Sejarah Gereja Indonesia: Sejarah Gereja Pada Masa Orde Lama 1945


Nama                          Jonihut Andi Pranata Purba
STT ABDI SABDA MEDAN


Gereja/Kekristenan di Indonesia Pada Masa Orde Lama
Kompetensi : Mahasiswa dapat menjelaskan kiprah gereja/Kekristenan pada masa Orde Lama termasuk hubungan gereja dan politik di Indonesia.
I.                   Pendahuluan
Masa Orde Lama sering dipahami sebagai masa pemerintahan atau masa ke pemimpinan presiden Soekarno yang berlangsung pada tahun 1945 sampai 1966 tepatnya bulan Maret. Masa ini adalah masa awal kemerdekaan Indonesia dari penjajahan yang meskipun masih ada beberapa wilayah yang belum merdeka secara total. Di samping itu Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 tidaklah dengan sertamerta membebaskan gereja di Indonesia dari penderitaan, sebab proklamasi itu disusul oleh serangkaian perang untuk mempertahankan kemerdekaan pada tahun 1945-1949. Pada masa itulah semakin terlihat usaha menuju keesaan gereja dan usaha itu mencapai puncaknya pada pembentukan Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) pada 25 Mei 1950. Pasa masa Orde Lama banyak terjadi konflik dikarenakan pemerintahan yang masih muda dalam kemerdekaan, belum seperti sekarang ini yang sudah sistematis dan terstruktur. Pasa masa Orde Lama ini tercatat juga terjadi pemberontakan PKI yang sering dikenal sebagai G30S/PKI, sebuah usaha untuk merebut kepemimpinan/kekuasaan di negeri ini dengan usaha kekerasan. Tetapi dalam hal ini yang menjadi penekanannya adalah bagaimana kiprah atau peran orang Kristen ataupun gereja pada masa Orde Lama ini termasuk termasuk dalam dunia perpolitikan karena pengaruh politik sangat besar terhadap segala aspek kehidupan bagi bangsa ini, termasuk juga pengaruhnya kepada eksistensi Kekristenan dan gereja itu sendiri.
II.                Pembahasan
2.1.Beberapa Poin Penting pada Masa Orde Lama
Sejak Proklamasi 1945 sampai pengakuan kedaulatan di mana pemerintah Belanda secara de facto dan secara resmi telah berakhir, maka Republik Indonesia melangkahkan kakinya benar-benar sebagai negara yang berdaulat penuh, yang diperintah oleh bangsa dan pemimpinya sendiri. Zaman ini benar-benar merupakan zaman baru, yaiu masa kemedekaan yangsudah hilang selama beratus-ratus tahun bagi Bangsa Indonesia.[1]Orde Lama dijabarkan oleh Soekarno sebagai demokrasi murni berdasarkan ideologi Pancasila.[2]
2.1.1.      Konteks Agama dan Eksistensi Gereja
Di tahun-tahun sesudah 1945 kemandirian Gereja secara kenyataan diubah menjadi kemandirian resmi. Di bidang jumlah, memang ada pertumbuhan gereja dalam tahun-tahun 1940-1950 dan 1950-1960, tetapi tidak berlebihan ada pertumbuhan tahunan rata-rata sedikit kurang dari lima persen. Bertambah jugalah pendeta yang ditahbiskan sedikit lebih tinggi, khususnya di tahun-tahun pertama.[3] Seperti yang sudah diketahui bahwa apa yang di alami orang Indonesia pada masa kehidupan pendudukan Jepang sangat menentukan jalannya sejarah gereja di Indonesia dalam periode ini. Dengan menyerahnya Jepang kepada sekutu berakhirlah penindasan, penganiayaan dan penjajahan Jepang atas Indonesia. Bersamaan dengan itu, usaha dan semangat Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan tanah air sudah mencapai tahap kematangan, yang berpuncak dengan proklamasi kemerdekaan. Setelah melewati masa perang kemerdekaan, Indonesia akhirnya memperoleh kedaulatannya yang penuh. Situasi ini juga yang ikut mempengaruhi perkembangan gereja di Indonesia yang ditempatkan ditengah-tengah bangsa dan masyarakat Indonesia. Gambaran “Gereja Bertumbuh” merupakan ungkapan yang tepat untuk melukiskan keadaan gereja-gereja Indonesia sejak 1950.[4] Banyak juga tokoh beragama Kristen menempatkan diri di kalangan nasionalis, seperti melalui partai-partai Kristen yang ada misalnya, PARKINDO. Sukar untuk diukur, seberapa besar peranan para pemilih yang beragama Kristen untuk membuat partai-partai Islam tidak berhasil menang. Betapa gigihnya perjuangan wakil-wakil mereka di parlemen bahu membahu dengan kalangan nasionalis, untuk mempertahankan Pancasila.[5]
2.1.1.1. Masalah Kebebasan beragama
Mengenai kebebasan beragama pun terjadi perdebatan yang sengit antara golongan Islam dan Kristen. Walaupun golongan Islam mengakui hak setiap orang untuk menganut dan menjalankan agamanya sesuai dengan keyakinannya masing-masing, namun mereka juga mengusulkan beberapa ketentuan yang secara jelas membatasi hak dan kebebasan agama-agama lain. Masyumi misalnya dengan tegas mengusulkan agar agama resmi negara adalah agama Islam, setiap orang yang berdiam di wilayah Indonesia menaati Undang-undang dan hukum Islam serta pemimpinnya. Tetapi kemudian Renda Saroengalo (Parkindo) menyatakan bahwa semua fraksi dalam konstituante telah mengakui kedudukan yang sama di depan hukum bagi semua warga negara. Pandangan Saroengalo ini mendapat dukungan rekan fraksinya, Sihombing, yang menekankan agar negara memberi perlakuan yng sama kepada semua agama.
