Sejarah Gereja/Kekristenan di Kalimantan secara Lengkap
I.
Abstraksi
Kalimantan
merupakan salah satu daerah yang dikunjungi oleh badan Zending karena masih
banyak terdapat masyarakat yang menganut agama suku di wilayah pedalaman
Kalimantan. Namun, penginjilan di wilayah Kalimantan bukanlah penginjilan yang
berjalan dengan mulus. Banyak pemerontakan dan adanya perang yang membuat
pengijilan sempat berhenti sejenak. Di daerah Kalimantan masih terdapat
kesultanan sehingga masih ada bagian dari Kalimantan yang di Kristen kan karena
kedekatan Zending dengan Sultan di tempat tersebut.Karena kegigihan para
Zending dalam menyebarkan injil ke daerah Kalimantan, terdapat empat orang
Zending yang terbunuh di tanah Kalimantan oleh penduduk asli Kalimantan dan
mereka adalah Martir pertama yang darahnya tumpah di tempat itu. Namun hal itu
tidak membuat penginjilan terhenti di situ saja. Perjalanan kekristenan masih
berlanjut hingga masa Reformasi yang membuat adanya gereja yang mandiri di
tempat tersebut. Gereja yang kami paparkan adalah Gereja Kalimantan Evangelis
(GKE) dan Gereja Kristen Pemancar Injil (GKPI).
II.
Pembahasan
2.1 Seputar Kalimantan
2.1.1
Letak Geografis
Lokasi : Asia Tenggara
Koordinat : 1°00′ LU 114°00′ BT
Kepulauan : Kepulauan Sunda Besar
Luas : 743,330 km²
Ketinggian tertinggi : 4,095 m
Puncak tertinggi : Kinabalu
Provinsi : Kalimantan Barat, Kalimantan
Tengah, Kalimantan Selatan,Kalimantan Timur, Kalimantan Utara.
2.2 Keadaan Kalimantan Sebelum
Kekristenan[1]
2.2.1
Konteks Politik
Secara politik, wilayah Kalimantan
Selatan terbagi menjadi dua golongan penduduk. Di daerah pesisir tinggal
orang-orang yang disebut orang Melayu dan menganut agama Islam. Daerah
pedalaman ditempati oleh orang-orang Dayak yang beragama suku (Agama
Kharingan).
2.2.2
Konteks Ekonomi
Secara ekonomi, orang-orang Dayak
bergantung pada pedagang-pedagang dari pantai, karena itu mereka sedapat
mungkin dicegah mengadakan hubungan langsung dengan dunia luar.
2.3 Latar Belakang Masuknya Kekristenan
ke Kalimantan
Abad
ke-19 merupakan abad Pekabaran Injil. Bersamaan dengan kemajuan teknik dan
hubungan lalu lintas dunia, maka Pekabaran Injil pun tersebar ke seluruh dunia.
Ada seorang sarjana sejarah gereja Amerika, yang bernama Kenneth Scott
Latourette, menamakan abad ini The Great
Century (Abad yang besar). Pada tahun 1830, tersiarlah berita-berita
mengenai pulau Kalimantan di tanah Jerman, dengan cerita mengenai ratusan ribu
suku Dayak yang masih jauh tertinggal dalam peradaban dan yang tak pernah
mendengar tentang Terang Injil itu.
Pada
tahun ke-4 setelah terdengarnya berita tentang Kalimantan kepada Jerman
timbullah rasa rindu untuk menyebarkan Injil ke saudara/masyarakat yang ada di
Kalimantan. Sehingga pada tanggal 4 Juni 1834, diputuskanlah untuk menjadikan
pulau Kalimantan sebagai suatu daerah Pekabaran Injil yang baru. Wujud nyata
dari kerinduan ini terealisasikan pada tanggal 15 Juli 1834, ketika kedua orang
penginjil di tahbiskan di Barmen dan diutus selaku penginjil-penginjil Barmen
yang pertama untuk Kalimantan yang belum mengenal Kristus. Nama kedua penginjil
itu adalah Barnstein dan Heyer.
Pada
bulan April 1835, penginjil Heyer terpaksa kembali ke tanah airnya karena
kesehatan tak mengijinkannya dan tak sesuai dengan iklim tropis di Indonesia.
Sedangkan perjalan Barnstein dipenuhi dengan lika-liku yang sangat dramatis
setelah lama ditahan di Ibu Kota, Jakarta. Akhirnya Barnstein bisa melanjutkan
perjalanannya ke Kalimantan dengan berlayar. Sesudah berlayar lebih kurang 44
hari lamanya dengan menumpang sebuah kapal layar, pada tanggal 26 Juni 1835
tibalah Barnstein di Banjarmasin, Kalimantan.
Awal
perjalanan Barnstein di Kalimantan dengan memperhatikan dan menyelidiki segala kemungkinan
serta mengadakan perjalanan-perjalanan Observasi dan Orientasi untuk pekerjaan
Pekabaran Injil di pulai itu. Beliau mengunjungi beberapa daerah di pedalaman
Kalimantan. Setelah sampai di kampung Gohong (Kahayan), Barnstein diangkat
menjadi saudara oleh kepala suku kampung tersebut. sehingga, sejak saat itu
Barnstein telah sahmenjadi saudara orang dayak.
Barnstein
mengambil kesimpulan bahwasannya Kalimantan Selatan dan Tengah lebih
menunjukkan kemungkinan yang besar dan terbuka bagi permulaan Pekabaran Injil.
Sebab itu, ia berpendapat mengambil Kota Banjarmasin selaku pangkalan pusat
bagi pekerjaan selanjutnya. Setahun kemudian, tanggal 3 Desember 1836, tibalah
tiga orang penginjil lagi yakni Becker, Hupperts, dan Krusmann yang kemudian
langsung ditempatkan di daerah pedalaman.[2]
2.4 Sejarah Gereja/Kekristenan di
Kalimantan pada Masa VOC
Pada
zaman VOC, seorang utusan Injil berkebangsaan Belanda tewas sebagai martir
tatkala melayani di daerah pedalaman.
Kemudian, beberapa orang penginjil Jerman berhasil memasuki Kalimantan selatan
dari kota Banjarmasin pada tahun 1836. Mereka bekerja dengan cara sebagai
berikut:
1. Pertama-tama
menembus sekitar 1.100 orang budak dan menghimpun mereka ke dalam beberapa buah
desa Kristen. Namun, para utusan itu sendiri tidak cukup berupaya untuk menarik
orang-orang lain dari luar desa-desa tersebut.
2. Pada
tahun 1859, terjadi kerusuhan dahsyat terhadap dominasi kaum kulit putih.
