Sejarah Gereja di Indonesia Pada Masa Orde Baru
Sejarah Gereja Di Indonesia
Pada Masa Orde Baru
I.
Abstraksi
Pada sajian kita minggu lalu, kita sudah membahas mengenai Gereja
pada Masa Orde Lama. Setelah pergantian jabatan presiden Soekarno kepada Soeharto,
soerhato menamai masanya dengan masa Orde Baru. Dalam sajian ini akan
dipaparkan bagaimana kehidupan Gereja atau lebih tepatnya bagaimana situasi
gereja pada masa Orde Baru. Dalam kaitan mengenai gereja pada masa Orde Baru
dijelaskan situasi yang melatarbelakangi lahirnya masa Orde Baru. Dalam pembagian
periode Orde Baru yang lumayan panjang ini menjadi tiga babak (awal,
pertengahan, dan kahir) lebih berdasarkan pertimbangan praktis dan kronologis,
sambil dicoba melihat adanya beberapa indikator untuk setiap penggalan.
Penggalan pertama (1966-1973) terjadi perjumpaan antara Kristen dan Islam yang
berlomba untuk mengembangkan diri sambil memantapkan peranannya di tengah
kehidupan bermasyarakat, termasuk dibidang politik. Pada masa ini tampaknya
kalangan Kristen agak berada di atas angin, sementara kalangan Islam dirundung
kekecewaan karena berada dalam posisi marjinal dalam pemerintahan. Pada
penggalan kedua (1974-1989) kalangan Islam semakin solid, walaupun posisinya di
dalam pusat kekuasaan belum dominan, sementara kalangan Kristen mulai merasa
terdesak dan tidak banyak lagi mendapat dukungan dari penguasa. Pada penggalan
ketiga (1990-1998) sementara kekuasaan rezim Orde Baru kian pudar, peran kalangan
islam tertentu-terutama kaum modernis semakin meningkat, sementara kalangan
Kristen semakin terdesak dan terpinggir, bahkan mengalami berbagai nestapa dan
bencana yang sambung-menyambung. Semoga sajian ini dapat menambah wawasan kita
semua.
II.
Pembahasan
2.1.Latar belakang masa Orde Baru
Dalam
ingatan G30S tak pernah berdiri sendiri, tetapi ia selalu terhubung dengan PKI:
G30S/PKI. Ia adalah sebuah paket realitas
yang tak terpisahkan. Kekejaman, penculikan, penyiksaan, pembunuhan
melekat padanya. Ia adalah peristiwa penghianatan terhadap negara dan ronrongan
terhadap Pancasila. Namun, Pancasila
sakti. RPKAD berhasil menumpas gerakan ini. Angkatan Darat disambut sebagai
pembela Pancasila dan penyelamat negara. Dan indonesia pun memasuki tatanan
baru, Orde Baru. Tatanan tanpa gejolak politik, tanpa keterlibatan masyarakat
untuk menentukan hidupnya. Intinya Gerakan 30 September 1965 di dalangi oleh
PKI. Apa yang oleh Orde Baru disebut sebagai “penghianatan PKI” diikuti oleh
“penumpasan PKI”. Orang-orang menyebutnya “penggayangan”. Terbunuhnya tujuh
perwira tinggi AD, dijadikan alasan pembenaran untuk menumpas jutaan anggota
PKI dan mereka yang dituduh PKI. [1]
G30S/PKI
telah digagalkan, namun rangkaian peristiwa tanggal 30 September 1965 telah
membawa gejolak hebat dalam kehidupan bangsa Indonesia. Kekuatan baru terutama
di kalangan muda bangkit menuntut pergantian kekuasaan dan pembaharuan
kehidupan dalam segala bidang. Kekuatan-kekuatan baru itu dalam bentuk kesatuan
aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan kesatuan aksi pemuda dan pelajar Indonesia
(KAPPI) yang giat melakukan demonstrasi (unjuk rasa). Sejak awal 1966
demonstrasi KAMI semakin gencar dan di pusatkan pada tanggal 10 januari 1966 di
Universitas Indonesia Salemba-Jakarta mencanangkan Tri tuntutan rakyat
(Tritura)- yaitu bubarkan PKI, rombak cabinet, dan turunkan harga-harga, KAMI
juga menyerang figure Presiden Seokarto yang dinilai tidak berani membubarkan
PKI. Pada tanggal 4 Februari 1966 sejumlah kelompok atau organisasi yaitu NU
Katolik, Parkindo, IPKI, Periti, PNI, Muhammadiyah, SOKSI, dan GASBINDO mendeklarasikan
piagam Front Pancasila yang kemudian disusul pembentukan Badan koordinasi
kesatuan penggayangan kontra revolusi G30S PKI yang menuntut untuk membubarkan
PKI. Pada awalnya kelompok ini tidak ingin menjatuhkan Seokarno, akan tetapi
Seokarno tidak kunjung bersedia membubarkan PKI sehingga berbalik menentangnya
yang selanjutnya mereka menjadi pilar Orde Baru yang aktif seiring keruntuhan
Seokarno. Untuk menurunkan unsure politik yang semakin memanas, Presiden
Seokarno memberikan surat perintah kepada Jendral Soeharto pada tanggal 11
Maret 1966 yang di singkat dengan (Supersemar[2])
memberikan mandate kepada Jendral Soeharto untuk menjaga stabilitas dan
keagamaan Negara dan pemerintah. Orde Baru dibangun di atas pengejaran dan
pembantaian terhadap ratusan ribu orang yang dituduh terlibat pemberontakan PKI
sesudah 30 September 1965.[3]
Pada tanggal 12 Maret
1966 sebagai langkah pertama mengumumkan pembubaran PKI dan menyatakan sebagai
organisasi terlarang di seluruh di seluruh wilayah Repoblik Indonesia. Setelah
kelompok anti komunis berhasil menyingkirkan kelompok komunis melalui suatu
koalisi kelompok Agama angkatan darat Mahasiswa, mereka berkonsentrasi untuk
melihat kinerja Presiden Seokarno. Penetapan Jendral Abdul Haris Nasution
sebagai Ketua MPRS memberikan peluang bagi mereka. Pertarungan politik antara
angkatan Darat yang dimotori Soeharto dan Presiden Seokarno sebenarnya telah
memanas sejak politik timur yang pro-kubu Komunis yang digaungkan pada tahun
1964. Pertentangan soekarno dengan kelompok soeharto-nasutionse makin nyata
saat soekarno menyampaikan pidato berjudul jas merah (jangan sesekali meninggalkan
sejarah) pada tanggal 17 agustus 1966. Pada kesempatan ini soekarno menentang
soeharto dan kawan-kawan untuk mengadakan pemilihan umum (pemilu) untuk
mengetahui kehendak rakyat. Tantangan ini tidak ditanggapi oleh kelompok soeharto-nasution.
Pada sidang umum IV MPRS bulan juni-juli 1966 posisi presiden soekarno sudah
semakin dipojokkan. Supersemar disahkan oleh MPRS menjadi ketetapan MPRS no.
IX/MPRS/1966. Dengan demikian presiden soekarno tidak mungkin lagi mencabut
surat perintah itu, bahkan kekuasaannya telah dilucuti dan diserahkan kepada
jendral soeharto. Sidang umum ini menghasilkan:
1.
Mengesahkan
pembubaran PKI serta melarang marsisme di Indonesia dalam segala bentuk dan
manifestasinya.
2.
Mencabut kembali pengangkatan soekarno sebagai
presiden seumur hidup.
3.
