SGI: Sejarah Kekristenan di Jawa dari masa ke masa
Sejarah Gereja di Jawa
I.
Asbstraksi
Dalam catatan sejarah dijelaskan bahwa
bangsa barat datang ke Indonesia adalah untuk mencari rempah-rempah dikarenakan
Indonesia merupakan wilayah yang kaya akan rempahnya, namun seiring
kedatangannya ternyata bukan hanya ingin mencari rempah-rempah saja tetapi juga
menyebarkan injil karena melihat bangsa indonesia masih memeluk agama-agama
suku yang tidak mengenal Tuhan. Bangsa Portugis adalah bangsa yang pertama kali
datang ke Indonesia meski tidak begitu terkenal karena lebih menjamur kedatangan
Belanda yang cukup lama berada di Indonesia. Dalam pembahasan kali ini mengenai
sejarah gereja kami akan menjelaskan bagaimana masuknya kekristenan di Jawa.
Kekristenan di Jawa pertama kali dibawa masuk oleh bangsa Portugis yang pada
saat itu datang ke Jawa dengan alasan bahwa di daerah Jawa orang-orangnya lebih
ramah dan lembut mungkin dengan hal ini akan lebih muda untuk menyebarkan
kekristenan di pulau Jawa, namun hal ini tidak begitu mendukung karena hanya
beberapa daerah saja yang bisa menerima kedatangan Portugis. Kemudian datanglah
Belanda, hal yang menarik bagi Belanda sehinga ingin menduduki wilayah Jawa
dikarenakan ketertarikan dengan bahasa dan budayanya yang dirasa unik. Belanda
pertama kali menyebarkan kekristenan di Batavia/Jakarta karena disitulah tempat
pertama kali Belanda mendarat lalu menjamurlah sampai ke bagian Jawa Barat,
Tengah, Timur, dan bahkan ke Yogyakarta. Namun kali ini kami para penyaji hanya
akan menjelaskan bagian di Jawa Barat, Tengah, dan Timur, karena sudah ada
pembedaan Provinsi untuk kedua daerah ini, meskipun hakikatnya daerah ini tetap
berada pada 1 pulau yang sama yaitu pulau Jawa.
Untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana kekristenan di Jawa maka kita
akan sama-sama melihat dan membahas sajian kali ini, Tuhan Yesus memberkati.
II.
Isi
2.1.Seputaran
Pulau Jawa
Pulau Jawa adalah sebuah pulau di
Indonesia dan merupakan pulau terluas ke-13 di dunia. Dengan jumlah penduduk sekitar
hampir 160 juta jiwa, pulau ini merupakan pulau dengan penduduk terbanyak di
dunia dan juga salah satu tempat terpadat di dunia dengan dihuni oleh 60%
penduduk Indonesia.[1]
Pulau Jawa terletak di wilayah yang dikelilingi perairan yang bervariasi. Mulai dari Laut Jawa yang berada di sebelah utara, Samudera Hindia di sebelah selatan, Selat Sunda di bagian Barat dan Selat Bali di bagian Timur.
Pulau Jawa terletak di wilayah yang dikelilingi perairan yang bervariasi. Mulai dari Laut Jawa yang berada di sebelah utara, Samudera Hindia di sebelah selatan, Selat Sunda di bagian Barat dan Selat Bali di bagian Timur.
Sebagai pulau terluas
di dunia, Pulau Jawa memiliki luas 138.793 km2. Karena letaknya yang
dikelilingi oleh perairan besar dimana terdapat palung-palung laut di dalamnya,
Pulau Jawa menjadi salah satu pulau yang rawan terjadi bencana di Indonesia.
Pulau Jawa yang berada
pada posisi 8 derajat lintang selatan dan memiliki rentan panjang sekitar 1.000
km, serta rentan lebar antara 100-200 km, secara geologis dapat dibagi dalam
tiga zona yaitu: Jawa lajur selatan, Jawa lajur tengah, dan Jawa lajur utara.
Pulau Jawa secara umum berhawa panas namun lembab. Suhu rata-rata di antara
26-27oC.[2]
2.2.
Kekristenan di Jawa pada masa Portugis dan Spanyol
Pekerjaan
Misi pada abad ke-16 sampai abad ke-18 tidak hanya terbatas pada Indonesia
Timur saja. Ada juga usaha menyebarkan Injil ke kawasan Indonesia Barat. Pada
abad ke-16 pulau Jawa sudah diIslamkan tetapi di ujung Timur beberapa negara
Hindu, sisa-sisa kerajaan Majapahit masih mempertahankan keHinduan mereka. Hubungan
politis membawa serta hubungan agama.[3]
Pada tahun 1584/85 datang sejumlah misionaris datang ke Blambangan dan berhasil
membabtis sejumlah orang, termasuk dari kalangan keluarga kerajaan. Tetapi pada
tahun 1590-an raja Blambangan semakin tidak suka dengan Portugis dan agama
Kristen karena kedekatan para misionaris dengan ibunda raja yang sekaligus
menjadi saingannya dalam menduduki tahta kerajaan. Tak lama kemudian pada tahun
1599 kerajaan Blambangan diserang dan berhasil diIslamkan oleh adipati kerajaan
Pasuruan yang sudah menganut agama Islam.[4] Dengan
demikian, tidak ada tempat di Indonesia bagian Barat, di mana GKR berhasil
menetap di tengah-tengah orang Indonesia yang ada hanya beberapa jemaat yang
terdiri dari pendatang-pendatang saja. Sebabnya kegagalan ini: daerah-daerah
pesisir di Indonesia Barat semua sudah memeluk agama Islam dan orang-orang
Portugis memusatkan perhatian mereka kepada Indonesia Timur yang dari sudut
ekonomis lebih penting bagi mereka.[5]
Kekristenan
di Jawa Timur sudah masuk sejak tahun 1528 dimana perjanjian antara Portugis
dengan kerajaan Blambangan, di kota pelabuhan Panarukan yang masih termasuk
dalam kerajaan ini berdiam sejumlah orang Portugis. Penduduk kerajaan sisa
Majapahit ini umumnya masih Hindu dan tidak bersedia masuk Islam yang tersebar
dari kerajaan tetangganya (Pasuruan, Surabaya, dan lain-lain). Diantara mereka
tertarik menjadi Kristen, tetapi tidak ada rohaniawan yang mengajarkan agama
baru itu kepada mereka. Baru setelah tahun 1584-1585 datang sejumlah misionaris
ke Blambangan. Mereka sempat membaptis sejumlah orang, termasuk dari kalangan
keluarga raja. Tetapi sejak pertengahan 1590-an raja Blambangan semakin tidak
menyukai kehadiran Portugis dan agama Kristen, karena kedekatan para misionaris
dengan ibunda raja yang sekaligus menjadi saingannya dalam menduduki tahta
kerajaan. Tidak lama kemudian, pada tahun 1599, kerajaan itu diserang,
diruntuhkan, dan diIslamkan oleh Adipati kerajaan Pasuruan yang sudah menganut
agama Islam. Dalam kejadian ini umat Kristen-Portugis maupun pribumi mengalami
penderitaan besar, tempat kediaman orang Kristen di dekat Panarukan dihancurkan
dan kosong, tidak berpenghuni. Dengan demikian, berakhirlah karya misi di sana.[6]
Pada
masa ini, keadaan umum di Jawa Timur tidak menunjukkan perbedaan besar dengan
yang berlaku di Jawa Tengah. Di Jawa Timur pun, tradisi kejawen bertahan di
samping pengaruh Islam yang kuat, di sini pun gerakan nasional lebih kuat
daripada dimana pun di luar Jawa (kecuali di Tapanuli Utara). Berbeda dengan
Jawa Tengah, di Jawa Timur pada tahun 1870-an proses penampungan ke Kristenan
Jawa oleh lembaga-lembaga zending Eropa sudah selesai.[7]
Di
Jawa Timur, kegiatan PI dimulai oleh seorang Jerman yang telah merantau ke
Indonesia. Bapa Emde (1774-1859)
adalah seorang pietis dari Jerman yang berlayar ke Indonesia untuk melihat
dengan mata kepala sendiri, apakah benar bahwa perkataan dalam Kej. 8:22
tentang musim dingin dan musim panas tidaklah sesuai dengan keadaan di daerah
khatulistiwa. Ia menetap di Surabaya, dimana ia bekerja sebagai tukang arloji.