Akibatnya, empat orang zending, tiga wanita isteri mereka, dan beberapa orang
anak mereka telah tewas terbunuh. Kerusuhan itu nyaris saja melenyapkan seluruh
hasil pekerjaan mereka selama 23 tahun. Kemudian, pada hari itu juga Pemerintah
Hindia-Belanda telah melarang aktivitas penginjilan di daerah Kalimantan
Selatan.
3. Suasana
berbeda terjadi di Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat, yang ditandai dengan
pergerakan Roh Kudus pada tahun 1930. Pada saat itu, banyak kampung telah
bertobat serta beribu-ribu orang menjadi kaum percaya.kebanyakan mereka
berlatar belakang etnis suku Dayak.[3]
2.5 Sejarah Gereja/Kekristenan di
Kalimantan pada Masa Hindia Belanda
Kalimantan
merupakan salah satu wilayah yang di datangkan Zending pada masa Hindia
Belanda, alasannya karena di Kalimantan masih terdapat banyak warga yang
menganut agama suku. Bukan hanya karena alasan itu tetapi para Zending juga
harus menaati seperangkat peraturan atau pembatasan, anatara lain peraturan
pemerintah Hindia Belanda tahun 1818 dan 1854, yang menjamin kebebasan beragama
juga mengamanatkan kepada lembaga-lembaga penyiaran agama agar meminta izin kepada
pemerintah sebelum mulai bekerja di suatu daerah. Selain itu pemerintah juga
menghindari adanya dua badan Zending di dalam satu kawasan. Dengan kata lain
juga pemerintah pemerintah tidak mengizinkan Zending bekerja di daerah yang
penduduknya sudah Islam. Namun seiring perkembangannya, pada tahun 1870
hubungan pemerintah Hindia Belanda dengan badan Zending sudah positif. Bagian
daerah yang sebagian besar penduduknya sudah Islam yang sebelumnya tertutup
bagi Zending sampai batas-batas tertentu diizinkan juga oleh pemerintah untuk
dimasuki oleh badan Zending.[4]
Sedikit
mundur ke tahun sebelumnya, pada tahun 1857 Sultan Adam wafat dan terjadilah
suatu kekecewaan besar di pihak Putra Mahkota Pangeran Hidayat karena merasa
tertipu oleh pemerintahan kolonial Belanda. Karena yang diangkat menjadi
pengganti Sultan bukan dirinya melainkan putra lainnya yakni Pangeran Tamjit
Ulah, saudara tiri dari putra mahkota tersebut. Karena hal ini mulai
direncanakan suatu revolusi untuk mengusir orang Belanda dan termasuk orang
kulit putih dari tanah Kalimantan.
Banyak kepala suku dan pahlawan Dayak yang mendukung pergerakan Pangeran
Hidayat untuk menghancurkan dan mengusir kekuasaan Belanda. Dan menurut catatan
adalah sejarah, justru wilayah-wilayah Dayak inilah yang menjadi pusat
pertempuran dan juga menjadi pusat pemimpin revolusi ini.[5]
Setelah
persiapan selama kurang lebih dua tahun pada tanggal 1 Mei 1859 pecahlah
pemberontakan di Kalangan yang menyebabkan 20 orang kulit putih mati terbunuh.
Pada bulan Desember 1859, sebuah kapal Belanda di sungai Baritodapat
dihancurkan dengan catatan 30 orang meninggal. Ditengah arus revolusi ini empat
orang penginjil dengan tiga istri dan dua anak mereka ikut menjadi korban, mati
di tangan orang Dayak. Mereka ini adalah Penginjil Roth; Penginjil Weigand dan
isteri; Penginjil Kind dengan isteri beserta 2 orang anak. Kemudian Penginjil
Hofmeister daan isteri di Penda Alai. Dengan kematian mereka tertumpahlah
darah-darah martir pertama di tanah Dayak.
Sebelum
penginjil Hofmeister dibunuh beserta isterinya, ia diberi kesempatan untuk
berlutut dan berdoa kepada Tuhan, ia berkata “ Tuhan yang pengasih, Dikau yang
adalah Pelepasku, kesihanilah bangsa ini. Jangan lah Tuhan mengambil
anugerah-Mu dari pada mereka, tetapi jadikanlah firman-Mu itu milik mereka
kembali. Sejak kejadian itu, maka pemerintahan kolonial melarang semua
orang-orang kulit putih masuk ke daerah pedalaman, demikian juga kemungkinan
untuk pekabaran Injil tertutup pula.[6]
2.5.1 Perang Hidayat
Pada
masa Hindia Belanda ini juga terdapat beberapa peristiwa, salah satunya ialah
Perang Hidayat. Sejak permulaan abad ke-19, sudah ada perjanjian antara
pemerintah Belanda dengan sultan kerajaan Banjarmasin sekitarnya. Ketika
wafatnya Sultan Adam pada tahun 1857, terjadilah suatu kekecewaan besar dipihak
Putra Mahkota Pangeran Hidayat karena merasa tertipu oleh pemerintah kolonial
Belanda. Karena yang diangkat menjadi sultan pengganti almarhum Sultan Adam
bukanlah Pangeran Hidayat, melainkan putra lainnya yakni Pangeran Tamjit Ulah,
saudara tiri dari putra mahkota tersebut. dengan kejadian ini mulai direncanakan
suatu revolusi untuk mengusir kekuasaan pemerintah Belanda dari bumi Kalimantan
dan dengan demikian juga segala orang berkulit putih.
Propaganda
dan kampanye diadakan dengan giat, tidak hanya terbatas di wilayah sekitar
Banjarmasin, tetapi juga ke daerah-daerah pedalaman sepanjang sungai Barito,
Kapuas dan Kahayan. Banyak di antara pahlawan dan kepala suku Dayak yang
mengadakan perjanjian dengan Pangeran Hidayat untuk menghancurkan dan mengusir
kekuasaan Belanda dan semua orang kulit putih. Dan menurut catatan sejarah,
justru di wilayah-wilayah Dayak inilah yang kemudian menjadi pusat
pertempuran-pertempuran dan juga menjadi pusat pemimpin revolusi ini.