Menunjuk soeharto sebagai kepada pemerintahan
sementara, dalam hal presiden tidak mampu melaksanakan tugasnya.
4.
Pembukaan UUD
1945 yang memuat dasar Negara tidak dapat diubah oleh siapapun, karena mengubah
isi pembukaan UUD 1945 berarti membubarkan Negara.
Pada
tanggal 9 februari 1967 Nurdin Lubis, seorang anggota DPRG, mengajukan solusi
yang menuntut kepada MPRS untuk segera mengadakan sidang istimewa dan
memberhentikan soekarno sebagai presiden dan menyerahkan persoalannya kepada
badan hakim yang berwewenang Parkindo, melalui Chr. J. Mooy, turut menjadi
pengusul resolusi ini. Resolusi ini disusul dengan resolusi DPRGR pada
tanggal 23 februari 1967 yang mengusulkan kepada sidang istimewa MPRS untuk
mengangkat jendral soeharto menjadi pejabat presiden sampai dengan pemilihan
umum yang akan datang.[4]
2.2. Keadaan
Pada Masa Orde Baru
2.2.1. Bidang Politik[5]
Berdasarkan Supersemar, Seoharto
berhasil menumpaskan PKI serta melakukan stabilitas politik dan ekonomi. Pada
tanggal 27 Maret 1968 Seoharto diangkat secara resmi menjadi Presiden dan semua
bidang dibersihkan dari orang-oarang yang beraliran komunis. Masa bulan madu
politik dengan pemerintahan Orde Baru segera dimulai. Dengan suasana yang
menggairahkan dengan luapan optimism yang baru untuk membangun masa depan yang
baru pula, diatas reruntuhan yang ditinggalkan ole h Orde Lama. Apalagi
diangkat sebagai anggota cabinet pembangunan tenaga-tenaga orang cerdik pandai
yang terpilih dari kalangan universitas yang tahu keadaan dan serta cakap dalam
bidang perekonomiaan. Dengan optimism yang baru inilah pemerintahan Orde Baru
melangkah ke masa depan untuk melaksanakan pembangunan dan untuk untuk
menegakkan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen.
Dalam meluruskan penyelewengan yang
terjadi pada masa Orde Lama. Orde Baru dipahami sebagai tatanan segala
kehidupan rakyat, bangsa dan Negara yang di letakkan kembali pada kemurniaan
pelaksanaan pancasila dan UUD 1945. Atas garis besar haluan Negara (GBHN) yang
telah tercantum GBHN, ada pun jangka menengah masing-masing program yang
berjarak lima tahun disebut Rencana Pembangunan lima tahun disebut kenegaraannya
Presiden Seoharto menandaskan bahwa landasan masyarakat adil dan makmur
berdasarkan pancasila baru akan tercapai setelah kita melaksanakan lima sampai
enam kali REPLITA. Dengan demikian dasar atau landasan masyarakat yang di
cita-citakan itu baru akan tercapai oleh
usaha pembangunan dalam jangka waktu 25 sampai 30 tahun yang akan
datang. Dan demi melaksanakan pembangunan seperti itu maka pada 1966 sidang
MPRS telah menggaris bawahi prioritas program nasional yang baru adalah pada
pembangunan ekonomi, dengan tidak mengabaikan pembangunan dalam bidang-bidang
hidup yang lain.
2.2.2. Bidang Ekonomi
Pada Orde Lama Negara direpotkan
oleh gerakan dan pertikaian politik, keadaan ekonomi menjadi sangat buruk
karena tidak sempat ditata dengan baik dalam keadaan yang stabil. Orde Baru
menjadikan masalah mengatasi disintegrasi sebagai sasaran pertama dan utama
agar dapat dengan baik menata perekonomian yang buru.[6]
Dalam bidang pembangunan perekonomiaan Indonesia memerlukan bantuan dari luar
negri dan modal asing dan memang pada saat itu Indonesia memang sangat
kekurangan model dan keterampilan dan cara yang pergunakan yaitu penanaman
modal asing yang diambil untuk mempercepat bangunan. Pembangunan ekonomi yang
menganut strategi yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yakni strategi
yang diantara lain menekankan bahwa pembangunan akan bermula dari pertumbuhan
ekonomi yang disuntikkan oleh teknologi dan capital asing.[7]
Dalam strategi
yang seperti ini dipercayakan dari
Negara-neraga penanaman modal menjadi tuntutan mutlak, sehingga pemerintah
memikirkan cara bagaimana memberikan jaminan atas keselamatan modal tersebut
yakni terciptanya stabilitas poltik. Sejak awal pemerintahan Seoharto memasang
target pemerintahan Orde Baru dengan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional.
Tanpa pertumbuhan ekonomi tidak mungkin tercipta stabilitas nasional, dan tanpa
stabilitas Nasional tidak mungkin melakukan peningkatan ekonomi dan
kesejahteraan nagara.[8]
BAGI Seoharto dan Orde Baru, menciptakan stabilitas politik dan keamanan adalah syarat mutlak bagi pelaksanaan
pembangunan di segala bidang terutama dalam bidang ekonomi yang tengah terpuruk selama masa Orde Lama.
Jadi, Orde Baru berkesimpulan ekonomi Orde Baru menghancurkan Orde Lama adalah
tampak instabilitas politik dan bangsa untuk mendapatkan perekonomiaan yang
stabil.[9]
Pada awal tahun 1990-an korupsi rezim sudah begitu menggurita dan menjadi
rahasia umum di dalam dan di luar negeri. Semua anak Seoharto menumpuk
kekayaan: Putrinya adalah Siti Hardiyanti Rukmana, Siti Hediyati Hariadi, Siti
Endang Adiningsih. Putranya adalah Sigit Haryoyudanto, Bambang Trihatmojo, dan
Hutomo Mandala Putra.
Mereka menjalankan
perusahaan pengumpulan uang berskala besar. Perusahaan Tommy diperkirakan
mengumpulkan pendapatan lebih lebih dari USS 500 juta pada tahun 1992.
Anak-anak Seoharto menikmati transaksi isimewa dalam jalan tol, impor komoditi
strategis, eksplorasi sumber daya alam, dan dalam banyak bidang lai. Beberapa
cukong yang dulu mendapatkan kekayaan kotor hasil kerja sama dengan Seoharto,
kini dengan sukses mengubah bisnisnya menjadi bisnis yang legal. Diperkirakan
70% kegiatan ekonomi swasta berada ditangan orang Cina pada tahun 1990-an.