Di situ ia dikunjungi oleh Joseph Kam, ketika ia ini sedang dalam perjalanan ke
Maluku dan kunjungan Kam itu membangkitkan semangat missioner pada Emde. Ia
mendirikan suatu perkumpuan p.I (1815) dan mengadakan pertemuan-pertemuan
keagamaan di rumahnya. Alat-alat untuk p.I diperolehnya dari Bruckner, seorang
pekabar Injil yang telah diutus ke Jawa bersama Kam, menjadi pendeta di
Semarang, tetapi kemudian beralih ke lembaga p.I Baptis Inggris, yang pada
tahun 1792 didirikan oleh William Carey. Bruckner telah mengarang
selebaran-selebaran dalam bahasa Jawa, dan Emde mendesak dia agar
menterjemahkan PB ke dalam bahasa Jawa. Terjemahan itu selesai dicetak pada
tahun 1831, tetapi langsung disita oleh pemerintah. Namun Emde sebelumnya sudah
menerima beberapa bagian terjemahan tersebut dalam bentuk salinan tangan, dan
itu disebarkannya, bersama istri dan anak-anak perempuannya, bersama dengan
selebaran-selebaran, dengan menyodorkannya kepada orang-orang yang kebetulan
lewat atau dengan menempelkannya di tempat-tempat ramai. Mula-mula pekerjaan
Emde itu tidak banyak membawa hasil. Pendeta GPI di Surabaya memandang dia
sebagai saingan dan mengadukannya kepada pemerintah. Akibatnya, Emde harus
meringkuk dalam penjara selama beberapa minggu. Hal ini terjadi pada tahun
1820; di kemudian hari sikap GPI menjadi lebih positif. Tetapi dikalangan
orang-orang Jawa juga pekerjaan Emde pada mulanya tidak mendapat sambutan yang
hangat. [8]
2.3.
Kekristenan di Jawa pada masa Belanda-VOC
Satu abad setelah orang-orang Portugis,
orang-orang Belanda datang ke Indonesia tepatnya di Ambon juga orang-orang
Belanda adalah orang Kristen dengan aliran Calvinis.[9] Di
Ambon terdapat Gereja Protestan pertama, yang selama dua abad lebih tetap akan
merupakan yang terbesar di Indonesia. Tapi VOC membutuhkan suatu pangkalan yang
letaknya dipusat wilayah pengaruhnya oleh karena itu orang-orang Belanda
merebut Jakarta dan mengganti nama Jakarta menjadi Batavia dan menjadikan
Batavia sebagai pusat kekuasaan mereka di
Indonesia bahkan di Asia (1619). Di situ berkedudukan Gubernur-Jendral dengan
seluruh aparatur pemerintah VOC di situ juga terdapat sejumlah besar orang
Kristen. Mula-mula orang Kristen diberi pemeliharaan rohani seperti yang lazim
seperti menghibur orang yang sakit, membacakan doa-doa dan khotbah sebagimana
telah ditetapkan. Lalu datanglah seorang pendeta tetapi belum terdapat jemaat
dalam arti yang sebenarnya karena belum ada perayan Perjamuan Kudus. Lalu
mereka mengajukan permohonan supaya pemerintah mengatur keadaan gereja. Mereka
meminta agar kebaktian dalam bahasa Melayu, Perjamuan Kudus dan pembentukan
majelis gereja. Pada Januari 1621 jemaat Kristen di Batavia merayakan Perjamuan
Kudus pertama kali dan dihadiri 41 orang. Gereja itu semakin berkembang pesat
sama seperti kotanya. Jumlah anggotanya bertambah terus. Sekitar tahun 1700
boleh ditaksir ada 15.000 Kristen dan terdapat puluhan sekolah yang perkiraan
muridnya 5.000 murid. Mula-mula Batavia merupakan satu-satunya jemaat di
Indonesia bagian Barat. Dengan meluasnya perdagangan dan kekuasaan VOC di
wilayah itu maka dibentuk juga jemaat-jemaat di tempat lain seperti: Malaka
(1641), Makasar tepatnya di Ujung Pada (
1670), Padang (1683),
Semarang, Surabaya dan lain-lain. Beberapa diantaranya memiliki pendeta dan
majelis sendiri seperti Malaka, Makasar dan Semarang yang lain dilayani seorang
penghibur orang-orang sakit dan sesekali dikunjungi dari Batavia.[10]
Pada tahun 1657-1714 seorang tokoh bernama Cornelis Chastelein yang juga
merupakan mantan pejabat tinggi (ketua kamar dagang) VOC pada tahun 1682-1691.
Ia meninggalkan pekerjaannya dan membeli banyak lahan pertanian di Depok. Ia
mendatangkan duaratusan pekerja (budak) dari berbagai penjuru Nusantara dan ia
mendidik para pekerjanya dalam Iman Kristen, sampai sebagian besar pekerjanya
memberi diri untuk masuk kristen dan dibabtis. Selanjutnya Chastelein
membebaskan status para pekerjanya (budak) dan mewariskan kepada mereka lahan
pertanian tersebut. Mereka dikelompokkan kedalam 12 marga dan diberi nama
keluarga baru: Jonathans, Leander, Loen, Sudira, dsb. Mereka kemudian menyebut
diri mereka sebagi orang Depok Asli.[11]

2.4.
Kekristenan di Jawa pada masa Hindia Belanda
Agama
Kristen mulai tersebar di pulau Jawa oleh usaha beberapa orang Jawa yang secara
“kebetulan” berkenalan dengan injil lalu menyebarkannya di kalangan bangsa
mereka. Para Zendiling baruklah datang kemudian untuk mengatur dan membina
jemaat-jemaat Kristen yang sudah bertumbuh secara spontan. Yang mungkin kurang
diketahui umum ialah bahwa dikalangan suku Tionghoa pada zaman yang sama
berlangsung perkembangan serupa, dibeberapa tempat orang Tionghoa bertemu
dengan agama Kristen dan menerimanya, lalu menjadi penginjil diantara sesama
sukunya.[12]
Pada tahun 1811 Inggris mengusir Belanda
dari Nusantara tetapi lima tahun berikutnya Belanda kembali ke Nusantara.