Sesudah
persiapan yang memakan waktu kira-kira dua tahun, maka pada tanggal 1 Mei 1859
pecahlah pemberontakan di Kalangan yang menyebabkan 20 orang kulit putih mati
terbunuh. Pada bulan Desember 1859, sebuah kapal Belanda di Sungai Barito dapat
dihancurkan dengan catatan korban kira-kira 30 orang kulit putih.[7]
Seluruh
usaha zending di Kalimantan Selatan mengalami kehancuran. Di Banjarmasin,
Pangeran Hidayat ingin menyingkirkan sultan dan naik takhta sendiri. Karena sri
sultan didukung orang-orang Belanda maka pangeran Hidayat melancarkan perang
melawan mereka. Orang-orang Dayak di pedalaman sedang marah kepada orang-orang-orang Belanda karena baru saja
mereka diwajibkan untuk menyekolahkan anak-anak mereka dan untuk membayar pajak
dalam bentuk uang. Karena itu mereka mau saja ikut menghantam orang-orang kulit
putih.[8]
Tujuh
tahun sesudah perang hidayat, barulah pemerintah mengizinkan para pekabar injil
RMG bekerja kembali di luar kota Banjarmasin. Maka mulai tahun 1866
berangsur-angsur didirikan sejumlah pos pekabaran injil. Walaupun selama 75
tahun sesudah 1866 karya PI meluas ke seluruh wilayah Kalimantan Selatan, namun
jumlah orang masuk Kristen tidak sebanding dengan tenaga dan dana yang
dikerahkan oleh RMG, khususnya pada masa 1866-1904. Pada tahun 1885 terdapat
1.000 orang Kristen, tahun 1901 ada 2.000. Kemudian kemajuan semakin pesat.
Padahal,
tenaga zending di Eropa yang bekerja di Kalimantan selama masa 1866-1939
berjumlah 78 orang (tenaga RMG saja), sedangkan pengerja pribumi (Indonesia),
termasuk para guru, pada tahun 1939 sebanyak 235 orang. Kurangnya kemajuan dari
segi statistik itu terutama menonjol kalau dibandingkan dengan keadaan di
lapangan RMG yang lain, yaitu Tapanuli Utara. Di situ pada tahun 1911 sudah
tercatat 100.000 orang Kristen Batak.[9]
2.6 Sejarah Gereja/Kekristenan di
Kalimantan pada Masa Nasionalisme
Bukan
hanya perang Hidayat yang meny ebabkan banyaknya pertumpahan darah. Tetapi efek
perang dunia 1 mengakibatkan tanda darah di benua Eropa pada tahun 1914. Adapun
perang dunia 1 berlangsung sampai tahun 1918, demikian pula pekerjaan gerejawi
di Kalimantan secara langsung merasakan pula pukulan-pukulan perang ini.
Pengerja-pengerja Zending Barmen pada saat itu harus hidup apa adanya, tanpa
ada menerima apa-apa dari Eropa.[10]
Pada
tahun 1930-an, kemandirian orang-orang Kristen Dayak selaku gereja mulai
diwujudkan. Tentu selama bekerja di Kalimantan zending sudah memakai tenaga
pembantu bumiputera. Salah seorang yang patut disebut dalam hubungan ini ialah
kepala suku F. Dingang di Mengkatip, yang membawa sejumlah besar anak buahnya
untuk dibaptis bersama dia dan yang merupakan tokoh utama dalam perkembangan
gereja selanjutnya.
Agar
memperoleh tenaga pemimpin yang terdidik, pada tahun 1832 lembaga pendidikan
guru di Banjarmasin ditingkatkan menjadi sekolah Teologi. Pada tanggal 4 April
1935 diresmikanlah Gereja Dayak Evangelis yang berdiri sendiri, dan pada hari
berikutnya ditahbiskan kelima orang pendeta Dayak yang pertama,
diantaranya H. Dingang , seorang anak
kepala suku F. Dingang.[11]
2.7 Sejarah Gereja/Kekristenan di
Kalimantan pada Masa Jepang
11 Februari 1942 tentara matahari terbit (Jepang) menguasai dan
menduduki Banjarmasin. Saat itu GDE terputus hubungannya dengan para pekerja
zending. Para pekerja zending yang tetap setia melayani GDE, kini tak di
ijinkan lagi melanjudkan pekerjaannya.[12]
Sebelum missionaries yang berasal dari negara netral seperti swiss, dan negara
sekutu seperti jerman sempat di ijinkan bekerja, tetapi kemudian mereka
semuanya dipulangkan ke negrinya. Banyak juga diantara mereka yang dibunuh oleh
pihak jepang dengan tuduhan bersekutu dengan belanda. Gereja-gereja yang diasa
oleh zending inin pun mengalami pukulan yang berat. Pada waktu itu
gereja-gereja harus berdiri sendiri baik dari segi tenaga maupun keuangan. Di
satu puhak keadaan ini sangat menyedihkan namun di pihak lain pristiwa ini
membantu gereja untuk bertumbuh secara dewasa. Selain itu jepang juga melakukan
penyitaan terhadap harta milik gereja dan dijadikan milik kerajaan, seperti
gedung-gedung sekolah, rumah sakit, dan bahkan gereja di banjar masin digunakan
sebagai markas besar tentara.[13]
Pada
tahun 1942 tenaga bangsa Swiss pun dilarang oleh penguasa jepang untuk
melanjutkan pekerjaannya. Oleh Jepang seorang anggota Majelis Sinode dari
kalangan suku Dayak diangkat menjadi ketua. Di waktu perang, pengalaman GDE
serupa dengan pengalaman gereja-gereja lain di indonesia. Diperolehnya banyak
dukungan dan penghiburan dari pihak beberapa pendeta jepang. Sesudah perang
jabatan Ketua Majelis Sinode tetap ditempati seorang Dayak.[14]
Pada
akhir tahun 1943, tanggal 15 desember, tibahlah di Banjarmasin Pdt Prof. H.
Shirato, yang kemudian juga berkunjung ke kuala Kapuas, yang menyatakan bahwa
pada gereja di kalimatan ini akan akan di berikan beberapa pengerja, yakni
Pendeta-pendeta jepang selaku penasihat-penasihat gereja. Maka pada tahun 1944 tibalah berturut-turut
dibanjarmasin, Pdt .S. Honda, Pdt K. Kaneda, dan
Pdt Suzuki. Walapun
ketiga pendeta jepang ini datanglah selaku pegawai pemerintah mereka, dan dalam
beberapa hal mereka tentunya memihak dan menunjukan loyalitas mereka terhadap
bangsanya, namum tak dapat di sangkal bahwa mereka ini adalah gembala-gembala
suruhan Allah yang satu juga.[15]
2.8 Sejarah Gereja/Kekristenan di
Kalimantan pada Masa Kemerdekaan
Berakhrinya
kekuasaan pemerintahan totaliter Jepang dan bersamaan dengan pecahnya revolusi
nasional Indonesia yang total dan bersejarah itu di tahun 1845, merupakan suatu
tantangan baru bagi Gereja Dayak Evangelis. Keadaan dan kejadian baru ini
adalah suatu karunia yang sangat besar dari Tuhan sejarah dan suatu kesempatan
yang mulia dan tak boleh dibiarkan begitu saja. Gereja-gereja di Indonesia
terpanggil untuk menunjukkan jalan-jalan yang benar untuk mencapai masyarakat
yang adil dan makmur yang dicita-citakan oleh bangsa yang dijajah berabad-abad
lamanya. Justru disini Gereja mendapat tempat yang khas, selaku suatu pertanda
bagi sejarah keselamatan, juga bagi bangsa Indonesia.