I.J. Kasimo dari Partai katolik juga menekankan bahwa kebebasan beragama tidak boleh disamakan dengan kebebasan berserikat, karena ini akan berarti bahwa kebebasan tersebut dapat dibatasi dengan alasan ketertiban umum.Pada tanggal 12 Nopember 1957 Atmodarminto mendapat kesempatan berpidato di depan sidang Konstituante. Isi pidatonya secara jelas sangat menentang gagasan negara Islam. Selanjutnya kelompok Parkindo dan Katolik bertemu pada tanggal 20 Nopember 1957 dan menghasilkan suatu seruan bersama yang berisi tekat untuk mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara dan karena itu juga mempertahankan kebebasan beragama.[6]
2.1.2.      Konteks Politik
Setelah kemerdekaan tersebut, dibicarakanlah mengenai dasar negara dan sistem politik pemerintahan bersama agar sesuai dengan apa yang diharapkan atau yang dikehendaki rakyat Indonesia. Setelah mengalami pergumulan berat untuk menentukan susunan politik yang dikehendaki bersama yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka dicanangkanlah sebuah maklumat untuk mendirikan partai-partai politik. Dan kemudian timbullah partai-partai tersebut seperti jamur dibawah hujan. Setelah itu diadakanah pemilihan umum yang pertama pada tahun 1955.[7] Dalam pemilihan umum 1955, partai nasionalis PNI keluar sebagai partai terbesar dengan suara 22,3%. Nomor 2 dan 3 adalah masyumi dan NU yang masing-masing memperoleh 20,9% dan 18,4%. Partai terbesar keempat adalah partai komunis PKI dengan jumlah suara 16,4%. PSII ternyata telah menjadi partai kecil (2,9%); sedangkan Perti sama sekali menjadi tidak berarti (1,3%).
Melalui hasil pemilihan ini telah ternyata bahwa kiprah politik Islam di Indonesia untuk sementara itu telah gagal. Dalam badan-badan perwakilan jumlah mayoritas suara yang diperlukan tidak diperoleh, sehingga tidak mungkin mewujudkan asas-asas Islam tertentu dalam negara dan masyarakat melalui cara-cara demokrasi. Oleh karena itu, tahun 1955 dapat dipandang sebagai akhir dari periode pertama sejarah modern Islam di Indonesia.[8] Sesudah diadakannya pemilihan umum, diadakannya juga usaha lewat sidang penyusunan UUD, yakni Konstituante, untuk memperoleh UUD yang tersusun secara definitif dan demokratis.[9]
2.1.3.      Kehadiran Darul Islam / Tentara Islam Indonesia (DI/TII)
Darul Islam merupakan gerakan separatis Islam yang dirancang oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo (1905-1962) yang didirikan pada 07 Agustus 1949. Gerakan ini bercita-cita mendirikan suatu gerakan Indonesia yang berdasarkan Islam. Pihak republik tidak mau tinggal diam melihat gerakan ini. Tentara dikerahkan untuk membalas serangan dan berhasil menghancurkan dua markas TII di Makassar dan Pantai Teluk Bone. Bila rakyat kedapatan membantu tentara Republik, maka kampung mereka akan diserbu dan dibakar oleh TII. Sebaliknya, bila ada rakyat yang kedapatan membatu TII, maka mereka akan ditangkap dan dipenjarakan oleh tentara Republik. Situasi terjepit ini mendorong rakyat untuk melakukan pengunsian ke kota-kota besar Sulawesi Selatan. Perlawanan ini benar-benar berakhir setelah ia tertembak mati pada 3 Februari 1965.[10]
Di masa terjadinya pergolakan daerah dan pemberontakan dari golongan-golongan bersenjata yang memaksakan kehendak politiknya, rupanya gereja mendapatkan perlakuan yang cukup menyengsarakan. Terutama di kawasan Sulawesi banyak penganiayaan serta gangguan yang berat dari gelombang DI/TII khususnya terhadap mereka yang beragama Kristen. Khususnya daerah yang amat terkenal dengan gerombolan DI/TII misalnya di kawasan gereja Kristen Sulawesi Selatan mendapatkan perlakuan kekejaman mereka seperti apa yang terjadi di daerah Jawa barat, bahwa bukan hanya orang Kristen yang menjadi korban kekejaman mereka, tetapi juga yang beragama Islam. Juga karena sikap pemerintah daerah yang waktu itu kurang jelas menyebabkan semakin tidak tentunya keadaan.[11] Gerakan DI/TII ini terutama beroperasi di Jawa Barat, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan. Gereja-gereja di daerah tersebut banyak mengalami penderitaan, terutama di daerah tanah Toraja dimana 70.000 orang Kristen mengalami teror gerombolan bersenjata, termasuk paksaan untuk bertukar agama.[12] Ketika pemberontakan tersebut dapat di tumpas, maka kerjasama antara pemerintah daerah dan gereja berjalan baik.[13]
2.1.4.      Perubahan Bentuk Negara RIS (Republik Indonesia Serikat) ke NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)[14]
Penandatanganan hasil Konferensi Meja Bundar (27 Desember 1949) ternyata tidak memuaskan seluruh rakyat Indonesia. Meskipun Belanda sudah secara resmi menyerahkan kedaulatan atas wilayah Indonesia (tidak termasuk Irian Barat) kepada RIS, rakyat masih mencurigai adanya niat Belanda untuk menduduki Indonesia lewat negara-negara bagian yang dahulu dibentuknya.  Kecurigaan rakyat kemudian terbukti  pada saat Westerling dan 800 orang serdadunya merebut tempat-tempat penting di Bandung pada 23 Januari 1950. Parlemen negara bagian itu meminta agar negara pasundan dibubarkan. Aspirasi kesatuan disuarakan oleh Mohammad Natsir dari Masyumi dalam sidang parlemen gabungan RI-RIS. Oposisi terhadap gerakan persatuan muncul dari Sumatera Timur.
