SGI: Sejarah Kekristenan di Jawa dari masa ke masa


Sejarah Gereja di Jawa


I.                   Asbstraksi
Dalam catatan sejarah dijelaskan bahwa bangsa barat datang ke Indonesia adalah untuk mencari rempah-rempah dikarenakan Indonesia merupakan wilayah yang kaya akan rempahnya, namun seiring kedatangannya ternyata bukan hanya ingin mencari rempah-rempah saja tetapi juga menyebarkan injil karena melihat bangsa indonesia masih memeluk agama-agama suku yang tidak mengenal Tuhan. Bangsa Portugis adalah bangsa yang pertama kali datang ke Indonesia meski tidak begitu terkenal karena lebih menjamur kedatangan Belanda yang cukup lama berada di Indonesia. Dalam pembahasan kali ini mengenai sejarah gereja kami akan menjelaskan bagaimana masuknya kekristenan di Jawa. Kekristenan di Jawa pertama kali dibawa masuk oleh bangsa Portugis yang pada saat itu datang ke Jawa dengan alasan bahwa di daerah Jawa orang-orangnya lebih ramah dan lembut mungkin dengan hal ini akan lebih muda untuk menyebarkan kekristenan di pulau Jawa, namun hal ini tidak begitu mendukung karena hanya beberapa daerah saja yang bisa menerima kedatangan Portugis. Kemudian datanglah Belanda, hal yang menarik bagi Belanda sehinga ingin menduduki wilayah Jawa dikarenakan ketertarikan dengan bahasa dan budayanya yang dirasa unik. Belanda pertama kali menyebarkan kekristenan di Batavia/Jakarta karena disitulah tempat pertama kali Belanda mendarat lalu menjamurlah sampai ke bagian Jawa Barat, Tengah, Timur, dan bahkan ke Yogyakarta. Namun kali ini kami para penyaji hanya akan menjelaskan bagian di Jawa Barat, Tengah, dan Timur, karena sudah ada pembedaan Provinsi untuk kedua daerah ini, meskipun hakikatnya daerah ini tetap berada pada 1 pulau yang sama yaitu pulau Jawa.  Untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana kekristenan di Jawa maka kita akan sama-sama melihat dan membahas sajian kali ini, Tuhan Yesus memberkati.
II.                Isi
2.1.Seputaran Pulau Jawa
Pulau Jawa adalah sebuah pulau di Indonesia dan merupakan pulau terluas ke-13 di dunia. Dengan jumlah penduduk sekitar hampir 160 juta jiwa, pulau ini merupakan pulau dengan penduduk terbanyak di dunia dan juga salah satu tempat terpadat di dunia dengan dihuni oleh 60% penduduk Indonesia.[1]
Pulau Jawa terletak di wilayah yang dikelilingi perairan yang bervariasi. Mulai dari Laut Jawa yang berada di sebelah utara, Samudera Hindia di sebelah selatan, Selat Sunda di bagian Barat dan Selat Bali di bagian Timur.
Sebagai pulau terluas di dunia, Pulau Jawa memiliki luas 138.793 km2. Karena letaknya yang dikelilingi oleh perairan besar dimana terdapat palung-palung laut di dalamnya, Pulau Jawa menjadi salah satu pulau yang rawan terjadi bencana di Indonesia.
Pulau Jawa yang berada pada posisi 8 derajat lintang selatan dan memiliki rentan panjang sekitar 1.000 km, serta rentan lebar antara 100-200 km, secara geologis dapat dibagi dalam tiga zona yaitu: Jawa lajur selatan, Jawa lajur tengah, dan Jawa lajur utara. Pulau Jawa secara umum berhawa panas namun lembab. Suhu rata-rata di antara 26-27oC.[2]
2.2. Kekristenan di Jawa pada masa Portugis dan Spanyol
Pekerjaan Misi pada abad ke-16 sampai abad ke-18 tidak hanya terbatas pada Indonesia Timur saja. Ada juga usaha menyebarkan Injil ke kawasan Indonesia Barat. Pada abad ke-16 pulau Jawa sudah diIslamkan tetapi di ujung Timur beberapa negara Hindu, sisa-sisa kerajaan Majapahit masih mempertahankan keHinduan mereka. Hubungan politis membawa serta hubungan agama.[3] Pada tahun 1584/85 datang sejumlah misionaris datang ke Blambangan dan berhasil membabtis sejumlah orang, termasuk dari kalangan keluarga kerajaan. Tetapi pada tahun 1590-an raja Blambangan semakin tidak suka dengan Portugis dan agama Kristen karena kedekatan para misionaris dengan ibunda raja yang sekaligus menjadi saingannya dalam menduduki tahta kerajaan. Tak lama kemudian pada tahun 1599 kerajaan Blambangan diserang dan berhasil diIslamkan oleh adipati kerajaan Pasuruan yang sudah menganut agama Islam.[4] Dengan demikian, tidak ada tempat di Indonesia bagian Barat, di mana GKR berhasil menetap di tengah-tengah orang Indonesia yang ada hanya beberapa jemaat yang terdiri dari pendatang-pendatang saja. Sebabnya kegagalan ini: daerah-daerah pesisir di Indonesia Barat semua sudah memeluk agama Islam dan orang-orang Portugis memusatkan perhatian mereka kepada Indonesia Timur yang dari sudut ekonomis lebih penting bagi mereka.[5]
Kekristenan di Jawa Timur sudah masuk sejak tahun 1528 dimana perjanjian antara Portugis dengan kerajaan Blambangan, di kota pelabuhan Panarukan yang masih termasuk dalam kerajaan ini berdiam sejumlah orang Portugis. Penduduk kerajaan sisa Majapahit ini umumnya masih Hindu dan tidak bersedia masuk Islam yang tersebar dari kerajaan tetangganya (Pasuruan, Surabaya, dan lain-lain). Diantara mereka tertarik menjadi Kristen, tetapi tidak ada rohaniawan yang mengajarkan agama baru itu kepada mereka. Baru setelah tahun 1584-1585 datang sejumlah misionaris ke Blambangan. Mereka sempat membaptis sejumlah orang, termasuk dari kalangan keluarga raja. Tetapi sejak pertengahan 1590-an raja Blambangan semakin tidak menyukai kehadiran Portugis dan agama Kristen, karena kedekatan para misionaris dengan ibunda raja yang sekaligus menjadi saingannya dalam menduduki tahta kerajaan. Tidak lama kemudian, pada tahun 1599, kerajaan itu diserang, diruntuhkan, dan diIslamkan oleh Adipati kerajaan Pasuruan yang sudah menganut agama Islam. Dalam kejadian ini umat Kristen-Portugis maupun pribumi mengalami penderitaan besar, tempat kediaman orang Kristen di dekat Panarukan dihancurkan dan kosong, tidak berpenghuni. Dengan demikian, berakhirlah karya misi di sana.[6]
Pada masa ini, keadaan umum di Jawa Timur tidak menunjukkan perbedaan besar dengan yang berlaku di Jawa Tengah. Di Jawa Timur pun, tradisi kejawen bertahan di samping pengaruh Islam yang kuat, di sini pun gerakan nasional lebih kuat daripada dimana pun di luar Jawa (kecuali di Tapanuli Utara). Berbeda dengan Jawa Tengah, di Jawa Timur pada tahun 1870-an proses penampungan ke Kristenan Jawa oleh lembaga-lembaga zending Eropa sudah selesai.[7]