Dalam
keadaan dan suasana kancah pergumulan bangsa inilah GDE melihat ulang
perwujudannya serta menelaah kembali posisi dan panggilannya selaku milik Yesus
Kristus yang telah lebih dahulu beroleh kemerdekaan yang benar di tengah-tengah
bangsanya. Terutama di antara suku bangsa Dayak, Gereja tidak dapat berdiam
diri. Dalam mengahadapi keadaan revolusioner yang bergerak dengan begitu cepat,
GDE dalam usia yang masih muda, yaitu sepuluh tahun, mengalami pula pergumulan
diri dan godaan-godaan yang berat, antara lain:
a. Lebih
seabad lamanya badan zending bekerja di Kalimantan. Dalam pekerjaan
perkembangan jemaat-jemaat, badan zending telah lama mempersiapkan adanya suatu
“Gereja Suku” yang berakar dalam suasana dan sifat suku tersebut. Dalam keadaan
yang sedemikian, mau tidak mau, segala sesuatu diarahkan pada masa lampau dari
suku tersebut. Atas dasar dan berlatar belakang motif tadi, lahirlah nama
Gereja Dayak Evangelis.
Di bidang kegerejaan,
dalam Sinode Umum yang keempat di Banjarmasin tanggal 17-23 Februari 1946, hal
tadi muncul dalam suatu perdebatan dan pembahasan mengenai pasal 1[16]
dari peraturan GDE, terutama mengenai Nama
Gereja. Nama “Gereja Dayak Evangelis” seolah-olah hanya mengutamakan dan
teruntuk bagi orang-orang suku Dayak sendiri dan menutup kemungkinan bagi
suku-suku lain di Indonesia ini yang terdapat dan berada di Kalimantan.
Akan tetapi, rupanya
soal mengenai nama itu mengalami banyak kesukaran. Usul untuk mengubah nama
Dayak dan menggantinya dengan kata “Kalimantan” belum mencapai pemikiran yang
mendalam, sehingga tidak dapat diterima begitu saja.
b. Sejak
dahulu, orang-orang Kristen di daerah ini dan Gereja telah dididik untuk tidak
boleh campur dalam segala sesuatu yang berbau dan bersifat politik atau
aliran-aliran nasional. Bahkan kerapkali kalau ada orang-orang Kristen yang
melakukan kegiatan-kegiatan seperti itu, dilawan dan ditentang oleh pihak
zending, seolah-olah perubahan-perubahan di lapangan nasional-politik sama
sekali tidak termasuk tanggung jawab Gereja.
Tetapi pada masa-masa
kesukaran Perang Dunia Kedua dan dalam kancah revolusi 1945 ini, Gereja Dayak
menyadari akan panggilannya. Pada detik-detik itu, Gereja mulai menentukan
sikapnya dengan hanya berpedoman pada Kristus Yesus, karena:
1. Dalam Yesus Kristus,
Allah mengasihi dan menebus manusia; sebab itu Gereja terpanggil untuk
memperjuangkan pemerintah yang sungguh-sungguuh melayani kepentingan manusia
seluruhnya.
2. Dalam Yesus Kristus,
Allah membenarkan manusia-manusia berdosa sehingga kejahatan dapat berhenti dan
manusia terjamin dan beroleh haknya.
3. Dalam Yesus Kristus,
Allah meluputkan manusia dari keadaannya yang penuh kesia-siaan ini. Oleh sebab
itu Gereja terpanggil untuk mempergumulkan hak-hak asasi manusia dari segala
lapisan.
4. Dalam Yesus Kristus, umat
manusia dibebaskan dari segala perhambaan. Gereja sudah mengenal “Kemerdekaan
Sempurna” dan sebab itu terpanggil untuk menyatakannya dalam kata dan akta
nyata.
5. Dalam Yesus Kristus,
manusia dipersatukan dalam tugas saling mengasihi. Hal ini memperingatkan
Gereja untuk menyadari dan memahami kembali sikapnya dalam tugas mengasihi ini. [17]
2.9 Sejarah Gereja/Kekristenan di
Kalimantan pada Masa Orde Lama[18]
Pada
masa Orde Lama ini gerakan dan kebangunan jemaat di berbagai resort semakin
nyata dan tampak. Namun, keadaan perkembangan jemaat-jemaat ini berbeda-beda
dan bermacam-macam. Diantaranya sebagai berikut:
1)
Kota
Waringin
Daerah atau resort ini benar-benar
merasakan kekurangan pengerja, sedangkan jumlah orang yang ingin belajar dan
dibaptiskan sangat banyak. Baru pada akhir tahun 1950, ditetapkanlah seorang
pendeta disana. Daerah yang luas ini menyebabkan ada beberapa daerah yang sama
sekali hampir tidak sempat dikunjungi. Pada tahun 1953, resort ini dapat
dikerjakan oleh dua orang pendeta, satu orang pemberita resort satu orang
pmberita lokal atau pemberita jemaat.
2)
Sampit
Pada tahun 1951 telah dapat dilaksanakan
suatu sinode resort sehingga sejak saat itu kelihatan kebangunan di
jemaat-jemaat. Hanya tampaksekali perbedaan antara jemaat kota dan jemaat desa.
Jemaat sampit lebih hidup dari pada jemaat desa.
3)
Tamiang
layang
Pada tahun 1952 diadakan baptisan tiga
jemaat, suatu jumlah yang sangat besar yaitu sebanyak 425 orang yang menerima
baptisan. Daerah ini menghadapi Islam yang fanatik, terutama karena letaknya
tepat pada perbatasan dengan daerah Islam yang terkuat.
4)
Katingan
Kebangunan yang sangat menyukakan
dialami dalam resort ini. Baptisan terhadap orang-orang dari agama Kaharingan
terus meningkat. Pernah dalam tahun itu pendeta I. Birim dalam suatu
perkunjungan ke sungai Seruyan bulan November 1952 membaptis sejumlah 90 orang.
Hampir tiap-tiap jemaat kelihatan mereka giat membangun gedung gereja sendiri
dan juga rumah-rumah pendetanya dipersiapkan. Daerah ini, ketika tahun 1953
dilayani oleh empat orang pendeta.
