Metode Client Centerd dari Karl Roger lengkap


Client Centerd
Karl Roger

I.                   Pendahuluan
Berbicara pendekatan client centered, maka kita akan mengenal Carl R. Rogers yang mengembangkan client centered untuk diaplikasikan pada kelompok, keluarga, masyarakat, dan terlebih kepada individu. Pendekatan ini dikembangkan atas anggapannya mengenai keterbatasan dari psikoanalisis. Berbeda halnya dengan psikoanalisis yang mengatakan bahwa manusia cenderung diterministik, Rogers menyatakan bahwa manusia adalah pribadi-pribadi yang memiliki potensi untuk memecahkan permasalahannya sendiri.
II.                Pembahasan
2.1.Biografi Carl R. Rogers[1]
Carl Rogers dilahirkan di Oak Park, Illinois, sebuah pinggiran Chicago. Kedua orang tuanya mengadopsi pandangan-pandangan fundamentalis yang kuat yang menjaga Rogers sangat kuat dari kecil hingga dewasanya. Rogers adalah anak yang soliter yang banyak menghabiskan waktu untuk membaca. Dia yakin bahwa abangnya adalah anak kesayangan orang tuanya; akibatnya, Rogers merasa seperti selalu bersaing dengan abangnya. Dia tumbuh dengan “kenangan pahit menjadi sasaran lelucon abangnya, meskipun ia sangat merindukan canda dari ibunya”.
Kesendirian menuntun Rogers untuk mengandalkan pengalaman-pengalamannya sendiri, dan dia membuat buku sebagai pelariannya. Dia membaca apa pun yan dia temukan bahkan kamus dan ensiklopedia. Kesendirian memaksanya untuk mengandalkan sumber daya dan pandangannya sendiri terhadap dunia, sebuah karakteristik yang akan menjadi pondasi dari pendekatannya dalam memahami kepribadian manusia.
“ Saat aku melihat kebelakang, aku menyadari bahwa minatku terhadap wawancara adn terapi ternyata tumbuh dari kesendirian yang aku alami pada masa kecil. Ini adalah sebuha cara yang diterima secara sosial untuk bisa benar-benar dekat dengan individu dan karena itu dapat memenuhi rasa lapar yang jelas aku rasakan” (Rogers).
Ketika Rogers berumur 12 tahun, keluarga mereka pindah ke sebuah pertanian di mana dia membangun minat besar kepada alam. Dia membaca tentang eskperimen-eksperimen pertanian dan pendekatan ilmiah untuk menyelesaikan masalah. Meskipun kegiatan membaca ini membantu memfokuskan kehidupan intelektualnya, tetapi kehidupan emosionalnya terganggu. Pada usia 22 tahun ketika sedang menghadiri sebuah konfrensi mahasiswa Kristen di China, akhirnya dia membebaskan dirinya dari aturan fundamentalis orang tuannya dan mengadopsi filsafat liberal. Dia menjadi yakin bahwa orang harus memilih untuk mengarahkan hidup mereka dengan interprestasi mereka sendiri terhadap peristiwa-peristiwa ketimbang mengandalkan pandangan-pandangan orang lain. Dia juga yakin bahwa kita harus berusaha secara aktif untuk mengembangkan diri sendiri.
Pada tahun 1931 Rogers menerima gelar Ph.D nya dalam bidang klinis dan psikologi dari Teachers College Columbia Unversity. Dia menghabiskan waktu sembilan tahun di Society for the Prevention of Cruelty to Children, bekerja bersama remaja nakal dan kurang mampu. Pada tahun 1940m dia memulai karir akademisnya, mengajar di Universitas Negeri Ohio, Universitas Chicago, dan Unversitas Wisconsin. Selama bertahun-tahun dia mengembangkan metode psikoterapinya.
2.2. Pendekatan Client Centered
Client Centered dikembangkan oleh Carl Rogers pada tahun 1940 dan 1950an. Ini adalah pendekatan non-directive untuk terapi. Kata directive di sini berarti setiap perilaku terapis yang dengan sengaja mengarahkan klien dengan berbagai cara, mislanya dengan cara mengajukan pertanyaan, menawarkan pertolongan, dan membuat interpretasi dan diagnosis. Pendekatan ini mungkin terdengar sederhana, karena tidak ada sturktur yang baku saat bertanya kepada klien. Dalam setiap proses, bisa saja terjdi hal-hal yang baru, dan klien tersebut mengungkapkan masalah mereka sendiri, dan pemecahannya juga terdapat dalam diri klien tersebut. Dalam beberapa tahun penelitian, pendekatan Client Centered sangatlah efektif menciptakan hubungan antara terapis dan klien[2]. Pendekatan client-centered juga memandang kepribadian manusia secara positif. Rogers bahkan menekankan bahwa manusia dapat dipercaya pada dasarnya kooperatif dan konstruktif. Setiap individu memiliki kemampuan menuju keadaaan psikologis yang sehat secara sadar dan terarah dari dalam dirinya. Karena lebih menonjolkan asepk self pada teorinya, pendekatan client centered juga dianggap sebaggai self-theory. Untuk menjadi individu yang memiliki self yang sehat, klien memerlukan penghargaan yang positif, kehangatan cinta, kepedulian, dan penerimaan. Self merupakan konsep mengenai dia dan hubungan diri dengan orang lain.