Dukungan terhadap oposisi ini kemudian tampak pula pada saat seorang tokoh berdarah Ambon dan mantan menteri kehakiman dalam pemerintahan Indonesia timur bernama Dr. Soumokil yang memproklamasikan Republik Maluku Selatan (RMS) di Ambon pada tanggal 25 April 1950. Tokoh-tokoh pro-republik di Indonesia Timur berusaha menggalang kekuatan dan membentuk suatu kabinet baru di bulan Mei yang bertugas untuk mempersiapkan peleburan Negara Indonesia Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Langkah ini kemudian diikuti dengan serangan pasukan RI ke kantong-kantong RMS yang berujung pada kehancuran negara baru tersebut. setelah negara Indonesia Timur setuju bergabung dengan Republik, Negara Sumatera Timur pun mengikuti langkah ini. pada tanggal 17 Agustus 1950 semua bentuk negara bagian yang ada dihapuskan dan digantikan oleh suatu pemerintahan baru yang berbentuk kesatuan, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Muhammad Natsir, tokoh yang mengajukan mosi kesatuan, diangkat sebagai perdana menteri dan dipercaya presiden Soekarno untuk membentuk kabinet.
2.1.5.      Pembentukan Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI)
Pada tahun 1947 Ds. W. J. Rumambi, sebagai Sekretaris Majelis Kristen, menghubungi Ds. B. Probowinoto (wakil DPG), Ds. T. Sihombing (wakil majelis Gereja Sumatera), dan Ds. H. Dingang, menyampaikan suatu usul yang dilampiri “Rencana Anggaran Dasar dan Rencana Peraturan Rumah Tangga Majelis Usaha Bersama Gereja-gereja Kristen di Indonesia”, hasil konferensi Milano, untuk pembentukan suatu badan oikumene bagi gereja-gereja di seluruh Indonesia. Setelah pembentukan Dewan Gereja Sedunia di Amsterdam pada konferensi tanggal 22 Agustus - 4 September 1948, direncanakan akan berlangsung suatu persidangan Joint Office WCC dan IMC untuk Asia Timur pada bulan Desember 1949 di Bangkok.[15] Para pemuka gerakan oikumene di Indonesia berharap bahwa wadah oikumene nasional sudah akan terbentuk untuk dapat diterima sebagai anggota IMC dalam sidang di Bangkok itu.[16] Tetapi persiapan panitia baru memungkinkan konferensi pembentukan wadah nasional itu dilangsungkan tanggal 7-13 November 1949 di Jakarta. Konferensi itu (yang dikenal sebagai Konferensi Persiapan DGI) dihadiri 19 orang utusan yang mewakili 29 gereja dan 28 orang peninjau dari berbagai badan kegerejaan, termasuk panitia. Sebelumnya, dalam rapat panitia pada bulan Februari 1949, telah dipersiapkan suatu konsep Anggaran Dasar yang berisi lima dasar baru di mana nama “Madjelis” diganti menjadi “Dewan” dan badan oikumene yang dibentuk ditetapkan bernama Dewan Geredja-geredja di Indonesia dengan tujuan “Pembentukan Gereja Kristen yang esa di Indonesia”
Pada tanggal 21-28 Mei 1950 sejumlah tokoh Kristen berkumpul di Sekolah Tinggi Theologia Jakarta untuk menyelenggarakan Konferensi pembentukan DGI. Pada tanggal 25 Mei 1950 DGI dinyatakan secara resmi berdiri. DGI bukanlah lembaga politik, meskipun ia sedikit-banyak mengemban tugas yang bersifat politis juga, yaitu mewakili gereja-gereja anggotanya di hadapan pemerintah mengenai berbagai masalah yang menyangkut urusan dan kepentingan gereja atau umat Kristen pada khususnya, maupun menyangkut berbagai hal di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Hubungan antara Parkindo dan DGI sangat erat. Hubungan ini makin tampak ketika DGI dan Parkindo berhadapan dengan sejumlah peristiwa politik, yang sedikit banyaknya berkaitan juga dengan hubungan antara Kristen dan Islam di negeri ini, misalnya pada saat DGI mendukung Parkindo dalam kampanye pemilu 1955.[17] DGI dapat dilihat sebagai sebuah upaya untuk menghimpun gereja-gereja yang mewarisi akar-akar tradisi dan sistem gereja Eropa Kontinental (Belanda-Jerman).[18] DGI bertujuan mendirikan gereja yang esa di Indonesia.[19]
2.1.6.      Peristiwa Gerakan 30 September 1965 dan Peran Gereja
Peristiwa gagalnya usaha perebutan kekuasaan negara dengan kekerasan oleh pihak komunis, yang terkenal dengan peristiwa G30S/PKI di tahun 1965, yang telah menimbulkan bencana hebat di antara rakyat Indonesia, merupakan pula salah satu faktor yang mengakibatkan terjadinya pertumbuhan gereja. Terutama di Jawa dan Sumatera, peristiwa ini telah menyebabkan banyak orang bertobat dan menjadi anggota gereja. Dari segi kemanusiaan dapat dikatakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan banyak orang tertarik kepada gereja dalam situasi yang sangat kritis itu, ialah kesaksian gereja yang mantap, sikap gereja yang tidak mengutuk, pelayanan gereja yang tidak memihak, dan usaha gereja membela mereka yang tidak bersalah serta bantuan kasih yang dilayani terhadap semua pihak yang menderita tanpa melihat golongan atau agama. Namun pertambahan anggota gereja ini tidak terjadi di semua gereja.[20]
2.2.Gereja Pada Masa Orde Lama
Keadaan pada era awal kemerdekaan Indonesia ditandai dengan tidak ada sebuah otoritas gerejawi, yang berperanan menaungi seluruh aliran gereja-gereja yang bermacam-macam dan begitu banyak bermunculan bagaikan jamur pada musim hujan. Hal itu dilatarbelakangi karena terjadinya perpecahan gereja-gereja yang bersumber perbedaan etnis suku-suku dan/atau karena perbedaan letak geografis, sehingga terbentuklah GKPS (1963), GKPI (1964), HKBP-Angkola, AMIN (Nias 1946), GKLB, dan GPIL (1966).[21]
Walaupun banyak tokoh beragama Kristen menempatkan diri di kalangan nasionalis, namun pada periode 1950-1955 kiprah umat Kristen tergambar dalam politik melalui Parkindo. Parkindo tidak berjalan sendirian, melainkan beriringan dengan Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) bersama anggota-anggotanya Dr. J. Leimena yang melukiskan bahwa Kalau gereja berdiri di tengah-tengah lapangan, maka di sekitar lapangan itu didirikan pagar penjaga.” Lalu berdirilah Parkindo dengan ormas-ormas Kristen lainnya untuk menjaga gereja yang menjadi pusat hidup orang Kristen di Indonesia itu.[22]
Dalam berbagai kesempatan kalangan Kristen juga menyampaikan himbauan kepada pemerintah agar memberi jaminan kebebasan beragama sambil menyatakan sikap mempertahankan pancasila sebagai dasar negara. Ketika presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden serta mencanangkan Demokrasi Terpimpin dan Manipol Usdek, kalangan Kristen menyatakan dukungannya. Dukungan kalangan Kristen terhadap Demokrasi Terpimipin sejalan dengan dukungan terhadap revolusi Indonesia, yang sudah dicanangkan Soekarno sejak zaman revolusi dan terus dikumandangkan hingga akhir masa kekuasaannya. Hal itu terlihat dari pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan atas nama gereja-gereja dan umat Kristen Protestan oleh DGI. Puncak pemahaman, sikap, dan respons gereja-gereja melalui DGI tentang revolusi ini dapat dilihat di dalam keputusan sidang lengkap IV tahun 1964 yang berthema “Yesus Kristus Gembala yang Baik” dan sub thema “Tugas Kristen dalam revolusi”.