Tetapi pada tahun 1825-1830 terjadi pemberontakan Diponegoro dan langsung
disusul peperangan di benua Eropa pada tahun 1830-1839 sehingga Belanda
mengalami kesulitan dibidang perekonomian. Tidak mengherankan bahwa pemerintah
Hindia-Belanda bertekat untuk mengisi kembali kas/perbendaharaan mereka dengan[13]
mengerahkan orang-orang Jawa untuk bekerja yaitu sistem Tanam Paksa. Negeri
Belanda membutuhkan uang dan jangan hendaknya ada yang mengganggu keamanan dan
ketertiban mereka. Oleh karena itu pemerintah Belanda enggan mengizinkan
lembaga-lembaga zending bekerja di Jawa selama masa itu dan sesudah itu pun
pekerjaan mereka sering mengalami rintangan dari pihak para pejabat pemerintah.[14] Dengan
situasi ini membuat kerinduan masayarakat Jawa akan datangnya Ratu Adil dan
kembalinya keadaan yang makmur sejahtera kian mengental. Namun, sampai sekitar
tahun 1850 pekabaran Injil dan perkembangan kekristenan masih sangat terbatas
antara lain karena pembatasan bahkan larangan oleh pemerintah kolonoal HB.
Walaupun ada larangan dan pembatasan terhadap zending, namun sejak 1850 mulai
tampil sejumlah pribadi Kristen asal Eropa melaksanakan tugas pekabaran Injil
secara perorangan dengan kata lain, di luar kerangka pekerjaan badan-badan
zending. Para zending ini adalah Johannes Emde, C.L. Coolen, Ny.
Philips-Stevens, Ny. Van Oostrom Philips dan Mr. F.L Anthing dan hasil dari
pekerjaan mereka adalah banyak orang Jawa yang semula Kristus.[15]
2.5.
Kekristenan di Jawa pada masa Indische Kerk
Orang Kristen Jawa menolak bentuk agama
Kristen yang telah disesuaikan dengan kebudayaan Jawa dan mereka berpaling
kepada agama Kristen gaya Emde (Jerman) yang justru kebiasaan Jawa. Salah
seorang diantara mereka yang meminta untuk di Baptis yaitu Paulus Tosari.
Tosari berguru kepada Coolen yang tugasnya ialah memimpin kumpulan-kumpulan
pada hari Minggu dan Kamis malam, Coolen tidak tahan melihat anak-anak buahnya
menerima Baptisan serta adat orang Belanda tetapi dalam tata kebaktian dan
dalam hal-hal lain memakai bentuk dari Barat sementara itu NZG akhirnya
mendapat ijin dari pemerintah Hindia-Belanda untuk memulai pekerjaan di
Gerejawi.[16]
2.6.
Kekristenan di Jawa pada masa Gerakan Nasionalisme di Indonesia
Ada berbagai aliran perubahan yang
berpengaruh dalam kekristenan pada bagian pertama abad ini dan turut menentukan
sikap zending terhadap pergerakan nasionalisme, munculnya teologi etis
menyatakan diri dalam seluruh kepribadian seseorang. Yang utama adalah
persekutuan yang hidup antara pribadi-pribadi yang beriman. Pengaruh aliran ini
dalam kalangan Zending tampak pada kuatnya perhatian terhadap masalah-masalah
agama dan kebudayaan pribumi dalam hubungan dengan tekanan pada pendidikan
sebagai bagian dari tugas penginjilan. Gejala penting lainnya dalam urbanisasi,
pemuda-pemuda dari suku-suku yang pada umumnya memeluk agama Kristen turut
berpindah ke kota-kota besar dalam rangka pendidikan lanjut atau mengisi
lowongan kerja pada berbagai lembaga pemerintahan. Demikianlah maka dijumpai
kelompok-kelompok orang Kristen Indonesia di kota-kotan besar di Jawa.
Pendekatan yang lebih terhadap nasionalisme Indonesia diwakili tokoh-tokoh: B.M
Schuurman (1889-1945), C.L. van Doorn (1896-1975), J.M.J. Schepper (1888-1967)
dan khususnya Hendrik Kraemer (1888-1965). Kraemer dapat dianggap sebagai
pembawa wawasan baru Zending terhadap nasionalisme Indonesia. Mengikuti pandangan
A.C.Kruyt dan N.Adriani, Kraemer memandang tugasnya untuk menjalin hubungan
pribadi dengan kelompok-kelompok yang bereaksi terhadap penetrasi Barat, dengan
tujuan memperhadapkan penginjilan secara
cerdas kepada mereka mengarahkan penginjilan dan pemahaman yang lebih dalam
pada masalah-masalah tanah rohani di mana benih ditaburkan dan menampilkan
keterlibatan Kristen dalam melawan kekacauan rohani dan moral yang dialami
bangsa-bangsa timur sebagai dampak perhubungan dengan Barat. Kraemer yang secara
resmi merupakan utusan Lembaga Alkitab Belanda di Indonesia melaksanakan
panggilan itu.[17]
Di Jawa Timur, Jemaat Mojowarno menjadi
semacam pilot project menuju
kemandirian gereja. Konteks dari proses pemandirian itu adalah suatu haluan
baru Zending. Zending mengubah haluan dari penginjilan desa ke pembentukan
pusat-pusat penginjilan di kota (dalam rangka itu di Malang dibangun
pusat-pusat pelayanan gereja) dan dari sikap perwalian ke pendewasaan
jemaat-jemaat.[18]
2.7.Kekristenan
di Jawa pada masa Jepang
Pada
tahun 1930 kekuatan Hindia Belanda mulai merosot dikarenakan kian gencarnya
gerakan-gerakan partai-partai berskala nasional yang memperlihatkan gerakan
anti penjajahan dan memperjuangkan kemedekaan Indonesia. Pada tahun 1939
meletuslah Perang Dunia ke II yang antara lain Jerman berhasil menduduki negara
Belanda pada tanggal 10 Mei 1940 sehingga ratu serta pemerintah Belanda
terpaksa mengungsi ke Inggris. Lalu dilanjut lagi dengan penyerangan Jepang
terhadap Pearl Harbour pada tanggal 7 Desember 1941, walaupun belum ada
penyerangan kepada Hindia Belanda. Pada tanggal 10 Januari 1942 penyerangan
Jepang ke Indonesia dimulai[19]
tepatnya di Minahasa dan berhasil direbut lalu pada bulan Februari Ambon dan
Timor berhasil direbut dan dilanjutkan pada bulan Maret yang di mana pulau Jawa
dan Sumatera telah berhasil direbut oleh Jepang. Lalu Jepang membagi dua
wilayah Jawa dan Sumatera berada di bawah pemerintahan Angkatan Darat Jepang
sedangkan Kalimantan, Sulawesi dan Indonesia bagian Timur di bawah pemerintahan
Angkatan Laut Jepang. Sedangkan sikap Jepang terhadap agama-agama di Indonesia
berbeda-beda tergantung pada tempat dan waktunya. Pada dasarnya ekspektasi
orang Islam, bahwa Jepang menyukai Islam tetapi realitanya adalah orang Jepang
banyak melukai hati orang Islam. Lalu karena alasan politik maka penguasa
Jepang menghormati Islam dan memungkinkan perkembangan organisasi Islam
walaupun nanti akan dimanfaatkan Jepang sebagai alat propaganda Jepang dan
sebaliknya, Jepang menganggap Kristen itu adalah mata-mata musuh[20]
dan menganiaya orang Kristen. Banyak orang Kristen dianiaya Jepang, mulai dari
pemimpin Kristen hingga zendeling Barat juga dianiaya dan dibunuh. Memang
banyak orang Kristen mengalami penagniayaan tetapi orang Kristen di Indonesia
mendapatkan manfaat ketika Jepang datang yaitu mempercepat proses kemandirian
gereja.[21]
Pada tanggal 5 April 1942 pemerintah Jepang mengeluarkan pernyataan yang
ditujukan kepada gereja Kristen di Pulau Jawa yang isinya adalah “Pemerintah bala tentara Nippon soeka dan
menanggoeng dengan soenggoeh-soenggoeh melingoengi semoea agama sepeti jang
soedah diberitahoekan kepada orang banjak. Djadi oenga Kristen Indonesia di
Poelaoe Djawa boleh seperti biasa melakoekan atoeran-atoeran
(oeroesan-oeroesan) agamanja dengan selamat dan sedjahtera (tidak dapat
ganggoean apa-apa). Tetapi dalam prakteknya, Jepang memata-matai Kristen
yang tujuannya hanyalah menyamakan gereja-gereja Indonesia sama dengan
gereja-gereja di Jepang bahkan sedikit lebih rendah. Menghadapi masa suram
seperti ini, gereja-gereja di Jawa mencoba saling memperkuat ikatan diantara
mereka. Pada tanggal 17-19 Juni 1942 diadakan rapat di Yogyakarta yang dihadiri
oleh Majelis Agung Jawi Wetan,
Perepatan Agung Jawa Tengah Utara, Gereja Kristen Jawa Tengah Selatan, dan
Sinode Jawa Barat untuk memilih wakil dalam dialog dengan pemerintah pendudukan
Jepang.