5)
Pangkoh
Resort ini mengalami beberapa persoalan
yang khusus selama periode tersebut. waktu-waktu yang dialami ketika itu justru
suatu saat di mana keamanan kerap diganggu oleh gerombolan pengacau. Dalam
suasana dan keadaan demikianlah jemaat-jemaat di resort ini hidup dan melakukan
tugas pelayanannya yang diberkati oleh Tuhan dengan memenangkan banyak orang
bagi Kristus. Rata-rata selama itu dibaptiskan 100 orang setiap tahun yang
dilayani oleh dua pendeta.
6)
Mandomai
Pada tahun 1953 jumlah anggota jemaat
disini sekitar 3.700 orang yang dilayani oleh seorang pendeta, dua pemberita
resort, empat pemberita jemaat. Terjadi penurunan pembaptisan seperti pada
tahun 1951 ada 164 orang sedangkan pada tahun 1953 hanya 40 orang. Resort ini
berseru meminta tenaga pendeta karena ternyata banyak sekali betapa ”tuaiannya
sungguh banyak”.
7)
Rongan
Manuhing
Pada tahun 1953, tenyata daerah ini
merupakan daerah pekabaran Injil yang luas sekali. Penduduk daerah ini ada
8.000 jiwa dan terdiri dari 88% yang beragama Kaharingan, 10% Kristen dan 2%
Islam. Statistik 1953 menunjukkan jumlah pemeluk agama Kristen sebanyak 1.120
jiwa.
8)
Buntok
Resort ini adalah suatu resort yang
tengah mengalami suatu perkembangan kemajuan yang cepat sekali dan merupakan
daerah pekabaran Injil yang penuh dengan segala kemungkinan. Resort ini
dilayani oleh dua orang pendeta dan empat pemberita, meliputi 18 jemaar dengan
1.854 anggota.
2.10
Sejarah
Gereja/Kekristenan di Kalimantan pada Masa Orde Baru
Pada
masa Orde Baru terjadi kerusuhan di Banjarmasin pada tanggal 23 Mei 1997 yang
dilatarbelakangi oleh suasana kampanye menjelang pemilu 1997, yang memang
banyak rusuh di mana-mana selama masa kampanye, karena Golkar dianggap
melakukan banyak tindakan yang merugikan kontestan lain. Faktor pemicunya tidak
ada kait-mengaitnya dengan keberadaan gereja di sana, tetapi kemudian banyak
gereja yang menjadi korban. Pada hari naas Jumat 23 Mei kerusuhan itu tidak
hanya terjadi di Banjarmasin saja melainkan terjadi juga dibeberapa kota
diantaranya:Jakarta, Tangerang, Pasuruan, Kudus dan Pamekasan dan di
tempat-tempat ini banyak gedung gereja yang menjadi korban. Kota Banjarmasin
lah yang mengalami kerusuhan dan korbannya dengan volume paling banyak.
Suasana
panas sudah dipicu mulai pada hari itu massa Golkar berpawai dengan raunan
suara mesin motor yang memekakkan telinga di pusat kota, termasuk di depan
Mesjid Raya yang biasanya tertutup untuk kendaraan umun pada jam sholat jumat.
Selanjutnya berlangsung penganiayaan atas para pendukung Golkar di berbagai
lokasi lain, termasuk atas kaum perempuan yang mengalami pelecehan seksual,
juga pembakaran atas gedung Golkar dan DPRD serta perusakan atas hotel Junjung
Buih tempatnya K.H. Hasan Basri dan Menteri Saadilah Mursjid yang adalah juru kampanye
Golkar. Bukan hanya gedung yang berhubungan dengan Golkar yang menjadi sasaran
tetapi juga gedung gereja, sekolah kristen, vihara Buddha, gedung perkantoran
dan pusat perbelanjaan. Gedung yang mengalami kerusakan paling parah adalah
gedung milik Gereja Katolik (Katedral Santa Maria, sasana sehati, Gereja Santa
Maria, Gereja Katolik lama, SMU Katolik, Panti Jompo, Wisma kasih dan sejumlah
rumah Pastor dan suster). Bukan hanya gereja katolik tetapi gereja GKE Eben
Haezer, GPIB, GPdI, GBI. Pada pusat perbelanjaan Mitra Plaza terdapat korban
ratusan tewas terbakar karena terperangkap api.
Ketika
melakukan perusakan, pembakaran, penjarahan, dan pembunuhan itu, para pelaku
banyak yang meneriakkan “Allahu Akbar”, sambil membagi-bagi jarahan. Van Dijk
juga mencatat pernyataan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia
(PMKRI) cabang Banjarmasin bahwa Pamflet-pamflet yang membakar perasaan
anti-Kristen sudah diedarkan beberapa hari sebelum kerusuhan, sehingga dapat
disimpulkan bahwa peristiwa itu sudah terencana. Dicatat juga bahwa kerusuhan
Banjarmasin ini merupakan yang terbesar selama masa kekuasaan Orde Baru sampai
saat itu. [19]
2.11
Sejarah
Gereja/Kekristenan di Kalimantan pada Masa Reformasi
Pada
masa Reformasi ini terjadi kerusuhan di daerah Sanggauledo, Kabupaten Sambas,
Kalimantan Barat, pada waktu itu terjadi perang antara suku Dayak dan Madura.
Masyarakat Dayak menilai bahwa warga Madura sebagai pendatang tidak menghormati
dan menyesuaikan diri dengan adat istiadat Dayak: sebaliknya berusaha menguasai
lahan, harta, maupun bidang kehidupan lainnya, termasuk tempat-tempat dan
benda-benda yang dianggap sakral, dengan cara-cara yang dinilai kurang santun.
Lalu pertikaian ini berlanjut dan meluas ke Kalimantan Tengah dan mencapai
puncaknya di Sampit pada tahun 2001, antara suku Dayak dan Melayu Versus
Madura.
Perang
antar etnis ini tak jarang diramaikan oleh teriakan-teriakan berisi ungkapan
keagamaan, sehingga dapat menimbulkan kesan bahwa itu adalah juga pertikaian
antar agama. Pada peristiwa ini warga Madura sempat diperkuat oleh pasukan yang
datang dengan semangat dan tujuan “jihad” yang dikirim dari pulau Madura secara
bergelombang. Kalaupun ada pertikaian di antara yang berbeda agama, penyebabnya
bukanlah hal-hal yang bersifat keagamaan, melainkan permasalahan dan perasaan
diperlakukan tidak adil, di berbagai bidang kehidupan: sosial, budaya, politik,
ekonomi. Para pejabat pemerintah maupun tokoh adat dari kedua belah pihak
berulang kali menegaskan bahwa yang terjadi adalah pertikaian etnis, tetapi
selalu ada saja yang memanas-manaskan situasi dengan mengatakan bahwa itu
adalah perang antara penganut agama Islam dan Kristen.