Sehubungan dengan dukungan terhadap pengangkatan Soekarno menjadi presiden seumur hidup, kalangan Kristen juga tidak ketinggalan dari kalangan lain, termasuk dari kalangan Islam. Dalam sambutan golongan Kristen / Katolik pada sidang MPRS II 18 Mei 1963 di Bandung, yang dibawa oleh Sutarto Hadisudibjo menyatakan dapat menerima dan mendukung ketetapan majelis tentang pengangkatan Bung Karno menjadi presiden seumur hidup.[23] Beberapa daerah Kristen seperti di Sumatera Utara mengadakan perlawanan sangat gigih terhadap tentara Belanda. Tetapi di Pulau Jawa orang Kristen seperti didorong oleh naluri alamiah ikut serta dalam perjuangan bersenjata melawan penjajah. Keikutsertaan orang Kristen dalam perjuangan nasional memungkinkan mereka diterima oleh orang lain sebagai warga negara penuh dalam negara Indonesia yang merdeka.[24]
Bangsa Indonesia yang dituangkan secara konstitusional dalam Pancasila dipahami sebagai suatu contoh bagaimana konsensus nasional dapat diusahakan dan tercapai, dimana perbedaan-perbedaan yang memang ada dalam tubuh bangsa sepenuhnya diakui. Namun perbedaan itu tidak diperbolehkan menjadi unsur yang dominan. Keseimbangan antara persatuan dan Kebhinekaan itulah yang pada akhirnya meyakinkan bahwa tanah air adalah milik bersama, dan dengan demikian kebangsaan sebagaimana diungkapkan dalam sila ketiga Pancasila menjadi daya dorong bagi semua untuk mewujudkan suatu tanah air.[25]
2.3.Partai Politik Kristen Pada Masa Orde Lama[26]


1.      Partai Kristen Nasional (PKN)
Gedung pusat kegiatan Kristen di jalan Kramat No. 65, yang kemudian disebut Balai Pertemuan Kristen, menjadi tempat bersejarah dalam rangka sambutan pihak Kristen terhadap persiapan dan proklamasi kemerdekaan Bangsa Indonesia. Ketika berlangsung pembicaraan di dalam PPKI, Mr. A.A. Maramis dan Sartono memperkenalkan rancangan UUD kepada kelompok Kristen di Kramat 65. Pemuka-pemuka Kristen waktu itu berkebaratan terhadap pasal 6 bagian pertama rancangan UUD itu yang menyatakan bahwa presiden harus orang Indonesia asli dan beragama Islam.
Dinyatakan oleh hadirin, bahwa walaupun dalam prakteknya presiden itu mungkin selalu akan seorang Indonesia yang beragama Islam, tetapi hal itu tidak perlu disebut dalam Undang Undang Dasar, sebab apriori mendiskriminasikan agama-agama lain yang ada di Indonesia. Siapa saja harus di anggap dapat memangku jabatan presiden, tidak tergantung dari agama yang dipeluknya, asalkan ia mampu membawakan negara dan bangsa kepada kebahagiaan yang dicita-citakan.
Di Kramat 65 ini pula para pemuka Kristen (Protestan dan Katholik) melangsungkan pertemuan. Maklumat pemerintah tanggal 3 Nopember 1945, yang memberikan kesempatan kepada masyarakat seluas-luasnya untuk membentuk partai politik, dengan harapan pemilihan umum dapat dilangsungkan pada bulan Januari 1946. Rencana mendirikan partai politik Kristen tampaknya tidak mendapat dukungan luas kalangan pemuka Kristen Protestan, sedangkan pihak katholik yang hadir tidak dapat mengambil bahagian tanpa petunjuk dari pimpinan gerejanya. Probowinoto dengan 25 orang lainnya mendirikan Partij Kristen Nasional (PKN, kemudian dieja Partai Kristen Indonesia) dengan meminta Dr. W.Z. Johannes menjadi ketua. Pada kongres I (6-7 Desember 1945) nama Partai Kristen Indonesia diubah menjadi Partai Kristen Indonesia (PARKINDO), dan pada tahun 1947 bergabung suatu partai Kristen dari Sumatera Utara, PARKI.