Banyak kelompok lain yang mengumpulkan kekayaan dengan cara yang jelas-jelas
tidak jujur. Setelah seperempat abad pemerintahan Seoharto, lembaga peradilan
dan polisi sudah begitu korup sehingga tidak ada pengendalian efektif terhadapa
keserakahan pengusaha dan pedagang yang memiliki hubungan denfgan istana.[10]
2.2.3. Bidang Keagamaan
Dalam periode Orde Baru, pemerintah
sangat menyadari pentingnya peranan agama terutama untuk memberikan kekuatan
mental bagi rakyat sehingga tidak terpengaruh oleh paham-paham yang menentang
agama. Dalam keadaan demikian kerjasama antara gereja dan pemerintahan
menunjukkan gambaran yang positif dan sehat. Juga dalam iklim pembangunan
tambah disadari betapan pentingnya peranan agama untuk mempersiapkan dan
memantapkan kematangan mental rohani seluruh bangsa, sehingga cita-cita
pembangunan dapat dilaksanakan secara wajar dan menyeluruh. Dalam hubungan ini
gereja di Indonesia semakin dewasa dalam sikap teologi dan politiknya.[11]
Dalam isu hubungan
gereja-negara, yang menonjol pada masa Orde Baru adalah soal SKB No.1/1969 tentang pelaksanaan
tugas aparatur pemerintahan dalam menjamin ketertiban dan kelancaran pelaksanaan-pelaksanaan dan ibadat agama oleh
pemeluk-pemeluknya, UU perkawinan 1973 keputusan mentri agama No.70 tahun 1978
tentang kode etik penyebaran agama, asas tunggal pancasila, UU system
pendidikan Nasional no 2/1989 dan peradilan agama. Sebenarnya penyusunan
berbagai UU ini merupakan upaya untuk meredam kekristenan, yang katanya amat
cepat. Para era ini boleh dikatakan gerega-gereja banyak mandapat tekanan
politik yang mengangkat isu konflik antar agama. Masa ini juga ditandai oleh kooptasi yang
ketat oleh Negara atas lembaga-lembaga keagamaan, antara lain pemberian ijin
khusus gereja. Pada era ini juga terjadi kerusakan, penutupan dan pembakaran
gereja semakin meningkat, menjadi rata-rata 1,19 gereja perbulan, dibandingkan
dengan pada masa Seokarno yang hanya 0,008 gereja perbulan.[12]
2.2.4. Bidang Sosial Budaya
Perencanaan REPLITA, pendidikan dan
transmigrasi banyak pemuda-pemudi
mengecap pendidikan lebih tinggi, maka pemuda-pemudi di kampong harus kekota.
Dan ketika di kota dihadapkan dengan agama maka pemuda dan pemudi itu harus
memilih satu agama. Transmigrasi juga berpengaruh demana seseorang bertempat
tinggal, maka untuk lebih dekat bersosial ia juga menganut agama setempat itu.
Maka kelompok-kelompok pemuda yang mempunyai suatu aspirasi politik (yaitu
sebagai angkatan 66 dengan Tritura yaitu pembubaran PKI, penurunan harga dan
perombakan cabinet), maka ada usaha agar mereka kembali ke tempat mereka
sehari-hari sebagai murid dan mahasiswa. Khususnya yang paling hangat
menghadapi persoalan tersebut dengan sadar adalah kalangan mahasiswa. Angkatan
66, begitulah mereka kemudian dikenal baik oleh masyarakat umum maupun yang
sudah terpatraikan dalam sejarah nasional, dan juga dalam bidang kebudayaan
khususnya seni sastra yang juga mengenal apa yang disebut angkatan 66.[13]
2.3. Keadaan Gereja dan pada masa Orde baru
2.3.1.
Perkembangan Gereja Pada Masa Orde Baru &
Pandangan Gereja terhadap Pembasmia “PKI”
·
Pada masa ini ditandai dengan banyaknya orang-orang
menjelaskan identitasnya sebagai yang beragama, Akibat masa pembantaian “PKI”.
Krisis
berikut yang melanda R.I setelah pecahnya Gerakan Separatisme, didaerah-
daerah ialah munculnya Gerakan yang
disebut G 30 S, “PKI”. Ketika pecah G 30
S “PKI” 1965 dengan gterbunuhnya petinggi-petinggi militer di Jakarta,
muncullah gerakan anti PKI yang memburu dan membunuh orang-orang yang dianggap
terlibat dan simpatisan PKI. Ada juga dari antara warga jemaat dan anggota
majelis jemaat yang karena di duga memiliki hubungan dengan PKI mendapat
perlalkuan yang tidak enak dari gerakan anti PKI, maka Gereja membina warga
jemaat yang memiliki hubungan dengan PKI berupaya pelayanan pastoral dan
majelis yang terlibat dinonaktifkan dari tugas Gerejawi, hal ini menjadi
keputusan pemerintah[14] Awal Orde Baru membawa angin segar bagi kekristenan di Indonesia.
Untuk membasmi partai komunis sampai ke akar-akarnya, pemerintah menerbitkan
TAP MPR no XXIX/MPRS/1996 tentang kewajiban memeluk agama yang resmi di
Indonesia. Pemerintah tidak hanya mendukung penyiaran agama melalui TAP MPR,
tetapi juga mendukung dari segi dana dan keamanan. TAP MPR ini bagi gereja
memang sangat mendukung upaya evangelisasi yang mengakibatkan pertambahan
jumlah orang Kristen secara signifikan. Di berbagai daerah banyak terjadi
baptisan massal, termasuk di GBKP. Awal Orde Baru juga boleh berbangga atas
besarnya peranan mereka dan banyaknya kursi yang diduduki birokrat Kristen. [15]Pada masa orde Baru ( 1966-1998) harus diakui bahwa disini
merupakan perkembangan KeKristenan di Indonesia pada masa ini mengalami
perkembangan, terutama hingga sekitar tahun 1990. Sekolah-sekolah Theologi, organisasi
Gereja, yang Jelas dalam jumlah kuantitas terlihat peningkatan. Berdasarkan
data dari Dirjen bimas, pada tahun 1965 organisasi Kristen sudah ada sebanyak
100 dan perguruan sekolah tinggi Theologi sebanyak 30. Dalam lingkungan pemerintahan presenatasi
pejabat Kristen ( termasuk Katolik ) jauh lebih tinggi dari jumlah umat
Kristen, diantaranya yang patut disebut
adalah Radius Prawiro, M, Panggabean, Frans Seda, Sumarlin, G.A. Siwasbessy,
Adrianus Mooy. Dalam bidang Ekonomi dan Bisnis pesat perkembangan ekonomi terutama para Tionghoa yang semakin banyak
jadi Kristen. Dalambidang politik adalah Yap Thiam Hiem ( 1915-1989) pejuang HAM, Sabam Siarit dan J.E Sthepany ( Guru besar Fakulats Hukum
airlangga dan sebagai angotta DPR 1999). Kita berharap masih banyak tokoh
Kristen seperti mereka yang berani menyakan Kebenaran dan memperjuangakan
keadilan.[16] Menjelang dan sesudah terjadinya Peristiwa G 30 S/
“PKI”[17]
maka gejolak kehidupan sosial masyarakat semakin tinggi, tahun 1965 adalah
tahun akhir dari orde lama ( soekarno) dengan retorik revolusinya. Harga yang
dibayar dari G 30 S/ “PKI” adalah mahal, ratusan ribu orang menjadi korban.
Orde baru muncul dimasa kepemimpinan TNI. PKI dibubarkan, dan terbitlah suasana
baru serta harapan baru di kalangan masyarakat. Dalam perumusan Sidang DGI 1967
di ujung pandang mengambil Thema “tengoklah aku menjadikan semua Baru ”.
pembaharuan menjadi tema sentral dalam tahun-tahun itu . tema-tema yang dibahas
bersama dalam siding di ujung pandang berupaya untuk memberikan dasar-dasar
Theologis yang diperlukan agar dalam
turut memimikirkan dan menciptkan
masyarakat yang baru tersebut benar-benar dilakukan suatu kokoh yang
tidak mudah goyah. Studi-studu Alkitabiah dan teologis yang direncanakan untuk
itu merupakan sumbangan yang besar baik bagi masa depan itu maupun bagi masa
depan sesudahnya . di dalam buku Penaalaan Alkitab disiapkan untuk siding raya
ditegaskan pembaharuan sebagai tindakan Allah. Dengan demikian selalu
terbentang jarak Kritis dengan segala bentuk pembaharuan yang dilakukan oleh
manusia Gereja ditempatkan dalam ketegangan ini.[18]
2.3.2. Gerakan
Oikumene Gereja pada masa Orde Baru
Dalam Gerakan oikumene ( keesan )
terdapat beberapa tokoh yang dikenal antar lain; Simon Marantika, Basuki
Prowowinto, W.J Rumambi, J.l.Ch. Abineno, Latuhaimallo, S.A.E Nababan Dan juga
sejumlah tokoh Gerekan oikumene berlatar belakang Tionghoa, Eka Darma Putra,
Josef Widyatmaja, Pow Boen Giok, Sing Liong, Tjan Tong Hoo. [19]
PAda masa ini
juga adalah masa Sidang DGI sebagai lembaga oikumene Gereja, DGI
didirikan pada tanggal 25 mei 1950. Tujuan DGI adalah untuk pembentukan gereja
Kristen yang esa di Indonesia. Sampai dengan tahun 1971 berlangsung fase
persiapan. Pada tahun 1976 ditulis suatu konsep untuk sonide oikumenis.