Di Jawa Timur, kegiatan PI dimulai oleh seorang Jerman yang telah merantau ke Indonesia. Bapa Emde (1774-1859) adalah seorang pietis dari Jerman yang berlayar ke Indonesia untuk melihat dengan mata kepala sendiri, apakah benar bahwa perkataan dalam Kej. 8:22 tentang musim dingin dan musim panas tidaklah sesuai dengan keadaan di daerah khatulistiwa. Ia menetap di Surabaya, dimana ia bekerja sebagai tukang arloji. Di situ ia dikunjungi oleh Joseph Kam, ketika ia ini sedang dalam perjalanan ke Maluku dan kunjungan Kam itu membangkitkan semangat missioner pada Emde. Ia mendirikan suatu perkumpuan p.I (1815) dan mengadakan pertemuan-pertemuan keagamaan di rumahnya. Alat-alat untuk p.I diperolehnya dari Bruckner, seorang pekabar Injil yang telah diutus ke Jawa bersama Kam, menjadi pendeta di Semarang, tetapi kemudian beralih ke lembaga p.I Baptis Inggris, yang pada tahun 1792 didirikan oleh William Carey. Bruckner telah mengarang selebaran-selebaran dalam bahasa Jawa, dan Emde mendesak dia agar menterjemahkan PB ke dalam bahasa Jawa. Terjemahan itu selesai dicetak pada tahun 1831, tetapi langsung disita oleh pemerintah. Namun Emde sebelumnya sudah menerima beberapa bagian terjemahan tersebut dalam bentuk salinan tangan, dan itu disebarkannya, bersama istri dan anak-anak perempuannya, bersama dengan selebaran-selebaran, dengan menyodorkannya kepada orang-orang yang kebetulan lewat atau dengan menempelkannya di tempat-tempat ramai. Mula-mula pekerjaan Emde itu tidak banyak membawa hasil. Pendeta GPI di Surabaya memandang dia sebagai saingan dan mengadukannya kepada pemerintah. Akibatnya, Emde harus meringkuk dalam penjara selama beberapa minggu. Hal ini terjadi pada tahun 1820; di kemudian hari sikap GPI menjadi lebih positif. Tetapi dikalangan orang-orang Jawa juga pekerjaan Emde pada mulanya tidak mendapat sambutan yang hangat. [8]
2.3. Kekristenan di Jawa pada masa Belanda-VOC
Satu abad setelah orang-orang Portugis, orang-orang Belanda datang ke Indonesia tepatnya di Ambon juga orang-orang Belanda adalah orang Kristen dengan aliran Calvinis.[9] Di Ambon terdapat Gereja Protestan pertama, yang selama dua abad lebih tetap akan merupakan yang terbesar di Indonesia. Tapi VOC membutuhkan suatu pangkalan yang letaknya dipusat wilayah pengaruhnya oleh karena itu orang-orang Belanda merebut Jakarta dan mengganti nama Jakarta menjadi Batavia dan menjadikan Batavia sebagai pusat  kekuasaan mereka di Indonesia bahkan di Asia (1619). Di situ berkedudukan Gubernur-Jendral dengan seluruh aparatur pemerintah VOC di situ juga terdapat sejumlah besar orang Kristen. Mula-mula orang Kristen diberi pemeliharaan rohani seperti yang lazim seperti menghibur orang yang sakit, membacakan doa-doa dan khotbah sebagimana telah ditetapkan. Lalu datanglah seorang pendeta tetapi belum terdapat jemaat dalam arti yang sebenarnya karena belum ada perayan Perjamuan Kudus. Lalu mereka mengajukan permohonan supaya pemerintah mengatur keadaan gereja. Mereka meminta agar kebaktian dalam bahasa Melayu, Perjamuan Kudus dan pembentukan majelis gereja. Pada Januari 1621 jemaat Kristen di Batavia merayakan Perjamuan Kudus pertama kali dan dihadiri 41 orang. Gereja itu semakin berkembang pesat sama seperti kotanya. Jumlah anggotanya bertambah terus. Sekitar tahun 1700 boleh ditaksir ada 15.000 Kristen dan terdapat puluhan sekolah yang perkiraan muridnya 5.000 murid. Mula-mula Batavia merupakan satu-satunya jemaat di Indonesia bagian Barat. Dengan meluasnya perdagangan dan kekuasaan VOC di wilayah itu maka dibentuk juga jemaat-jemaat di tempat lain seperti: Malaka (1641), Makasar tepatnya di Ujung Pada (1670), Padang (1683), Semarang, Surabaya dan lain-lain. Beberapa diantaranya memiliki pendeta dan majelis sendiri seperti Malaka, Makasar dan Semarang yang lain dilayani seorang penghibur orang-orang sakit dan sesekali dikunjungi dari Batavia.[10] Pada tahun 1657-1714 seorang tokoh bernama Cornelis Chastelein yang juga merupakan mantan pejabat tinggi (ketua kamar dagang) VOC pada tahun 1682-1691. Ia meninggalkan pekerjaannya dan membeli banyak lahan pertanian di Depok. Ia mendatangkan duaratusan pekerja (budak) dari berbagai penjuru Nusantara dan ia mendidik para pekerjanya dalam Iman Kristen, sampai sebagian besar pekerjanya memberi diri untuk masuk kristen dan dibabtis. Selanjutnya Chastelein membebaskan status para pekerjanya (budak) dan mewariskan kepada mereka lahan pertanian tersebut. Mereka dikelompokkan kedalam 12 marga dan diberi nama keluarga baru: Jonathans, Leander, Loen, Sudira, dsb. Mereka kemudian menyebut diri mereka sebagi orang Depok Asli.[11]
2.4. Kekristenan di Jawa pada masa Hindia Belanda
Agama Kristen mulai tersebar di pulau Jawa oleh usaha beberapa orang Jawa yang secara “kebetulan” berkenalan dengan injil lalu menyebarkannya di kalangan bangsa mereka. Para Zendiling baruklah datang kemudian untuk mengatur dan membina jemaat-jemaat Kristen yang sudah bertumbuh secara spontan. Yang mungkin kurang diketahui umum ialah bahwa dikalangan suku Tionghoa pada zaman yang sama berlangsung perkembangan serupa, dibeberapa tempat orang Tionghoa bertemu dengan agama Kristen dan menerimanya, lalu menjadi penginjil diantara sesama sukunya.[12]  
Pada tahun 1811 Inggris mengusir Belanda dari Nusantara tetapi lima tahun berikutnya Belanda kembali ke Nusantara. Tetapi pada tahun 1825-1830 terjadi pemberontakan Diponegoro dan langsung disusul peperangan di benua Eropa pada tahun 1830-1839 sehingga Belanda mengalami kesulitan dibidang perekonomian. Tidak mengherankan bahwa pemerintah Hindia-Belanda bertekat untuk mengisi kembali kas/perbendaharaan mereka dengan[13] mengerahkan orang-orang Jawa untuk bekerja yaitu sistem Tanam Paksa. Negeri Belanda membutuhkan uang dan jangan hendaknya ada yang mengganggu keamanan dan ketertiban mereka. Oleh karena itu pemerintah Belanda enggan mengizinkan lembaga-lembaga zending bekerja di Jawa selama masa itu dan sesudah itu pun pekerjaan mereka sering mengalami rintangan dari pihak para pejabat pemerintah.[14] Dengan situasi ini membuat kerinduan masayarakat Jawa akan datangnya Ratu Adil dan kembalinya keadaan yang makmur sejahtera kian mengental. Namun, sampai sekitar tahun 1850 pekabaran Injil dan perkembangan kekristenan masih sangat terbatas antara lain karena pembatasan bahkan larangan oleh pemerintah kolonoal HB. Walaupun ada larangan dan pembatasan terhadap zending, namun sejak 1850 mulai tampil sejumlah pribadi Kristen asal Eropa melaksanakan tugas pekabaran Injil secara perorangan dengan kata lain, di luar kerangka pekerjaan badan-badan zending. Para zending ini adalah Johannes Emde, C.L. Coolen, Ny. Philips-Stevens, Ny. Van Oostrom Philips dan Mr. F.L Anthing dan hasil dari pekerjaan mereka adalah banyak orang Jawa yang semula Kristus.[15]