2.      Partai Kristen Indonesia (PARKI)
Pada waktu yang hampir bersamaan dengan pembentukan PKN, orang-orang Kristen di Tapanuli membentuk suatu wadah politik bernama Partai Politik Kaum Kristen, dipimpin Dr. Jasmen Saragih bersama Melanchton Siregar (1912-1975) dengan Doran Damanik, A.M.S. Siahaan, dan Turman Siahaan. Sementara itu di Medan didirikan Partai Kristen dalam kongres yang berlangsung pada tanggal 6-8 September 1946 di Pematang Siantar. PARKI bertujuan untuk mempertahankan NRI (Negara Republik Indonesia), membantu pemerintah mencapai perdamaian dunia dan mengusahakan keadilan. Partai ini terdiri atas tiga bagian, yakni Badan Pemuda PARKI, Badan Wanita PARKI, dan Badan Perjuangan Kelaskaran PARKI Divisi Panah. 
Kongres tahun 1946 tersebut merumuskan beberapa butir pendirian sebagai berikut :
a.       PARKI jang berdasarkan kepada faham Kekristenan menentang segala penjajahan;
b.      PARKI berpendirian, bahwa NRI adalah rahmat Tuhan kepada bangsa Indonesia dan karena itu tetap mempertahankan NRI yang merdeka 100 persen;
c.       PARKI mendesak kepada umat Kristen seluruh dunia untuk mennyokong tuntunan bangsa Indonesia atas pengakuan kemerdekaannya, selaras dengan kodrat alam dan kehendak Tuhan;
d.      PARKI mendesak,supaya pemerintah menjalankan kewajibannya dengan tepat dan tjepat untuk memberantas segala aliran yang menghalang-halangi pemerintahan yang stabil;
e.       PARKI mendesak kepada pemerintah supaja dijalankan dengan segera maklumat-maklumat pemerintah untuk Propinsi Sumatera.
3.      Partai Kristen Indonesia (PARKINDO)
Kongres PKN, tanggal 6 dan 7 Desember 1945 di Surakarta mendapat sambutan hangat dari umat Kristen, pemerintah, dan masyarakat umum. pada kongres ini nama partai diganti menjadi Partai Kristen Indonesia (PARKINDO). Pengurus besarnya adalah :
Ketua                           : Ds. B. Probowinoto
Wakil Ketua I              : Dr. W.Z. Johannes
Wakil Ketua II                        : Dr. R. Soemardi
Penulis I                      : Mr. M. Tamboenan
Penulis II                     : Marjoto S.
Bendahari I                 : J.K. Panggabean
Bendahari II                : Mr. S.S. Palengkahu
Pemikiran teologi mengenai politik yang diungkapkan pemuka PARKINDO, menunjukkan pengaruh Calvinisme, khususnya yang dikembangkan di kalangan politikus Kristen Belanda. Pemerintah adalah hamba Allah dan gereja atau orang Kristen terpanggil untuk menyaksikan kehendak Allah dalam segala lapangan kehidupan, juga di lapangan politik. Politik Kristen memperjuangkan semacam teokrasi, yakni menyelenggarakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sesuai prinsip-prinsip agama (Kristen). Adapun program politik PARKINDO adalah:
a.       Politik luar negeri
PARKINDO di Republik Indonesia bekerja sama dengan partai-partai lain dan pergerakan-pergerakan rakyat seluruhnya dengan jalan segala jenis siaran yang tidak bertentangan dengan azas partai untuk menuntut pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh dunia internasional dan berjuang untuk menolak segala usaha dari luar dan dalam yang bermaksud merobohkan Republik Indonesia yang telah merdeka.
b.      Politik dalam negeri
i.                    Berdaya upaya dengan perbuatan-perbuatan yang nyata untuk mempertebalkan rasa kebangsaan dan yang memperkokoh rasa persatuan dan memberantas kedaerahan.
ii.                  Mempersiapkan arti kedaulatan rakyat yang sebenar-benarnya dan seluas-luasnya dengan berbagai-bagai pengajaran yang tidak bertentangan dengan azas partai.
iii.                Menganjurkan supaya pemerintah berusaha supaya tindakan-tindakannya dapat dirasakan dengan nyata oleh rakyat, bahwa negara Republik Indonesia sungguh-sungguh berdasarkan kedaulatan rakyat.
2.3.1.      Kiprah Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Pada Masa Orde Lama
    Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI)[27] adalah organisasi kemahasiswaan yang didirikan pada tanggal 9 Februari 1950. Namun Christelijke Studenten Vereeniging op Java (CSV) yang menjadi cikal bakal GMKI telah ada jauh sebelumnya dan berdiri sejak 28 Desember 1932 di Kaliurang, Yogyakarta, Indonesia. Berdirinya CSV tidak terpisahkan dengan peranan Ir. C.L Van Doorn, seorang ahli kehutanan yang mempelajari aspek sosial dan ekonomi khususnya ilmu pertanian dan kemudian memperoleh doktor di bidang ekonomi serta sarjana di bidang teologi. Tanggal 9 Februari 1950 di kediaman Dr. J. Leimena di Jl. Teuku Umar No. 36 Jakarta, wakil-wakil PMKI dan CSV baru hadir dalam pertemuan tersebut. Maka lahirlah kesepakatan yang menyatakan bahwa PMKI dan CSV baru untuk meleburkan diri dalam suatu organisasi yang dinamakan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dan mengangkat Dr. J. Leimena sebagai Ketua Umum hingga diadakan kongres. Pertemuan tersebut merupakan pertemuan sangat penting dan suatu moment awal perjuangan mahasiswa Kristen yang tergabung dalam GMKI maka pada kesempatan itu Dr. J. Leimena menyampaikan pesan penting yang mengatakan: "Tindakan ini adalah suatu tindakan historis bagi dunia mahasiswa umumnya dan masyarakat Kristen pada khususnya. GMKI menjadilah pelopor dari semua kebaktian yang akan dan mungkin harus dilakukan di Indonesia. GMKI menjadilah suatu pusat sekolah latihan (leerschool) dari orang-orang yang mau bertanggungjawab atas segala sesuatu yang mengenai kepentingan dan kebaikan negara dan bangsa Indonesia. GMKI bukanlah merupakan Gesellschaft, melainkan ia adalah suatu Gemeinschaft, persekutuan dalam Kristus Tuhannya. Dengan demikian ia berakar baik dalam gereja, maupun dalam Nusa dan Bangsa Indonesia. Sebagai bagian dari iman dan roh, ia berdiri di tengah dua proklamasi: Proklamasi Kemerdekaan Nasional dan Proklamasi Tuhan Yesus Kristus dengan Injilnya, ialah Injil Kehidupan, Kematian dan Kebangkitan”
  GMKI kemudian berkembang dengan berdirinya cabang-cabang GMKI di berbagai wilayah Indonesia. Dalam transisi kepemimpinan nasional di era Ode Lama, GMKI memainkan peran dalam pergerakan nasionalisme dan ekumenisme serta mempertahankan ideologi Pancasila.
