Sejarah Gereja Indonesia: Khatolik di Nusantara/Indonesia Pada Abad XVI


Jonihut Andi Pranata Purba           
STT ABDI SABDA MEDAN



Khatolik di Nusantara/Indonesia Pada Abad XVI
pertumbuhan dan perkembangan Katolik pada abad XVI, tokoh-tokoh serta metode-metode pekabaran Injil yang dilakukan.
I.          Pendahuluan
Datangnya para misionaris Katolik di Nusantara merupakan suatu sejarah yang patut di pelajari dalam mengenal Kekristenan di Indonesia. Bangsa Barat yang datang ke Indonesia untuk mencari rempah-rempah membawa misi lain yakni untuk memberitakan Injil yang merupakan satu dati tiga misinya yang tergabung dalam 3 G (Gold, Glory, Gospel). Oleh karena itu kajian ini sangatlah menarik untuk di bahas.
II.       Pembahasan
2.1. Nusantara/Indonesia
Nusantara adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan wilayah kepulauan yang membentang dari Sumatera sampai Papua yang sekarang sebagian besar merupakan wilayah negara Indonesia. Kata ini tercatat pertama kali dalam literatur berbahasa Jawa pertengahan (abad ke-12 hingga ke-16) umtuk menggambarkan konsep kenegaraan yang dianut Majapahit.[1] Nusantara/Indonesia meliputi seluruh wilayah bekas tanah jajahan Hindia-Belanda dan merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau lebih dari 17.508 pulau. Luas wilayah Indonesia mencapai 5.193.252 Km2, dengan jumlah penduduk sekitar 203. 456. 005 jiwa. Secara geografis Indonesia terletak antara 6 LU-11 LS dan 95 BT - 141 BT.[2] Selain memiliki letak geografis berbatasan dengan negara-negara lainnya. Batas-batas geografis Indonesia dengan negara-negara lainnya adalah seperti berikut:
Sebelah Utara, berbatasan dengan Malaysia, Singapura dan Filipina
Sebelah Selatan, berbatasan dengan Australia
Sebelah Barat, berbatasan dengan Samudera Hindia
Sebelah Timur, berbatasan dengan Papua Nugini[3]
Indonesia memiliki dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Terletak pada garis khatulistiwa yang membuat Indonesia memiliki kekayaan alam seperti emas, timah, besi, nikel, intan, teh, kopi dan sebagainya yang membuat kepulauan Indonesia adalah kepulauan yang sangat makmur dan tujuan bagi negara lain untuk melakukan perdagangan.[4] Sejak abad-abad pertama Nusantara/Indonesia mempunyai hubungan perdagangan dengan wilayah-wilayah Asia lainnya. Barang dagangan yang dihasilkan Indonesia adalah rempah-rempah yang terutama berasal dari Maluku.[5] Sehingga karena kekayaan alam yang sangat bernilai seperti rempah-rempah inilah yang menjadi daya tarik bagi negara-negara lain untuk melakukan perdagangan.[6]
2.2. Konteks Nusantara Sebelum Kekristenan Muncul
2.2.1.      Konteks Politik
Sejak sekitar tahun 1470 telah terdapat sekurang-kurangnya empat kerajaan atau kesultanan Islam, yaitu Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Diantara mereka yang terkuat pada masa itu hingga beberapa abad selanjutnya adalah kesultanan Ternate.[7] Raja-raja (kerajaan Nusantara) yang sudah masuk Islam, sering menyebarkan agama baru mereka (Islam) dan sekaligus memperluas wilayah pengaruh mereka dengan meyerang tetangganya yang masih kafir.[8]
Ciri khas daripada keadaan Indonesia pada abad ke 15 dan abad ke 16 adalah perubahan-perubahan yang besar di bidang politik. Kerajaan Majapahit yang dalam puncak kebesarannya telah menanam pengaruhnya hingga melewati batas-batas wilayah Indonesia sekarang, kekuasaannya pada waktu itu patahlah. Sebab utama dari perubahan-perubahan politik ini adalah kedatangan agama Islam di Indonesia.[9]
2.2.2.      Konteks Ekonomi
Sejak abad pertama, Indonesia mempunyai hubungan perdagangan dengan wilayah-wilayah Asia lainnya. Barang dagang yang dihasilkan Indonesia adalah rempah-rempah yang terutama berasal dari Maluku. Saudagar-saudagar dari Jawa dan Sumatera membawa barang yang sangat berharga itu ke pusat-pusat perdagangan di Indonesia Barat. Lalu mereka, atau pedagang-pedagang dari India, mengangkutnya ke India. Di situ mereka sudah ditunggu saudagar-saudagar dari Asia Barat (orang-orang Persia dan Arab, mula-mula juga orang-orang Yunani dari Mesir), yang membawa bumbu itu bersama barang-barang lain ke pasaran Eropa. Jalan dagang itu merupakan suatu rantai yang terdiri dari beberapa matarantai. Kota-kota pelabuhan sempat menjadi kaya-raya berkat perdagangan itu. Dengan kekayaan itu, mereka dapat menaklukkan daerah-daerah sekitarnya. Dengan demikian timbullah beberapa negara (kerajaan) nusantara seperti: Sriwijaya, Mojopahit, Padjajaran.[10]