2.5. Kekristenan di Jawa pada masa Indische Kerk
Orang Kristen Jawa menolak bentuk agama Kristen yang telah disesuaikan dengan kebudayaan Jawa dan mereka berpaling kepada agama Kristen gaya Emde (Jerman) yang justru kebiasaan Jawa. Salah seorang diantara mereka yang meminta untuk di Baptis yaitu Paulus Tosari. Tosari berguru kepada Coolen yang tugasnya ialah memimpin kumpulan-kumpulan pada hari Minggu dan Kamis malam, Coolen tidak tahan melihat anak-anak buahnya menerima Baptisan serta adat orang Belanda tetapi dalam tata kebaktian dan dalam hal-hal lain memakai bentuk dari Barat sementara itu NZG akhirnya mendapat ijin dari pemerintah Hindia-Belanda untuk memulai pekerjaan di Gerejawi.[16]
2.6. Kekristenan di Jawa pada masa Gerakan Nasionalisme di Indonesia
Ada berbagai aliran perubahan yang berpengaruh dalam kekristenan pada bagian pertama abad ini dan turut menentukan sikap zending terhadap pergerakan nasionalisme, munculnya teologi etis menyatakan diri dalam seluruh kepribadian seseorang. Yang utama adalah persekutuan yang hidup antara pribadi-pribadi yang beriman. Pengaruh aliran ini dalam kalangan Zending tampak pada kuatnya perhatian terhadap masalah-masalah agama dan kebudayaan pribumi dalam hubungan dengan tekanan pada pendidikan sebagai bagian dari tugas penginjilan. Gejala penting lainnya dalam urbanisasi, pemuda-pemuda dari suku-suku yang pada umumnya memeluk agama Kristen turut berpindah ke kota-kota besar dalam rangka pendidikan lanjut atau mengisi lowongan kerja pada berbagai lembaga pemerintahan. Demikianlah maka dijumpai kelompok-kelompok orang Kristen Indonesia di kota-kotan besar di Jawa. Pendekatan yang lebih terhadap nasionalisme Indonesia diwakili tokoh-tokoh: B.M Schuurman (1889-1945), C.L. van Doorn (1896-1975), J.M.J. Schepper (1888-1967) dan khususnya Hendrik Kraemer (1888-1965). Kraemer dapat dianggap sebagai pembawa wawasan baru Zending terhadap nasionalisme Indonesia. Mengikuti pandangan A.C.Kruyt dan N.Adriani, Kraemer memandang tugasnya untuk menjalin hubungan pribadi dengan kelompok-kelompok yang bereaksi terhadap penetrasi Barat, dengan tujuan memperhadapkan  penginjilan secara cerdas kepada mereka mengarahkan penginjilan dan pemahaman yang lebih dalam pada masalah-masalah tanah rohani di mana benih ditaburkan dan menampilkan keterlibatan Kristen dalam melawan kekacauan rohani dan moral yang dialami bangsa-bangsa timur sebagai dampak perhubungan dengan Barat. Kraemer yang secara resmi merupakan utusan Lembaga Alkitab Belanda di Indonesia melaksanakan panggilan itu.[17]
Di Jawa Timur, Jemaat Mojowarno menjadi semacam pilot project menuju kemandirian gereja. Konteks dari proses pemandirian itu adalah suatu haluan baru Zending. Zending mengubah haluan dari penginjilan desa ke pembentukan pusat-pusat penginjilan di kota (dalam rangka itu di Malang dibangun pusat-pusat pelayanan gereja) dan dari sikap perwalian ke pendewasaan jemaat-jemaat.[18]
2.7.Kekristenan di Jawa pada masa Jepang
Pada tahun 1930 kekuatan Hindia Belanda mulai merosot dikarenakan kian gencarnya gerakan-gerakan partai-partai berskala nasional yang memperlihatkan gerakan anti penjajahan dan memperjuangkan kemedekaan Indonesia. Pada tahun 1939 meletuslah Perang Dunia ke II yang antara lain Jerman berhasil menduduki negara Belanda pada tanggal 10 Mei 1940 sehingga ratu serta pemerintah Belanda terpaksa mengungsi ke Inggris. Lalu dilanjut lagi dengan penyerangan Jepang terhadap Pearl Harbour pada tanggal 7 Desember 1941, walaupun belum ada penyerangan kepada Hindia Belanda. Pada tanggal 10 Januari 1942 penyerangan Jepang ke Indonesia dimulai[19] tepatnya di Minahasa dan berhasil direbut lalu pada bulan Februari Ambon dan Timor berhasil direbut dan dilanjutkan pada bulan Maret yang di mana pulau Jawa dan Sumatera telah berhasil direbut oleh Jepang. Lalu Jepang membagi dua wilayah Jawa dan Sumatera berada di bawah pemerintahan Angkatan Darat Jepang sedangkan Kalimantan, Sulawesi dan Indonesia bagian Timur di bawah pemerintahan Angkatan Laut Jepang. Sedangkan sikap Jepang terhadap agama-agama di Indonesia berbeda-beda tergantung pada tempat dan waktunya. Pada dasarnya ekspektasi orang Islam, bahwa Jepang menyukai Islam tetapi realitanya adalah orang Jepang banyak melukai hati orang Islam. Lalu karena alasan politik maka penguasa Jepang menghormati Islam dan memungkinkan perkembangan organisasi Islam walaupun nanti akan dimanfaatkan Jepang sebagai alat propaganda Jepang dan sebaliknya, Jepang menganggap Kristen itu adalah mata-mata musuh[20] dan menganiaya orang Kristen. Banyak orang Kristen dianiaya Jepang, mulai dari pemimpin Kristen hingga zendeling Barat juga dianiaya dan dibunuh. Memang banyak orang Kristen mengalami penagniayaan tetapi orang Kristen di Indonesia mendapatkan manfaat ketika Jepang datang yaitu mempercepat proses kemandirian gereja.[21] Pada tanggal 5 April 1942 pemerintah Jepang mengeluarkan pernyataan yang ditujukan kepada gereja Kristen di Pulau Jawa yang isinya adalah “Pemerintah bala tentara Nippon soeka dan menanggoeng dengan soenggoeh-soenggoeh melingoengi semoea agama sepeti jang soedah diberitahoekan kepada orang banjak. Djadi oenga Kristen Indonesia di Poelaoe Djawa boleh seperti biasa melakoekan atoeran-atoeran (oeroesan-oeroesan) agamanja dengan selamat dan sedjahtera (tidak dapat ganggoean apa-apa). Tetapi dalam prakteknya, Jepang memata-matai Kristen yang tujuannya hanyalah menyamakan gereja-gereja Indonesia sama dengan gereja-gereja di Jepang bahkan sedikit lebih rendah. Menghadapi masa suram seperti ini, gereja-gereja di Jawa mencoba saling memperkuat ikatan diantara mereka. Pada tanggal 17-19 Juni 1942 diadakan rapat di Yogyakarta yang dihadiri oleh Majelis Agung Jawi Wetan, Perepatan Agung Jawa Tengah Utara, Gereja Kristen Jawa Tengah Selatan, dan Sinode Jawa Barat untuk memilih wakil dalam dialog dengan pemerintah pendudukan Jepang.
