristus
bagi kita dan selaku ganti kita jauh lebih penting dari pada
pengalaman-pengalaman rohani. Motto Zinzendorf adalah, “Hanya satu perkara
menjadi kegiranganku ialah Dia, dan Dialah saja”. Orang-orang Herrnhut sangat
bersemangat untuk memberitakan Injil ke seluruh dunia. Sebelum ia meninggal ia
telah mengutus 200 orang pengkabar Injil ke seberang lautan.[29]
2.7. Kelemahan dan
Kelebihan Pietisme
Salah satu yang harus diketahui ketika membahas tentang
Pietisme adalah pasti ada kelemahan dan kekurangan yang terdapat pada Pietisme
tersebut :
2.7.1. Kelemahan
Pietisme
1.
Pietisme adalah Aliran yang Menjauhkan Diri dari Dunia
2.
Pietisme adalah Aliran yang Individualistis
3.
Pietisme adalah Aliran yang Subyektif
2.7.2. Kelebihan
Pietisme
1.
Menekankan perlunya
persekutuan yang serat-eratnya antara orang-orang percaya dengan Kristus.
2.
Menekankan penyelidikan
Alkitab dengan saksama.
3.
Menekankan imamat umum
semua orang percaya.
4.
Menekankan tuntutan
Tuhan, supaya pengikut-pengikutnya memperlihatkan buah-buah iman dan kasihnya
dalam kelakuannya setiap hari dan dalam pergaulannya dengan sesama manusia.
5.
Menyadarkan jemaat
kepada tugasnya pada Pekabaran Injil,
dan menggembirakan banyak orang, supaya mreka menyerahkan dirinya kepada usaha
yang mulia.[30]
2.8. Dampak
Pietisme[31]
Dampak Postif
pietisme adalah adanya pekabaran injil yang dilakukan dalam rangka
harapan kedatangan kerajaan Allah, pekabaran Injil yang dilakukan bersifat
oikumenis, dimana ajaran yang dipegang sesuai dengan Alkitab, pusat hidup
adalah firman Allah dan setia kepada gereja.
2.8.1. Dampak
Pietisme Bagi Dunia
Dampak Peitisme masuk ke Indonesia lewat badan-badan
perkabaran Injil baik dari Belanda, Jerman maupun dari Amerika, diantaranya
yaitu :
1.
NZG (Nederlandsche
Zendeling Genootschap)
Didirikan di Rotterdam pada tahun 1897. Badan ini bekerja
di tempat-tempat yang tersebar di seluruh indonesia, oleh karena itu
pengaruhnya perlu diperhitungkan. NZG tidak bertujuan menanam dan membentuk
gereja dalam pekabaran Injil. NZG lebih menekankan menanam agama Kristen yang
benar dan aktif dalam hati manusia, tanpa penambahan pikiran-pikiran manusiawi.
Dengan perkataan lain mereka tidak akan mengajarkan perbedaan-perbedaan pikiran
tentang kebenaran iman, tetapi mereka menanamkan agama Kristen yang sejati di
dalam hati manusia.
2.
Pekabar-pekabar Injil Tukang
Dua orang tokoh yang terkenal sebagai pencetus dan
penggerak pekabaran Injil Tukang ini adalah Gossner dari Jerman dan Heldring
dari Belanda. Mereka mengakui bahwa tugas mengabarkan Injil adalah tugas gereja
dan bukan individu, tetapi kepercayaannya terhadap instansi dan lembaga gereja
yang resmi telah hilang. Menurut Gossner dan Heldring, dengan perlengkapan
nyanyian rohani dan Alkitab, pekabar-pekabar Injil itu dapat menghadapi segala
persoalan di daerah pekabar Injil.
3.
NZV (Nederlandsche
Zendingsvereeniging)
Badan ini banyak bekerja di Jawa Barat. NZV sebuah
lembaga yang lahir dari golongan Ortodoks. Pada mulanya NZV hanya mau mendidik
calon pekabar Injil selama 3 tahun. Sikap ini didasarkan kepada pola berpikir
bahwa kesalehan dan spontanitas lebih penting dari ilmu pengetahuan dan
persiapan yang matang.
4.
UZV (Utrechtsche
Zendingsvereeniging)
Badan
ini dibentuk oleh sekelompok orang yang tidak setuju dengan golongan modern.
Mereka sebenarnya berasal dari golongan etis. Mereka juga lebih terbuka
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. UZV pada mulanya hanya mengutus pekabar
Injil yang berusia antara 25 sampai 30 tahun. Rupanya mereka beranggapan bahwa
kesadaran tentang panggilan ilahi dan kemantapan iman belum mungkin ditemuakn
di dalam diri seorang anak belasan tahun.
III.
Daftar Pustaka
Jong, de, Christian,Apa dan Bagaimana Gereja?,Jakarta :
BPK-GM, 1993
Sihar, Jan, Garis Besar Sejarah Reformasi, Bandung :
Jurnal Info Media, 2007
Berkhof, H. & Enklarr, I.
