Teologi Spritualitas Yesus dalam Kitab Injil Matius
Teologi Spritualitas
Yesus
dalam
Kitab Injil Matius
I.
Pendahuluan
Spritualitas adalah
suatu relasi atau hubungan yang akrab antara Tuhan dan Umatnya. Spiritualitas
berkaitan dengan kehidupan iman yakni apa yang mendorong dan memotivasinya dan
apa yang menurut orang-orang dirasa bisa membantu untuk melanggengkan dan
mengembangkan. Spiritualitas menyangkut cara bagaimana kehidupan Kristen
dipahami serta dihayati. Oleh karena itu kita akan membahas Teologi
Spritualitas Yesus dalam injil Matius serta Refleksinya di Era Reovolusi
Industri 4.0.
II.
Pembahasan
2.1.Pengertian
Spritualitas
Spritualitas berasal
dari kata Spare (Latin) yang memiliki
arti menebus, meniup dan mengalir. Dari
kata kerja Spare terjadi pembentukan Spritus atau Spirit yang memiliki arti hembusan, tiupan, aliran angin. Kata itu
kemudian mengalami perkembangan arti menjadi udara, hawa yang dihisap, nafas
hidup, nyawa, roh, hati, sikap, perasaan, kesadaran diri, kebesaran hati, dan
keberanian. Dalam Alkitab spirit
tertulis dalam bahasa asli ruakh
(Ibrani) dan Pneuma (Yunani). Arti
kedua kata ini dalam Alkitab adalah nafas yang menggerakkan atau menghidupkan.[1]Jika
kita berbicara tentang “spirit”, berarti kita mau membahas tentang sesuatu yang
memberikan kehidupan maupun semangat bagi seseorang. Maka dari itu,
Spiritualitas
berkaitan dengan kehidupan iman yakni apa yang mendorong dan memotivasinya dan
apa yang menurut orang-orang dirasa bisa membantu untuk melanggengkan dan
mengembangkan. Spiritualitas menyangkut cara bagaimana kehidupan Kristen
dipahami serta dihayati. Spirit orang secara penuh menarik realitas Tuhan
secara penuh.[2]
2.2. Pengertian
Spritualitas Yesus dalam Injil Matius
Spiritualitas
dalam Injil Matius adalah kesadaran akan kehadiran Ilahi yang senantiasa
menyertai kehidupan manusia jika manusia tetap percaya dan beriman kepadanya
penyertaan Tuhan tidak akan berkesudahan sampai selama-selamanya bahkan sampai
akhir zaman (Matius 28 : 20).
Spiritualitas juga dimaknai sebagai penghayatan kehidupan rohani sama
dengan kerohanian. Arti lainnya adalah relasi Allah dengan manusia dan reaksi
manusia dengan sesama dan ciptaan lainnya sehingga Spritualitas itu menjadi
gaya hidup sebagai Tuhan Yesus memperlihatkan ketergantungan hidupNya untuk
melakukan kehendak Allah.[3]
2.3.Spritualitas
Yesus dalam Injil Matius
2.3.1.
Kerendahan Hati
Istilah rendah hati
dalam bahasa Latin disebut “humulitas” atau “humus” yang menjadi bagian tanah
yang paling subur, kerap kali untuk menunjukkan sikap orang dalam pelayanan.
Sikap rendah hati orang Kristen terutama di gali dari sikap Yesus Kristus
sendiri, yang menyerahkan diriNya bagi keselamatan manusia. Sikap seperti itu
pantulan kebaikan Allah yang mengkehendaki hidup ini menjadi subur, kaya dan
membahagiakan bagaimana diwujudkan dalam hidup Kristen Yesus. Kerendahan hati
demikian akhirnya diharapkan mampu menyuburkan kehidupan bersama.[4]
Kerendahan hati adalah Watak dari Yesus. Yang dimana Yesus menundukkan diriNya
kepada Bapa, yang rela mati bagi Dunia.
2.3.2.