Akibat dari tindakan pemerintah pendudukan Jepang yang mulai kelihatan menyudutkan Kristen, orang tidak berani lagi mengadakan rapat-rapat majelis gereja. Ada klasis yang selama pendudukan Jepang tidak mengadakan rapat. Juga ada sebuah gereja yang menghapuskan kolekte untuk orang miskin oleh karena takut pada kemungkinan larangan Jepang. Beberapa gedung gereja ditutup sehingga kebaktian Minggu terpaksa diadakan di rumah-rumah. Di Jepitu-Gunung Kidul dan di Glonggong Kebumen misalnya, banyak umat yang dibujuk unutk menginggalkan kekristenan, namun mereka ternyata masih mencintai Tuhannya. Sayangnya tidak semua warga gereja tegar dalam situasi ancaman yang kian semakin besar, banyak diantaranya menyembunyikan Alkitab dan bahkan ada yang membakarnya untuk menghidari tuduhan yang mengancam jiwanya. Akibat lain adalah katekisasi juga ikut terhenti. Setelah satu tahun berlalu, Jepang mengambil-alih gedung gereja untuk kepentingan Jepang yaitu gedung gereja Gondokusuman-Yogyakarta dijadikan gudang senjata dan gedung gereja Wonosari dijadikan asrama prajurit PETA juga penyelenggaraan ibadah dilarang, kunjungan guru (Injil) ditolak, bahasa Belanda juga tidak lagi dipergunakan. Teologisch Opleidingschool Yogyakarta yang semula ingin bertahan, tetapi dengan alasan karean dosen-dosen yang mengajar itu adalah bangsa Belanda sehingga sekolah teologi ini ditutup oleh pemerintah pendudukan Jepang. Kehidupan jemaat secara ekonomi adalah lemah dan semakin lemah sehingga berimbas kepada para gutu Injil dan pendeta yang mengasuhnya. Ada sekitar 15% guru Injil yang tidak lagi dapat melayani karena kesulitan ekonomi yang manghimpitnya. Oleh karena kerja keras deputat Synode dibantu Ds. Basuki Probowinoto yang berhasil mendapat dukungan dana dari Gereja Jawa di Jakarta, Gereja Gereformeerd Kalisari Semarang, serta gereja-gereaj Tionghoa dapat memperingan beban kehidupan guru Injil.[22]
2.8. Kekristenan di Jawa pada masa Indonesia Merdeka
Pengalaman dan kehidupan gereja di masa pendudukan Jepang sangant mempengaruhi jalannya sejarah Gereja di Indonesia dalam periode berikut ini. dengan menyerahnya Jepang pada Sekutu pada tanggal 14 Maret 1945 maka dengan itu berakhirlah penderitaan, penganiayaan dan penjajahan Jepang di Indonesia. Bersamaan dengan itu usaha dan semangat Indonesia untuk merdeka sudah sampai pada tahap kematangan yaitu puncaknya pada pembacaan Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada waktu itu  gereja- gereja sepenuhnya sadar bahwa perjuangan unutk memperoleh kemerdekaan bangsa itu adalah tugas dan tanggungjawab seluruh bangsa Indonesia dan orang Kristen sebagai bagian yang tak terpisahkan ikut pula dalam memperjuangkan kemerdekaan.[23] Kurun waktu sesudah kemerdekaan secara tak diduga-duga menjadi periode kesempatan besar bagi penginjilan, walaupun dalam bidang pendidikan dan pekerjaan, Gereja Kristen Jawa Timur hanya sedikit saja yang menunjukan prakarsa (hal ini dikarenakan bahwa adannya tanggung jawab Pemerintah dalam bidang pendidikan dan pemuda). Di mana-mana, khususnya kalangan pemuda, terjadinya serangkaian paetobatan. Hanya sedikit bertobat yang disebabkan oleh karya penginjilan atau penginjilan yang terorganisasi. Kebanyakan terjadi lewat mekanisme “kebertetanggaan”. Karya ini berlangsung selama hari-hari besar Muslim dan Kristen yang di man ajang saling mengunjungi tetangga. Perayaan keluarga seputar Natal kerap merupakan kesempatan untuk mengundang para tetangga dan kenalan, seraya memberitahukan kepada mereka akan makna dari gari besar tersebut. Di kota-kota, dilangsungkan kunjungan ke penjara-penjara apalagi di Malang, dikunjungi para tahanan perempuan. Demikian juga mereka mengunjungi yang sakit. Jelas bahwa di dalam situasi yang berubah ini, pelayanan Kristen, demikian pula kesaksian, tengah mencari bentuk-bentuk baru.[24]
2.9.Kekristenan di Jawa pada masa Orde Lama
Seiring berkembangnya nasionalisme kesadaran oikumenis dikalangan gereja-gereja di Indonesia bertumbuh, dan itu mulai muncul sejak 1920-an. Dan penderitaan gereja-gereja besama seluruh rakyat Indonesia di masa kedudukan Jepang, itu menyadarkan mereka bahwa pentingnya kesatuan dan rasa saling membutuhkan serta urgensi untuk bersaksi dan melayani secara bersama dalam kesetiaan kepada Tuhan yang satu. Pada Orde Lama ini dibentuklah Dewan Gereja-gereja Indonesia(DGI) dengan dibentuknya DGI dilihat sebagai langkah untuk menghantar gereja-gereja di Indonesia memasuki zaman baru dalam sejarah bangsa Indonesia yaitu zaman kehidupan negara dan bangsa yang kemerdekaan dan kedaulatannya diakui seluruh dunia. [25]
2.10.     Kekristenan di Jawa pada masa Orde Baru
          Kegagalan pemberontakan G 30 S tahun 1965 di mana pemerintah mengeluarklan perintah agar seluruh rakyat Indonesia di wajibkan untuk memeluk 1 agama resmi, apabila tidak memeluk satu agama resmi maka dianggap G 30 S. Dalam konteks Indonesia paska revolusi G 30 S 1965 tersebut, GKJ termasuk entitas keagamaan yang sangat diuntungkan dalam pertambahan jumlah umatnya seklaigus dengan keadaan tersebut ia harus berumul mengenai kualitas kekristenan warga gerejanya, baik yang sudah lama atau baru hasil pertobatan masalnya. Konteks sosio-politik paska revolusi G 30 S 1965 pemerintah memberikan tantangan baru dalam pergumulan gereja-gereja di Indoneisa pada umumnya dan GKJ pada khususnya. Tantangan-tantangan pergumulkan tersebut dapat dipetakan dalam beberapa poin berikut:
1.      Hubungan kerja sama ekumenisnya dengan gereja-gereja luar negeri, terutama dari negara-negara Barat, kembali terbuka setelah sebelumnya mengalami hambatan oleh karena politik isolatip-anti Barat (oleh Presiden Ir.Soekarno, tahun 1950-an). Bukannya tidak berguna tetapi justru politik isolatip tersebut secara mental sangat penting terhadap perkembangan mentalitas kemandirian gereja-gereja.