2.2.3.      Konteks Agama
Sebelum agama Kristen mulai masuk ke Indonesia, agama di negeri ini sudah melalui sejarah yang panjang dan yang berbelit-belit. Agama Indonesia asli dibawa serta oleh suku-suku yang pada zaman dahulu kala memasuki Indonesia. Agama Indonesia asli dibawa-serta oleh suku-suku yang ada pada zaman dahulu kala memasuki Indonesia. Kita menyebutnya juga agama suku yang mempunyai suatu corak bersama dan memang masing-masing terikat pada satu suku. Agama Hindu dan juga Buddha yang juga dibawa ke Indonesia melalui jalur perdagangan berhasil menetap di Indonesia. Pengaruhnya atas kebudayaan Indonesia sudah sangat terkenal. Pada abad ke-13, suatu agama lain lagi muncul melalui jalur perdagangan. Penyiaran agama Islam di Indonesia mulai di kota-kota pelabuhan dan mengikuti jalur perdagangan. Agama Islam tersebar dengan cara yang damai yaitu melalui hubungan perdagangan dan kekeluargaan (menikah dengan putri bangsawan setempat). Pada akhir abad ke-15, agama Islam telah diterima oleh kebanyakan penduduk pantai di Indonesia Barat dan berhasil mendirikan pangkalan penting di Indonesia Timur. Jadi dapat disimpulkan pada saat itu orang biasa membedakan antara agama di Indonesia asli dan agama-agama yang datang kemudian (Hindu, Buddha, Islam, Kristen).[11]
2.3. Latar Belakang Kedatangan Bangsa Eropa ke Nusantara abad XVI
Kemunculan agama Islam di Arabia dan penyebaran di Asia Barat, Afrika Utara dan Spanyol sempat menutup hubungan perdagangan antara Timur dan Barat. Kemudian hubungan itu berlanjut kembali, tetapi kali ini perdagangan antara Timur dan Barat itu dilakukan lewat perantaraan orang/saudagar Arab. Antara abad 11 s/d 13 terjadi dua peristiwa yang memungkinkan hubungan langsung antara Barat dan Timur. Ketika Perang Salib berkobar antara tahun 1096-1291, para pejuang Perang Salib membawa dunia Barat mendekati wilayah Asia. Pada kurun waktu yang bersamaan, suku-suku pengembara Monggol di bawah Jenghis Khan dan para penggantinya menaklukkan wilayah luas yang terbentang dari China hingga bagian selatan Rusia. Penyatuan begitu banyak negeri di bawah Kemaharajaan Monggol itu membuat jalur sutera menjadi jalur komunikasi yang penting lagi bagi hubungan Timur dan Barat. Untuk pertama kalinya, orang Eropa dapat bepergian ke China tanpa adanya gangguan. Pada masa inilah Marco Polo dari Venesia melakukan perjalanan dagang mereka ke China melalui jalur darat pada tahun 1271. Pada tahun 1292, Polo kembali ke Eropa dan membawa banyak cerita menarik mengenai kekayaan dunia Timur itu. Hubungan langsung Timur dan Barat tidak berlangsung lama. Kemaharajaan Monggol itu runtuh dengan kebangkitan kembali kekuasaan Islam, sekali lagi hubungan antara Timur dan Barat terputus. Pada saat yang bersamaan pasukan Perang Salib mengalami kekalahan dan terusir dari Timur Tengah. Dunia Islam, Turki Usmaniyah melakukan serangan ke Eropa.[12]
Pada tahun 1453 Konstantinopel jatuh ke tangan Turki dan Kekaisaran Romawi Barat runtuh. Pedagang-pedagang Eropa yang antara lain berpangkalan di Venetia-Italia, tidak bisa lagi membeli rempah-rempah yang sangat mereka butuhkan baik bumbu dapur maupun obat-obatan kosmetik. Di Konstantinopel mereka harus membelinya dengan harga yang lebih mahal dari pedagang-pedagang Islam di Mesir yang telah membangun jaringan perdagangan dengan para pedagang Islam lainnya di Arab, Persia, India hingga Malaka dan Jawa bahkan belakangan juga Maluku/Ternate.[13] Pelopor awal kegiatan penjelajahan itu adalah Portugal dan Spanyol. Hal ini dikarenakan kedua bangsa ini mempunyai kecakapan yang luar biasa dalam bidang Kartografi (pemetaan) dan navigasi (pelayaran). Kelebihan lain yang dimiliki Portugal dan Spanyol adalah kapal mereka merupakan warisan utama dari perkawinan silang yang berhasil antara tipe Laut Tengah dan tipe Atlantik. Pembuatan kapal jenis ini kemudian diikuti oleh negara-negara Eropa lainnya.[14]
Bangsa-bangsa Eropa berusaha menyaingi, bahkan kalau dapat mematahkan dominasi jaringan perdagangan Islam, dan itulah yang mendorong mereka untuk mencari jalan menuju kawasan rempah-rempah yaitu Maluku. Upaya mereka itu didukung oleh penemuan teori baru tentang bentuk bumi dan perkembangan pengetahuan dan keterampilan di bidang pelayaran. Pelayaran ke arah Selatan, yakni Pantai Barat Afrika yang sudah dimulai Portugis dan Spanyol sejak abad ke-15.
