Kontroversi Augustinus vs Semi Pelagianisme mengenai Ajaran Keselamatan
Kontroversi Augustinus vs Semi Pelagianisme
Sesudah Pelagianisme ditolak oleh Gereja
secara resmi pada Konsili Kartago (dan Orange), orang tetap memikirkan dan
mendiskusikan hubungan antara di satu pihak kausalitas rahmat Allah, dan di
lain pihak peranan kehendak bebas manusia dalam menerima dan mengerjakan
keselamatannya.
Sejumlah teolog berpendapat bahwa Augustinus secara berat
sebelah dan berlebihan menonjolkan mahakausalitas rahmat. Karna itu, mereka
mencari jalan tengah antara Augustinus dan Pelagius.[13]
Di Gallia Selatan
timbul ajaran dari orang semi (setengah) pelagian, yang mencari suatu jalan
kompromi supaya moralisme Kristen dapat dipertahankan.[14]
Tokoh yang penting
dalam semi-pelagianisme adalah Yohanes Cassian dan Vincent dari Lerins.[15]Kata
mereka : oleh jatuhnya Adam, kehendak manusia hanya dilemahkan saja, sehingga
manusia dapat berbuat baik lagi. Ia tidak mati (Augustinus) dan tidak pula
sehat (Pelagius), melainkan sakit.
Oleh karena itu kekuatan manusia sendiri
tidak cukup untuk mencapai keselamatan itu. Ia memerlukan bantuan rahmat
Tuhan.[16] Tetapi sekali sembuh, ia dapat menjalankan kehidupan Kristiani
dengan kekuatannya sendiri, tanpa rahmat Allah.[17]
Rahmat itu ialah suatu
khasiat secara batin yang diberikan oleh Tuhan kepada tiap-tiap oknum. Kehendak
manusia yang bebas harus menerima pertolongan ini, supaya dengan demikian
manusia dan Allah boleh bekerja bersama-sama sampai keselamatan itu diperoleh.
Mereka berpandangan bahwa soal keselamatan dan kebinasaan itu bergantung kepada sikap manusia sendiri saja. Rahmatlah
yang mulai mengerjakan keselamatan manusia dan dosa turunan diakui pula, tetapi
manusia mempunyai kehendak yang bebas juga, meskipun lemah adanya.[18]
![]() |
Pelagius |
vs
![]() |
Agustinus |
Semi-Pelagianisme menolak ajaran
Augustinus mengenai predestinasi, karena hal itu kelihatannya menjadikan segala
upaya manusia tidak berguna.
Cassian mengajarkan bahwa kehendak bebas yang
terdapat pada manusia tidaklah sama sekali dihapuskan. Ia berpendapat, bahwa
dosa Adam memang diwariskan kepada generasi berikutnya dalam pengertian seperti
seseorang mewariskan kesakitan, sebagai akibatnya maka kehendak menjadi lemah.
Allah memberikan kepada manusia permulaan dari kehendak yang bijak. Cassian
menilai pandangan Augustinus bahwa anugerah tidaklah mesti mendahului kehendak
bebas.
Oleh karena manusia tetap mempunyai kehendak bebas, walaupun memang
dilemahkan (oleh dosa), maka bisa jadi bahwa manusia dapat mengambil prakarsa
untuk datang kepada Allah.
Menurut Cassian, kehendak bebas dapat mengambil
inisiatif pertama untuk datang kepada Allah. Kehendak manusia senantiasa bebas
untuk menghargai ataupun menolak anugerah Allah. Dengan kata lain, anugerah dan
kehendak bebas haruslah bekerja sama.[19]
Tahun 434, Vincent dari Lerins
menulis Commonitory (Exhortation) for the Antiquity and Universality of the
Catholic Faith Against the Profane Novelties of all Heresiesnya yang terkenal
itu. Hal penting mengenai tulisan ini adalah, bahwa di dalam menuliskannya
Vincent sangat dipengaruhi oleh perlawanannya dengan Augustinus.
Baginya,
kriteria untuk menilai ajaran Augustinus mengenai anugerah adalah konsep
mengenai tradisi, yang ia definisikan sebagai berikut :”Dalam Gereja Katolik
sendiri, segala keprihatinan yang mungkin ada harus diambil, sehingga kita
memegangi pendapat bahwa iman yang telah dipercayai di mana-mana, senantiasa
oleh semua.
Karena hal itulah yang benar dan di dalam artinya yang paling tepat
Katolik, sebagaimana nama itu sendiri dan alasan dari sesuatu menjelaskan,
mencakup segala universalitas”.
Semi-Pelagianisme mengajarkan dan menjanjikan
bahwa di dalam gereja, yaitu di dalam lingkungan persekutuan mereka, terdapat
anugerah Allah yang bersifat pribadi, yang besar dan khusus, tanpa bekerja,
tanpa upaya, bahkan kalaupun mereka tidak memintanya, orang akan memperoleh semacam
dispensasi dari Allah.[20]