2.      Sebagaimana entitas-entitas lainnya gereja-gereja Indonesia pada umumnya sangat antusias menyambut kehadiran pemerintah orde baru dengan sedikit sikap kehati-hatian. GKJ sebagi entitas sosi-religius gerejawi nasional tentu menghayati dirinya dalam proses sejarah politik nasioanal tersebut. Mengingat Konfrensi Nasional Gereja dan masyarakat diselenggarakan oleh PGI di Salatiga yang menjadi “tuan rumah” maka secara logis dapat diduga intensitas GKJ cukup tinggi dalam mengikuti dan menyerap pergumulan dan pembaharuan gereja tersebut.[26]
2.11. Kekristenan di Jawa pada masa Reformasi di Indonesia
Gereja di Jawa dilahirkan dan ditumbuhkan dalam konteks JawaTimur. Gereja pun dipanggil untuk bersaksi dan melayani dalam konteks masyarakat Jawa Timur itu, dan lebih luas dalam masyarakat Indonesia. Bahkan lebih luas lagi masih ada peranan kita di dalam oikumene.[27] Sesudah tahun 1971, peningkatan jumlah anggota berjalan lebih lambat (153.000 pada tahun 1997). Pada tahun 1995-1998, GKJW menderita menderita bersama gereja-gereja Kristen lainnya di Jawa karena serentetan peristiwa yang antara lain ditandai pengerusakan gedung-gedung gereja.[28]
2.12. Gereja Protestan di Jawa
2.12.1.  GKJ ( Gereja Kristen Jawa )
      Gereja Kristen Jawa didirikan pada tanggal 17 Februari 1931 adalah sebuah ikatan Gereja-gereja Kristen Jawa yang seluruhnya berjumlah 333 gereja yang terhimpun dalam 32 klasis dan tersebar di 6 provinsi di pulau Jawa.[29]
      Gereja ini merupakan hasil kegiatan pekabaran injil beberapa kaum awam dan perhimpunan pekabaran injil. Pada masa VOC telah didirikan sebuah jemaat di Semarang, yaitu pada tahun 1753. Jemaat ini hanya melayani orang Kristen VOC dan orang Kristen Indonesia yang menjadi pegawai atau tentara VOC. Pada masa Hindia Belanda, jemaaat ini menjadi jemaat Indische Kerk (GPI). Sekalipun demikian pekabaran injil tetap berlangsung yang dilaksanakan oleh kaum awam. Kegiatan-kegiatan mereka ini menyebabkan adanya orang Jawa yang menjadi Kristen. Kaum awam yang dimaksud adalah Mr. A. A. Keuchenius, mantan residen Tegal. Pada tahun 1873 sudah terdapat sekitar 2.000-an orang Kristen Jawa yang tersebar di seluruh Jawa Tengah.[30]
      Pokok-pokok ajaran GKJ ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya ialah pokok-pokok ajaran GKJ tahun 1996 ini telah memenuhi kebutuhan masa kini GKJ, artinya dapat menjawab tantangan konkret dari konteksnya. Pada sisi yang lain pokok-pokok ajaran GKJ dianggap penyajiannya menggunakan bahasa akademis sehingga cocok untuk kaum cendikiawan dan sukar dipahami oleh orang-orang yang berpendidikan sederhana.[31]
      GKJ secara proaktif mengupayahkan terjadinya hubungan antar gereja-gereja tetangga, terutama gereja-gereja di Jawa dan kemudian secara lebih luas gereja-gereja di Indonesia. Sejak sebelum Perang Dunia II tahun 1939 upaya GKJ pada masa pendudukan Jepang kemungkinan lebih merupakan suatu tindak lanjut dan perluasan dari gagasan dan upaya sebelumnya.[32]
2.12.2.  GKJW ( Gereja Kristen Jawi Wetan )
      Permulaan sejarah Gereja Kristen Jawi Jawetan ditentukan oleh dua orang yang sangat berlainan coraknya yaitu Bapa Emde dan Coolen.[33]
      Gereja ini merupakan hasil kegiatan pekabaran injil kaum awam dan Perhimpunan Pekabaran Injil Belanda (NZG). Pada masa VOC, di Surabaya telah terbentuk sebuah jemaat pada tahun 1785. Jemaat ini terus hidup hingga masa pemerintahan Hindia-Belanda. Jemaat ini hanya melayani orang Kristen Eropa dan Indonesia yang berasal dari Indonesia Timur. Dua orang awam ini adalah Johannes Emde dan Coolen(kami tidak menjelaskan lagi mengenai tokoh ini karena dalam tokoh-tokoh kekristenan di Jawa kami sudah menjelaskan). Gereja ini mendirikan sekolah teologinya sendiri pada tahun 1920 di kediri. Terdapat dua perhimpunan pekabaran injil yang berjasa bagi kemunculan GKJW, yaitu NZG dan Komite Jawa. Pada masa pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan, jemaat-jemaat GKJW mengalami penderitaan. Pada tahun 1947 GKJW ikut mendirikan Dewan Perumusyawaratan Gereja-gereja dan menjadi anggota PGI pada tahun 1950.[34]
2.12.3.  GKJTU ( Gereja Kristen Jawa Tengah Utara)
      Gereja ini merupakan hasil karya pekabaran injil Zending Salatiga. Zending Salatiga merupakan badan kerja sama antara jemaat Ernelo di Belanda dan Neukirchener Mision. Sebelum Zending Salatiga bekerja di sini sudah terdapat sekelompok orang Kristen hasil pekabaran Injil awam, yaitu Ny. Le Jolle, seorang istri pegawai perkebunan di dekat Salatiga, yang dibantu oleh Petrus Sedoyo kedua orang ini memberitakan injil kepada buruh-buruh perkebunan itu dengan berhasil. Tahun 1937, jemaat Zending Salatiga membentuk sinode sendiri yang bernama Prapatan Agung namun kepemimpinan dan pembiayaan masih di dalam tenaga Zending. Pada tahun 1953 jemaat Zending Salatiga ke luar dari GKJ dan membentuk sinodenya sendiri dengan nama Gereja Kristen Jawa Tengah Utara, kantor pusatnya di Salatiga.[35]
2.12.4.  GKP ( Gereja Kristen Pasundan)
      Gereja ini merupakan kegiatan PI dari Belanda yaitu NZV. NZV diizinkan bekerja di Bandung pada tahun 1863. Pada tahun 1865 pdt. Albers berdiam di Cianjur dan berusaha memberitakan injil kepada orang sunda. NZV bekerja keras untuk menarik orang Sunda supaya menjadi Kristen. Desa-desa yang didirikan antara lain Cideres (1877), Pengharapan (1886), Palalangon (1902), Tamiang (1920). Hasil PI NZV bukan saja terdiri atasorang Sunda tetapi juga terhadap orang Cina, hasil PI pada orang Cina kelak akan melahirkan Gereja Kristen Jawa Barat disampin NZV Anthing memberitakan injil dengan biaya sendiri yang didukung oleh perhimpunan PI di dalam dan di luar gereja. Ia memulai kegiatannya pada tahun 1865 di Jakarta dan sekitarnya, Kampung Sawah, Cikuya, Gunung Puteri, Cilegam, Rangkas Bitung, Tangerang, dan Bogor. Pada tahun 1883 Anthing meninggalkan jemaatnya dan jemaatnya digabungkan ke GKP. Sistem pemerintahan GKP adalah presbiteral sinodal. Kantor pusat GKP berada di Bandung dan GKP menjadi anggota PGI pada tahun 1950.[36]