Berdoa
Berdoa adalah hubungan
dengan Allah.[5]
Doa dalam perjanjian baru adalah teladan yang dilakukan oleh Yesus dalam Doa
Bapa Kami (Mat 6:9-13).[6]
Inji mencatat Bagaimana doa yang disampaikan oleh Yesus bersama dengan
perumpamaan dan pengajaran tertentu. Dia juga mengikuti praktik orang Yahudi
normal untuk mengunjungi sinagoge “Rumah Doa”
dan berdoa setidaknya tiga kali sehari. Yesus juga dicatat sering berdoa
pribadi, karena murid-muridnya menanyakan cara berdoa, yang mengatakan kepada
mereka harus mengasingkan diri. Dalam Injil Matius Yesus berdoa sendiri
sebanyak 5 kali yaitu: 1. Yesus bersama tiga muridnya (Petrus, Yohanes dan
Yakobus) 2. dikisahkan menyendiri (untuk berdoa dalam kontemplasi dan meditasi
Lukas 9 : 8-9) di sebuah gunung yang tinggi. Di sana saat Dia berdoa, Yesus
berubah rupa dan merubah pakaianNya menjadi sangat putih berkiat-kilat dan
murid-muridnya melihat Elia dan Musa bersamaNya bercakap-cakap denganNya dan
mereka dilanda kegentaran yang hebat ( Matius 17:1-3).[7]
Dalam Matius 26:39,
bahwa ketika Yesus bersujud lalu berdoa
itu adalah suatu sikap berdoa yang baik. sikap ini menunjukkan rasa hormat yang
mendalam dan sikap yang menghadap kepada sang Agung yang besar yaitu Tuhan sang
pencipta dan penguasa. di posisi lain, sikap seperti ini juga menambah
kekhususan ketika kita berdoa. Memohon dengan baik seperti yang diajarkan Yesus
Dalam Doa Bapa Kami yaitu “Jadilah kehendak-mu dibumi seperti di surge (Matius
6:7-13)
Jadi doa Yesus adalah
sebagai bentuk ketaatan dalam mengajar, menuruti, serta Membangun hubungan
dengan Allah. Doa Yesus menunjukkan sikapNya untuk melayani memperluas berkat
penciptaan Allah. Artinya bahwa di dalam doa Yesus menunjukkan adanya hubungan
yang hidup antara Dia dengan Allah dan antara dia dengan manusia.[8]
2.3.3.
Berpuasa
Salah satu diwajibkan
Allah orang Yahudi adalah berpuasa pada hari pendamaian (Im 23:27) Dan orang
Farisi berpuasa pada hari Senin dan Kamis mereka melakukannya sedemikian rupa
sehingga orang-orang mengetahui bahwa mereka berpuasa dan tujuan mereka adalah
untuk mencari pujian manusia sehingga mereka kehilangan berkat Allah. Sedangkan
Yesus berpuasa (Mat 4:3) untuk mendisiplinkan keinginan - keinginan tubuh dan
menjaga prioritas rohaninya agar tetap terjaga. Puasa bukanlah sekedar belahan diri terhadap
kenikmatan jasmani dan inilah yang ditunjukkan Yesus. Dalam berpuasa Yesus
menyerahkan dirinya sepenuhNya kepada Allah dan menyembahNya. Yesus berpuasa
bukanlah untuk menunjukkannya kepada orang lain bahwa dia memiliki rohani yang
tinggi. Sebab Yesus mengerti bahwa kemunafikan hanya dapat mendatangkan
penolakan dari Allah, Allah tidak memperkenankan manusia untuk munafik. Puasa
yang munafik hanya mendatangkan kehidupan rohani yang dangkal dan mati. Puasa
yang demikian akan mengalami kehilangan berkah dan tidak mendapat upah dari
Bapa. Dan inilah yang dilatih Yesus dalam berpuasa bahwasannya Yesus jujur
dalam kehidupan pribadinya. Yesus tetap memelihara dan membangun persekutuannya
dengan Allah meskipun dalam keadaan berpuasa.[9]
2.3.4.
Pencobaan Yesus
“Pencobaan Yesus di
padang gurun” yang dituturkan dalam Matius 4:1-11 jelas untuk menampilkan
perjuangan spritual Yesus pada awal dia mencari visi dan menemukan panggilan
hidupNya. Mengingat kejadian itu tentunya merupakan pergumulan batiniah Yesus sendiri, maka kita tidak perlu
membayangkan semuanya itu secara harfiah dan materi berlangsung seperti yang digambarkan.