Akibat
dari tindakan pemerintah pendudukan Jepang yang mulai kelihatan menyudutkan
Kristen, orang tidak berani lagi mengadakan rapat-rapat majelis gereja. Ada
klasis yang selama pendudukan Jepang tidak mengadakan rapat. Juga ada sebuah
gereja yang menghapuskan kolekte untuk orang miskin oleh karena takut pada
kemungkinan larangan Jepang. Beberapa gedung gereja ditutup sehingga kebaktian
Minggu terpaksa diadakan di rumah-rumah. Di Jepitu-Gunung Kidul dan di
Glonggong Kebumen misalnya, banyak umat yang dibujuk unutk menginggalkan
kekristenan, namun mereka ternyata masih mencintai Tuhannya. Sayangnya tidak
semua warga gereja tegar dalam situasi ancaman yang kian semakin besar, banyak
diantaranya menyembunyikan Alkitab dan bahkan ada yang membakarnya untuk
menghidari tuduhan yang mengancam jiwanya. Akibat lain adalah katekisasi juga
ikut terhenti. Setelah satu tahun berlalu, Jepang mengambil-alih gedung gereja
untuk kepentingan Jepang yaitu gedung gereja Gondokusuman-Yogyakarta dijadikan
gudang senjata dan gedung gereja Wonosari dijadikan asrama prajurit PETA juga
penyelenggaraan ibadah dilarang, kunjungan guru (Injil) ditolak, bahasa Belanda
juga tidak lagi dipergunakan. Teologisch
Opleidingschool Yogyakarta yang semula ingin bertahan, tetapi dengan alasan
karean dosen-dosen yang mengajar itu adalah bangsa Belanda sehingga sekolah
teologi ini ditutup oleh pemerintah pendudukan Jepang. Kehidupan jemaat secara
ekonomi adalah lemah dan semakin lemah sehingga berimbas kepada para gutu Injil
dan pendeta yang mengasuhnya. Ada sekitar 15% guru Injil yang tidak lagi dapat
melayani karena kesulitan ekonomi yang manghimpitnya. Oleh karena kerja keras
deputat Synode dibantu Ds. Basuki Probowinoto yang berhasil mendapat dukungan
dana dari Gereja Jawa di Jakarta, Gereja Gereformeerd Kalisari Semarang, serta
gereja-gereaj Tionghoa dapat memperingan beban kehidupan guru Injil.[22]
2.8.
Kekristenan di Jawa pada masa Indonesia Merdeka
Pengalaman dan kehidupan gereja di masa
pendudukan Jepang sangant mempengaruhi jalannya sejarah Gereja di Indonesia
dalam periode berikut ini. dengan menyerahnya Jepang pada Sekutu pada tanggal
14 Maret 1945 maka dengan itu berakhirlah penderitaan, penganiayaan dan
penjajahan Jepang di Indonesia. Bersamaan dengan itu usaha dan semangat
Indonesia untuk merdeka sudah sampai pada tahap kematangan yaitu puncaknya pada
pembacaan Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada waktu itu gereja- gereja sepenuhnya sadar bahwa
perjuangan unutk memperoleh kemerdekaan bangsa itu adalah tugas dan
tanggungjawab seluruh bangsa Indonesia dan orang Kristen sebagai bagian yang
tak terpisahkan ikut pula dalam memperjuangkan kemerdekaan.[23] Kurun
waktu sesudah kemerdekaan secara tak diduga-duga menjadi periode kesempatan
besar bagi penginjilan, walaupun dalam bidang pendidikan dan pekerjaan, Gereja
Kristen Jawa Timur hanya sedikit saja yang menunjukan prakarsa (hal ini
dikarenakan bahwa adannya tanggung jawab Pemerintah dalam bidang pendidikan dan
pemuda). Di mana-mana, khususnya kalangan pemuda, terjadinya serangkaian
paetobatan. Hanya sedikit bertobat yang disebabkan oleh karya penginjilan atau
penginjilan yang terorganisasi. Kebanyakan terjadi lewat mekanisme
“kebertetanggaan”. Karya ini berlangsung selama hari-hari besar Muslim dan
Kristen yang di man ajang saling mengunjungi tetangga. Perayaan keluarga
seputar Natal kerap merupakan kesempatan untuk mengundang para tetangga dan
kenalan, seraya memberitahukan kepada mereka akan makna dari gari besar
tersebut. Di kota-kota, dilangsungkan kunjungan ke penjara-penjara apalagi di
Malang, dikunjungi para tahanan perempuan. Demikian juga mereka mengunjungi
yang sakit. Jelas bahwa di dalam situasi yang berubah ini, pelayanan Kristen, demikian
pula kesaksian, tengah mencari bentuk-bentuk baru.[24]
2.9.Kekristenan
di Jawa pada masa Orde Lama
Seiring berkembangnya nasionalisme
kesadaran oikumenis dikalangan gereja-gereja di Indonesia bertumbuh, dan itu
mulai muncul sejak 1920-an. Dan penderitaan gereja-gereja besama seluruh rakyat
Indonesia di masa kedudukan Jepang, itu menyadarkan mereka bahwa pentingnya
kesatuan dan rasa saling membutuhkan serta urgensi untuk bersaksi dan melayani
secara bersama dalam kesetiaan kepada Tuhan yang satu. Pada Orde Lama ini
dibentuklah Dewan Gereja-gereja Indonesia(DGI) dengan dibentuknya DGI dilihat
sebagai langkah untuk menghantar gereja-gereja di Indonesia memasuki zaman baru
dalam sejarah bangsa Indonesia yaitu zaman kehidupan negara dan bangsa yang
kemerdekaan dan kedaulatannya diakui seluruh dunia. [25]
2.10. Kekristenan di Jawa pada masa Orde
Baru
Kegagalan
pemberontakan G 30 S tahun 1965 di mana pemerintah mengeluarklan perintah agar
seluruh rakyat Indonesia di wajibkan untuk memeluk 1 agama resmi, apabila tidak
memeluk satu agama resmi maka dianggap G 30 S. Dalam konteks Indonesia paska
revolusi G 30 S 1965 tersebut, GKJ termasuk entitas keagamaan yang sangat
diuntungkan dalam pertambahan jumlah umatnya seklaigus dengan keadaan tersebut
ia harus berumul mengenai kualitas kekristenan warga gerejanya, baik yang sudah
lama atau baru hasil pertobatan masalnya. Konteks sosio-politik paska revolusi
G 30 S 1965 pemerintah memberikan tantangan baru dalam pergumulan gereja-gereja
di Indoneisa pada umumnya dan GKJ pada khususnya. Tantangan-tantangan
pergumulkan tersebut dapat dipetakan dalam beberapa poin berikut:
1.