      Visi GKP yang dicanangkan pada tahun 2007 adalah GKP menjadi gereja sesama. Dalam mencapai visinya ini GKP sangat menyadari konteks tempat di mana ia hidup dan menggereja, dalam melaksanakan misinya GKP memberikan perhatian khusus pada 5 isu dasar yang kemudian disebut 5 agenda utama. 5 agenda tersebut kemudian dijabarkan ke dalam pokok-pokok program kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan sebagai rencana kerja tahunan oleh semua bagian GKP dalam ke 5 agenda utama ini dapat ditemukan kesadaran GKP oleh Konteksnya; diantaranya adanya proses globalisasi yang mendunia, dekadensi, moral dalam masyarakat, adanya kemiskinan serta perusakan lingkungan yang sudah demikian parah. Dengan melihat visi ini sebenarnya GKP secara sinodal mencapai panggilannya menjadi rekan kerja Allah dalam mendatangikan kerjaan di Bumi.[37]
Catatan: Tema Gereja Kristen Jawa Tahun 2020 “Hidup Dan Berkarya Bersama Sebagai Anggota Keluarga Allah.”
2.13. Aliran-aliran Kekristenan lain di Jawa
2.13.1.  Katolik
      Dalam pengalaman awalnya, Gereja Katolik sudah mengalami masalah sekitar kebebasan gereja. Pada  tahun 1908 lahirlah Pergerakan Nasional Budi Utomo. Suasana politik awal abad 20 membawakan arus menuju kemerdekaan. Panitia peninjauan perundang-undangan yang dibentuk tahun 1918, gereja Katolik mendukung kepentingan orang-orang pribumi, demi hak-hak yang sama yang harus mereka terima. Belanda, Indo dan Jawa mulai saat ini akan hidup rukun sebagai saudara di dalam satu rumah jika tidak, tidak lama lagi mereka tidak akan hidup bersama-sama. Orang Jawa sekarang sudah mulai memandang gereja Katolik sebagai kekuatan yang berdiri di luar nasionalisme Belanda dan jiwa dan kepribadian Jawa.[38]

2.13.2.  GMI
      Pada tahun 1897 Pdt. John Russel Denyes diutus Badan Misi Methodis ke Singapura menjadi guru di Angelo Chinese School, merangkap sebagai misionaris dikalangan masyarakat Tionghoa penutur bahasa Melayu yang disebut Cina Baba. Penempatan ini memungkinkan Denyes bertemu dengan sejumlah murid Tionghoa yang berasal dari Jawa. Orang Tionghoa memohon agar Misi Methodis masuk ke Indonesia tepatya di Jawa. Pemikiran orang Tionghoa bahwa jika misi Methodis hadir di Jawa maka mereka tidak perlu repot-repot lagi memberangkatkan anak mereka untuk bersekolah di Singapura. Perjumpaan inilah yang membuat Denyes tertarik untuk membuka misi di Jawa. Selain hendak membuka misi di Jawa, Denyes juga merasa terpanggil untuk menginjili orang Islam yang ada di Jawa setelah mengetahui bahwa di Jawa boleh dilakukan misi kepada orang Islam. Ketika Denyes terbeban dan berdoa agar Tuhan membuka jalan untuk menjadi pionir Methodis di Jawa, ketika itu pula tahun 1900 terjadi gerakan PI dikalangan pemuda Methodis di daerah Konferensi Pittsburg, Pennsylvania, Amerika Serikat. Mereka sepakat untuk mengumpulkan 4000 dollar setahun untuk dipergunakan demi membiayai pengiriman seorang misionaris ke daerah penginjilan di luar negeri. Pada tahun 1903, Denyes curi dari pekerjaannya untuk mencari bantuan dana pada waktu yang sama sekertaris perkumpulan pemuda Methodis dari Pittsburg Coference, Elizabeth Harper Brooks dipanggil ke New York (kantor pusat Bada Misi Methodis) untuk membantu proses persiapan pameran Misi yang akan diselenggarakan pada tahun 1904 di Los Angeles, Amerika Serikat. Ketika sedang menyeleksi foto-foto, Elizabeth tertarik pada satu foto yaitu pulau Jawa. Ketika Denyes menjelaskan tentang programnya di Jawa hal itu disambut baik.[39]
2.13.3.  Gereja Pentakostal-Kharismatik di Jawa
      Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini ada kurang lebih 4 gereja yang bisa dikategorikan sebagai mega Church. Dan itu berarti setiap hari minggu ada lebih dari 5000 orang yang datang ke Gereja. Ini merupakan perkembangan yang menakjubkan bukan hanya karena 90% penduduk yang tinggal di sekitar Gereja itu mayoritasnya muslim, melainkan juga karena di Jawa sangat lah sulit mendapatkan izin pemerintah untuk membangun Gereja. Meskipun demikian, kelompok Kharismatik mengalami pertumbuhan secara kuantitas. Begitu pula Gereja yang ada di Jawa merupakan sebuah refresentasi Gereja yang mandiri dilingkungan Gereja-Gereja Pentakostal-Kharismatik. Cuma Gereja reformed injili Indonesia adalah sebuah pengecualian. Gereja ini merupakan Gereja Kharismatik yang merasa memiliki akarnya pada Gereja reformasi Calvin. Berarti semua Gereja yang beraliran Pentakosta dan kharismatik yang ada di Jawa, semua adalah aliran yang berbeda dengan Gereja arus utama.[40]
2.14. Tokoh-tokoh Kekristenan di Jawa
1.      Bruckner
      Ditempatkan di Semarang tetapi kemudian bergabung dengan paguyuban misionaris baptis. Ia salah satu tokoh yang giat dalam menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Jawa, ia meninggal pada tahun 1857.[41]
2.      Coen Laurens Coolen
