Konteks Pergumulan di Benua Amerika

sebelum membaca artikel ini alangkah baiknya memulai dari Penerapan MKF di Belahan Dunia
Penerapan Metodologi Kristologi Fungsional di Amerika

Konteks Pergumulan di Benua Amerika
Amerika Latin kaya dengan sumber Alam, namun penduduknya dikepung oleh kemelaratan. Kekayaan negara-negara Amerika Latin hanya dinikmati oleh sekelompok orang yang menerapkan sistem Maciavelly, yaitu “mencapai tuhuan sengan menghalalkan segala cara” memperkaya diri dengan cara mengorbankan orang lain, kaum lemah. Pusat persoalan adalah soal perbudakan karena yang memiliki modal/tanah adalah Polycarpus (sekelompok orang).

Banyak orang yang bertani tetapi tidak memiliki lahan sehingga mereka menyewa lahan dari orang-orang itu. Tapi karena mereka tidak mampu membayar uang sewa, mereka dijadikan budak tani. Industri di Eropa dan Amerika kekurangan buruh. Sehingga diambil dari negara lain yang kurang kehidupannya (tidak ada kemjuan, ilmu pendidikan tidak ada) sehingga jumlah penduduk besar dan tanah mereka tidak mampu untuk memenuhi mereka. Sehingga mereka merantau, orang Eropa dan Amerika memanfaatkan hal itu sehingga banyak orang berduyun-duyun mendaftarkan diri.

Orang Amerika Latin memandang Yesus dapat dinilai dari patung-patung-Nya yang dibuat dan bagaimana mereka memperingati penderitaan-Nya. Amerika Latin diselenggarakan prosesi-prosesi selama satu minggu sengsara.

Konon diceritakan tentang adegan-adegan yang mengerikan, penuh penyiksaan diri, yang dilakukan kolektif. Orang memikul kayu-kayu salib yang sangat berat. Penderitaan Kristus dijadikan suatu kultus kematian dan penguburan diri sendiri. Masa itu merupakan minggu yang sepi yang tidak diakhiri dengan perayaan Paskah.

lihat Juga: Penerapan Metode Kristologi Fungsional Asia

Penerapan Metode Kristologi Fungsional di Amerika
Menurut James Cone, teolog berkulit hitam, orang yang pertama memperkenalkan dan menyebarluaskan apa yang disebut “Teologi Hitam”. James  Cone mempertanyakan kembali apa artinya apa keputusan konsili Nicea pada tahun 325, yang menyatakan bahwa Kristus adalah sehakikat- homoousios- dengan Bapa dan keputusan Konsili Chalsedon pada tahun 451, yang menyatakan bahwa kedua kotdrat yang ilahi dan manusiawi, tidak terbagi dan terpisah dan tidak tercampur dan tidak berubah.

Pokok ini diuraikan oleh Conedalam bukunya The Spirituals and Blues. Spirituals itu berbicara jelas dan tuntas tentang sifat ilahi Yesus. Berbicara mengenai Bapa dan Anak adalah dua cara untuk berbicara tentang kenyataan kehadiran ilahi dalam masyarakat budak.  Yang menjadi pusat keberadaan mereka adalah lambing dari penderitaan mereka.

Cone menegaskan bahwa Yesus Kristus harus diakui berdsarkan keberadaan-Nya kini, dalam masa lampau dan dalam waktu yang akan datang. Kristus hitam, karena dia orang Yahudi. Pernyataan mengenai “Yesus berkulit hitam” dapat dipahami, jika arti keyahudian-Nya dimasa lampau, dikaitkan secara dialektis dengan sifat hitamnya sekarang.

Cone menyatakan, ia menyadari bahwa sifat hitam sebagai sifat kristologis dalam masa depan, yang sangat mungkin tidak dapat dibenarkan, bahakan untuk sekarang juga tidak berlaku dalam setiap konteks. Menurut Cone, tidak ada kebenaran dalam Kristus yang tidak terlepas dari orang yang tertindas, dari sejarah dan kebudayaaan mereka. Kristus adalah suatu peristiwa pembebasan, suatu “kejadian” (happening) dalam hidup mereka  yang tertindas yang berjuang tertindas dan yang berjuang untuk kebebasan politik. Latar belakang lahirnya Teologi hitam

Buruh-buruh yang diangkut oleh kapal. Kapal itu disebut Yesus. Ketika sampai buruh itu dibawa ke camp. Maka camp itu disebut Yesus, maksud mereka membuat nama itu dengan Yesus untuk menunjukkan bahwa Yesus adalah penguasa. Namun orang-orang atau buruh itu memiliki pandangan lain dengan cara mereka, sehingga timbul traumatic sehingga mereka menganggap yang memperbudak mereka adalah Yesus.

Yesus dianggap raja bagi kulit putih, maka Yesus dianggap sumber kekejaman, penindasan dan perbudakan. Lau ada seorang anak budak yang diambil seorang penginjil dia harus berangkat untuk tugas penginjilan. Karena pada saat itu bintang lebih berharga dari buruh, itulah yang terjadi. Semua yang dialami buruh adalah perintah raja (Yesus).

Bagi mereka Yesus itu adalah yang kejam yang menindas dan membohongi mereka. Kemudian muncullah James Cone tapi ia bingung henndak kemana, karena pergi ke kulit hitam atau putih ia akan ditolak. Maka ia menciptakan suatu metode untuk menghilangkan pemisahan kulit putih dan hitam. Ia mengatakan bahwa Yesus itu tanpa rupa. Terinspirasi dari :


  1. Yesaya 53:2 "Ia tidak tampan” hal  ini memberi anggapan bahwa Tuhan Yesus adalah sama seperti orang Kulit Hitam yang tidak tampan
  2. Yohanes 1:1  “Kita” berarti Yesus juga diam diantara Orang berkulit Hitam bahkan golongan Budak, Kristus itu menjadi sama seperti kita. Ketika kita jadi budak, Yeus juga ikut jadi budak, ketika kita adalah orang hitam Yesus juga hitam. Demikianlah James Cone membuat suatu prmikiran supaya orang di Benua menerima Yesus dan supaya tidak ada perbedaan antara kulit hitam dan kulit putih.
  3. Yohanes 3:16, tetap percaya akan beroleh hidup yang kekal. Bersama Kristus bukan berarti kita keluar dari keberadaan kita. Yesus datang dan menemani kita dalam penderitaan. Melalui pemikiran James Cone, dapat disimpulkan bahwa pemikirannya menghasilkan kristus bersama-sama dalam perbudakan. 

Next to: Penerapan Kristologi Fungsional di Benua Afrika