Sejak
abad ke 19 secara perlahan secara perlahan-lahan suku Dayak (selain etnis
Tionghoa), masuk Kristen: sebagian besar tetap dengan agama sukunya (yang
secara umum disebut Kaharingan), sedangkan yang belakangan masuk Islam sering
disebut dengan nada agak merendahkan sebagai orang Bakumpai.[20]
Sejak
akhir abad ke-19 datang juga suku Madura yang ada pada umumnya Islam; mereka
pada mulanya bekerja di pertambangan dan perkebunan, tetapi kemudian berkembang
menjadi pedagang dan pengusaha yang memiliki lahan. Di antara orang Dayak, yang
paling banyak terlibat dalam konflik adalah penganut agama Kaharingan, kendati
di sana-sini mereka yang sudak Kristen juga terlibat.[21]
2.12
Gereja
Mandiri di Kalimantan
2.11.1
Gereja Dayak Evangelis (GDE)
Keputusan
Sinode di Mandomai (1930) untuk menyatukan seluruh jemaat Kristen di Kalimantan
dalam satu ikatan Gereja Dayak, bukanlah suatu keputusan menurut manusia dan
kehendak yang sia-sia, melainkan suatu keputusan yang dipimpin dan diilhamkan
oleh Roh Kudus sendiri. Keinginan dan hasrat suci ini bukanlah diletakkan dari
luar atau disebabkan oleh desakan faktor-faktor pertimbangan kemanusiaan,
melainkan lahir dari kerinduan orang Dayak untuk mengambil tanggung jawab
sepenuhnya dalam penyebaran Berita Keselamatan untuk suku bangsa dan
masyarakatnya di Kalimantan. Namun, tak dapat disangkal begitu saja, bahwa
dalam perwujudan hasrat kerinduan ini banyak pula kesulitan dan kesukaran yang
dihadapi. Terutama disebabkan oleh adanya beberapa unsur yang masih
menghalangi, antar lain:
1. Belum
adanya orang-orang suku Dayak yang telah menjadi pendeta walaupun jumlah guru
dan pemberita-pemberita Injil sudah agak lumayan. Keadaan demikian menyebabkan
dimulainya pendidikan teologi pada tahun 1932 selama kira-kira tiga tahun, yang
diikuti oleh lima orang kandidat, yang terdiri dari tenaga-tenaga pilihan,
lulusan Seminari Banjarmasin dan yang telah bekerja. Sekolah teologi ini berada
di bawah pimpinan Epple. Kelima kandidat ini berhasil menyelesaikan pendidikan
mereka dan mereka merupakan pendeta-pendeta nasional pertama untuk daerah
Kalimantan.
2. Jemaat-jemaat
yang ada dan timbul selama ini boleh dikatakan belum cukup dewasa, baik secara
rohani maupun secara organisatoris. Hampir semua jemaat masih sangat bergantung
pada pengerja-pengerja zending.
3. Rasa
tanggung jawab terutama di bidang keuangan masih sangat tipis sekali. Pada
umumnya, hingga saat itu jemaat-jemaat belum menyadari arti “kurban”, walaupun
memang sudah ada jemaat-jemaat yang mulai menunjukkan tanda-tanda yang
memberikan harapan besar.
Pada sisi lain, di pihak Zending Basel
pun timbul keragu-raguan dan kebimbangan mengenai jemaat Dayak yang ada pada
saat itu. Namun, justru di sinilah kelihatan rahasia kuasa Allah yang seringkali tidak tampak oleh manusia.
Bahwa asas Allah itu berdiri tetap dan bahwa Allahlah yang mengenal
orang-orangNya. Dengan menyadari bahwa Kristus Yesus sendirilah yang mengenal
orang-orangNya dan firman yang telah diberitakan selama seabad ini, maka Dia
pulalah yang mau menghimpunkan seluruh sidang jemaatNya di Kalimantan dengan
menerima dan memakai segala kekurangannya.
Atas dasar tersebut, maka dalam
konferensi para pengerja zending pada tahun 1935 di Banjarmasin, yang dihadiri
oleh H. Witschi (Inspektor Zending Basel untuk Kalimantan), Dr. H. Kreamer dan
Mr. S.C. Graaf van Randwijck (konsul zending di Jakarta ketika itu), telah
dibahas kemungkinan-kemungkinan berdirinya Gereja Dayak. Konferensi ini menghasilkan
suatu rencana “Peraturan Gereja Dayak
Evangelis”.
Segera sesudah konferensi para pengerja
zending tersebut, diadakanlah Sinode Umum yang Kedua dari seluruh jemaat di
Kalimantan pada tanggal 2-6 April 1935 di Kuala Kapuas, dengan mengambil tempat
di gedung Gereja Barimba. Sinode ini juga dihadiri oleh Inspector H. Witschi
dan Mr. S.C. Graaf van Randwijck. Dalam sinode inilah, diambil keputusan untuk
membulatkan diri dalam satu ikatan Gereja. Sinode yang dihadiri oleh tiga puluh
orang dari suku bangsa Dayak dan delapan penginjil Zending Basel, pada tanggal
4 April 1935 pukul 12 siang, telah menerima Peraturang Gereja yang direncanakan
itu, dengan satu demi satu telah menjawab dengan berkata, “Ya, aku mengaku”,
dan kemudian sambil berdiri semua anggota Sinode mengikrarkan kalimat berikut:
“Guru kami hanya satu saja, yaitu Yesus Kristus dan kita sekalian semuanya
bersaudara”.
Pada tanggal 24 April 1935 Gereja Dayak
Evangelis yang sudah resmi diakui sebagai Badan Hukum, menurut keputusan No.
33, Stbl. No. 217 dan berkedudukan di Banjarmasin. Sejak itu Sinode di Kuala
Kapuas ini dianggap sebagai Sinode Umum yang pertama Gereja Dayak Evangelis
(GDE). Dan dalam Sinode ini pula, anggota Majelis Sinode (Sinodale Commissie)
yang dipilih di Mandomai tahun 1930, disahkan.[22]
2.11.2
Gereja Kalimantan Evangelis (GKE)
Gereja ini
merupakan hasil kegiatan Pekabaran Injil para misionaris perhimpunan Pekabaran
Halle Denmark (Danisch Hallische Mission- DHM), Perhimpunan Pekabaran Injil
Basel (Basler Missiongesellschaft- BMG). Pada mulanya DHM bekerja di daerah ini
namun ia menyerahkannya kepada RMG pada tahun 1835. RMG mulai bekerja di
Kalimantan pada tahun 1836. RMG berhasil dalam pekerjaannya sehingga terdapat
jemaat-jemaat di daerah hilir sungai Murung, Kapuas, Kahayan, dan Barito.