Meskipun rincian tuturan Injil Matius mengenai kejadian itu lebih mencerminkan
Teologi para penulis Injil, tetapi pada intinya tuturan itu menyatakan fakta
sejarah bahwa Yesus dari nazaret mengalami
pergumulan batin dan spritual yang serta mula-mula ia mencari Visi dan
panggilan hidupnya. Bahwa Yesus pernah mengalami pencobaan berat seperti dalam
tuturan Matius ia berada di padang gurun 40 hari lamanya dicobai iblis. Menurut
cerita Matius dimengerti pembaca sebagai anak Allah yang telah menerima kuasa
Roh Allah. Dengan jati diri seperti itu, Yesus di bawa oleh roh ke padang gurun
untuk dilibatkan dalam pertentangan dengan iblis di tempat iblis tinggal
(4:1-11). Pertentangan ini terlalu pencobaan yang dilakukan ibis sebanyak tiga
kali. Akhirnya setiap
Pencobaan
iniberhubungan dengan kesetiaan, ketaatan dan kepatuhan yesus terhadap Allah.
Demikianlah hasil dari pencobaan ini menunjukkan bahwa spritualitas Yesus
bertahan dengan coba-cobaan iblis itu, dan karena itu Yesus mengalahkannya
(4:11). Dengan demikian spritualitas yang dapat dilihat di sini adalah bahwa
Yesus memiliki kesetiaan atau kepatuhan yang sempurna terhadap BapaNya.[10]
2.3.5.
Melayani Sesama
Yesus
pernah berkata lebih berbahagia memberi daripada menerima artinya disini adalah
Yesus memikirkan orang lain atau semuanya. Dalam pelayananNya di bumi ini.
meskipun Dia sadar bahwa Dia anak Allah. Yesus tetap melakukan pelayanan untuk
melayani sesama. Dia katakan bahwa Dia bukan untuk dilayani melainkan untuk
melayani. Terlihat ketika Yesus menyembuhkan orang lumpuh, orang buta, orang
tidak bisa mendengar,Spritualitas yang Yesus bangun adalah menunjukkan
bahwasanya ketika hidup dalam roh maka akan mengharuskan seseorang untuk
membangun hubungan dengan sesamanya.[11]
2.3.6.
Memiliki Rasa Kepedulian kepada Orang Miskin
Kotbah
Yesus di bukit dalam Matius 5:3, Yesus menggunakan perumpamaan terhadap orang
miskin. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan penyegaran kepada orang miskin
bahwasanya mereka bukanlah makhluk yang dieksploitasi dan di Marginalkan.
Mereka juga adalah orang yang berbahagia dan mendapatkan sesuatu yang jauh
lebih baik. dan prinsip ini dilanjutkan dalam pasal berikutnya dalam pasal 6.
Yesus mengajarkan mereka untuk memberikan sedekah kepada orang-orang miskin.
Yesus berpesan agar mereka melakukan Suatu
sikap peduli terhadap orang miskin sebab Yesus juga peduli terhadap mereka yang
sederhana. Pemberian kepada mereka yang miskin juga Yesus ajarkan sebagai Sikap
mereka untuk melayani Allah supaya Allah semamen dipermuliakan.[12]
III.
Refleksinya di era Revolusi Industri 4.0
Beranjak dari
apa itu artinya Revolusi industri. Revolusi Industri merupakan suatu perubahan
yang berlangsung cepat dalam pelaksanaan proses produksi dimana yang semula
pekerjaan proses produksi itu dikerjakan oleh manusia kemudian digantikan oleh
mesin. Munculnya revolusi industri 4.0 membuat wajah baru dalam fase kemajuan
teknologi. Teknologi ini berdampak positif tergantung bagaimana individu dalam
meminimalisir resiko dan peluang yang muncul di transformasi revolusi 4.0 yang
terjadi berbeda dengan apa yang di alami manusia sebelumnya. Awal mula dari
istilah ini adalah terjadinya revolusi industri di seluruh dunia, yang mana
merupakan sebuah revolusi industri keempat. Dapat dikatakan sebagai sebuah
revolusi, karena perubahan yang terjadi memberikan efek besar kepada ekosistem
dunia dan tata cara kehidupan.Spiritualitas Kerajaan Allah dimana Allah dan
Kerajaa-Nya adalah pusat pemberitaan dan fokus setiap orang percaya dalam membangun hubungan dengan Allah dan sesama. Inti spiritualitas adalah
kasih. Yesus berkhotbah di bukit
menjelaskan betapa kerinduan Allah kepada
orang Kristen untuk hubungan yang
indah dan mengajarkan kasih kepada
sesama sehingga orang Kristen mengasihi Allah dan sesama.