Pada tahun 1540-an, suasana misi di Maluku mengalami perubahan. Dimana masuklah unsur-unsur baru yaitu pater-pater (tokoh politik/militer) Serikat Yesuit (Orang-orang Yesuit)[15], ada tiga misionaris Yesuit yaitu Fransiscus Xaverius, Roberto de Nobili dan Matteo Ricci, namun yang paling masyur adalah Fransiscus Xaverius. Ia yang membawa serta suasana Kontra-reformasi dari Eropa. Kontra Reformasi adalah suatu pembaharuan dalam tubuh Gereja Katolik Roma yang berlangsung sejak kurang lebih tahun 1540 (± tahun 1540). Gerakan ini ditimbulkan oleh pemberontakan Protestan atas kuasa Roma. Kontra-reformasi dalam gereja itu telah membangkitkan suatu kegairahan yang luar biasa, yang bukan hanya terarah kepada perlawanan kaum Protestan, melainkan juga ke daerah-daerah di luar Eropa.[16]
Berkat gerakan pembaharuan ini muncullah suatu angkatan misionaris yang bersemangat. Para missionaris gaya baru itu merasa terdorong untuk bekerja juga di luar lingkungan pengaruh negara-negara Kristen dan juga para missionaris tidak merasa terikat dengan Spanyol dan Portugis, namun kepada Gereja, Paus dan Kristus.[17] Dan ketika Paus membagi dunia baru antara Portugis dan Spanyol, maka salah satu syaratnya adalah bahwa raja-raja harus memajukan misi Katolik Roma di daerah-daerah yang telah diserahkan kepada mereka. Tuntutan ini dengan pertalian yang rapat antara negara dan gereja pada zaman itu, dan raja-raja dengan rela hati melayani kepentingan gereja.[18] Namun antara Portugis dan Spanyol terdapat dua perbedaan, yaitu Spanyol menjajah seluruh daerah-daerah yang ditemukannya (Amerika Selatan/Tengah dan Filipina) dan juga agama-agama yang terdapat di wilayah jajahan itu yaitu “agama suku”, yang ternyata tidak sanggup mempertahankan diri terhadap serangan rangkap dari pasukan tentara bersenjata api dan pasukan misionaris bersenjata injil. Sementara Portugis hanya mendirikan beberapa benteng dengan jajahan yang kecil disekitarnya dan mereka pada umumnya menetap di daerah-daerah yang termasuk negara-negara yang kuat dan yang sudah memeluk agama-agama yang tinggi.[19]
Namun disamping itu, Portugis dan Spanyol sembari mendapat restu membagi dua dan menguasai seluruh dunia juga diberi mandat oleh Paus (pemimpin tertinggi) Gereja Katolik Roma (GKR) untuk memelihara Gereja dan mendukung usaha penyebaran Injil dan iman Kristen kepada penduduk yang mereka jumpai. Mandat ini menurut pengamatan tertentu tidak lepas dari Gereja Katolik pada masa itu (yang masih terpelihara hingga pertengahan abad ke-20) bahwa diluar gereja tidak ada keselamatan (extra ecclesiam nulla salus). Mandat itu antara lain tertuang dalam Bulla (maklumat) Paus Alexander VI pada tanggal 04 Mei 1493 dan Perjanjian Tordesillas pada tanggal 09 Juni 1494. [20] Dalam Perjanjian Tordesilla bukan hanya pembagian dunia disetujui, lebih dari situ Paus memberi amanat untuk menyebarkan agama Kristen dan memberi hak-hak istimewa kepada raja-raja Spanyol dan Portugis.[21] Hubungan antara Gereja Katolik Roma (GKR) dengan kedua negara ini diungkapkan dengan istilah Padroado (Portugis) dan Patronato (Spanyol), yang kurang lebih berarti negara atau raja menjadi majikan atau pelindung gereja.
2.4.Pertumbuhan dan Perkembangan Khatolik di Nusantara
         Dari catatan sejarah menunjukkan adanya umat atau Kristen pada abad ke-7 (645) di daerah Barus dekat Sibolga. Kekristenan yang dijumpai di Barus itu dibawa padagang-pedagang Kristen Nestorian dari Mesopotamia atau Persia.[22] Kedatangan bangsa-bangsa Barat khususnya Portugis dan Spanyol pada awal abad ke-16 membawa babak yang baru. Kekristenan Katolik dengan sistem dukungan pemerintahan (Padroado=tuan, majikan; raja sebagai majikan, pelindung gereja di wilayahnya; artinya raja yang membiayai seluruh pekerjaan gerejani). Kerajaan Spanyol dan Kerajaan Portugis disebarkan mengikuti pusat-pusat perdagangan (emporium) di Asia: Goa (India), Malaka dan Macao sampai ke Jepang.[23] Dimana ekspedisi Portugis dan Spanyol selalu ikut sejumlah imam dan rohaniawan Katolik, baik yang bertugas untuk melayani dan merawat kerohanian para pedagang dan personilnya, maupun untuk mengabarkan Injil kepada penduduk pribumi. Dengan kata lain, para rohaniawan itu umumnya merangkap sebagai missionaris diantara mereka memang tidak sedikit yang kurang sungguh-sungguh menjalankan tugas penginjilan itu. [24]
         Pada tahun 1510, Portugis berhasil menguasai Goa dan mendirikan pangkalan dagang militer maupun pusat misinya disana. Armada dagang Portugis yang pertama ke Nusantara yang terdiri dari berbagai kapal dan berangkat dari Malaka pada bulan November 1511 dan tiba di Maluku tahun 1512 yaitu Pulau Banda yang sebagian penduduknya sudah beragama Islam. Kemudian mereka menuju Ternate setelah sempat singgah di Pulau Ambon yang sebagian penduduknya Islam. Jadi selain berjumpa dengan masyarakat yang masih beragama suku, disitu Portugis juga berjumpa dengan masyarakat yang sebagian sudah beragama Islam. Bahkan sejumlah penguasa setempat (Sultan ataupun Raja) juga menganut agama Islam, sehingga wilayah kekuasaan mereka ini dapat disebut sebagai Kesultanan dan Kerajaan Islam seperti