Metode
Pekabaran Injil yang dilaksanakan oleh RMG antara lain adalah penebusan budak.
Pecahnya pemberontakan Pangeran Hidayat pada tahun 1859 menyebabkan kegiatan
Pekabaran Injil dilarang di sana hingga tahun 1866. Injil berkembang kembali
sehingga jemaat baru didirikan di Kuala Kapuas (1866), Mandomai (1870), Telang
(1875), Tamianglayang (1878), Sampit (1880), Kuala Kuron, Kuala Kongan (1889)
Pangelak (1893), Pahundut (1896) dan sebagainya. Jumlah anggota jemaat Gereja
ini adalah 2.000 orang pada tahun 1906. Jumlah anggota jemaatnya ketika diserahkan
kepada BMG adalah 5.400 orang dengan 50 jemaat pada tahun 1925.
BMG
mendewasakan jemaat-jemaatnya dengan membentuk sebuah sinode dengan nama Gereja
Dayak Evangelis pada 4 April 1935. Pada tahun 1950 namanya di ubah menjadi
Gereja Kalimantan Evangelis (GKE). Bentuk pemerintahan gerejanya adalah
Presbiterial-sinodal dengan menjadi anggota PGI pada tahun 1950. Jumlah anggota
jemaatnya pada tahun 2000 adalah 228.650 orang. Kantor pusatnya berada di
Banjarmasin. Gereja ini memiliki sekolah teologinya sendiri yang didirikan pada
tahun 1932 di Banjarmasin, yang kini bernama Sekolah Tinggi Teologi GKE.[23]
2.11.2
Gereja Kristen Pemancar Injil (GKPI) Tarakan
Berdirinya
Gereja Kristen Pemancar Injil Tarakan, tidak terlepas dari pengaruh misi
Pekabaran Injil yang dilakukan oleh yayasan penginjilan yang masuk ke
Kalimantan Timur. GKPI Tarakan berdiri pada
tanggal 30 Mei 1959 di Desa Tanjung Lapang, Kecamatan
Malinau Barat, Kabupaten
Malinau, Kalimantan Timur. Pencetus
berdirinya GKPI adalah adalah Pdt. Elisa Mou, seorang mantan pendeta (Gembala
Sidang) KINGMI di Long Bia. Ia memutuskan hubungan dengan KINGMI karena kurang puas
dengan pelayanan KINGMI yang hanya memperhatikan hal-hal rohani saja, tanpa
memikirkan kesejahteraan warga jemaat. Padahal kehidupan warga jemaat di
pedalaman Kalimantan Timur yang merupakan pelayanan KINGMI sangat miskin.
Dengan keadaan kehidupan jemaat yang demikian, menurutnya, itu tidak dapat
dijawab dengan pengembangan rohani saja, tetapi juga terkait dengan segi-segi
lainnya yang dianggap bersifat duniawi oleh CMA.[24]
Sejarah
berdirinya GKPI Tarakan tidak terlepas pula dari sejarah pendirinya. Elisa Mou,
Elisa Mou lahir pada tahun 1925 di Krayan. Pada tahun 1941 ia
dikirim oleh CMA ke sekolah Alkitab Kalam Hidup (sekarang Sekolah Tinggi Jaffray)
di Makassar, Sulawesi
Selatan. Pada waktu itu, sebenarnya tidak mudah orang pedalaman
Kalimantan Timur (Dayak)
untuk melanjutkan sekolah. Selain karena tidak mempunyai dukungan finansial,
mereka juga belum mengenal “dunia luar”. Jadi hanya orang-orang yang memiliki
kemauan keras sajalah yang berani meneruskan sekolahnya. Elisa Mou termasuk
salah seorang yang beruntung mendapat bantuan CMA untuk melanjutkan sekolah ke
Makassar. Selain itu, ia juga didorong kemauannya yang kuat untuk memajukan
masyarakat Dayak yang taraf hidupnya pada saat itu sangat rendah/terbelakang
(dari segi pendidikan). Pikiran itu rupanya dimilikinya sejak misi masuk ke
Krayan. Elisa Mou melihat bahwa misionaris itu memiliki pendidikan dan
pengetahuan yang cukup, dan tingkat kesejahteraan yang lebih baik daripada
masyarakat setempat, sehingga ia pun ingin memajukan masyarakat di daerahnya.
Sebab menurutnya, orang yang memiliki pendidikan dan kesejahteraan yang baiklah
yang dapat maju.
Ketika
Elisa Mou belajar di Makassar, dikembangkannya menjadi suatu tekad, memajukan
masyarakat Dayak Kalimantan Timur, terutama dibidang pendidikan, kesehatan, dan
perekonomian. Pendidikan teologi harus dijalaninya selama ermpat tahun. Namun
Elisa Mou hanya dapat mengikuti pendidikannya selama satu tahun, karena meletus
perang melawan Jepang pada tahun 1942. Ia tidak sempat
menyelesaikan studinya hingga selesai karena harus kembali ke Tarakan. Di
pelabuhan transit, dalam perjalanan pulang saat perang berkecamuk, ia ditangkap
dan menjadi tawanan tentara Jepang di Banjarmasin.
Di sini ia dijadikan romusha dan dikirim ke daerah pedalaman Kalimantan Selatan untuk mengerjakan
perkebunan milik Jepang.