Hubungan kerja sama ekumenisnya dengan
gereja-gereja luar negeri, terutama dari negara-negara Barat, kembali terbuka
setelah sebelumnya mengalami hambatan oleh karena politik isolatip-anti Barat
(oleh Presiden Ir.Soekarno, tahun 1950-an). Bukannya tidak berguna tetapi
justru politik isolatip tersebut secara mental sangat penting terhadap
perkembangan mentalitas kemandirian gereja-gereja.
2.
Sebagaimana entitas-entitas lainnya
gereja-gereja Indonesia pada umumnya sangat antusias menyambut kehadiran
pemerintah orde baru dengan sedikit sikap kehati-hatian. GKJ sebagi entitas
sosi-religius gerejawi nasional tentu menghayati dirinya dalam proses sejarah
politik nasioanal tersebut. Mengingat Konfrensi Nasional Gereja dan masyarakat
diselenggarakan oleh PGI di Salatiga yang menjadi “tuan rumah” maka secara
logis dapat diduga intensitas GKJ cukup tinggi dalam mengikuti dan menyerap
pergumulan dan pembaharuan gereja tersebut.[26]
2.11. Kekristenan di Jawa pada masa
Reformasi di Indonesia
Gereja di Jawa dilahirkan dan
ditumbuhkan dalam konteks JawaTimur. Gereja pun dipanggil untuk bersaksi dan
melayani dalam konteks masyarakat Jawa Timur itu, dan lebih luas dalam
masyarakat Indonesia. Bahkan lebih luas lagi masih ada peranan kita di dalam
oikumene.[27]
Sesudah tahun 1971, peningkatan jumlah anggota berjalan lebih lambat (153.000
pada tahun 1997). Pada tahun 1995-1998, GKJW menderita menderita bersama
gereja-gereja Kristen lainnya di Jawa karena serentetan peristiwa yang antara
lain ditandai pengerusakan gedung-gedung gereja.[28]
2.12. Gereja Protestan di Jawa
2.12.1. GKJ ( Gereja Kristen Jawa )
Gereja Kristen Jawa didirikan pada tanggal
17 Februari 1931 adalah sebuah ikatan Gereja-gereja Kristen Jawa yang
seluruhnya berjumlah 333 gereja yang terhimpun dalam 32 klasis dan tersebar di
6 provinsi di pulau Jawa.[29]
Gereja ini merupakan
hasil kegiatan pekabaran injil beberapa kaum awam dan perhimpunan pekabaran
injil. Pada masa VOC telah didirikan sebuah jemaat di Semarang, yaitu pada
tahun 1753. Jemaat ini hanya melayani orang Kristen VOC dan orang Kristen Indonesia
yang menjadi pegawai atau tentara VOC. Pada masa Hindia Belanda, jemaaat ini
menjadi jemaat Indische Kerk (GPI). Sekalipun demikian pekabaran injil tetap
berlangsung yang dilaksanakan oleh kaum awam. Kegiatan-kegiatan mereka ini
menyebabkan adanya orang Jawa yang menjadi Kristen. Kaum awam yang dimaksud
adalah Mr. A. A. Keuchenius, mantan residen Tegal. Pada tahun 1873 sudah
terdapat sekitar 2.000-an orang Kristen Jawa yang tersebar di seluruh Jawa
Tengah.[30]
Pokok-pokok ajaran GKJ ini memiliki kelebihan
dan kekurangan. Kelebihannya ialah pokok-pokok ajaran GKJ tahun 1996 ini telah
memenuhi kebutuhan masa kini GKJ, artinya dapat menjawab tantangan konkret dari
konteksnya. Pada sisi yang lain pokok-pokok ajaran GKJ dianggap penyajiannya
menggunakan bahasa akademis sehingga cocok untuk kaum cendikiawan dan sukar
dipahami oleh orang-orang yang berpendidikan sederhana.[31]
GKJ secara proaktif mengupayahkan
terjadinya hubungan antar gereja-gereja tetangga, terutama gereja-gereja di
Jawa dan kemudian secara lebih luas gereja-gereja di Indonesia. Sejak sebelum
Perang Dunia II tahun 1939 upaya GKJ pada masa pendudukan Jepang kemungkinan
lebih merupakan suatu tindak lanjut dan perluasan dari gagasan dan upaya
sebelumnya.[32]
2.12.2. GKJW ( Gereja Kristen Jawi Wetan )
Permulaan sejarah Gereja Kristen Jawi
Jawetan ditentukan oleh dua orang yang sangat berlainan coraknya yaitu Bapa
Emde dan Coolen.[33]
Gereja ini merupakan
hasil kegiatan pekabaran injil kaum awam dan Perhimpunan Pekabaran Injil
Belanda (NZG). Pada masa VOC, di Surabaya telah terbentuk sebuah jemaat pada
tahun 1785. Jemaat ini terus hidup hingga masa pemerintahan Hindia-Belanda.