      Coolen adalah seorang perankan Rusia-Belanda dan Jawa dari ibunya seorang puteri bangsawan Jawa, ia mewarisi kebudayaan Jawa yang sedikit banyak sudah bercampur dengan islam. Pada tahun 1827 ia membuka kawasan hutan yang luas di sekitar 60 Km dari Surabaya, yang kemudian berkembang menjadi desa yang makmur dan ialah sebagai pemimpin di desa itu. Dalam mempraktekan kekristenannya Coolen tetap menghormati warga desanya yang Muslim (mengijinkan mereka membangun mesjid).[42] Pada setiap minggu Coolen menggelar kebaktian di pendopo rumahnya sendiri, mereka menyanyikan nyanyian rohani dan berdoa dari bagian-bagian Alkitab dengan gaya bertembang. Beliau dengan tekunnya mengajarkan tentang dosa dan Yesus Kristus sang Juruselamat, tetapi beliau menolak sakramen baptisan dan perjamuan kudus karena menganggapnya sebagai tradisi kebarat-baratan.[43] Bahkan Coolen juga membuka perdebataan sehingga ketika tidak seorang pun mampu mengalahkan argumentasi Coolen, maka ngelmu bab Gusti Yesus akhirnya diakui sebagai ngelmu tertinggi yang patut mereka ikuti. Berkat aktivitas empati Coolen atas orang-orangnya, di Ngoro lahir suatu jemaat Kristen yang khas, khas jemaat Ngoro. Khas karena kekristenannya sangat kental dengan kejawaan, tembang,wayang, dan  rapal, bahkan dengan yang berbau islam seperti dzikir dan masjid. Coolen sendiri menyebut kekristenan yang dibentuknya sebagai “Kristen Jawa” bukan “Kristen Landa”. Kekristenan yang tidak membuang unsur-unsur jawa dari para pengikutnya. Oleh sebab itu sakramen yang dianggap unsur Kristen Landa tidak diberikan kepada pengikutnya supaya jemaatnya tidak meninggalkan cara hidup kejawaannya sendiri. Prinsipnya sebagai orang Kristen, orang Jawa itu harus tetap Jawa.[44]
3.      Johannes Emde
      Seorang Jerman yang menikah dengan seorang wanita Jawa, giat memberitakan injil kepada orang Jawa pada tahun 1814. Emde adalah anggota jemaat GPI Surabaya. Banyak orang Jawa yang bertobat dan dibaptis di GPI Surabaya. Corak Kekristenan yang dibentuk oleh Emde adalah kekristenan Eropa (Barat).[45] Berbeda dengan Coolen yang tidka bersedia membuang budaya Jawa dari kekristenan pengikut-pengikutnya, Johannees Emde justru sebaliknya. Emde dan pengikutnya pantas disebut “Kristen Landa”. Penginjilan Emde dilakukan dengan meminta anak-anaknya menyebarkan Injil Markus terjemahan Bruchner. Setelah mendapatkan pengajaran agama Kristen dari Emde beberapa waktu, pada tanggal 12 Desember 1843 ada beberapa orang menerima baptisan dari Pdt. A.W. Meijer di Gereja Protestan Surabaya. Karena dangkalnya pengetahuan Emde tentang kekristenan dan budaya, Emde memutuskan para pengikutnya ini dari budaya Jawa melalui beberapa larangan dan keharusan. Mereka patut disebut Kristen Landa karena perilaku budaya mereka diatur menurut budaya orang Belanda.[46]
4.      Mr. F. L. Anthing
      Tokoh kedua yang menjadi motivator penginjilan di antara orang pribumi di Jawa Tengah adalah Mr. F.L. Anthing. Ambtenaar pemerintah kolonial Hindia Belanda yang dilahirkan pada tahun 1820 ini. Mr. Anthing sangat menyadari bahwa suku Jawa dan Sunda pada waktu itu memiliki ciri khas dalam beragama. Hampir sebagian besar di antara mereka dikenal sebagai pencari ngelmu yang sangat menggemari ngelmu-ngelmu. Pada jenis komunitas seperti ini menurut Mr. Anthing satu-satunya cara penginjilan yang tepat ialah menggunakan cara mereka sendiri. Yang penting kabar keselamatan di dalam Kristus Yesus menyebar dan diterima di antara bangsa bumiputra.[47]
5.      Paulus Tosari
      Paulus Tosari adalah seorang Madura. Ibunya mengharapkan agar Tosari menjadi seorang santri.[48] Lalu kemudian Tosari pergi merantau ke Pulau Jawa tepatnya di Ngoro untuk ngelmu dan berjumpa dengan Coolen dalam sebuah khotbah. Khotbah Coolen begitu mengesankan Tosari yang diangkat dari Matius 5:3 “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah” sehingga Tosari memutuskan untuk menetap di Ngoro. Kemudian Tosari pergi ke Surabaya untuk dibabtis oleh Emde. Sehingga sejak saat itu, Paulus telah memulai perjalanan berkeliling untuk memberitakan Injil Yesus dengan penuh keberanian. Sehingga Gereja di Mojowarno merupakan hasil dari kegigihan Paulus Tosari.[49]
      Tosari menjadi Guru Jemaat selama beberapa tahun yang berjalan hanya dengan kepemimpinan yang terdiri dari orang-orang Jawa saja tetapi dalamtata kebaktian dan dalam hal-hal lain mereka memakai bentuk-bentuk dari Barat.[50]
6.      Jerobeam Mattheus Jr.
Mattheus sudah disebut dalam paragraf sebelumnya sebagai salah seorang pemimpin di Jawa Timur, dan sebagai redaktur atau pembantu sejumlah majalah : Bintang Soerabaja, Taman Soewara dan Kristen di Jawa. Ia mengikuti jejak ayahnya ketika menjadi pendeta jemaat di gereja di Surabaya. Ketika gerakan nasionalis belum lama muncul, ia menjalin kontrak terbuka dengan tokoh terkemuka. Sumartana menggambarkan Mattheus sebagai orang yang dengan kuat membina jemaatnya, baik dalam arti rohani maupun yang menuntut pertaggungjawaban sosial. Di kemudian hari Mattheus minta berhenti sebagai penginjil NZG dan untuk sementara waktu mencari nafkahnya sebagai wartawan. Lalu ia menjadi penginjil lagi, tetapi sekarang sebagai pengerja Indische Kerk, dan juga pendeta jemaat Kristen Cina Malang, membantu pendeta H.A.C. Hildering. Rakyat Jawa mulai sadar akan kerukunan, juga orang Islam Jawa mulai bergerak untuk mencapainya. Hal ini memaksa orang Kristen untuk menunjukkan kerukunan mereka. Mattheus memperjuangkan kerukunan itu lewat berbagai persatuan dan kelompok politik Jawa yang dulu ikut didirikannya.[51]
III.             Daftar Pustaka
Akkeren, Philipban, Dewi Sri dan Kristus, Jakarta: BPK-GM.
Bahan Pembinaan Teologi Warga Gereja, Mengenali Teologi GKJW, Jember: IPTh. Belewiyata, 1994.
Banawiratma SJ, JB. Panggilan Gereja Indonesia dan Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 1986.
E. Culver, Jonathan, Sejarah Gereja Indonesia, Jakarta: Bijisesawi, 2014.
Gabe Hoekema, Alle, Berpikir Dalam Keseimbangan Yang Dinamis, Jakarta: BPK-GM, 1997.
Hoedemaqker, L.A. dkk., Masihkah Benih Tersiman?, Jakarta:BPK.GM, 1990.