Sekaligus dikatakan bahwa keesaan seharusnya keesaan dalam kepelbagaian, secara
konkrit federasi. Dikatakan juga bahwa tingkat regional penting untuk
mewujudkan keesaan yang nyata. Pada sidang Raya X di Ambon pada tahun 1984,
menurut Tata Dasar Baru untuk meningkatkan hubungan antara gereja-gereja di
Indonesia maka terjadi perubahan nama
dari Dewan Gereja-gereja di Indonesia menjadi Persekutuan
Gereja-gereja di Indonesia. PGI sebagai gereja merasa terpanggil terpanggil
untuk turut mempersiapkan bangsa
Indonesia untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan khususnya mengerjakan apa
yang belum atau tidak dikerjakan pemerintah.[20]
Dalam hal ini pokok yang menjadi tugas dari pada gereja yakni mewujudkan
keesaan dari pada gereja, dalam membaharui, membangun, berpartisipasi dan
melayani dalam pembangunan nasional, kesaksian dan pemberitaan injil, adanya
hubungan kerja sama dengan pemerintah, hubungan dengan oikumene dengan
gereja-gereja dan lembaga-lembaga Kristen di dalam dan luar negeri. Dalam hal
ini cara memberitakan injil dalam masa bakti tahun 1989 ini, gereja yakni
persekutuan orang-orang percaya yang datang kedunia untuk memjalankan tugas
panggilan itu. Mandat untuk memberitakan injil dipercayakan kepada gereja.
Masing-masing warga gereja ikut memikul tanggung jawab mengenai pelaksanaan
mandat tugas panggilan tugas gereja. Oleh sebab itu tiap warga gereja di
perlengkapi untuk melaksanakan pemberitaan injil, sehingga gereja dapat
mengadakan lembaga-lembaga untuk menjalankan pemberitaan injil secara
terencana.[21]
2.3.3. Hubungan
Gereja dengan Pemerintahan/ Politik pada masa Orde Baru & Perjumpaan dengan
Islam
Politisasi
agama merupakan unsur yang mencolok di masa Orde Baru (OB). Politisasi agama
adalah pemanfaatan agama demi tujuan politik, tepatnya untuk memberi atau
menambah legitimasi kepada penguasa atau untuk melegetimasi usaha untuk merebut
kekuasaan. Agama sangat mudah dimanfaatkan karena mampu membakar motivasi,
dengan pertimbangan-pertimbangan religius untuk memperjuangkan agamanya. Hal
ini juga dipahami sebagai salah satu faktor yang menambah rasa pahit dan curiga
dalam hubungan agama-agama di Indonesia, khususnya Kristen dan Islam. Parohan
kedua masa Orde Baru, mulai 1982, kalangan Kristen banyak mengeluh dan
merintih, karena rezim Orde Baru lebih banyak merangkul Islam, terutama melalui
Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI[22]). Ada banyak peristiwa selama orde baru yang menggambarkan bagaimana kalangan
Kristen berupaya-entah berhasil atau gagal-mempertahankan kiprah dan jati
dirinya. Beberapa hal diantaranya: pertama;
pada tahun 1973 pemerintah melakukan difusi partai ke dalam 3 partai saja:
Parta Persatuan Pembangunan dengan lambang ka’bah, Golongan Karya dengan
lambang beringin, dan Parta Demokrasi Indonesia dengan lambang kepala banteng.
Bagi tokoh Kristen situasi ini tidak mudah, sebab siapakah penyalur aspirasi
politik Kristen dan bagaimana aspirasi itu diperjuangkan? Tetapi mau tidak mau
3 partai sudah menjadi keputusan pemerintah, dan dalam rangka fusi ini Parkindo
dan Partai Katolik sejak tanggal 10 Januari 1973 memilih untuk bergabung dengan
partai demokrasi Indonesia, karena partai ini menyatakan bahwa azasnya
Pancasila dan UUD 1945. Kedua, tahun
1982 pemerintah Orde Baru telah meluncurkan wacana tentang Pancasila sebagai
satu-satunya azas yang kemudian dikonkritkan dengan keluarnya Undang-undang No.
8 tahun 1985 yang menetapkan bahwa semua organisasi kemasyarakatan harus
menyatakan Pancasila sebagai satu-satunya azas dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Bagaimana kekristenan meresponi hal ini? Orang
Kristen tidak setuju ketika gereja pun dikategorikan organisasi kemasyarakatan.
Oleh karena itu pada sidang raya ke X di Ambon, 1984 mengambil satu jalan
tengah. Di dalam pasal 3 dari tata dasar PGI tetap menyatakan Yesus Kristus
sebagai dasar gereja, lalu dalam terang dasar seperti yang tercantum dalam psal
3 di atas, PGI sepenuhnya bertanggung jawab dalam usaha bangsa untuk
menghayati, mengamalkan, dan melestarikan Pancasila sebagai satu-satunya azas
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.[23] Hubungan
gereja dan negara pada masa Orde Baru bisa dikatakan pola partisipatif. Dimana
pola partisipatif yang dituntut oleh kekuasaan terhadap seluruh komponen bangsa
(juga agama-agama) ditanggapi dengan senang hati demi kedekatannya dengan kekuasaan.
Arus utama (maenstream) kekristenan
selanjutnya merumuskan sebuah pola partisipatif dengn slogan “kritis, positif,
kreatif dan realistis”. Kecenderungan organisasi Kristen berkolaborasi dengan
kekuasaan menjadi model di berbagai daerah. Banyak pejabat gerejawi di tingkat
lokal dengan senang hati menempatkan diri sebagai “imam” bagi kekuasaan negara.