.
Bagaimana sebenarnya
spiritualitas Allah dalam injil Matius?
Berangkat dari pengertian spiritualitas itu sendiri bahwaSpiritualitas
berkaitan dengan kehidupan iman yakni apa yang mendorong dan memotivasinya dan
apa yang menurut orang-orang dirasa bisa membantu untuk melanggengkan dan mengembangkan.
Jadi bagaimakah sebenarnya spiritualitas Yesus dalam injil Matius adalah ketika
di taman Getsemani yaitu adanya kesadaran antara Anak dan Bapa. kehadiran
dimaknai dalam bentuk perwujudan pemeliharaan kehadiran Allah nyata di dalam
pemeliharaannya secara universal. sikap pemeliharaan Allah membawa manusia
bergantung kepada Allah. Kehadiran Allah dalam Yesus Kristus memiliki
Spritualitas hidup yang sempurna dan inilah inti dari Spiritualitas. Adapun
Spiritualitas Yesus dalam injilatius adalah salah satunya kerendahan hati. Istilah rendah
hati dalam bahasa Latin disebut “humulitas” atau “humus” yang menjadi bagian
tanah yang paling subur, kerap kali untuk menunjukkan sikap orang dalam
pelayanan. Sikap rendah hati orang Kristen terutama di gali dari sikap Yesus
Kristus sendiri, yang menyerahkan diriNya bagi keselamatan manusia.
Spiritualitas terkait dengan (Roh) Pneuma atau
ruach, spirit yang mengandung makna menggerakkan, menguatkan manusia dan
penggeraknya itu adalah Roh yaitu Roh Allah. Spiritualitas dalam Injil Matius
adalah kesadaran akan kehadiran Ilahi yang senantiasa menyertai kehidupan
manusia jika manusia tetap percaya dan beriman kepada Dia. Penyertaan Tuhan
tidak akan berkesudahan sampai selama-lamanya bahkan sampai akhir zaman (Mat 28:20).
Spiritualitas juga dapat dimaknai sebagai penghayatan kehidupan rohani sama
dengan kerohanian. Arti lainnya adalah relasi Allah dengan manusia dan reaksi
manusia dengan sesama, serta relasi seseorang dengan ciptaan lainnya. Karena
itu orang yang yang berspiritualitas hidupnya tidak terpisah dari Allah, dengan
sesame dan ciptaan lainnya sehingga spiritualitas itu menjadi gaya hidup
sebagai Tuhan Yesus yang memperlihatkan ketergantungan hidupnya untuk melakukan
kehendak Allah.
Melalui Injil
Matius ini kita dapat mengambil refleksi bahwa kita bisa dikatakan
memiliki spiritualitas jika kita sudah memiliki kesadaran yang benar akan
Allah. Kesadaran itulah yang akan membawa kita ke dalam pertobatan yang benar,
dan pertobatan tersebut akan melahirkan tindakan yang benar. Dengan kesadaran
yang kita miliki itu akan memberikan kepada kita adanya kekuatan Allah yang
selalu memelihara orang-orang yang percaya kepada Allah. Dengan demikian dapat
dikatakan spiritualitas yang benar akan menghasilkan perubahan hidup yang
benar. Sebagai orang yang dipakai Tuhan untuk melayani adalah dengan membangun
kesadaran akan kehadiran Tuhan dan pemeliharaan-Nya. Jika hal ini sudah
dilakukan itu berarti kita sudah mendapatkan bagaimana spiritualitas yang benar
yang harus kita tunjukkan kepada orang lain. Dengan demikian orang-orang juga
akan semakin percaya kepada Allah.fokus setiap
orang percaya dalam membangun
hubungan dengan Allah dan sesama. Inti spiritualitas adalah
kasih. Yesus berkhotbah di bukit
menjelaskan betapa kerinduan Allah kepada
orang Kristen untuk hubungan yang
indah dan mengajarkan kasih kepada
sesama sehingga orang Kristen mengasihi Allah dan sesama. Ucapan bahagia
berdasarkan Matius 5:3-12 juga menjanjikan Kerajaan Allah itu sendiri melalui
berkat, yang Yesus beritakan dalam pengajaran-Nya, bukan saja berkat masa
depan, tetapi juga berkat masa kini
bagi mereka yang miskin, beduka,
lemah lembut, murah hati, lapar dan haus, berhati suci, suka
berdamai dan yang siap menderita untuk kehendak Allah. Sikap spiritualitas ini
adalah cerminan spiritual yang sejati bagi kehidupan esadaran yang kita
miliki.