[3] Client Centered memusatkan pada tanggung jawab klien terhadap perkembangan dirinya sendiri dan pada “person-centered” perhatian tertuju pada segi pemanusiaan dari klien dalam proses konseling. Rogers bertumpu pada pandangannya terhadap hakikat manusia, yaitu jika dalam konseling bisa  tercipta suasana hangat dan penuh penerimaan, orang akan menaruh kepercayaan terhadap konselor dalam ikut memikirkan tentang kehidupan maupun persoalan yang dihadapi. Selama memikirkan bersama dan konselor tidak memberikan penilaian, orang akan merasas bebas untuk memeriksa perasaannya, pikirannya dan perilakunya, karena hal ini berhubungan dengan pertumbuhan, perkembangan dan penyesuaian diri.[4]
2.3.Ciri-ciri pendekatan Client Centered[5]
1.      Ditujukan kepada klien yang mampu memecahkan masalahnya agar tercapai kepribadian klien yang terpadu.
2.      Sasaran konseling adalah aspek emosi dan perasaan, bukan aspek intelektualnya.
3.      Titik tilah konseling adalah masa sekarang (here dan now) bukana masa lalu.
4.      Klien berperan aktif dalam proses konseling, sedangkan konselor hanya bertindak pasif-reflektif (konselor bukan hanya diam tetapi membantu klien aktif memecahkan masalahnya.
2.4. Tujuan Pendekatan Client Centered[6]
Tujuannya adalah menciptakan suasana konseling yang kondusif untuk membantu klien menjadi pribadi yang dapat berfungsi secara utuh dan positif. Titik berat dari tujuan Cilent Centered adalah menjadikan tingkah laku klien kongruen atau autentik (klien tidak lagi berpura-pura dalam kehidupannya). Klien yang tingkah lakunya bermasalah cenderung mengembangkan kepura-puraan yang digunakan sebagai pertahanan terhadap hal-hal yang dirasakannya mengancam. Melalui terapi Clent Centered diharapkan klien yang mengembangkan kepura-puraan tersebut dapat mencapai tujuan terapi antara lain:
1.      Keterbukaan pengalaman
2.      Kepercayaan terhadap diri sendiri
3.      Menghilangkan sikap dan perilaku yang kaku
4.      Bersikap lebih matang dan teraktualisasi
Hal yang terpenting yang ingin dicapai dari client centered adalah menjadikan klien sebagai pribadi yang berfungsi sepenuhnya.
2.5. Sikap Konselor terhadap klien
Konselor harus bersikap hangat terhadap klien dan mempunyai kesensitifan yang akurat. Kondisi yang demikian penting, untuk terjadinya perubahan tingkah laku. Selama peristiwa perubahan, kliean harus tambah lama makin bebas menyatakan perasaanya. Rogers menggambarkan apa yang diperlukan oleh seorang ahli terapi, gunna mengembangkan helping relationship (relasi yang membantu) dengan kliennya. Mula-mula terapis (konselor) harus membiarkan klien mengetahui dirinya berguna. Selanjutnya konselor dianjurkan untuk bersikap terbuka, hagat dan sungguh-sungguh terhadap klien. Rogers juga berpendapat bahwa penerimaan (konselor) terhadap klien sebagai hal yang sangat penting. Konselor harus berkeinginan untuk menemani orang kemana saja perasaannya membawa. Konselor harus memperbolehkan klien merasa dia diterima seperti apa adanya, tanpa penilaian.[7]
III.             Kesimpulan
Client Centered merupakan teori psikoterapi yang dikembangkan oleh seorang tokoh yang bernama Carl Rogers yang di mana Rogers meyakini bahwa klien mampu memecahkan masalah mereka sendiri. Dalam hal ini juga konselor juga berperan aktif dalam membimbing klien dalam menemukan pemecahan masalah mereka dalam arti adalah konselor hanya memberikan masukan ataupun petanyaan-pertanyaan, sehingga dengan peran dari konselor tersebut klien mampu menemukan jalan keluar permasalahan mereka.
IV.             Daftar Pustaka
Arif, Antonius. Ego State Therapy, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011.
D. Gursana, Singgih, Konseling dan Psikoterapi, Jakarta:BPK-GM, 2007.
Jumi Adi, Kukuh, Esensial Konseling, Yogyakarta: Garudhawaca, 2013.
Lumongga Lubis, Namora, Memahami Dasar-Dasar Konseling, Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2011.
P. Schultz, Duane & Ellen Schultz, Sydney, Sejearah Psikologi Modern, Bandung: Nusa Media, 2014.



[1] Duane P. Schultz & Sydney Ellen Schultz, Sejearah Psikologi Modern, (Bandung: Nusa Media, 2014), 567-568.
[2] Antonius Arif, Ego State Therapy, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011),  33-34.
[3] Dr. Namora Lumongga Lubis, Memahami Dasar-Dasar Konseling, (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2011), 155.
[4] Prof. Dr. Singgih D. Gursana, Konseling dan Psikoterapi, (Jakarta:BPK-GM, 2007), 123.
[5]Dr. Namora Lumongga Lubis, Memahami Dasar-Dasar Konseling, 155.
[6]Ibid,155.
[7]Kukuh Jumi Adi, Esensial Konseling, (Yogyakarta: Garudhawaca, 2013), 63.