2.4.Tokoh-tokoh Kristen Pada Masa Orde Lama
1.      T.S.G. Moelia
Prof. Dr. T.S.G. Moelia (1896-1966) lahir di Padangsidempuan dan menempuh sekolah menengah dan tinggi di negeri Belanda sampai memperoleh gelar doktor sastra dan filsafat di samping gelar sarjana hukum di Leiden. Pada umur 25 tahun ia diangkat menjadi anggota Dewan Rakyat,disamping bekerja sebagai guru dan dalam Departemen Pendidikan. Ia menjadi menteri Pertahanan dan Keamanan dalam kabinet RI yang kedua (1945-1946). Kesatuan gereja tetap menjadi perkara penting baginya, dan pada tahun 1950 ia menjadi ketua pertama DGI (1950-1960). Ketua pengurus Sekolah Tinggi Teologi di Jakarta dan ketua pengurus Universitas Kristen Indonesia yang didirikan pada tahun 1953.  Disamping itu, ia menjabat sebagai ketua Lembaga Alkitab Indonesia (1954-1966). Ia pun menjadi redaktor Ensiklopedia Indonesia terbitan pertama. Setelah itu Dr. Moelia terutama mencerahkan tenaga di bidang kegerejaan pada tahun 1928.[28]
2.      Dr. Johannes Leimena
Leimena seorang pejabat negara yang lahir pada 6 Maret 1905 di Ambon ini terkenal dekat dengan kaum muda, sikap kenegarawanannya juga tercermin dari kedekatannya dengan kaum muda, karena ia sendiri adalah penggagas dan pendiri beberapa organisasikepemudaan dan kemahasiswaan bersama orang muda Kristen satu angkatannya ia mendirikan GMKI.[29]Pria yang akrab disapa Om Jo ini merupakan seorang negarawan sejati.Hal ini dapat kita lihat dari keseluruhan kabinet masa Soekarno, Johannes Leimena pasti menjadi menterinya, karena keberhasilannya masuk kedalam setiap kabinet tidak sedikit orang yang mencibir dan menganggap Om Jo sebagai “Bunglon politik” karena menjadi menteri 18 kali dalam kabinet, serta menjadi penjabat kriisten sebanyak 7 kali. Dalam prinsip politiknya pria yang selalu menyebutkan kata rustig, rustig, rustig ini sering mengatakan bahwa politik bukan alat kekuasaan melainkan etika untuk melayani. Walaupun ia politisi Kristen, Leimena tetaplah seseorang yang mampu memposisikan dirinya dalam dinamika politik saat itu yang beragam macamnya. Ideologi Kristen dapat dipertemukan dengann ideologi Pancasila yang menjadi pandangan hidup bangsa, hal ini terlihat dengan perannya dalam pembentukan DGI pada tahun 1950 dimana dalam lembaga ini ia terpilih sebagai Wakil Ketua yang membidangi komisi gereja dan Negara. Om Jo berpulang dengan damai pada tanggal 29 Maret 1977.[30]
3.      Amir Sjarifoeddin
Bung Amir lahir di Medan pada tanggal 27 Mei 1907, anak sulung dari Baginda Soripada Harahap dengan ibu Basoenoe Br Siregar. Amir yang aslinya bermarga harahap sengaja tidak menggunakan marga di belakang namanya karena kesepakatan yang diambil pada kongres pemuda 1927 untuk tidak mempergunakan marga dan gelar kebangsawanan untuk menunjukkkan bahwa semuanya orang Indonesia dan sama derajatnya. Amir menyelesaikan pelajarannya pada ELS di Sibolga dan melanjutkan pendidikannya di Belanda menyusul abang sepupunya yaitu Toean Soetan Goenoeng Mulia (T.S.G.Mulia). Amir muda tinggal di rumah seorang  bernama nyonya A.A. Van de Loosdrecht-Sizoo, yaitu seorang janda dari Pekabar Injil A.A. Van de Loodsdrecht-Sizoo yang mati ketika mengabarkan Injil di tanah Toraja.[31]  Keterlibatan Amir dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia tampak dengan keterlibatannya dalam Jong Sumatranen Bond pada tahun 1927 bersama dengan M.Yamin.  selain menjadi pemimpin Jong Sumatreanen Bond, Amir juga pemimpin di Jong Batak’s Bond.  Karena kepiawaiannya dalam memipin dan kefasihannya berpidato dalam bahasa Indonesia dan bahasa Asing maka Amir ditunjuk sebagai Bendahara Panitia Kongres Pemuda II sebagai bendahara mewakili Jong Batak’s Bond.
