Teologi Kontekstual: Teologi Cicak untuk Budaya Batak
Teologi Cicak
Latar
Belakang
Dalam pengajaran teologi hendaknyalah
sebuah teologi menyapa setiap pendengar dalam ruang lingkup pendengar sehingga
suatu teologi dapat menyapa orang-orang yang di sapanya. Teologi tidaklah hanya
berbicara tentang Tuhan dengan segala seluk beluknya tetapi teologi
membicarakan bagaimana injil itu menyapa seseorang sehingga firman Tuhan dapat
berbicara dalam situas, pola fikir dan pandangan hidup pendengarnya.
Dengan demikian para teolog hendaknya
merefleksikan teologi secara baru sesuai dengan konteks di mana ia berteologi.
Saya disini mencoba berteologi dengan teologi cicak untuk menyapa orang Batak
secara khusus.
Cicak mempunyai filofosi tersendiri dalam
kalangan orang Batak, dalam hal ini, penulis mencoba memisahkan makna cicak itu
antara budaya dengan agama suku sehingga pemahaman tentang cicak itu dapat
direbut dan di pasang identitas baru sebagai milik Kristen dengan teologi cicak
yang kontekstual dengan budaya.
Cicak merupakan suatu hal yang sangat
mendalam dalam pemahaman masyarakat Batak sehingga sangat menguntungkan jika
dapat di pergunakan untuk mempeerkenalkan Kristen lebih mendalam dengan
kontekstualisasi pada masyarakat Batak.
Gagasan
Penulis
Hadirnya teologi untuk upaya
kontekstualiasasi merupakan suatu upaya orang Kristen sendiri yang suku Batak
sehingga teologi atau injil Kristus itu mendarah daging dalam masyarakat Batak.
Jadi pemikiran mengenai Teologi Cicak itu membuat Yesus hadir di tengah-tengah
masyarakat Batak bukan produk luar, dengan begitu kehadiran Yesus adalah
membawa keselamatan bagi bangsa Batak dengan pendekatan kontekstual.
Pemaknaan
Masyarakat Batak mengenai Cicak
Dalam masyarakaat Batak, cicak sangatlah
bermakna sehingga dalam gorga atau rumah bolon orang Batak terdapat gambar
cicak atau di sebut gorga boraspati. Leluhur masyarakat suku Batak yang
meyakini cicak atau yang disebut dengan boraspati sebagai simbol kebijaksanaan
dan kekayaan bagi generasinya.
Munculnya filosofi tersebut bermula dari
pengamatan leluhur masyarakat Suku Batak terhadap pola hidup cicak yang bisa
beradaptasi dengan lingkungannya. Cicak bisa hidup di lantai, di dinding, di
lorong, di atap dan di mana saja. Dalam cengkeraman kucing pun, cicak bisa
meloloskan diri dengan melepas umpan ekor pengelabu.
Selain itu, bagi masyarakat Suku Batak
yang mata pencahariannya adalah bertani, kemunculan cicak di lahan pertanian
ladang dan sawah diyakini sebagai pertanda tanaman akan tumbuh subur. Semakin
sering cicak muncul, tanaman semakin subur, sehingga dapat dipanen dengan hasil
yang memuaskan.
Dalam bahasa Batak cicak di namakan
boraspati. Boraspati sendiri memiliki arti lain yakni nama untuk hari kelima.
Diyakini sebagai hari baik untuk menyelengarakan pesta, membangun rumah baru,
memulai usaha, dan mencari pekerjaan. Dalam khasanah kepercayaan asli dan
perdukunan Batak, yang lazim dikenal adalah Boraspati Ni Tano. Wujud
biologisnya adalah bengkarung (Eutropis multifasciata), atau kadal tanah. Dalam
Bahasa Batak Toba, disebut ilik. Di kemudian hari orang Batak memang membedakan
tiga jenis Boraspati, yaitu Boraspati ni Tano, Boraspati ni Ruma, dan Boraspati
ni Huta. Cicak adalah Boraspati ni Ruma, sedangkan (kemungkinan besar) tokek
adalah Boraspati ni Huta.
Dari sisi mitologi orang Batak,
Dikisahkan dalam mitos asal-usul orang Batak, bahwa kakek buyut Si Raja Batak
(Orang Batak Pertama) yaitu Dewa Si Raja Odap-odap ternyata berwujud ilik
(bengkarung).
Dalam tonggo--tonggo (doa) tetua adat
atau dukun, saat mendoakan kegiatan awal musim tanam agar membuahkan hasil
melimpah, atau saat mendoakan pembangunan rumah atau pembukaan kampung baru
agar menjadi tempat penuh berkah, salah satu nama Kuasa Roh Agung yang disebut
(dipanggil) adalah Boraspati ni Tano.
Dua nama Kuasa Roh Agung lainnya yang
selalu disebut adalah Mulajadi Na Bolon (Awal-mula Yang Agung, Maha Pencipta)
dan Boru Saniang Naga (Dewi Saniang Naga). Boru Saniang Naga, digambarkan
berwujud ular, adalah Dewi Air, yang memerintah kuasa-kuasa air, sehingga
bersifat menentukan nafkah petani (irigasi) dan nelayan (ombak besar, taufan).
Artinya, bengkarung atau ilik sebagai perwujudan Dewa Tanah memiliki kuasa
"bawah tanah" yang bersifat menentukan kesuburan tanah.
Bagi orang Batak, kehadiran bengkarung di
suatu lahan usaha tani adalah pertanda tanah itu subur, terberkati, sehingga
ada harapan memberikan hasil melimpah. Karena itu, pantang bagi orang Batak
untuk membunuh seekor bengkarung, dalam kondisi apapun. Pada ornamen rumah
Batak, figur Boraspati ni Tano ada dua sosok yang di tempatkan pada bagian kiri
dan kanan dinding depan (dorpi jolo), menghadap figur Adop-adop, atau figur dua
pasang (empat) payudara perempuan, sebagai simbol kesuburan. Dibaca secara
keseluruhan, kesatuan Boraspati ni Tano dan Adop-adop itu menyatakan (simbolik)
bahwa "penghuni rumah itu terberkati, usahatani dan ternaknya memberi
hasil berlimpah, sehingga memperoleh hidup sejahtera".
next to: Kajian Teologi Cicak