Kekeristenan hanya sekedar alat legitimasi bagi kekuasaan. Menurut buku Sejarah
Perjumpaaan Kristen dengan Islam di Indonesia oleh Jan S Aritonang (hal 397),
penyusunan UU ini merupakan upaya untuk meredam pengkristenan, yang katanya
amat cepat. Tetapi tidak salah juga memandangnya sebagai kooptasi[24]
pemerintah kepada semua kelompok masyarakat, yang ketika itu sangat di perlukan
demi ketundukan kepada rezim
Soeharto.[25] Pada
era ini gereja-gereja boleh dikatakan banyak mendapat tekanan dari rekayasa
politik yang mengangkat isu konflik antar agama, sehingga banyak terjadi
konflik horizontal antar agama dan pengerusakan rumah-rumah ibadat. Oleh karena
itu,di berbagai daerah jika jemaat menjumpai kesulitan di dalam membangun
gedung gereja karena penolakan masyarakat sekitar, sehingga pengurus gerejanya
berupaya membangun hubungan yang baik dengan pemerintah setempat termasuk
penguasa militer. Maka sesudah beberapa waktu izin untuk membangun gereja
diberikan, sejak itu biasanya selalu setia kepada pemerintah setempat, dan pada
setiap pemilu jemaat selalu memilih partai dari kalangan pemerintah. Di
Sulawesi Selatan, jalan keluar praktis untuk bisa mendirikan gedung gereja
adalah mendirikannya di dalam kompleks pemukiman militer. Pada masa ini dengan
jelas kita melihat kekuatan negara ada dalam pemerintahan Soeharto dengan
militernya, yang menghambat berkembangnya demokrasi. Pada era ini pengerusakan,
penutupan dan pembakaran gereja semakin meningkat, menjadi rata-rata 1,19
gereja perbulan, dibandingkan dengan masa Soekarno yang hanya 0,008 gereja
perbulan.[26] Kesalehan
Agama Publik menjadi lebih umum. Banyak pemuka agama tidak lagi menganggap rezim Orde Baru sebagai ancaman, dan malah menganggapnya sebagai
pendukung bagi gagasan mereka tentang aktivitas Tuhan.[27]
Dalam periode Orde Baru, pemerintah sangat menyadari pentingnya peranan agama
terutama untuk memberikan kekuatan mental bagi rakyat sehingga tidak
terpengaruh bagi paham-paham yang menentang agama. Dalam keadaan demikian,
kerja sama antara gereja dan pemerintah menunjukkan gambaran yang positif dan
sehat. Juga dalam hal pembangunan tambah disadari betapa pentingnya peranan
agama untuk mempersiapkan dan memantapkan kematangan mental rohani seluruh
bangsa, sehingga cita-cita pembangunan dapat di laksanakan secara wajar dan
menyeluruh. Dalam hubungan ini gereja di Indonesia semakin dewasa dalam sikap
Teologi politisnya.[28]
Pertambahan
jumlah umat Kristen yang amat pesat terutama sejak 1965, dengan sendirinya
melahirkan kebutuhan akan rumah ibadah atau gedung gereja yang baru. Tetapi
disisi lain hal ini membuat umat Islam terganggu, bahkan terancam, terutama
tokoh-tokohnya yang sejak lama sudah merasa tidak senang melihat hal itu.
Apalagi bila pertambahan jumlah umat dan gedung gereja itu berlangsung di
daerah-daerah yang selama ini dikenal sebagai umat Islam. Tetapi sorotan
seperti itu tidak membatalkan rencana tersebut dimana pemerintah, dalam hal ini
menteri agama K.H.Moh dan menteri dalam negeri (Amir Machmud) menerbitkan
keputusan bersama no 1 tahun 1969 tertanggal 1969, tentang “pelaksanaan tugas
aparatur pemerintahan dalam menjamin ketertiban dan pelaksaan ibadat agama oleh pemeluk-pemeluknya, antara
lain:
·
Pasal 1
Kepala daerah memberikan kesempatan
kepada setiap usaha penyebaran agama dan pelaksaan ibadat oleh
pemeluk-pemeluknya, sepanjang kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum
yang berlaku dan tidak menggangu keamanan dan ketertiban umum.
·
Pasal 2
Kepala daerah membimbing dan mengawasi, agar pelaksaan
penyebaran agama dan ibadat oleh pemeluk-pemeluknya:
a.
Tidak menimbulkan perpecahan diantara umat Bergama
b.
Tidak disertai dengan intimidasi, bujukan, paksaan,
atau ancaman dalam segala bentuknya.
c.
Tidak melanggar hukum serta keamanan dan ketertiban
umum
·
Pasal 3
Kepala perwakilan Deperteman Agama setempat berusaha
agar penerangan agama yang diberikan kepada siapa pun tidak bersifat menyerang
atau menjelekan agama lain
·
Pasal 4
1.
Setiap pendirian rumah ibadat perlu mendapat izin dari
kepala daerah atau pejabat pemerintah dibawahnya yang dikuasakan untuk itu.
2.
Kepala daerah yang dimaksud dlam ayat (1) pasal ini
memberikan izin yang dimaksud setelah mempertimbangkan: (a) pendapat kepala
perkawilan depertemen agama setempat; (b) planologi: (c) kondisi dan keadaan
setempat
3.
Apabila dianggap perlu, kepala daerah atau pejabat
dapat meminta pendapat dari organisasi-oranisasi keagamaan dan ulama/
rohaniawan setempat.
·
Pasal 5
1.
Jika timbul perselisihan atau pertentangan antara pemeluk-pemeluk
agama yang disebabkan kegiatan penyebaran/ penerangan/ penyuluhan/ ceramah/
khotbah agam dan pendirian rumah ibadat, maka kepala daerah segera mengadakan
penyelesain yang adil atau tidak memihak
2.
Dalam hal perselisihan atau pertentangan tersebut
menimbulkan tindak pidana, maka penyelesaian harus diserahkan kepada alat-alat penegak
hukum yang berwenang dan diselesaikan berdasarkan hukum.[29]
Ketika
Indonesia memasuki era Orde Baru sejak 1966/67, hubungan gereja dengan
pemerintahan RI pada umumnya baik. Apalagi karena sejak awal gereja-gereja
menyatakan dukungan penuh terhadap kebijakan dan program rezim
Orde Baru, menumpas PKI dan Komunisme, mempertahankan pancasila, menjalankan
pembangunan melalui program PJP 25 tahun maupun tahapan-tahapan pelita dan
sebagainya. Pada awal pemerintahan Orde Baru hubungan gereja umat Kristen
dengan umat Islam sudah sering terganggu
(diawali dengan peristiwa di Makassar Oktober
1967),[30]ketegangan
antara umat Islam dan Kristen merebak seiring tudingan umat Islam bahwa umat
Kristen lebih diuntungkan oleh pemerintah dan adanya Kristianisasi yang
ditandai dengan bertambahnya jumlah umat Kristen secara signifikan. Hal ini
tidak terlepas dari peristiwa meletusnya G 30 S/PKI, yakni sebagai wujud
perlawanan agar semua warga Negara Indonesia percaya kepada Tuhan dan memiliki
satu agama yang dipercayai.[31]Penyebabnya
macam-macam, dakwaan pihak Islam bahwa pihak Kristen semakin gencar melakukan
Kristenisasi, kekecewaan pihak Islam setelah rezim Orde Lama tumbang, ternyata
bukan mereka yang berkuasa. Menghadapi situasi ini pemerintah mengambil
berbagai langkah, mulai dari musyawarah antar agama, November 1967, hingga
penerbitan serangkaian surat keputusan dan peraturan yang mengatur penyiaran
agama Kristen. Barbagai pembatasan itu menimbulkan reaksi penolakan dari
gereja, sehingga sempat juga timbul
berbagai ketegangan, tidak hanya diantara Kristen, dan Islam tetapi antara
Kristen/gereja dengan pemerintah.[32] Pada akhir tahun 1970-an soal penyebaran agama
dan bantuan luar negeri untuk kelompok umat beragama di Indonesia menjadi isu
pembicaraan yang santer, terutama sehubungan dengan dikeluarkannya Surat
Keputusan oleh Menteri Agama R. I. Perkembangan ini menimbulkan rasa kekuatiran
pada beberapa kelompok umat, khususnya Kristen. Menyusul kemudian
dicentuskannya keputusan Menteri Agama R. I. No. 70 tahun 1978 mengenai Pedoman
Penyiaran Agama dan No. 77 tahun 1978 mengenai bantuan luar negeri kepada
Lembaga Keagamaan di Indonesia (15 Agustus 1978).[33] Pada masa Orde Baru pemerintah memberikan kemudahan
bagi umat beragama, tetapi tetap di embel-embeli dengan kepentingan politik,
agar umat beragama menjadi pendukung setiap dalam kebijakan pemerintah.[34]