IV.
Kesimpulan
Melalui judul sajian
Meneliti dan Menggali Teologi Spritualitas Yesus dalamKitab Injil Matius serta
Refleksinya di era Revolusi Industri 4.0 kami para penyaji menyimpulkan bahwa
Spritulaitas dalam Injil Matius adalah kesadaran akan kehadiran Ilahi yang
senantiasa menyertai kehidupan manusia jika manusia tetap percaya dan beriman
kepadanya penyertaan Tuhan tidak akan berkesudahan sampai selama-selamanya
bahkan sampai akhir zaman (Matius 28 : 20). Dimana Spritualitas Yesus dalam
Matius ini ada beberapa point penting yaitu rendah hati,berdoa, berpuasa,
pencobaan Yesus, melayani sesama, dan memiliki rasa kepedulian terhadap
orang miskin.
V.
Daftar Pustaka
Banawiratma, J.B, Pelayanan Spritualitas dan Pelayanan, Yogyakarta: Taman Pustaka
Kristen dan Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana, 2017.
Guthrie, Stan Ketika Yesus Bertanya, Yogyakarta:
ANDI, 2021.
Hull, Bill Panduan Lengkap Pemuridan, Yogyakarta:
KANISIUS,2009.
Kingsbury, Jack Dean, Injil Matius Sebagai Cerita, Jakarta:
BPK-GM, 2012.
Mc Grath, Alister E, SpritualitasKristen, Medan: Bina Media
Perintis, 2007.
Pannenberg, Wolfgart, Christian
Sprituality, Philadelpia: Webminster, 1983.
Sembiring, Jendarnira, Doa dan Rumah Doa, Medan: Sola Gratia Medan, 2006.
Simon Chan, Spritual Theology: “Study Sistmatis Tentang Kehidupan Kristen”,
Yogyakarta: ANDI,2002.
Visch, H, J. Jalan Keselamatan: Pembimbing ke Dalam Pengajaran Kristen, Jakarta:BPK-GM,
2008.
Wiersbe, Warren W. Loyal di dalam
Kristus, Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2012.
[1]J.B
Banawiratma, Pelayanan Spritualitas dan
Pelayanan, (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen dan Fakultas Teologi
Universitas Kristen Duta Wacana, 2017), 7.
[2]
Alister E Mc Grath, SpritualitasKristen,
(Medan: Bina Media Perintis, 2007), 2.
[3]
Wolfgart Pannenberg, Christian Sprituality, (Philadelpia: Webminster,
1983), 14.
[4]
Bill Hull, Panduan Lengkap Pemuridan,
(Yogyakarta: KANISIUS,2009), 204.
[5] H,
J. Visch, Jalan Keselamatan: Pembimbing
ke Dalam Pengajaran Kristen, (Jakarta:BPK-GM, 2008), 65
[6]
Jendarnira Sembiring, Doa dan Rumah Doa,
(Medan: Sola Gratia Medan, 2006), 26.
[7]
Pararel dengan Markus 9:2-4, Lukas 9:28-32.
[8]
Simon Chan, Spritual Theology: “Study
Sistmatis Tentang Kehidupan Kristen”, (Yogyakarta: ANDI,2002), 12-14.
[9]
Warren W. Wiersbe, Loyal di dalam
Kristus, (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2012), 65-66.
[10] Jack Dean Kingsbury, Injil
Matius Sebagai Cerita, (Jakarta: BPK-GM, 2012), 74-77.
[11] Stan Guthrie, Ketika Yesus
Bertanya, (Yogyakarta: ANDI, 2021), 105.
[12] Waren W. Wiersbe, Loyal di
dalam Kristus, 240-241.