Ternate-Tidore, Bacan, dan Jailolo di Maluku Utara. Pada awalnya penguasa Pribumi Islam terutama Sultan Ternate dan Sultan Tidore yang selalu bersaing dan selalu berperang tidak bersedia menjalin hubungan dagang dengan Portugis. Sultan Ternate, Abu Lais pada tahun 1512 mengundang Portugis yang kala itu sedang terdampar di ambon sekembalinya dari membeli pala di Banda untuk mendirikan benteng di Ternate dan berjanji untuk menjual cengkeh hanya kepada Portugis. Bagi Sang Sultan, selain menjanjikan keuntungan dan kekayaan yang lebih besar, karena Portugis bersedia membeli dengan harga lebih tinggi sekaligus akan memperkuat posisinya dalam bersaing dengan penguasa pribumi lainnya, terutama Tidore dan Jailolo. Tetapi Ternate dan Portugis itu justru menimbulkan kesulitan besar bagi keduanya. Sebab kemudian Tidore dan Jailolo menjalin persekutuan dengan Spanyol pada waktu itu sudah berpangkalan di Filipina dan merupakan rival Portugis di bidang perdagangan. Armada Spanyol telah hadir di Tidore sejak 1521 dan rivalitas kedua bangsa Kristen itu justru menghambat mereka menjalankan mandat menyiarkan Injil dan meluaskan gereja di Maluku. Pada tanggal 24 Juni 1522 peletakan batu pertama benteng Portugis yang kemudian diberi nama benteng Sao Paulo di rayakan di Ternate lengkap dengan upacara keagamaan Katolik. Lalu setelah Sultan Abu Lais wafat pada tahun itu terjadi cekcok dan perebutan tahta dikalangan Istana. Personil Portugis yang campur tangan malah memperkeruh keadaan melalui tindakan yang tercela, yang pada gilirannya merusak hubungan kedua pihak. Tetapi justru pada kurun waktu yang rumit pada masa pemerintahan Sultan Tabarija (1523-1535) itulah terjadi pembaptisan pertama yaitu atas sengaji atau kolano (kepala suku) Mamuya dan Tolo berikut rakyatnya dari daerah Moro, Halmahera tahun 1534. Sebelumnya mereka ini menyampaikan keluhan kepada Gonzalo Veloso, seorang pedagang Portugis yang selama ini bersikap bersahabat dengan mereka, baik menyangkut cara masyarakat dan penguasa Ternate memperlakukan mereka sebagai budak, maupun desakan kepada mereka agar masuk Islam. Veloso menyarankan agar mereka meminta perlindungan Portugis. Tetapi sebelumnya sudah ada semacam kesepakatan antara Portugis dan penguasa Ternate bahwa Portugis hanya boleh melindungi orang Kristen bila ada pertikaian di antara sesama pribumi. Akhirnya mereka dibaptis, namun mula-mula Kolamo Mamuya dan Tolo bersama tujuh pendampingan mereka berada di dalam benteng Sao Paulo di Ternate lalu diusul oleh ribuan rakyat mereka di dua desa itu, beserta dengan kepala-kepala suku dan rakyat dari desa tetangga. Mereka ini dicatat sebagai komunitas Kristen Katolik pertama di Indonesia walaupun kekristenan yang mereka anut bercorak Portugis. Sesuai dengan perjanjian Portugis, selain gedung gereja didirikan, di desa mereka juga didirikan benteng kecil yang diperlengkapi dengan sejumlah serdadu untuk melindungi mereka dari serangan Ternate. Dan ternyata bahwa pelindung yang diberikan Portugis itu terlalu lemah, terlihat ketika masyarakat Moro yang baru masuk Kristen itu mendapat ancaman dari kerajaan-kerajaan Islam. Sementara itu panglima Portugis di Ternate pada waktu itu yaitu Tristao de Atayde juga tidak berhasil membina persahabatan dengan masyarakat. Dalam situasi kebencian terhadap Portugis itulah pada tahun 1535 misionaris Simon Vaz terbunuh bersama sejumlah masyarakat yang baru masuk Kristen terbunuh dan mereka dicatat sebagai martir pertama di Indonesia. Tetapi kita perlu mencatat keteguhan hati mereka mempertahankan keyakinan dan iman yang baru itu. Ketika dua tahun sesudah baptisan itu, Raja Jailolo memaksa masyarakat Mamuya yang baru masuk Kristen itu untuk menyangkali Iman Kristen dan masuk Islam. Namun Jaoa menolak dan nyaris terbunuh. Pada tahun 1535 panglima Portugis Tristao de Atayde yang terkenal bejat itu mencopot Sultan Tabarija yang dituduhnya berkhianat dan mengirimnya ke Goa untuk diadili oleh Gubernur Jenderal Portugis. Selanjutnya Atayde berperan menduduki Hairun saudara tiri sekaligus pesaing Tabarija di atas tahta Kesultanan Ternate. Atayde segera diganti dengan Antonio Galvao yang cinta damai. Galvao berhasil memulihkan hubungan yang baik dengan Raja-raja Maluku utara terutama Ternate sehingga citra Portugis maupun kekristenan mambaik di mata masyarakat dan penguasa pribumi dan berhasil membuat lawan-lawannya bersahabat. Dan ia juga berhasil membuat mereka mengakui Hairun, tokoh yang dilindunginya sebagai raja. Karena itu tidak heran bila dari antara masyarakat ada yang mengusulkan kepada raja Portugis agar Galvao ditetapkan sebagai gubernur Maluku seumur hidup.[25]
         Pada Februari 1570 Misi Katolik Roma di Maluku ditimpa bencana yang hebat. De Masquita mengundang Sultan Hairun ke benteng Sao Paulo. Sehingga Sultan Hairun dari Ternate tersebut dibunuh dalam benteng Portugis dengan sangat keji oleh seorang anak muda bernama Martin Alfonso Primenta saudara sepupu sang panglima atas perintah sang panglima. Akibatnya ialah banyak kampung Kristen yang dibakar oleh orang Islam, Bacan dikalahkan Ternate sehingga hilang bagi misi, yang dimana-mana serangan Islam terhadap jemaat Kristen bertambah-tambah berbahaya sehingga banyak orang murtad. Salah satu alasan yang dikemukakan pihak Portugis adalah karena beberapa waktu sebelumnya, ketika Portugis sedang sibuk memulihkan situasi di Ambon, Sultan memancarkan penganiayaan terhadap orang-orang Kristen termasuk sejumlah imam di Halmahera.[26]