Jemaat ini hanya melayani orang Kristen Eropa dan Indonesia yang berasal dari
Indonesia Timur. Dua orang awam ini adalah Johannes Emde dan Coolen(kami
tidak menjelaskan lagi mengenai tokoh ini karena dalam tokoh-tokoh kekristenan
di Jawa kami sudah menjelaskan). Gereja ini mendirikan sekolah teologinya
sendiri pada tahun 1920 di kediri. Terdapat dua perhimpunan pekabaran injil
yang berjasa bagi kemunculan GKJW, yaitu NZG dan Komite Jawa. Pada masa
pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan, jemaat-jemaat GKJW mengalami
penderitaan. Pada tahun 1947 GKJW ikut mendirikan Dewan Perumusyawaratan
Gereja-gereja dan menjadi anggota PGI pada tahun 1950.[34]
2.12.3. GKJTU ( Gereja Kristen Jawa Tengah
Utara)
Gereja ini merupakan hasil karya pekabaran
injil Zending Salatiga. Zending Salatiga merupakan badan kerja sama antara
jemaat Ernelo di Belanda dan Neukirchener Mision. Sebelum Zending Salatiga
bekerja di sini sudah terdapat sekelompok orang Kristen hasil pekabaran Injil
awam, yaitu Ny. Le Jolle, seorang istri pegawai perkebunan di dekat Salatiga,
yang dibantu oleh Petrus Sedoyo kedua orang ini memberitakan injil kepada
buruh-buruh perkebunan itu dengan berhasil. Tahun 1937, jemaat Zending Salatiga
membentuk sinode sendiri yang bernama Prapatan Agung namun kepemimpinan dan pembiayaan
masih di dalam tenaga Zending. Pada tahun 1953 jemaat Zending Salatiga ke luar
dari GKJ dan membentuk sinodenya sendiri dengan nama Gereja Kristen Jawa Tengah
Utara, kantor pusatnya di Salatiga.[35]
2.12.4. GKP ( Gereja Kristen Pasundan)
Gereja ini merupakan kegiatan PI dari
Belanda yaitu NZV. NZV diizinkan bekerja di Bandung pada tahun 1863. Pada tahun
1865 pdt. Albers berdiam di Cianjur dan berusaha memberitakan injil kepada
orang sunda. NZV bekerja keras untuk menarik orang Sunda supaya menjadi
Kristen. Desa-desa yang didirikan antara lain Cideres (1877), Pengharapan
(1886), Palalangon (1902), Tamiang (1920). Hasil PI NZV bukan saja terdiri
atasorang Sunda tetapi juga terhadap orang Cina, hasil PI pada orang Cina kelak
akan melahirkan Gereja Kristen Jawa Barat disampin NZV Anthing memberitakan
injil dengan biaya sendiri yang didukung oleh perhimpunan PI di dalam dan di
luar gereja. Ia memulai kegiatannya pada tahun 1865 di Jakarta dan sekitarnya,
Kampung Sawah, Cikuya, Gunung Puteri, Cilegam, Rangkas Bitung, Tangerang, dan
Bogor. Pada tahun 1883 Anthing meninggalkan jemaatnya dan jemaatnya digabungkan
ke GKP. Sistem pemerintahan GKP adalah presbiteral
sinodal. Kantor pusat GKP berada di Bandung dan GKP menjadi anggota PGI
pada tahun 1950.[36]
Visi GKP yang dicanangkan pada tahun 2007
adalah GKP menjadi gereja sesama. Dalam mencapai visinya ini GKP sangat
menyadari konteks tempat di mana ia hidup dan menggereja, dalam melaksanakan
misinya GKP memberikan perhatian khusus pada 5 isu dasar yang kemudian disebut
5 agenda utama. 5 agenda tersebut kemudian dijabarkan ke dalam pokok-pokok program
kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan sebagai rencana kerja tahunan oleh semua
bagian GKP dalam ke 5 agenda utama ini dapat ditemukan kesadaran GKP oleh
Konteksnya; diantaranya adanya proses globalisasi yang mendunia, dekadensi,
moral dalam masyarakat, adanya kemiskinan serta perusakan lingkungan yang sudah
demikian parah. Dengan melihat visi ini sebenarnya GKP secara sinodal mencapai
panggilannya menjadi rekan kerja Allah dalam mendatangikan kerjaan di Bumi.[37]
Catatan: Tema Gereja Kristen Jawa
Tahun 2020 “Hidup Dan Berkarya Bersama Sebagai Anggota Keluarga Allah.”
2.13. Aliran-aliran Kekristenan lain di
Jawa
2.13.1. Katolik
Dalam pengalaman awalnya, Gereja Katolik
sudah mengalami masalah sekitar kebebasan gereja. Pada tahun 1908 lahirlah Pergerakan Nasional Budi
Utomo. Suasana politik awal abad 20 membawakan arus menuju kemerdekaan. Panitia
peninjauan perundang-undangan yang dibentuk tahun 1918, gereja Katolik
mendukung kepentingan orang-orang pribumi, demi hak-hak yang sama yang harus
mereka terima. Belanda, Indo dan Jawa mulai saat ini akan hidup rukun sebagai
saudara di dalam satu rumah jika tidak, tidak lama lagi mereka tidak akan hidup
bersama-sama. Orang Jawa sekarang sudah mulai memandang gereja Katolik sebagai
kekuatan yang berdiri di luar nasionalisme Belanda dan jiwa dan kepribadian
Jawa.[38]
2.13.2. GMI
Pada tahun 1897 Pdt.
John Russel Denyes diutus Badan Misi Methodis ke Singapura menjadi guru di
Angelo Chinese School, merangkap sebagai misionaris dikalangan masyarakat
Tionghoa penutur bahasa Melayu yang disebut Cina Baba. Penempatan ini
memungkinkan Denyes bertemu dengan sejumlah murid Tionghoa yang berasal dari
Jawa. Orang Tionghoa memohon agar Misi Methodis masuk ke Indonesia tepatya di
Jawa. Pemikiran orang Tionghoa bahwa jika misi Methodis hadir di Jawa maka mereka
tidak perlu repot-repot lagi memberangkatkan anak mereka untuk bersekolah di
Singapura. Perjumpaan inilah yang membuat Denyes tertarik untuk membuka misi di
Jawa. Selain hendak membuka misi di Jawa, Denyes juga merasa terpanggil untuk
menginjili orang Islam yang ada di Jawa setelah mengetahui bahwa di Jawa boleh
dilakukan misi kepada orang Islam. Ketika Denyes terbeban dan berdoa agar Tuhan
membuka jalan untuk menjadi pionir Methodis di Jawa, ketika itu pula tahun 1900
terjadi gerakan PI dikalangan pemuda Methodis di daerah Konferensi Pittsburg,
Pennsylvania, Amerika Serikat. Mereka sepakat untuk mengumpulkan 4000 dollar
setahun untuk dipergunakan demi membiayai pengiriman seorang misionaris ke
daerah penginjilan di luar negeri. Pada tahun 1903, Denyes curi dari
pekerjaannya untuk mencari bantuan dana pada waktu yang sama sekertaris
perkumpulan pemuda Methodis dari Pittsburg Coference, Elizabeth Harper Brooks
dipanggil ke New York (kantor pusat Bada Misi Methodis) untuk membantu proses
persiapan pameran Misi yang akan diselenggarakan pada tahun 1904 di Los
Angeles, Amerika Serikat. Ketika sedang menyeleksi foto-foto, Elizabeth
tertarik pada satu foto yaitu pulau Jawa. Ketika Denyes menjelaskan tentang
programnya di Jawa hal itu disambut baik.[39]
2.13.3. Gereja Pentakostal-Kharismatik di
Jawa
Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini
ada kurang lebih 4 gereja yang bisa dikategorikan sebagai mega Church. Dan itu berarti setiap hari
minggu ada lebih dari 5000 orang yang datang ke Gereja. Ini merupakan
perkembangan yang menakjubkan bukan hanya karena 90% penduduk yang tinggal di
sekitar Gereja itu mayoritasnya muslim, melainkan juga karena di Jawa sangat
lah sulit mendapatkan izin pemerintah untuk membangun Gereja. Meskipun
demikian, kelompok Kharismatik mengalami pertumbuhan secara kuantitas. Begitu
pula Gereja yang ada di Jawa merupakan sebuah refresentasi Gereja yang mandiri
dilingkungan Gereja-Gereja Pentakostal-Kharismatik. Cuma Gereja reformed injili
Indonesia adalah sebuah pengecualian. Gereja ini merupakan Gereja Kharismatik
yang merasa memiliki akarnya pada Gereja reformasi Calvin. Berarti semua Gereja
yang beraliran Pentakosta dan kharismatik yang ada di Jawa, semua adalah aliran
yang berbeda dengan Gereja arus utama.[40]
2.14. Tokoh-tokoh Kekristenan di Jawa
1. Bruckner
Ditempatkan di Semarang
tetapi kemudian bergabung dengan paguyuban misionaris baptis. Ia salah satu
tokoh yang giat dalam menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Jawa, ia meninggal
pada tahun 1857.[41]
2. Coen Laurens Coolen
Coolen adalah seorang
perankan Rusia-Belanda dan Jawa dari ibunya seorang puteri bangsawan Jawa, ia
mewarisi kebudayaan Jawa yang sedikit banyak sudah bercampur dengan islam. Pada
tahun 1827 ia membuka kawasan hutan yang luas di sekitar 60 Km dari Surabaya,
yang kemudian berkembang menjadi desa yang makmur dan ialah sebagai pemimpin di
desa itu. Dalam mempraktekan kekristenannya Coolen tetap menghormati warga
desanya yang Muslim (mengijinkan mereka membangun mesjid).[42]
Pada setiap minggu Coolen menggelar kebaktian di pendopo rumahnya sendiri,
mereka menyanyikan nyanyian rohani dan berdoa dari bagian-bagian Alkitab dengan
gaya bertembang. Beliau dengan tekunnya mengajarkan tentang dosa dan Yesus
Kristus sang Juruselamat, tetapi beliau menolak sakramen baptisan dan perjamuan
kudus karena menganggapnya sebagai tradisi kebarat-baratan.[43]
Bahkan Coolen juga membuka perdebataan sehingga ketika tidak seorang pun mampu
mengalahkan argumentasi Coolen, maka ngelmu
bab Gusti Yesus akhirnya diakui sebagai ngelmu
tertinggi yang patut mereka ikuti. Berkat aktivitas empati Coolen atas
orang-orangnya, di Ngoro lahir suatu jemaat Kristen yang khas, khas jemaat
Ngoro. Khas karena kekristenannya sangat kental dengan kejawaan,
tembang,wayang, dan rapal, bahkan dengan
yang berbau islam seperti dzikir dan masjid. Coolen sendiri menyebut
kekristenan yang dibentuknya sebagai “Kristen Jawa” bukan “Kristen Landa”.