2.3.3.1. Konflik & Pengrusakan Gereja pada masa orde Baru pada masa perjumpaan dengan Islam.
Sejak pertengahan
tahun 1990an peristiwa konflik yang bermuara pada tindak kekerasan dan
pembunuhan, kemudian berkembang menjadi suatu pola baru dari konflik antar
suku, agama, ras, dan antar golongan di Indonesia. Pada dekade 1990 inilah
gereja menghadapi munculnya semangat primordialisme[35]
dan sektarialisme[36]
sempit yang melebihi semangat kesatuan dan kemanusiaan bangsa Indonesia. Gereja
tertantang untuk dapat mengatasi sejumlah konflik yang muncul akibat semangat
Primordialisme dan Sektarialisme sempit. Ada berbagai pengrusakan Gereja di
daerah-daerah Indonesia, oleh banyak pihak dikategorikan sebagai tindak
kekerasan dan kerusuhan yang berwacana perbedaan agama. Pada peristiwa tersebut
sejumlah rumah ibadat dirusak, dijarah, dan di bakar. Bahkan dalam peristiwa
itu sempat juga terjadi korban jiwa dari warga Indonesia yang beragama Kristen.
Yang mengherankan adalah peristiwa perusakan tempat-tempat ibadah oleh massa
yang mengamuk jarang sekali terjadi pada periode Orde Lama sampai awal Orde
Baru.[37]
1.
1967
Pada awal pemerintahan orde baru, ketegangan antara umat Islam dan
Kristen merebak seiring tudingan umat Islam bahwa umat Kristen lebih
diuntungkan oleh pemerintah dan adanya semangat Kristenisasi yang ditandai
dengan bertambahnya Jumlah umat Kristen secara signifikan. Pada Tahun 1967,
sebuah Gereja Metodis kecil di Meulaboh Aceh Barat umat Islam di aceh barat
demikian juga sejumlah tokoh Islam, anatara lain; M. Natsir, memprotes
pembangunan Gereja ditengah masyarakat Aceh yang mayoritas beragama Islam itu,
sehingga pembangunan itu dihentikan pemerintah Setempat untuk mengindarkan
timbulnya ekses-ekses Negatif. Demikian juga di Makkasar yang melakukan
pengrusakan sejumlah Gedung Gereja, sekolah, dan melukai beberapa pemuda
Kristen. Peristiwa ini dikenal dengan peristiwa makkasar, peristiwa ini
dikatakan akibat dari ucapan seoroang pemuda Kristen yang mengatakan bahwa Nabi
Muhammad mengawini Sembilan orang diantara istri-isrinya, sedangkan istir-istri
yang lain hidup dalam dosa. Dan juga dikatakan akibat hamper semua kegiatan
Kristen diadakan di Sulawesi ( Persiapan sidang Lengkap DGI di makkasar 29
oktober-8 November 1967 ). [38] Pada tahun ini dicatat peristiwa yang pahit, hubungan antar
umat beragama yang tidak begitu serasi adalah pengrusakan Gereja menjelang diselengarakannya
Sidang raya DGI ke VI di ujung pandang tahun 1967. Sesudah itu pertemuan antara
pemimpin-pemimpin agama Islam dan Kristen diprakarsai oleh pemerintah juga
tidak mengasilkan kesepakatan yang cukup berarti. Hal ini disebabkan adanya
perbedaan prinsipil mengenai hakikat panggilan dari agama masing-masing sebagai
agama missioner. Dengan demikian hubungan antara umat beragama tetap merupakan
persoalan yang rawan, dan ini menandai pula DGI sebagai wakil umat Kristen di
forum nasional dalam mengatasi maslah ini[39]
2. 1996
1. Surabaya
Dr Paul. Tahalele Ketua Forum Komunikasi Kristiani Surabaya (FKKS).
Melukiskan peristiwa ini; pada hari Minggu
9 Juni 1996 umat Kristiani Surabaya dikejutkan oleh peristiwa 10 Gereja
disertai dengan perampokan dan pelecehan seksual yang terjadi di daerah
sidopoto, wilayah Surabaya utara oleh sekitar 3000 orang yang tidak dikenal
asal-usulnya. Peristiwa tersebut terjadi pada saat umat Kristiani melakukan
peribahan, peristiwa ini disebut minggu Kelabu. Sebagian dari 10 Gereja
ditinggal oleh umat dan hamba Tuhan yang takut. Maka untuk megatatasi masalah
ini FKK, FKKS, Gerakan Kaum Awam Kristen dari kalangan muda, mereka menjadi
pemrakarsa untuk mempertemukan para pemuka kedua agama[40]
2. Situbondo
Pada tanggal 10 Oktober 1996,
terjadi kerusuhan anti-Kristen dan anti-orang keturunan Tionghoa di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Peristiwa itu mulai karena massa tidak puas dengan hukuman
penjara lima tahun untuk terdakwa Saleh, (yang beragama Islam) yaitu tuntutan
maksimal yang dapat dijatuhkan atas kasus penghinaan terhadap agama Islam. Oleh
karena ketidakpuasan itu serta kesalahpahamannya bahwa Saleh disembunyikan di
dalam gereja, massa mulai merusak dan membakar gereja-gereja di Kabupaten Situbondo. Pada akhirnya, 24 gereja di lima kecamatan dibakar atau
dirusak, serta beberapa sekolah Kristen dan Katolik,
satu panti asuhan Kristen,
dan toko-toko yang milik orang keturunan Tionghoa.
Dalam kerusuhan itu telah tewas terpanggang api 5 orang keluarga pendeta Ischak
Christian di dalam komplek Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) yang
terletak di Jl. Basuki Rachmat Situbondo.[41]
3.
Tasikmalaya ( 26 Desember 1966)
Kerusuhan dipicu akibat masalah sepele pada saat umat Kristen masih
dalam suasana perayaan Natal. Beberapa hari sebelumnya seorang siswa pesntren
anak polisi, mengadu pada ayahnya bahwa ia dipukul ustad, dan sejumlah lain
dalam rangka menegakkan disiplin. Karena ia dituduh mencuri uang temannya. Ayah
nya tidak menerima penglakuan itu, ayahnya menciduk sang Ustad dan siswa yang
didakwa sebagai pelaku pemukulan. Desas-desus bahwa sang Ustad meninggal,
setelah digebuki dikantor Polisi. Dalam waktu singkat masyarakat menyerang
kantor Polisi. Entah siapa yang memprovokasi siang harinya massa, yang sebagian
berpakaian seragam sekolah menyerbu sejumlh pabrik, hotel, Bank dan pertokoan,
baik di dalam kota maupun jauh di luar kota, serta sejumlah gedung Gereja dan sekolah
Kristen dan Vihara dan Klenteng. Gedung dibakar, dirusak, barang-barang
dijarah, dalam insiden 12.000 buruh kehilangan pekerjaan, 4 tewas, dan kerugian
85 milyar. Untuk mencegah pembakaran dibuat label “Milik muslim” agar tidak
dirusak, bahkan ada sebuah Gedung Gereja ditulisi “ini masjdi Muslim”[42]
4. Rengasdengklok
Kerusuhan ini dipicu oleh masalah sepele seorang pedagang eks cina
memarahi dengan kata-kata kasar pemuda yang membangunkan warga untuk saur.