         Indonesia yang dijumpai bangsa-bangsa Barat pada abad ke-16 sedang mengalami perubahan-perubahan penting. Dalam penyebaran agama Kristen peranan para imam dari Ordo Yesuit dan Ordo Fransiskan sangat penting. Karena dalam faktanya ordo inilah yang melakukan kekristenan lebih serius daripada pendahulu mereka yang telah mengutamakan kepentingan politik dan perdagangan.[27] Ada beberapa missionaris yang berkebangsaan Spanyol yaitu Fransiscus Xaverius yang sering mengabarkan Injil dan melakukan pelayanan kemanusiaan ditengah masyarakat pribumi diluar lingkungan pangkalan dagang Portugis yang sangat terbatas itu.[28]  Fransiscus Xaverius juga adalah seorang penginjil yang sangat terkenal yang banyak berhasil karena pendekatannya mengabungkan pengkristenan massal dengan pembinaan dan pelayanan diakonia dan pergaulan yang akrab dengan penduduk. Kekristenan pada zaman Portugis terdapat di Indonesia Timur (Maluku, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara). Kemudian terdapat kekristenan dalam masyarakat pribumi di Indonesia bagian Timur. Kemudian ada juga pejabat Portugis yang sangat bersemangat dalam menuanaikan tugas penginjilan seperti Gonzala Veloso, dan Antonio Galvao mereka adalah panglima Armada Portugis di Maluku pada tahun 1536-1539. Veloso berperan memberitakan Injil di daerah Moro, bagian utara Halmahera termasuk di desa Mamuya. Sementara itu Galvao di Ternate sempat memprakarsai pembukaan sebuah sekolah yang sekaligus berfungsi sebagai seminari yaitu lembaga pendidikan atau calon tenaga rohaniawan pribumi. Sementara itu, pekerjaan misi di Ambon sudah dimulai. Bahkan sejumlah tokoh masyarakat termasuk golongan dari kalangan istana yang termasuk Kristen karena terkesan atas ajaran Kristen maupun kepribadian Galvao. Dalam garis-garis besar peristiwa penting pada waktu permulaan kekristenan di Indonesia adalah jatuh bangunnya pekerjaan misi karena berbarengan dengan sejarah politik yaitu sesuatu hal yang tidak wajar dalam gereja. Namun, hingga tahun 1560 majulah misi pekerjaan ke arah utara yaitu Halmahera Utara dan Morotai dan kearah selatan Ambon dan Lase. Akan tetapi, dibawah desakan Sultan Ternate yang menghubungkan perluasan kesultanan dan pengislaman daerah-daerah sekitarnya. Maka sejak tahun 1560 terjadilah penghambatan yang keji, pada awal Portugis berusaha menjalin hubungan yang baik dalam bidang dagang maupun politik dengan para penguasa termasuk Sultan Ternate karena mereka sadar bahwa kekuatan mereka sangat kecil dibanding kerajaan-kerajaan Islam termasuk di bidang perdagangan. Hubungan Hairun dengan Portugis semakin memburuk dengan kecurangan yang dilakukan oleh Portugis sehingga seluruh kepulauan Maluku orang-orang Kristen dipersulit kehidupannya. Jadi, dapat disimpulkan maju-mundurnya pekerjaan misi tergantung semata-mata kekuasaan militer Portugis.[29]
2.5. Tokoh-tokoh Pekabaran Injil
2.5.1.      Fransiscus Xaverius
download.jpg
           Fransiscus Xaverius dilahirkan di istana Xavier di Navarre pada tahun 1506.[30] Fransiscus Xaberius adalah seorang mahasiswa periang di Prancis.[31] Ayahnya adalah seorang pejabat tinggi di Spanyol, Juan de Yasu, namanya. Ia mempersiapkan diri untuk menjadi seorang imam, tanpa merasa panggilan khusus.[32] Ia belajar hukum dan theologi di Universitas Paris. Di sini ia bertemu dengan Ignatius dari Loyola, pelopor Kontra-Reformasi itu.[33] Dan kebetulan hidup sekamar dengan Ignatius. Pada suatu hari, Ignatius menantang dia: coba main bilyart dengan saya. Kalau kau kalah, kau harus menjalani “Latihan-latihan rohani” dari saya. Fransiscus kalah, dan oleh latihan-latihan itu sikapnya berubah sehingga dia menjadi seorang Yesuit pertama (1534-1540).[34] Bersama-sama dengan Ignatius, mereka berkaul mengikuti Kristus dalam kemiskinan, kesucian dan pemberitaan Injil kepada orang kafir pada 15 Agustus 1534. Pada tahun 1537 Xaverius bersama dengan teman-temannya ditasbihkan menjadi imam di Vinece. Sesudah penahbisan itu, Ignatius dan Xaverius pergi ke Roma.[35]
           Pada tahun 1541, ia mendapat perintah dari jenderalnya untuk pergi ke Asia Timur untuk mengabarkan Injil; keesokan harinya ia berangkat.[36] Pada tahun 1542, ia berangkat ke Goa dan ia bekerja disana selama beberapa bulan. Ia mengeluh tentang  perilaku yang buruk dari orang-orang Portugis di Goa. Kemudian ia tertarik untuk bekerja di tengah-tengah suku Parava di daerah pantai sebelah utata Goa.[37]  Ia ingin melayani melayani orang-orang pribumi dan berangkat ke daerah pantai di sebelah utara Goa untuk membina jemaat yang terlantar disana.[38] Disana ia membaptis ribuan orang dan melayani jemaat-jemaat yang sudah ada disana. Dan juga di sana ia menggerakkan anak-anak untuk memberitakan Injil ke kampung-kampung. Pada tahun 1545, ia pergi ke Malaka demi mempersiapkan diri untuk pergi merasul ke Sulawesi Selatan, berhubung adanya permintaan seorang raja dari sana. Di Malaka dia belajar bahasa Melayu dan mempersiapkan terjemahan-terjemahan Doa Bapa Kami, Pengakuan Iman Rasuli, Sepuluh Hukum dan Doa lainnya ke dalam bahasa Melayu.[39]