Kata
Pemancar dalam nama “Gereja Kristen Pemancar Injil” merupakan suatu ungkapan
mengabarkan Injil. Istilah Pemancar (bahasa Dayak Lundayeh: ngerasat)
secara luas berarti penyinaran (hal menjadikan sesuatu bersinar, bercahaya atau
berkilauan) apabila kata ini dihubungkan dengan kata Injil, maka berarti
menyiar Injil atau hal menjadikan Injil bersinar. Hal ini mau menonjolkan makna
dasar dari tugas pokok gereja yaitu mengabarkan Injil. Jadi secara sederhana GKPI
dapat dikatakan sama dengan Gereja Kristen yang mengabarkan Injil. Gagasan ini
merupakan pemikiran Elisa Mou untuk kemudian dibicarakan oleh para perintis
yang juga merupakan jemaat pertama GKPI Tanjung Lapang. Pertama kali
persekutuan yang berjumlah 26 orang ini membentuk Badan Pengurus pada tanggal
30 Mei 1959.[25]
2.13
Tokoh-tokoh
Sejarah Gereja/Kekristenan di Kalimantan
1)
Barnstein
Sesudah
berlayar kurang lebih 44 hari dengan menumpang sebuah kapal layar, maka pada
tanggal 26 Juni 1835, tibalah Barnstein
di Banjarmasin di bumi Kalimantan. Dengan kedatangannya mula-mula ini, maka
seluruh perhatiannya ditunjukkan bagi usaha mempelajari dan menyelidiki segala
kemungkinan, serta mengadakan perjalanan-perjalanan observasi dan orientasi
untuk pekerjaan pekabaran Injil di pulau ini. Beliau mengunjungi beberapa
tempat di daerah-daerah pedalaman Kalimantan, seperti sungai Kahayan, sungai
Kapuas dan Barito. Daerah Kalimantan Barat juga dikunjungi oleh Barnstein,
terutama melihat keadaan suku Dayak sepanjang Sungai Kapuas Bohang. Dalam
perjalanannya ini, di sebuah kampung bernama Gohong (Kahayan) Barnstein “angkat
saudara darah” (hangkat hampahari
hatunding daha) dengan kepala suku di situ. Sejak itulah Barnstein dianggap
sebagai saudara orang Dayak karena ia telah bertukar darah dengan kepala suku
mereka.
Dari
keseluruhan perjalanan orientasi dan observasi ini, Barnstein mengambil
kesimpulan bahwa daerah Dayak di bagian Kalimantan Selatan dan tengah
menunjukkan kemungkinan-kemungkinan yang lebih besar dan terbuka bagi permulaan
perkabaran injil. Setahun kemudian, tanggal 3 Desember 1836 tibalah tiga orang
penginjil lagi yakni Becker, Hupperts, dan Krusmann yang kemudian langsung di
tempatkan di daerah pedalaman. Selama Barnstein di Banjarmasin, telah banyak
penginjil yang datang dan pergi, semuanya diatur dan diselenggarakan olehnya.
Demikianlah beliau bertindak dalam pengertian kedudukan praeses yang kemudian.
Kedatangan Barnstein dan seluruh perilaku hidupnya telah membawa berkat yang
besar bagi penyebaran Injil di Kalimantan ini, dan bagi orang-orang yang selama
ini duduk di dalam kegelapan, Barnstein merupakan utusan Kristus sendiri untuk
membawa terang yang sejati itu, “yang menerangi tiap-tiap orang”.[26]
III.
Daftar
Pustaka
Sumber Buku:
Aritonang,Jan S.,Sejarah
Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 2015.
Cooley,F. Ukur
& F. L., Jerih dan
Juang: Laporan Nasional Survey Menyeluruh Gereja di Indonesia, Jakarta: LPS-DGI, 1979.
Culver,Jonathan E.,Sejarah Gereja Indonesia, Bandung: Biji Sesawi, 2014.
End,Van The,Ragi
Cerita 1 : Sejarah Gereja di Indonesia tahun 1500-1860-an, Jakarta:BPK-GM,
2015.
Ukur,Fridolin,Tuaiannya
Sungguh Banyak; Sejarah Gereja Kalimantan Evangelis Sejak Tahun 1835,
Jakarta: BPK-GM, 2002.
Weitjens,Th. Van den End dan J., SJ, Ragi Carita 2, Jakarta: BPK-Gunung Mulia,
2019.
Wellem,F.D.,Kamus
Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2011.
Sumber Lain:
Tawar Suwardji, Ketua Sinode GKE, 3 Mei 2001
[1] Van The End, Ragi Cerita 1 : Sejarah Gereja di Indonesia
tahun 1500-1860-an, (Jakarta:BPK-GM, 2015), 188
[2] Fridolin Ukur, Tuaiannya Sungguh Banyak; Sejarah Gereja
Kalimantan Evangelis Sejak Tahun 1835, (Jakarta: BPK-GM, 2002), 7-9
[3] Jonathan E. Culver, Sejarah Gereja Indonesia, (Bandung:
Biji Sesawi, 2014), 97
[4] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di
Indonesia, (Jakarta: BPK-GM, 2015), 78-79
[5] Fridolin Ukur, Tuaiannya Sungguh Banyak, 15
[6] Fridolin Ukur, Tuaiannya Sungguh Banyak, 16-17
[7] Fridolin Ukur, Tuaiannya Sungguh Banyak, 15-16
[8] Van Den End, Ragi Cerita 1:Sejarah Gereja di Indonesia tahun 1500-1800an, (Jakarta:BPK-GM,
2019), 194
[9] Th. Van den End dan J. Weitjens,
SJ, Ragi Carita 2, (Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 2019), 175
[11] Th. Van den End dan J. Weitjens,
SJ, Ragi Carita 2, (Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 2019), 176-177
[12]
Fridolin Ukur, Tuaiannya Sungguh Banyak, (Jakarta:
BPK-GM, 2002), 56.
[13]
F. Ukur & F. L. Cooley, Jerih
dan Juang: Laporan Nasional Survey
Menyeluruh Gereja di Indonesia, (Jakarta: LPS-DGI, 1979), 507.
[14] Th. Van den End dan J. Weitjens,
SJ, Ragi Carita 2, (Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 2019), 177
[16]Pasal
1 Peraturan GDE tahun 1935 itu berbunyi; “Seraya memandang Tuhan dan Juruselamat kita Yesus
Kristus, segala sidang Jemaat kepunyaan Zending Basel di Borneo Selatan-Timur
mempersatukan dirinya dalam suatu Gereja yang disebut: Gereja Dayak Evangelis.
[19] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di
Indonesia,475-477
[20] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di
Indonesia,560-561
[21] Tawar Suwardji, Ketua Sinode
GKE, 3 Mei 2001
[22] Fridolin Ukur, Tuaiannya Sungguh Banyak,
(Jakarta:BPK-GM, 2002), 35-39
[23] F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, (Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 2011), 119-120
[24] CMA; The Christian Misionary Alliance (CMA) adalah sebuah Pekabaran
Injil yang muncul di Amerika Serikat pada tahun 1880-an yang didirikan
sekaligus sebagai pemimpin pertamanya adalah A.B. Simpson, mantan pendeta Gereja Presbiterian di New York, yang
dikenal komitmennya mengabdi kepada kaum miskin. Kemudian keluar dari Gereja
itu karena tidak dapat menerima baptisan anak-anak.
[26]Fridolin Ukur, Tuaiannya Sungguh Banyak; Sejarah Gereja
Kalimantan Evangelis Sejak Tahun 1835, 9-10