Hoekema, A.G.,  Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis, Jakarta: BPK-GM, 1997.
Kajian atas Gereja Pentakostal-Kharismatik di Jawa. PDF.
M. Daulay, Richard, Kekristenan dan Kesukubangsaan, Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 1996.
S. Aritonang, Jan, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 2006.
S. Aritonang, Jan, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, Jakarta: Gunung Mulia, 2015.
Soekotjo, S.H.  Sejarah Gereja-Gereja Kristen Jawa Jilid 1, Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2009.
Soekotjo, S.H. Sejarah Gereja-Gereja Kristen Gereja Kristen Jawa Jilid 2, Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2010.
Sumardi, Y.M. Sejarah Gereja Kristen Jawa, Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2007.
Supriatno, Merentang Sejarah Memaknai Kemandirian Menjadi Gereja bagi Sesama, Jakarta: BPK-GM, 2009.
Swellengrebel, J.L.  In Leijdeckers Voetspoor, Deel I, 1974, 39-49 (dalam Buku Dr.A.G.Hoekema, Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis, Jakarta: Gunung Mulia,1997.
Ukur, F.  & Cooley, F. L.  Jerih dan Juang, Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi, 1979.
Van Den End, Th. & Weitjens, J, Ragi Carita 2, Jakarta: BPK-GM,2019.
Van Den End, Th. & Weitjens, J. Ragi Carita 2, Jakarta: BPK-GM, 2015, 249.
Van den End, Th.,  Ragi Carita 1, Jakarta: BPK-GM,2019.
Van Den End, Th., Harta dalam Bejana, Jakarta: Gunung Mulia, 2014.
Van Den End, Th., Ragi Carita 1, Jakarta: BPK-GM, 2015.
Van Den End, Th., Ragi Carita 1, Jakarta: BPK-GM,2019.
Wellem, F.D.  Kamus Sejarah Gereja, Jakarta: Gunung Mulia,  2011.
Zakaria Ngelow, J. Kekristenan dan Nasionalisme, Jakarta: Gunung Mulia, 1994.

Sumber Lain:
https://id.m.wikipedia.org diakses pada tanggal 24 Februari 2020, pukul 12:22 WIB.
https://id.m.wikipedia.org, diakeses pada tanggal 19 Februari 2020, pukul 12:01.



[1] https://id.m.wikipedia.org, diakeses pada tanggal 19 Februari 2020, pukul 12:01.
[2] S.H. Soekotjo, Sejarah Gereja-Gereja Kristen Jawa Jilid 1, (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2009), 6-7.
[3] Th. van den End, Ragi Carita 1, (Jakarta: BPK-GM,2019 ), 95.
[4] Prof.Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta: Gunung Mulia, 2015), 44.
[5] Th. van den End, Ragi Carita 1,  96.
[6]Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (Jakarta: BPK-GM, 2006), 44-45.
[7] Th. Van Den End & J. Weitjens, Ragi Carita 2 (Jakarta: BPK-GM, 2015), 249.
[8]Th.Van Den End, Ragi Carita 1  (Jakarta: BPK-GM, 2015), 199-200.
[9] Th. van den End, Ragi Carita 1, 25.
[10] Th. van den End, Ragi Carita 1, 96;98;102,
[11] Prof.Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 66.
[12] L.A. Hoedemaqker, dkk., Masihkah Benih Tersiman?, (Jakarta:BPK.GM, 1990), 83.
[13] Dr. Jonathan E. Culver, Sejarah Gereja Indonesia, (Jakarta: Bijisesawi, 2014), 78.
[14] Th. van den End, Ragi Carita 1, (Jakarta: BPK-GM,2019 ), 197-198.
[15] Prof.Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta: Gunung Mulia, 2015), 84-86.
[16] Th. Van Den End, Ragi Carita 1, 203.
[17] J. Zakaria Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme, (Jakarta: Gunung Mulia, 1994), 48-51.
[18] Ibid, 212-213.
[19] Prof.Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta: Gunung Mulia, 2015), 210-211.
[20] Th. van den End & J.Wietjens, Sj, Ragi Carita 2, (Jakarta: BPK-GM,2019), 342-343.
[21] Prof.Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta: Gunung Mulia, 2015), 225.
[22] S.H. Soekotjo, Sejarah Gerja-Gereja Kristen Jawa Jilid 1, (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2009), 433-437.
[23] Dr. F. Ukur & Dr. F. L. Cooley, Jerih dan Juang, (Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi, 1979), 512-513.
[24] Philipban Akkeren, Dewi Sri dan Kristus, (Jakarta: BPK-GM,), 159-160.
[25] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 285.
[26] Y.M. Sumardi, Sejarah Gereja Kristen Jawa, 65-74.
[27] Bahan Pembinaan Teologi Warga Gereja, Mengenali Teologi GKJW, (Jember: IPTh. Belewiyata, 1994),27.
[28] Th. Van Den End, Ragi Carita 1, 254
[29] https://id.m.wikipedia.org diakses pada tanggal 24 Februari 2020, pukul 12:22 WIB.
[30]  F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, (Jakarta: Gunung Mulia,  2011),  117-118.
[31]  S.H. Soekotjo, Sejarah Gereja-Gereja Kristen Gereja Kristen Jawa Jilid 2, (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2010), 437.
[32] Y.M. Sumardi, Sejarah Gereja Kristen Jawa, (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2007), 22-23.
[33] Thomas Van Den End, Harta dalam Bejana, (Jakarta: Gunung Mulia, 2014),275
[34] [34]  F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, 126-127.
[35] F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, 124-125.
[36] F.D. Wallem, Kamus Sejarah Gereja, 128.
[37] Supriatno, Merentang Sejarah Memaknai Kemandirian Menjadi Gereja bagi Sesama, (Jakarta: BPK-GM, 2009), 114.
[38] JB. Banawiratma SJ, Panggilan Gereja Indonesia dan Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1986),33-35.
[39] Dr. Richard M. Daulay, Kekristenan dan Kesukubangsaan, (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 1996), 113-117.
[40] Kajian atas Gereja Pentakostal-Kharismatik di Jawa. PDF.
[41] J.L. Swellengrebel, In Leijdeckers Voetspoor, Deel I, 1974, 39-49 ( dalam Buku Dr.A.G.Hoekema, Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis, (Jakarta: Gunung Mulia,1997), 26.)
[42] Prof.Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta: Gunung Mulia, 2015), 87.
[43] Dr. Jonathan E. Culver, Sejarah Gereja Indonesia, (Jakarta: Bijisesawi, 2014), 81-82.
[44] S.H. Soekotjo, Sejarah Gereja-Gereja Kristen Gereja Kristen Jawa Jilid 1, 100-101.
[45] F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, 126.
[46] S.H. Soekotjo, Sejarah Gerja- Jawa Jilid 1, 102-103.
[47] Ibid, 142-146.
[48] Dr. A.G. Hoekema, Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis, (Jakarta: BPK-GM, 1997), 46.
[49] Dr. Jonathan E. Culver, Sejarah Gereja Indonesia, 84.
[50] Th. van den End, Ragi Carita 1, 203.
[51]Alle Gabe Hoekema, Berpikir Dalam Keseimbangan Yang Dinamis (Jakarta: BPK-GM, 1997), 147-148.