           Xaverius menjadi perintis misi gaya baru dan merupakan salah satu tokoh yang paling menarik di antara para missionaris abad ke-16. Dalam pekerjaannya di Indonesia, menjadi nyata pendekatan baru. Dan di Ternate, orang-orang Kristen Portugis dan Indo-Portugis hidup dengan seenaknya, dan sama sekali bodoh dalam hal agama. Oleh karena itu, Xaverius setiap hari dua kali satu jam menyelenggarakan pelajaran agama Kristen untuk anak-anak dan orang-orang dewasa. Xaverius berusaha untuk menyebarkan Injil kepada orang-orang yang masih menganut agama nenek moyang sehingga dia berkeliling di seluruh pulau Ambon. Fransiscus tidak dapat tinggal lebih lama di Ambon dan di Maluku. Ia merasa dirinya sebagai perintis, tidak mau menetap disuatu tempat. Ia telah mendengar mengenai kesempatan indah yang berada di negara Jepang dan ingin pergi kesana. Penduduk Maluku baik yang Kristen atau yang Islam ataupun yang menganut agama suku sangat menyayangkan keberangkatannya. Fransiscus Xaverius telah berhasil menimbulkan rasa cinta pada mereka semua karena keramahtamahannya yang luar biasa. Orang-orang di Ambon dan Ternate menangis ketika ia pergi. Fransiscus Xaverius meninggal di suatu pulau kecil lepas pantai Tiongkok, setelah usaha untuk memasuki negeri itu gagal (1552). Pada tahun 1622, Xaverius dinyatakan sebagai orang kudus (Santo) oleh Gereja Katolik Roma.[40]
2.6.Metode-metode Pekabaran Injil
2.6.1.      Metode yang digunakan Fransiscus Xaverius
           Metode pekabaran Injil yang dilakukan Fransiscus Xaverius ialah ia menyuruh seorang juru bahasa dalam menerjemahkan Pengakuan Iman Rasuli, Doa Bapa Kami dan Ave Maria dan kesepuluh perintah (dasatitah) ke dalam bahasa setempat. Fransiscus menghafalnya, lalu dia keliling ke kampung-kampung dengan membawa lonceng di tangan bila orang sudah berkumpul, ia mengajarkan kepada mereka apa yang dihafalkannya, dan sesudah doa dan pengakuan itu hafal pula oleh mereka, maka mereka dibaptis. Metode Fransiscus ini diterima dan terpengaruh bagi orang dikarenakan sikap keramahan Fransiscus sendiri sehingga mempengaruhi orang untuk bertobat.[41]
           Di Ternate Fransiscus juga menggunakan metode yang berbeda, ia menyusun pula semacam Katekismus dalam bentuk syair yang mengandung penjelasan tentang Pengakuan Iman Rasuli. Bahasanya adalah bahasa Portugis tetapi ada juga salinan dalam bahasa Melayu kemudian dipakai keseluruh Melayu yang isinya terdiri dari 39 pasal, yang susunannya sedikit banyak mengikuti urutan keduabelas pasal iman. Maksud dari metode yang digunakan Fransiscus ialah supaya setiap hari diajarkan beberapa kalimat, sehingga sehabis waktu satu tahun, mereka sudah menghafal isinya. Dengan demikian kata Xaverius: “Di dalam mereka diletakkan dasar yang kokoh sehingga mereka benar-benar dan sungguh-sungguh percaya kepada Yesus Kristus dan tidak percaya lagi kepada berhala yang sia-sia”. Sewaktu di Ternate juga, Xaverius tidak hanya memperhatikan orang-orang yang sudah Kristen, tetapi ia bergaul juga dengan orang-orang Islam. Dengan Sultan Hairun yang muda yang kemudian hari akan menjadi musuh yang dahsyat untuk orang-orang Portugis. Ia menjalin persahabatan yang akrab dan ia mengunjungi jemaat-jemaat Kristen di Halmahera yang berada dalam keadaan berantakan dan sudah beberapa tahun lamanya tidak melihat seorang imam.
           Kemudian metode pekabaran Injil di Ambon, pada saat kedatangan Fransiscus sudah ada tujuh kampung yang telah masuk Kristen. Ia memakai cara bekerja yang kira-kira sama seperti di Ternate. Bersama seorang anak laki-laki yang membawa salib didepannya sekaligus menjadi juru bahasa, serta rombongan anak-anak lain sebagai pengantar dia mengunjungi orang dari rumah kerumah sambil memegang sebuah lonceng kecil dan menanyakan adakah kiranya didalam rumah itu orang yang sakit atau anak-anak yang mau di permandikan. Dan kalau pertanyaan di iakan orang, ia masuk ke rumah dan mengangkat tangan dan berdoa; lalu anak-anak yang menghantar dia mengucapkan Pengakuan Iman Rasuli dan Kesepuluh Perintah dalam bahasa Melayu dan Xaverius sendiri membacakan kutipan dari Injil untuk orang sakit. Metode lain yang dilakukan Xaverius adalah berusaha menyebarkan Injil kepada orang-orang yang masih menganut agama-agama nenek moyang. Dan ketika mereka hendak kembali ke Malaka ia menulis surat-surat kepada atasannya meminta agar imam-imam lain dikirim ke Maluku. Tetapi jumlah imam yang dikirim ke Maluku terlalu kecil untuk melayani beribu-ribu orang Kristen yang hidup berpencar itu. Fransiscus tidak dapat tinggal lebih lama di Ambon dan di Maluku. Ia merasa dirinya sebagai perintis, tidak mau menetap disuatu tempat. Ia telah mendengar mengenai kesempatan indah yang berada di negara Jepang dan ingin pergi kesana. Penduduk Maluku baik yang Kristen atau yang Islam ataupun yang menganut agama suku sangat menyayangkan kepergiannya.