Kekristenan yang tidak membuang unsur-unsur jawa dari para pengikutnya. Oleh
sebab itu sakramen yang dianggap unsur Kristen
Landa tidak diberikan kepada pengikutnya supaya jemaatnya tidak
meninggalkan cara hidup kejawaannya sendiri. Prinsipnya sebagai orang Kristen,
orang Jawa itu harus tetap Jawa.[44]
3. Johannes Emde
Seorang Jerman yang menikah dengan seorang
wanita Jawa, giat memberitakan injil kepada orang Jawa pada tahun 1814. Emde
adalah anggota jemaat GPI Surabaya. Banyak orang Jawa yang bertobat dan
dibaptis di GPI Surabaya. Corak Kekristenan yang dibentuk oleh Emde adalah
kekristenan Eropa (Barat).[45]
Berbeda dengan Coolen yang tidka bersedia membuang budaya Jawa dari kekristenan
pengikut-pengikutnya, Johannees Emde justru sebaliknya. Emde dan pengikutnya
pantas disebut “Kristen Landa”. Penginjilan Emde dilakukan dengan meminta
anak-anaknya menyebarkan Injil Markus terjemahan Bruchner. Setelah mendapatkan
pengajaran agama Kristen dari Emde beberapa waktu, pada tanggal 12 Desember
1843 ada beberapa orang menerima baptisan dari Pdt. A.W. Meijer di Gereja
Protestan Surabaya. Karena dangkalnya pengetahuan Emde tentang kekristenan dan
budaya, Emde memutuskan para pengikutnya ini dari budaya Jawa melalui beberapa
larangan dan keharusan. Mereka patut disebut Kristen Landa karena perilaku budaya mereka diatur menurut budaya orang
Belanda.[46]
4. Mr. F. L. Anthing
Tokoh kedua yang menjadi motivator
penginjilan di antara orang pribumi di Jawa Tengah adalah Mr. F.L. Anthing.
Ambtenaar pemerintah kolonial Hindia Belanda yang dilahirkan pada tahun 1820
ini. Mr. Anthing sangat menyadari bahwa suku Jawa dan Sunda pada waktu itu
memiliki ciri khas dalam beragama. Hampir sebagian besar di antara mereka
dikenal sebagai pencari ngelmu yang
sangat menggemari ngelmu-ngelmu. Pada
jenis komunitas seperti ini menurut Mr. Anthing satu-satunya cara penginjilan
yang tepat ialah menggunakan cara mereka sendiri. Yang penting kabar
keselamatan di dalam Kristus Yesus menyebar dan diterima di antara bangsa
bumiputra.[47]
5. Paulus Tosari
Paulus Tosari adalah seorang Madura.
Ibunya mengharapkan agar Tosari menjadi seorang santri.[48]
Lalu kemudian Tosari pergi merantau ke Pulau Jawa tepatnya di Ngoro untuk ngelmu dan berjumpa dengan Coolen dalam
sebuah khotbah. Khotbah Coolen begitu mengesankan Tosari yang diangkat dari
Matius 5:3 “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah” sehingga Tosari
memutuskan untuk menetap di Ngoro. Kemudian Tosari pergi ke Surabaya untuk
dibabtis oleh Emde. Sehingga sejak saat itu, Paulus telah memulai perjalanan
berkeliling untuk memberitakan Injil Yesus dengan penuh keberanian. Sehingga
Gereja di Mojowarno merupakan hasil dari kegigihan Paulus Tosari.[49]
Tosari menjadi Guru Jemaat selama beberapa
tahun yang berjalan hanya dengan kepemimpinan yang terdiri dari orang-orang
Jawa saja tetapi dalamtata kebaktian dan dalam hal-hal lain mereka memakai
bentuk-bentuk dari Barat.[50]
6. Jerobeam
Mattheus Jr.
Mattheus
sudah disebut dalam paragraf sebelumnya sebagai salah seorang pemimpin di Jawa
Timur, dan sebagai redaktur atau pembantu sejumlah majalah : Bintang Soerabaja,
Taman Soewara dan Kristen di Jawa. Ia mengikuti jejak ayahnya ketika menjadi
pendeta jemaat di gereja di Surabaya. Ketika gerakan nasionalis belum lama
muncul, ia menjalin kontrak terbuka dengan tokoh terkemuka. Sumartana
menggambarkan Mattheus sebagai orang yang dengan kuat membina jemaatnya, baik
dalam arti rohani maupun yang menuntut pertaggungjawaban sosial. Di kemudian
hari Mattheus minta berhenti sebagai penginjil NZG dan untuk sementara waktu
mencari nafkahnya sebagai wartawan. Lalu ia menjadi penginjil lagi, tetapi sekarang
sebagai pengerja Indische Kerk, dan juga pendeta jemaat Kristen Cina Malang,
membantu pendeta H.A.C. Hildering. Rakyat Jawa mulai sadar akan kerukunan, juga
orang Islam Jawa mulai bergerak untuk mencapainya. Hal ini memaksa orang
Kristen untuk menunjukkan kerukunan mereka. Mattheus memperjuangkan kerukunan
itu lewat berbagai persatuan dan kelompok politik Jawa yang dulu ikut
didirikannya.[51]
III.
Daftar
Pustaka
Akkeren, Philipban, Dewi Sri dan Kristus, Jakarta: BPK-GM.
Bahan Pembinaan Teologi Warga
Gereja, Mengenali Teologi GKJW, Jember:
IPTh. Belewiyata, 1994.
Banawiratma SJ, JB. Panggilan Gereja Indonesia dan Teologi, Yogyakarta:
Kanisius, 1986.