Sebagai seorang pemikir Amir sering berdiskusi dengan Dr.C.I.Van Doorn yang merupakan sekretaris jenderal CSV[32]. Karena ketertarikannya lalu Amir banyak ikut dalam kegiatan dari CSV dan kemudia memilih menganut agama Kristen dan dibaptis oleh Pdt Peter Tambunan di HKBP Kernolong pada tahun 1931, hal ini membuat hubungan Amir dengan keluarga menjadi tidak harmonis. Terkhusus ibunya, yang tidak dapat menerima keputusan itu dan menganggapnya sebagai sebuah aib bagi kelurga dan ibunya menjadi jatuh sakit dan kemudian meninggal. Setelah dibaptismaka pada tanggal 16 Oktober 1935 Amir menikah dengan gadis pujaan nya yaitu Zainab Harahap, yang telah lebih dahulu belajar agama Kristen dan kemudian di baptis menjadi Kristen oleh Pdt. Peter Tambunan.Amir yang merupakan seorang aktivis CSV juga aktif memperkenalkan bahasa Indonesia dari mimbar-mimbar gereja, hal ini tampak dari khotbah Amir yang menggunakan bahasa Indonesia sekalipun di HKBP.[33]
Amir juga berperan dalam menumbuhkan nasionalisme di HKBP. Hal ini tampak ketika kemelut yang terjadi di HKBP antara HKBP dan perseteruan dengan pemerintah Belanda dan BNZ maka pada tanggal 2 Maret 1941 dibentuklah komite penilai yang di ketuai oleh J.M.Panggabean dengan Sekretaris Dr.L.Tobing dan penasihat dari Komite ini ialah Amir sendiri[34]
 Amir sebelum meninggal ditangkap pada tanggal 29 November 1948 di desa Klambu 20 KM dari Purwodadi amir ditangkap karena dia merupakan salah satu pemimpin PKI yang dianggap akan melakukan pemberontakan. Setelah di tangkap seorang temannya berkata kepadanya untuk menghubungi Soekarno Hatta agar lepas namun Amir menolak. Dia tidak ingin berhutang budi kepada dua tokoh itu. Setelah ditahan di Yogyakarya Amir dikembalikan di Solo dan di penjarakan disana. Dalam rapat kabinet tanggal 18 Desember 1948 dibicarakan apa tindakan yang dilakukan kepada pemimpin PKI jikalau Belanda melakukan Agresi Militer,dari 12 orang menteri  maka 4 orang menteri meminta Amir dan kawan-kawannya ditembak mati, 4 orang menghendaki supaya Amir dibebaskan dan 4 orang tidak memberikan suara lalu Presiden Soekarno dengan hak vetonya memerintahkan bahwa Amir dan kawan-kawannya tidak boleh ditembak. Pada tanggal 19 Desember 1948 di pagi hari Belanda melakukan Agresi Militernya dan Gatot Subroto sebagai Gubernur Militer di Solo memerintahkan untuk menembak mati semua pemimpin PKI di daerah Ngalian, sebelah timur kota Solo. Dan jenazahnya dikuburkan massal di tempat tersebut.[35]
4.      A.L. (Tine) Fransz
Agustine Fransz lahir tahun 1907 di Bojonegoro. Dia pernah memiliki studi di Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta (1926-1933). Pada tahun 1950-1988 ia bekerja di DGI.[36] Ia selalu bersikap sangat sederhana, namun ia mewakili segi yang sangat unik di kalangan oikumene. Fransz menghadiri konferensi di Citeureup dan Tambaram, dan di tahun 1939 ia datang ke Amsterdam untuk menghadiri konferensi raya sedunia kaum muda Kristen. Selain itu ia juga bagian dari konstituante di tahun 1950-an dengan sia-sia menyusun Undang-undang dasar bagi Indonesia. Pengaruh yang diberikannya selama serangkaian tahun yang panjang, jauh lebih besar daripada yang dapat diukur dari daftar tulisan buah tangannya. Ceramah yang diadakannya dalam konferensi pemimpin kaum muda Kristen pada bulan November 1940 di Salatiga berjudul “Persatuan kita dalam Kristus, yang melebihi segala persatuan lain”. Persatuan dalam Kristus mendobrak segala perbedaan antara ras, bangsa atau gereja, dan membagi-bagi manusia berbagai kelompok. Kesaksian mengenai persatuan dalam Kristus telah menjadi bagian penting dalam hidup Tine Fransz. Ia mewujudkan sikap hidup itu sepanjang tahun 1942-1945, ketika ia sudah memilih pihak nasionalisme.[37]
5.      T.B. Simatupang
T.B. Simatupang lahir pada tanggal 28 Januari 1920 di Sidikalang. Bapaknya bernama Simon Simatupang, gelar Mangaraja Siaduon, dan bekerja sebagai kepala kantor pos. Kemudian keluarganya pindah ke Siborong-borong lalu pindah lagi ke Pematang Siantar. Di pematang Siantar ia menamatkan Sekolah Dasar yang berbahasa Belanda, yang dikunjungi oleh anak-anak kampung Kristen dan dari kampung Melayu. Ia mendirikan “Persatuan Christen Indonesia”, disingkat PERCHI yang kemudian dianggap salah satu pendahulu bagi partai Kristen Indonesia (Parki/Parkindo). Dia menulis karangan-karangan untuk surat-surat kabar dalam bahasa batak, Indonesia, dan Belanda. Dia mengadakan ceramah-ceramah dan menulis buku-buku tentang kebudayaan dan marga-marga Batak. Dia juga aktif dalam kehidupan dan persekolahan Kristen.[38]
III.             Daftar Pustaka
…,DR.Johannes LeimenaNegarawan Sejati, Politisi Berhati Nurani, Jakarta: BPK-GM,2007.
Arintonang, Jan. S., Belajar Memahami Sejarah di Tengah Realitas, Bandung: Jurnal Info Media, 2007.
Aritonang, Jan S., Belajar Memahami Sejarah di Tengah Realita, Bandung:Jurnal Info Media, 2007.
Aritonang, Jan S., Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 2015.
Boland, B.J., Pergumulan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Temprint, 1985.
Culver, Jonathan E., Sejarah Gereja Indonesia, Bandung : Biji Sesawi,2014.
De Jonge, Christian, Menuju Keesaan Gereja, Jakarta : BPK-GM,1996.