H., Sejarah Gereja, Jakarta : BPK-GM,
2010
Napel, Henk, ten, Kamus Teologi,Jakarta : BPK-GM, 2015
Jonge, C. De, Pembimbing Ke Dalam Sejarah Gereja, Jakarta
: BPK-GM, 2015
Hale, Leonard, Jujur Terhadap Pietisme, Jakarta :
BPK-GM, 1996
Aritonang, Jan S. &de Jonge, C., Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, Jakarta : BPK-GM,
2009
Wellem,F. D., Kamus Sejarah Gereja,Jakarta : BPK-GM,
2006
Lane,Tony, Runtut
Pijar. Tokoh dan Pemikiran Kristen Dari Masa ke Masa,Jakarta : BPK-GM, 2016
Wellen,F.D., Riwayat
Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja,Jakarta : BPK-GM, 2011
Curtis,Kenneth, 100
Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen, Jakarta : BPK-GM, 2013
Van Den End, Th.,Harta dalam Bejana,Jakarta : BPK-GM,
2010
Culver, E,Jonathan., Sejarah Gereja Umum, Bandung : Biji
Sesawi, 2013
Naburju,Sofian, Rekaman Akademik,
catatan SGU II, Kamis, 18 Oktober
2018 jam 20.00-21.30 WIB
[1]Christian de Jong, Gereja Mencari
Jawab, (Jakarta : BPK-GM, 1993), 34
[2]Christian de Jong, Apa dan Bagaimana
Gereja?, (Jakarta : BPK-GM, 1993), 46
[3]Jan Sihar, Garis Besar Sejarah
Reformasi, (Bandung : Jurnal Info Media, 2007), 79
[4]H. Berkhof & I. H. Enklarr, Sejarah
Gereja, (Jakarta : BPK-GM, 2010), 244
[5]Henk ten Napel, Kamus TeologiI,
(Jakarta : BPK-GM, 2015), 246
[6]C. De Jonge, Pembimbing Ke Dalam
Sejarah Gereja, (Jakarta : BPK-GM, 2015), 78
[7]Leonard Hale, Jujur Terhadap
Pietisme, (Jakarta : BPK-GM, 1996), 4-7
[8]H. Berkhof & I. H. Enklarr, Sejarah
Gereja, (Jakarta : BPK-GM, 2010), 244
[9]Leonard Hale, Jujur Terhadap
Pietisme, 4
[10]Jan S. Aritonang & C.de Jonge, Berbagai
Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, (Jakarta : BPK-GM, 2009), 16
[11]Jan Sihar, Garis Besar Sejarah
Reformasi, 81
[12]C. De Jonge, Pembimbing Ke Dalam
Sejarah Gereja, 78
[13]F. D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja,
(Jakarta : BPK-GM, 2006), 365
[14]H. Berkhof & I. H. Enklarr, Sejarah
Gereja, 244-245
[15]Leonard Hale, Jujur Terhadap
Pietisme, 12-16
[16]Leonard Hale, Jujur Terhadap
Pietisme, 18-47
[17]Leonard Hale, Jujur Terhadap
Peitisme, 18
[18]Tony Lane, Runtut Pijar, Tokoh dan
Pemikiran Kristen Dari Masa ke Masa, (Jakarta : BPK-GM, 2016), 142
[19]F.D. Wellen, Riwayat Hidup Singkat
Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja, (Jakarta : BPK-GM, 2011),172
[20]H. Berkhof & I.H. Enklaar, Sejarah
Gereja, 246
[21]Christian de Jonge & Jan S., Apa
dan Bagaimana Gereja, (Jakarta : BPK-GM, 1993), 47
[22]Tony Lane, Runtut Pijar, Tokoh dan
Pemikiran Krisen Dari Masa ke Masa, 142
[23]Jonathan E. Culver, Sejarah Gereja
Umum, (Bandung : Biji Sesawi, 2013),306
[24]Kenneth Curtis, 100 Peristiwa Penting
dalam Sejarah Kristen, (Jakarta : BPK-GM, 2013),
[25]F.D. Wellen, Riwayat Hidup Singkat
Tokoh-Tokoh Dalam Sejarah Gereja,172-173
[26]Francke merasa bahwa kehidupan yang nampaknya begitu berhasil itu sebenarnya
kosong saja, karena ia belum mempunyai iman yang hidup. Kemudian banyak
penganut-penganut pietisme memandang suatu pertobatan itu sebagai sesuatu yang
harus dialami oleh seorang Kristen sebelum ia benar-benar dianggap sebagai
Kristen. Dalam buku Th. Van Den End, Harta
dalam Bejana, (Jakarta : BPK-GM, 2010), 236
[27]F. D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat
Tokoh-Tokoh Dalam Sejarah Gereja, 78-80
[28]Christian de Jonge, Gereja Mencari
Jawab, 40-41
[29]F. D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat
Tokoh-Tokoh Dalam Sejarah Gereja, 189-199
[30]H. Berkhof & I. H. Enklaar, Sejarah
Gereja, 255