           Fransiscus Xaverius telah berhasil menimbulkan rasa cinta pada mereka semua karena keramahtamahannya yang luar biasa. Orang-orang di Ambon dan Ternate menangis ketika ia pergi. Dan muncullah banyak cerita ajaib mengenai dia. Yaitu bahwa pernah salibnya hilang dalam laut dalam usaha menenangkan ombak yang bergelora.  Tetapi bahwa pada hari berikutnya di Pantai Seram, seekor kepiting besar datang meletakkannya di kakinya. Lalu pernah disuatu kampung di Saparua yang menderita karena di tempat itu kekurangan air, ia meminta hujan, dan hujan pun segera datang sehingga seluruh penduduk kampung itu masuk Kristen. [42] Usaha Fransiscus Xaverius dengan ia membuat peraturan ketika ia ingin meninggalkan Maluku. Usahanya adalah pengajaran agama yang dilakukan Fransiscus selama di Maluku diteruskan ditiap-tiap hari didalam gereja, dan supaya orang-orang yang mau bertobat mempelajari tentang pasal-pasal iman sesudah doa-doa. Fransiscus memerintahkan supaya sama seperti waktu Fransiscus di Maluku, setiap malam  di Alun-alun didoakan jiwa-jiwa yang berada dalam api penyucian dan juga mereka yang hidup dalam dosa maut.[43]
           Dan dalam suratnya Fransiscus Xaverius juga mengatakan:  “Jika hanya selusin iman saja mau datang dari Eropa setiap tahunnya untuk membantu, tidak akan lama lagi gerakan Islam dan semua di kepulauan ini akan menjadi Kristen”.[44]
2.6.2.      Metode yang digunakan Simon Vaz
           Metode pekabaran Injil yang dilakukan Simon Vaz adalah di setiap kampung yang telah masuk Kristen didirikan sebuah salib yang besar. Dan kita boleh menduga bahwa orang juga membangun suatu gedung yang sederhana. Kemdian ada juga pelayanan komuni (misa) menerima roti dan anggur hanya iman. Untuk orang-orang Kristen yang baru masih dianggap perlu pendidikan lebih lanjut. Dalam pendidikan juga, mereka harus menghafalkan rumusan-rumusan pokok Iman Kristen seperti Doa Bapa Kami, kedua belas Pasal Iman, Salam Maria.[45]
2.6.3.      Metode yang digunakan Antonio Galvao
           Antonio Galvao (1536-1540) adalah seorang yang bijaksana dan selama masa pemerintahannya, misi mendapat angin kembali dimana keadaan Halmahera utara dipulihkan. Bahkan beberapa tokoh masyarakat Ternate sendiri masuk Kristen karena tertarik oleh pribadi panglima ini. Ada juga permintaan dari Sulawesi Selatan untuk mengirim imam-imam kesana. Untuk sementara waktu di Ternate dibuka suatu sekolah, dimana anak-anak Indonesia-Portugis dan anak-anak Kristen Pribumi belajar membaca dan menulis, dan menghapal Katekismus Katolik Roma.[46] Bahkan sempat Galvao memprakarsai pembukaan sebuah sekolah atau kolese yang sekaligus berfungsi sebagai seminari yaitu lembaga pendidikan atau penyemaian calon tenaga rohaniawan pribumi walaupun sekolah ini tidak bertahan lama.[47] Juga pada pemerintahan Galvao, mulai juga pekerjaan misi ke Ambon. Di situ agama Islam sudah masuk dari Jawa.[48]
2.7. Faktor Pendukung dan Penghambat di Nusantara
2.7.1.      Faktor Pendukung
a.       Malaka merupakan bandar dagang utama pada jalur perdagangan ke Kepulauan Maluku[49]
b.      Beberapa Misionaris bersungguh-sungguh, penuh kerelaan hati berkorban, penuh perjuangan dalam melakukan misinya seperti Simon Vaz dan Fransiskus Xaverius.[50]
c.       Persahabatan Xaverius dengan Sultan Hairun mempermudah penyebaran[51]
d.      Kombinasi antara para misionaris yang penuh dedikasi dan para pejabat yang bersemangat menyebarkan agama Kristen[52]
2.7.2.      Faktor Penghambat
a.       Panglima Portugis tidak bisa membina persahabatan dengan penduduk Maluku sehingga menghambat misi
b.      Pada kedatangan Spanyol dan Portugis ke Nusantara perekonomian masih di kendalikan oleh pihak Islam
c.       Sepanjang abad 16, umat Katolik di Maluk sering terombang-ambing dalam situasi politik yang serba tidak pasti[53]
d.      Ada ketidaksepahaman bahasa antara para Missionaris khususnya Xaverius. Pada saat itu Xaverius menggunakan bahasa Spanyol sedangkan daerah misi yang dilakukannya tidak mengerti bahasa Spanyol. Sehingga harus belajar bahasa yang dipahami oleh orang-orang di daerah misinya[54]
e.        Banyak masalah yang dihadapi oleh para Missionaris, yaitu diracuni, ada yang pulang, karena usahanya tidak berubah, iklim yang buruk, dan kekurangan makanan
f.       Kaum muslim tidak putus-putusnya menganggu jemaat-jemaat yang masih muda
g.      Walaupun di setiap kampung didirikan kayu salib yang salibnya besar dan diselenggarakan kebaktian, tetapi pendidikan dan pimpinan tetap diberikan kepada jemaat, mereka dikunjungi hanya satu-dua kali dalam setahun.[55]
III.    Daftar Pustaka
Sumber Buku :
Amal, M. Adam Kepulauan Rempah-rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950, Jakarta: KPG, 2010.