Konflik sebenarnya sudah diredam tetapi ia (Kim Tjai) pedagang cina tadi merasa
kurang puas dan mengadu ke polisi sehingga suasana menjadi tegang. Sesepuh
warungdoyong sudah mendamaikan tetapi putra kim melempar pemuda itu dengan batu
maka mereka juga marah. Lagi-lagi sesepuh meredam masalah itu tetapi pukul 6
pagi massa menyerbu rumah kim, merusak kendaraan bermotor dan lima gedung
gereja. Kim dilarikan ke Rengas dengklok (proklamasi), kerusuhan dapat diredam
oleh aparat yang langsung terjun ke lapangan diadakan juga musyawarah dengan
warga muslim untuk meredam masalah itu.[43]
3. 1997
Kerusuhan di Banjarmasin 23 Mei 1997, kerusuhan ini akibat suasana
kampanye menjelang pemilu 1997. Yang dimana terjadi kerusuhan dimana-mana,
Golkar dianggap merugikan kontesntan lain, dikaitkan juga dengan keberadaan
gereja disana sehingga banyak gereja menjadi korban. Kerusuhan ini juga meluas
ke Jakarta, Tangerang, Pasuruan, Kudus, Pamekasan, dimana banyak gereja menjadi
korban. Tetapi di Banjarmasin adalah kerusuhan yang terbesar kerusuhan ini
akibat pada saat Golkar kampanye memakai kendaraan yang dikatakan membuat
keributan pada saat sholat jumat. Sehingga massa menganiaya pedukung golkar dan
perempuan mengalami pelecehan seksual, gedung golkar dibakar. Tetapi kerusuhan
ini bukan hanya golkar yang menjadi sasaran melain gedung gereja, sekolah
Kristen, vihawa Buddha, gedung perbelanjaan. Yang paling banyak dibakar adalah
gedung gereja milik katolik kemudian sekolah-sekolah pantai jompo, dan
gereja-gereja lain. Pada saat pembakaran banyak yang meneriakan “Allah
Huakbar”tetapi kerusuhan redam pada saat ABRI turun tangan ke lapangan.[44]
pembahasan konflik gereja dengan agama-agama lain di Indonesia tidak
dapat dipisahkan dengan antara kelompok Islam dan non-Islam saat penyusunan
dasar Negara Indonesia. Konflik terjadi pada perumusan Sila yang pertama dari
pancasila yang berbunyai Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya. Usaha dari kelompok non-Islam untuk menghapus anak
kalimat yang berbunyi “Dengan kewajiban syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’
sebenarnya membutuhkan perjuangan , penjelasan dan pendebatan. Pada masa akhir
pemerintahan Orde Baru bentuk konflik telah berkembang kearah tindak kekerasan,
perusakan, pejarahan, bahkam pembunuhan. Pada masa Orde Baru bentuk
penyelesaian konflik dilakukan secara tertutup dengan memberikan pengarahan
penyuluhan dan penyadaran lisan. Jargon kerukunan antar umat beragama telah
dipaksakan oleh pihak penguasa, yang memang mempunyai kekuasaan yang sangat
besar untuk menyelesaikan konflik. Yang terjadi adalah semakin maraknya
bentuk-bentuk konflik yang diluar batas-batas pemikiran yang rasional dan moral
keagamaan. Dengan demikian yang terjadi suatu bentuk penyelesaian konfromi semu
yang sebenarnya tidak menyelesaikan permasalahan itu sendiri. Sejak masa
pemerintahan Orde Baru sudah sekitar 300 gereja yang di rusak dan I bakar.
Namun tindakan yang dapat di ketegorikan kriminan ini tidak satu pun yang
diproses secara hukum: semuanya diselesaikan dengan cara tertutup dan kompromi semu.[45]
III.
Tambahan Dosen
Pemerintahan orde Baru dipimpin oleh
Soeharto, tindakan pertamanya adalah pembubaran PKI, Ia memimpin selama 32
Tahun. Setelah pembubaran PKI maka pemerintah mengeluarkan TAP MPR No. XXIX/
MPRS/ 1996 yang mengaharuskan seluruh rakyat Indonesia menganut agama resmi di
Indonesia, maka semua orang harus beragama, karena jika tidak maka dianggap PKI
yang akan dipenjarakan dan dibunuh. Maka banyak orang yang menjadi Kristen,
kebijakan pemerintah dengan melakukan “Program Replita” ( program Lima Tahun
pembangunan), dan juga menjadi pendorong bertambahnya orang Kristen, program
itu dibidang pendidikan yang membuat kaum muda melanjutkan pendidikan dengan
syarat, menganut agama yang resmi. Perkembangan semakian meningkat pada tahun
60-an dan awal 70-an dimana datangnya Kekristenan arus utama, yakni :
Kharismatik, Pentakosta, Saksi Jehova.
Karena perkembangan pesat ini, Islam risau dan meminta pemerintah mengeluarkan
SKB II menteri tentang izin membangun tempat ibadah ( IMB). Kemudian 1973
dilakukan difusi partai menjadi 3 yaitu; PPP, PDI, dan Golkar. Partai Kristen
lebih memilih PDI, dari awal 90-an muncul ICMI sehingga terjadi penghambatan
Kekristenan, Gereja dirusak bahkan dibakar. Pembangunan Gereja selalu
dipersulit terutama dari pihak Islam. Ada dua tokoh berpengaruh pada masa ini Yakni;
SAE Nababan yang menjabat sebagai ketua PGI yang selalu mengkritisi kebijakan
pemerintah dan T.B Simatupang yang juga menjabat sebagai ketua di PGI, dan
menetapkan dasar 4 sikap Gereja terhadap pembangunan nasional yaitu; Positif,
Kreatif, Kritis dan Realistis.
IV.
Daftar Pustaka
.....Memasuki Masa Depan Bersama: Lima Dokumen
Keesaan Gereja-gereja di
Indonesia, Jakarta: Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja di
Indonesia,1985
Aritonang,
Jan. S. , Belajar Memahami Sejarah di
Tengah Realitas, Bandung; Jurnal
Info Media, 2007
Aritonang, Jan.
S. , Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam
di Indonesia, Jakarta:
BPK-GM, 1981
Armada
Riyanto, E. , Dialog Interreligius
Historisitas, Tesis, Pergumulan, Wajah,
Yogyakarta: Kanisius, 2010
De Jonge, Cristian, Menuju Keesaan
Gereja, BPK: GM, 1996
Daulay Richard M, Agama dan Politik di Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 2015
Pabotinggi Mochtar, Menelaah Kembali Format Politik Orde Bari, Jakarta: BPK-GM, 2015
Ricklefs,
Merrie Cavin, Sejarah Indonesia Modern
1200-2008, Jakarta: PT Serambi
Ilmu Semesta, 2008
Riyanto,
E. Armada, Dialog Interreligius
Historisitas, Tesis, Pergumulan, Wajah,
Yogyakarta: Kanisius, 2010
Sairin,
Weineta, Visi Gereja Memasuki Milleniun
Baru Bunga Rampai Pemikiran,
Jakarta: Gunung Mulia, 2002
Simorangkir,
Mangisi S. E. , Ajaran Dua Kerajaan
Luther, Pematang Siantar:
Kolportase Pusat GKPI, 2008
Tarigan,Berthalyna, Negara dan Politik ditinjau dari Sejarah Gereja dalam Beras
Piher Jurnal Teologi
Edisi VI, 26
Tim
Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia: Teologia
Relligionum, Jakarta: Gunung Mulia, 2007
Ukur
& F.L. Cooley. F., Jerih dan Juang, Jakarta:
Lembaga Penelitian dan Study,
1979
[1] Antonius Sumarwan, Menyeberangi Sungai Air Mata: kisah tragis
tapol ’65 dan upaya rekonsiliasi, (30-31
[2] Supersemar ini berisi
perintah presiden soekarno kepada jendral soeharto untuk mengamankan situasi
menjamin keselamatan presiden dan keluarga, dan menjaga stabilitas Negara.