End, Th. Van Den, & Weitjens, J., SJ, Ragi Cerita 2, Jakarta : BPK-GM, 2012.
 Hoekema, A. G., Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis, Jakarta: BPK-GM, 1997.
Hoekema, A. G., Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis, Jakarta: BPK-GM, 1997.
Hoekema, A.G., Berfikir dalam Keseimbangan yang Dinamis, Jakarta : BPK-GM, 1996.
Ngelow, Zakaria J., Gereja dan Kontekstualisasi, Jakarta : Yayasan Wahana, 1998.
Ngelow, Zakaria J., Kekristenan dan Nasionalisme, Jakarta : BPK-GM,2011.
Simatupang, Tahi Bonar, Percakapan T.B. Simatupang, Jakarta : BPK-GM.
Simorangkir, M.S.E., Ajaran Dua Kerajaan Allah dan Relevansinya di Indonesia, Bandung:Penerbit satu-satu,2011.
Sirait, Turman,& Sirait, Gopas, Ephorus Pdt.Kasianus Sirait, Laguboti: Yayasan TP Arjuna, 2005.
Ukur, F., & Cooley, F.L., Jerih dan Juang, Jakarta : Lembaga dan Penelitian dan Studi DGI,1979.
Wellem, F.D., Amir SjarifoeddinTempatnya dalam Kekristenan dan Perjuangan kemerdekaan Indonesia,Jakarta: Ut Omnes Unum Sint Institute, 2009.



[1] F. Ukur & F. L .Cooley, Jerih dan Juang, (Jakarta: Lembaga dan Penelitian dan Studi DGI, 1979), 362.
[2]M.S.E. Simorangkir, Ajaran Dua Kerajaan Allah dan Relevansinya di Indonesia, (Bandung:Penerbit satu-satu,2011),248.
[3] A. G. Hoekema, Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis, (Jakarta: BPK-GM, 1997),234-235.
[4] F. Ukur dan F. L. Cooley, Jerih dan Juang, 512-516.
[5] Jan. S. Aritonang, Belajar Memahami Sejarah di Tengah Realitas, (Bandung: Jurnal Info Media, 2007), 25-27
[6]Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia,(Jakarta : BPK-GM, 2015), 318-322.
[7] F. Ukur & F. L .Cooley, Jerih dan Juang, 362.
[8] B.J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Temprint, 1985), 56-57.
[9] A. G. Hoekema, Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis, (Jakarta: BPK-GM, 1997), 231.
[10]Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 292-300.
[11]F. Ukur & F.L. Cooley, Jerih dan Juang, 364.
[12]F. Ukur & F.L. Cooley, Jerih dan Juang, 518.
[13]F. Ukur & F.L. Cooley, Jerih dan Juang, 365.
[14]Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta : BPK-GM, 2015),278-279.
[15] Peserta dari Indonesia pada siding pembentukan DGD di Amsterdam ialah Dr. J. E. Siregar, Ds. K. Sitompul, Ds. A. Rotti, Ds. Ch. Mataheru, Ds. Mardjo Sir dan Ds. S. P. Poerbowijoyo.
[16] IMC hanya menerima dewan gereja-gereja nasional sebagai anggota, bukan gereja-gereja lokal.
[17]Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 286-287.
[18]Jonathan E. Culver, Sejarah Gereja Indonesia, (Bandung : Biji Sesawi,2014), 113.
[19]Christian De Jonge, Menuju Keesaan Gereja, (Jakarta : BPK-GM,1996), 87.
[20]F. Ukur & F.L. Cooley, Jerih dan Juang, 519-520.
[21]Jonathan E. Culver, Sejarah Gereja Indonesia, 112-113.
[22]Jan S. Aritonang, Belajar Memahami Sejarah di Tengah Realita, (Bandung : Jurnal Info Media, 2007), 25
[23]Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia,335-340.
[24]Th. Van Den End & J. Weitjens, SJ, Ragi Cerita 2, (Jakarta : BPK-GM, 2012), 405.
[25]Zakaria J. Ngelow, Gereja dan Kontekstualisasi, (Jakarta : Yayasan Wahana, 1998), 25-26.
[26]Zakaria J. Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme, (Jakarta : BPK-GM,2011), 174-189.
[27] https://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_Mahasiswa_Kristen_Indonesia.
[28]Th. Van Den End & J. Weitjens, SJ, Ragi Cerita 2, 403-404
[29] …,DR.Johannes LeimenaNegarawan Sejati, Politisi Berhati Nurani, (Jakarta: BPK-GM,2007), 10.
[30] …,DR.Johannes LeimenaNegarawan Sejati, Politisi Berhati Nurani,11-13.
[31]F.D.Wellem, Amir SjarifoeddinTempatnya dalam Kekristenan dan Perjuangan kemerdekaan Indonesia,(Jakarta : Ut Omnes Unum SInt Institute, 2009), 30-36.
[32]Christelijke Studenten Vereeniging op Java (CSV) yang menjadi cikal bakal GMKI telah ada jauh sebelumnya dan berdiri sejak 28 Desember 1932 di KaliurangYogyakartaIndonesia
[33] F.D.Wellem, Amir SjarifoeddinTempatnya dalam Kekristenan dan Perjuangan kemerdekaan Indonesia,60-81.
[34] Turman Sirait & Gopas Sirait, Ephorus Pdt.Kasianus Sirait, (Laguboti: Yayasan TP Arjuna, 2005),111.
[35] F.D.Wellem, Amir SjarifoeddinTempatnya dalam Kekristenan dan Perjuangan kemerdekaan Indonesia,196-200.
[36]Tahi Bonar Simatupang, Percakapan T.B. Simatupang, (Jakarta : BPK-GM,989), 499.
[37]A.G. Hoekema, Berfikir dalam Keseimbangan yang Dinamis, (Jakarta : BPK-GM, 1996), 137-138.
[38]Tahi Bonar Simatupang, Percakapan T.B. Simatupang, 87.