Aritonang, Jan S Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam Di Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.
Banawiratma, JB. Panggilan Gereja Indonesia dan Teologi, Yogjakarta: Kanisius, 1986.
Berkhof, H. dan Enklaar, H. Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015.
Boeleaars, Hubb J. W. M. Indonesiasi: Dari Gereja Katolik di Indonesia menjadi Gereja Katolik Indonesia, Yogjakarta: Kanisius, 2005.
ColeyUkur F. L. Jerih dan Juang, Lembaga Penelitian dan Study DGI, 1974.
Culver, Jonathan E Sejarah Gereja Indonesia, Bandung: Biji Sesawi, 2014.
End, Th. Van Den Harta Dalam Bejana, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016.
End, Th. Van Den Ragi Carita 1, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.
Kroef, Justus M Van Der “The Term Indonesia: Its Origin And Usage”. Journal of the American Oriental Society, 71 th Edition, 1951.
Kruger, Muller Sedjarah Geredja di Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1959.
Ngelow, Zakaria J. Kekristenan dan Nasionalisme, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011.
Oktorino, Nino Dari Gereja Portugis ke GPIB Jemaat Sion, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015.
Schumann, Olaf Kekristenan di Asia Tenggara, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007.
Utama, Tri Adjie RPUL GLOBAL, Jakarta: Bintang Indonesia, 2009.
Wellem, F. D. Kamus Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011.
Wellem, F. D. Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.
Sumber Lainnya :
https://www.yuksinau.id/letak-geografis-indonesia/, diakses pada tanggal 11 September 2019 pukul 09:53 Wib



[1] Justus M Van Der Kroef, “The Term Indonesia: Its Origin And Usage”. Journal of the American Oriental Society, 71 th Edition, (1951), 166
[2] Tri Adjie Utama, RPUL GLOBAL, (Jakarta: Bintang Indonesia, 2009), 57
[3] https://www.yuksinau.id/letak-geografis-indonesia/, diakses pada tanggal 11 September 2019 pukul 09:53 Wib
[4] Ukur F. L. Coley, Jerih dan Juang, (Lembaga Penelitian dan Study DGI, 1974), 22-23
[5] Th. Van Den End, Ragi Carita 1, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 19
[6] Ukur F. L. Coley, Jerih dan Juang, 23
[7] Jan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam Di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 15.
[8] Th. Van Den End, Ragi Carita 1, 19-20.
[9] Muller Kruger, Sedjarah Geredja di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1959), 15
[10] Th. Van Den End, Ragi Carita 1, 19
[11]Ibid, 19-21
[12] Nino Oktorino, Dari Gereja Portugis ke GPIB Jemaat Sion, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 5-7
[13] Jan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam Di Indonesia, 19-20
[14] Nino Oktorino, Dari Gereja Portugis ke GPIB Jemaat Sion, 9
[15] Societas Jesu adalah Serikat kebiaraan yang didirikan oleh Ignatius Loyola pada tahun 1534. Di Indonesia dikenal dengan Serikat Yesus (F. D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 434)
[16] Th. Van Den End, Harta Dalam Bejana, 205
[17] Th. Van Den End, Ragi Carita 1, 43
[18] H. Berkhof dan H. Enklaar, Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 235
[19] Th. Van Den End, Harta Dalam Bejana, 206
[20] Jan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam Di Indonesia, 20-21
[21]  Olaf Schumann, Kekristenan di Asia Tenggara, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 8-10
[22] JB. Banawiratma, Panggilan Gereja Indonesia dan Teologi, (Yogjakarta: Kanisius, 1986), 14
[23] Zakaria J. Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 12
[24] Jan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam Di Indonesia, 22
[25] Jan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam Di Indonesia, 24-26
[26] H. Berkhof dan H. Enklaar, Sejarah Gereja, 236
[27] Zakaria J. Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme, 12-13
[28] Jan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam Di Indonesia, 22
[29] Jan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam Di Indonesia, 29-36
[30] F. D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 192
[31] Th. Van Den End, Harta Dalam Bejana, 207
[32] Th. Van Den End, Ragi Carita 1, 47
[33] F. D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja, 192
[34] Th. Van Den End, Harta Dalam Bejana, 208
[35] F. D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja, 192
[36] Th. Van Den End, Harta Dalam Bejana, 208
[37] F. D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja, 192
[38] Th. Van Den End, Ragi Carita 1, 47
[39] F. D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja, 192
[40] Th. Van Den End, Ragi Carita 1, 47-51
[41] Th. Van Den End, Harta Dalam Bejana, 208
[42] Th. Van Den End, Ragi Carita 1, 49-51
[43] Th. Van Den End, Harta Dalam Bejana, 215
[44] Jan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam Di Indonesia, 31-32
[45]Ibid, 40
[46] Th. Van Den End, Ragi Carita 1, 41
[47] Jan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam Di Indonesia, 22
[48] Th. Van Den End, Ragi Carita 1, 41
[49] Zakaria J. Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme, 12
[50] Jan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam Di Indonesia, 20
[51] Th. Van Den End, Ragi Carita 1, 40
[52] Jan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam Di Indonesia, 22
[53] Jonathan E Culver, Sejarah Gereja Indonesia, (Bandung: Biji Sesawi, 2014), 30
[54] Th. Van Den End, Harta Dalam Bejana, 214
[55] H. Berkhof dan H. Enklaar, Sejarah Gereja, 236