E. Culver, Jonathan, Sejarah Gereja Indonesia, Jakarta:
Bijisesawi, 2014.
Gabe Hoekema, Alle,
Berpikir Dalam Keseimbangan Yang Dinamis, Jakarta: BPK-GM, 1997.
Hoedemaqker, L.A. dkk., Masihkah Benih Tersiman?, Jakarta:BPK.GM,
1990.
Hoekema, A.G., Berpikir
dalam Keseimbangan yang Dinamis, Jakarta: BPK-GM, 1997.
Kajian atas Gereja
Pentakostal-Kharismatik di Jawa. PDF.
M. Daulay, Richard, Kekristenan dan Kesukubangsaan, Yogyakarta:
Taman Pustaka Kristen, 1996.
S. Aritonang, Jan,
Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di
Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 2006.
S. Aritonang, Jan, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di
Indonesia, Jakarta: Gunung Mulia, 2015.
Soekotjo, S.H. Sejarah
Gereja-Gereja Kristen Jawa Jilid 1, Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen,
2009.
Soekotjo, S.H. Sejarah Gereja-Gereja Kristen Gereja Kristen
Jawa Jilid 2, Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2010.
Sumardi, Y.M. Sejarah Gereja Kristen Jawa, Yogyakarta:
Taman Pustaka Kristen, 2007.
Supriatno, Merentang Sejarah Memaknai Kemandirian Menjadi Gereja bagi Sesama, Jakarta:
BPK-GM, 2009.
Swellengrebel, J.L. In
Leijdeckers Voetspoor, Deel I, 1974, 39-49 (dalam Buku Dr.A.G.Hoekema, Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis, Jakarta:
Gunung Mulia,1997.
Ukur, F. & Cooley, F. L. Jerih
dan Juang, Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi, 1979.
Van Den End, Th. & Weitjens, J, Ragi Carita 2, Jakarta: BPK-GM,2019.
Van Den End, Th. & Weitjens, J. Ragi Carita 2, Jakarta: BPK-GM, 2015, 249.
Van den End, Th., Ragi
Carita 1, Jakarta: BPK-GM,2019.
Van Den End, Th., Harta
dalam Bejana, Jakarta: Gunung Mulia, 2014.
Van Den End, Th., Ragi Carita 1, Jakarta:
BPK-GM, 2015.
Van Den End, Th., Ragi
Carita 1, Jakarta: BPK-GM,2019.
Wellem, F.D. Kamus
Sejarah Gereja, Jakarta: Gunung Mulia,
2011.
Zakaria Ngelow, J. Kekristenan dan Nasionalisme, Jakarta:
Gunung Mulia, 1994.
Sumber
Lain:
https://id.m.wikipedia.org diakses pada
tanggal 24 Februari 2020, pukul 12:22 WIB.
https://id.m.wikipedia.org, diakeses pada
tanggal 19 Februari 2020, pukul 12:01.
[2] S.H. Soekotjo, Sejarah Gereja-Gereja Kristen Jawa Jilid 1,
(Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2009), 6-7.
[3] Th. van den End, Ragi Carita 1, (Jakarta: BPK-GM,2019 ),
95.
[4] Prof.Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Gunung Mulia, 2015), 44.
[5] Th. van den End, Ragi Carita 1, 96.
[6]Jan S. Aritonang, Sejarah
Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (Jakarta: BPK-GM,
2006), 44-45.
[9] Th. van den End, Ragi Carita 1, 25.
[10] Th. van den End, Ragi Carita 1, 96;98;102,
[11] Prof.Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di
Indonesia, 66.
[12] L.A. Hoedemaqker, dkk., Masihkah Benih Tersiman?,
(Jakarta:BPK.GM, 1990), 83.
[13] Dr. Jonathan E. Culver, Sejarah Gereja Indonesia, (Jakarta:
Bijisesawi, 2014), 78.
[14] Th. van den End, Ragi Carita 1, (Jakarta: BPK-GM,2019 ),
197-198.
[15] Prof.Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Gunung Mulia, 2015), 84-86.
[17] J. Zakaria Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme, (Jakarta:
Gunung Mulia, 1994), 48-51.
[18] Ibid, 212-213.
[19] Prof.Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Gunung Mulia, 2015), 210-211.
[20] Th. van den End &
J.Wietjens, Sj, Ragi Carita 2,
(Jakarta: BPK-GM,2019), 342-343.
[21] Prof.Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Gunung Mulia, 2015), 225.
[22] S.H. Soekotjo, Sejarah Gerja-Gereja Kristen Jawa Jilid 1,
(Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2009), 433-437.
[23] Dr. F. Ukur & Dr. F. L.
Cooley, Jerih dan Juang, (Jakarta:
Lembaga Penelitian dan Studi, 1979), 512-513.
[24] Philipban Akkeren, Dewi Sri dan Kristus, (Jakarta:
BPK-GM,), 159-160.
[25] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di
Indonesia, 285.
[26] Y.M. Sumardi, Sejarah Gereja Kristen Jawa, 65-74.
[27] Bahan Pembinaan Teologi Warga
Gereja, Mengenali Teologi GKJW,
(Jember: IPTh. Belewiyata, 1994),27.
[30]
F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja,
(Jakarta: Gunung Mulia, 2011), 117-118.
[31]
S.H. Soekotjo, Sejarah
Gereja-Gereja Kristen Gereja Kristen Jawa Jilid 2, (Yogyakarta: Taman
Pustaka Kristen, 2010), 437.
[32] Y.M. Sumardi, Sejarah Gereja Kristen Jawa,
(Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2007), 22-23.
[33] Thomas Van Den End, Harta dalam Bejana, (Jakarta: Gunung
Mulia, 2014),275
[34] [34] F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, 126-127.
[35] F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, 124-125.
[36] F.D. Wallem, Kamus Sejarah Gereja, 128.
[37] Supriatno, Merentang Sejarah Memaknai Kemandirian Menjadi Gereja bagi Sesama, (Jakarta:
BPK-GM, 2009), 114.
[38] JB. Banawiratma SJ, Panggilan Gereja Indonesia dan Teologi,
(Yogyakarta: Kanisius, 1986),33-35.
[39] Dr. Richard M. Daulay, Kekristenan dan Kesukubangsaan,
(Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 1996), 113-117.
[40] Kajian atas Gereja
Pentakostal-Kharismatik di Jawa. PDF.
[41] J.L. Swellengrebel, In Leijdeckers Voetspoor, Deel I, 1974,
39-49 ( dalam Buku Dr.A.G.Hoekema, Berpikir
dalam Keseimbangan yang Dinamis, (Jakarta: Gunung Mulia,1997), 26.)
[42] Prof.Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Gunung Mulia, 2015), 87.
[43] Dr. Jonathan E. Culver, Sejarah Gereja Indonesia, (Jakarta:
Bijisesawi, 2014), 81-82.
[44] S.H. Soekotjo, Sejarah Gereja-Gereja Kristen Gereja Kristen
Jawa Jilid 1, 100-101.
[45] F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, 126.
[46] S.H. Soekotjo, Sejarah Gerja- Jawa Jilid 1, 102-103.
[47] Ibid, 142-146.
[48] Dr. A.G. Hoekema, Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis,
(Jakarta: BPK-GM, 1997), 46.
[49] Dr. Jonathan E. Culver, Sejarah Gereja Indonesia, 84.
[50] Th. van den End, Ragi Carita 1, 203.