Surat ini dipakai oleh soeharto untuk membenarkan langkahnya membubarkan PKI. Tindakan
ini tentu bertentangan dengan kehendak presiden soekarno yang meaminta soeharto
untuk selalu melakukan koordinasi dengan dirinya sebelum melakukan suatu
tindakan. Selain itu, surat itu bukan surat pelimpahan kekuasaan, namun surat
tugas biasa yang harus dikembalikan mandatnya pada presiden soekarno setelah
dilaksanakan. Rezim orde baru memakai surat ini sebagai dasar pembenaran untuk
mengakhiri kekuasaan soekarno. Sayangnya pembuktian sejarah ini sedikit
terganggu karena asli surat ini hilang dan hingga kini belum ditemukan.menarik
utnuk dicatat bahwa terdapat 2 naskah supersemar dalam buku 30 tahun Indonesia
merdeka, sehingga menambah kontraversi yang ada.
[3] Emanuel, Gerrit
Singgih, Dua Konteks: Tafsir-tafsir
Perjanjian Lama sebagai Respons atas Perjalanan Reformasi di Indonesia, (Jakarta:
Gunung Mulia, 2009), 62
[4] Jan. S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di
Indonesia, (Jakarta: BPK-GM, 1981), 364-367
[6] Moh.hfud, Demokrasi dan
Konstitusi di Indonesia, (Jakarta: Reneka Cipta, 2000), 74-75
[7] Moh.hfud, Demokrasi dan
Konstitusi di Indonesia, (Jakarta: Reneka Cipta, 2000), 63-64
[8] Richard M. Daulay, Agama dan
Politik di Indonesia, (Jakarta: BPK-GM, 2015), 118-119
[9] Mochtar Pabotinggi, Menelaah
Kembali Format Politik Orde Bari, (Jakarta: BPK-GM, 2015), 118-119
[10] M. C. Ricklefs, Sejarah
Indonesia Mederen, (Jakarta; Serambi, 1998), 633-634
[12] Mangisi S.E Simorangkir, Ajaran
Dua Kerajaan Luther, (Pematang Siantar: Koportase Pusat GKPI, 2008),
224-225
[14] Juandaha Raya P. Dasuha, dan Martin Lukito
sinaga, sejarah seratus tahun P.I di
simalungun, ( Simalungun : Kolpotase GKPS, 2003), 281
[15] Berthalyna
Tarigan, Negara dan Politik ditinjau dari
Sejarah Gereja dalam Beras Piher Jurnal Teologi Edisi VI, 26
[16] Jans
Aritonang, Belajar Memahami Sejarah
Ditengah Realitas, ( Bandung : Jurnal Infomedia, 2007), 77-80
[18] Team
Lembaga Studi DGI Dan Departemen Keesaan DGI,
Karunia tambah Karunia 30 Tahun
DGI, (Semarang: Percetakan universitas Kristen Satya Wacana, 1980), 30-31
[19] Jans
Aritonang, Belajar Memahami Sejarah
Ditengah Realitas, ( Bandung : Jurnal Infomedia, 2007), 77-80
[20] Cristian de
jonge, Menuju Keesaan Gereja, (BPK:GM,
1996), 86-88
[21] .....Memasuki
Masa Depan Bersama: Lima Dokumen Keesaan Gereja-gereja di Indonesia,
(Jakarta: Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, 1985),
12, 21-22
[22] Menurut sejumlah
pengamat, pembentukan ICMI merupakan tonggak terpenting dalam hubungan antara
pemerintah Orde Baru dan umat Islam yang semakin Akomodatif sejak paroan kedua
1980 an, karena di dalam ICMI bertemu tokoh-tkoh Islam yang berada di luar
birokrasi dengan yang ada di dalamnya. Bahkan melalui ICMI menjadi sangat
banyak tokoh Islam yang tadinya bersikap kritis, untuk tidak mengatkan proporsi
terhadap penguasa sehingga mereka mendapat kesempatan untuk duduk di dalam
lembaga-lembaga negara dan pemerintahan. Berdirinya ICMI juga karena rezim
Soeharto semakin menyadari bahwa sejak akhir 1980 an ia tidak lagi mendapat
dukungan penuh dari tentara ataupun cendikiawan dari kalangan yang lazim
disebut nasionalis sekuler (yang dengannya kalangan Kristen biasanya
berkoalisi), sementara di sisi lain potensi umat Islam yang semakin berekmbang
di berbagai bidang kehidupan termasuk Politik.
[23] Berthalyna Tarigan, Negara dan Politik ditinjau dari Sejarah
Gereja dalam Beras Piher Jurnal Teologi Edisi VI, 26
[24] Kooptasi
adalah pemilihan anggota baru dari suatu badan musyawarah oleh anggota yang
telah ada.
[25] Mangisi S. E.
Simorangkir, Ajaran Dua Kerajaan Luther,(Pematang
Siantar:Kolportase Pusat GKPI,2008),224
[26] Mangisi S. E.
Simorangkir, Ajaran Dua Kerajaan Luther,(Pematang
Siantar:Kolportase Pusat GKPI,2008),225
[27] Merrie Cavin
Ricklefs, Sejarah Indonesia Modren
1200-2008, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2008), 625
[28] F.Ukur & F.L.
Cooley, Jerih dan Juang, (Jakarta:
Lembaga Penelitian dan Study, 1979), 370
[29] Jan. S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia,
(Jakarta: BPK-GM, 1981), 397-399
[30] Jan. S. Aritonang, Belajar Memahami Sejarah di Tengah Realitas,
(Bandung:
Jurnal Info Media, 2007), 99-100
[31] Jan. S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di
Indonesia, (Jakarta: BPK-GM, 1981), 382
[32]Jan. S. Aritonang, Belajar Memahami Sejarah di Tengah Realitas,
(Bandung: Jurnal Info Media, 2007), 99-100
[33] E. Armada
Riyanto, Dialog Interreligius
Historisitas, Tesis, Pergumulan, Wajah, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), 402
[34] TimBalitbang
PGI, Meretas
Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia: Teologia Religionum, (Jakarta:Gunung
Mulia 2007),124
[35]Primordialisme adalah perasaan kesukuan yang berlebihan.
[36] Sektarialisme adalah
semangat membela suatu sekte atau Mazbah, kepercayaan atau pandangan agama yang
berbeda dari pandangan agama yang lebig lazim diterima oleh penganut agama
tersebut.
[37] Weineta Sairin, Visi
Gereja Memasuki Milleniun Baru:
Bunga Rampai Pemikiran, (Jakarta:
Gunung Mulia, 2002), 84-85
[38] Jans aritonang, sejarah perjumpaan Islam dan Kristen di Indonesia, ( Jakarta : BPK
GM, 2016), 32-383
[39] Team
Lembaga Studi DGI Dan Departemen Keesaan DGI,
Karunia tambah Karunia 30 Tahun
DGI, (Semarang: Percetakan universitas Kristen Satya Wacana, 1980), 32
[45] Weineta Sairin, Visi
Gereja Memasuki Milleniun Baru Bunga Rampai Pemikiran, (Jakarta: Gunung
Mulia, 2002), 88